*

*

Ads

Rabu, 21 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 157

Kiranya Raja Iblis telah mengetahui adanya pertemuan para pendekar itu sebagai hasil penyelidikan Siang Hwa dan pembantunya. Gadis murid Raja Iblis yang amat cerdik ini memang amat lincah dan pandai menyebar orang-orangnya. Mendengar adanya pertemuan para pendekar di daerah utara, Raja Iblis lalu mengirim pasukan dari San-hai-koan berjumlah seribu orang lebih yang dibantu dan dipimpin oleh Siang Hwa dan para datuk Cap-sha-kui. Raja Iblis menghendaki agar semua pendekar yang berada di benteng tua Jeng-hwa-pang itu ditumpas habis.

Di sebelah Siang Hwa nampak seorang pemuda tampan yang juga amat gagah gerakannya. Pemuda ini adalah Sim Thian Bu! Seperti kita ketahui, Sim Thian Bu adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin atau Iblis Buta. Bagaimanakah murid itu malah membantu pasukan Raja Iblis, padahal gurunya tewas di tangan Ratu Iblis?

Agaknya Sim Thian Bu tidak menaruh dendam atas kematian gurunya. Beberapa hari yang lalu, pada suatu pagi, dia yang melakukan perjalanan seorang diri tiba di lereng sebuah bukit yang amat sunyi, di sebuah padang rumput. Tiba-tiba Thian Bu berpapasan dengan Siang Hwa yang menunggang kuda. Biarpun dia sedang berjalan kaki dan penunggang kuda itu membalapkan kuda dengan cepat, namun Thian Bu yang mata keranjang itu dapat melihat bahwa penunggang kuda itu adalah seorang wanita muda yang cantik sekali.

Sebaliknya, biarpun ia sedang sibuk dengan segala urusan pemberontakan yang dibantunya, namun melihat seorang pemuda gagah dan ganteng berada seorang diri di tempat sunyi itu, Siang Hwa segera merasa tertarik sekali. Ia menghentikan kudanya dan memutar kudanya, menjalankan kuda itu menghampiri Thian Bu.

Pemuda inipun sudah merasa amat tertarik dan gembira sekali, maka setelah Siang Hwa menghentikan kudanya di depannya, dia memandang sembil tersenyum. Mereka saling pandang, saling memperhatikan dan keduanya tersenyum, terpesona oleh keanggunan masing-masing.

"Selamat pagi, nona!" Thian Bu yang memang jagoan dalam menghadapi dan mengambil hati wanita itu berkata dan memberi hormat dengan sikap sopan, wajahnya berseri penuh keramahan. "Sungguh mengejutkan sekali bertemu dengan seorang wanita cantik jelita seperti nona di tempat seperti ini. Suatu kejutan yang amat menggembirakan hati. Dari mana hendak kemanakah nona yang sendirian saja di tempat liar ini?"

Siang Hwa tersenyum, senyum manis yang penuh daya pikat. Ia senang sekali melihat sikap pemuda tampan itu.

"Pertanyaan yang sama benar dengan yang berada dalam hatiku. Siapakah engkau yang berada seorang diri di tempat sunyi ini?"

Thian Bu tertawa gembira. Seorang wanita yang selain cantik dan menggairahkan, juga tidak pemalu. Dan melihat pedang yang tergantung di punggung itu, dia dapat menduga bahwa wanita ini bukan orang lemah, apalagi kenyataan bahwa seorang diri wanita ini berani berkeliaran di tempat liar penuh bahaya itu.

"Nona, aku bernama Sim Thian Bu. Senang sekali berkenalan denganmu. Siapakah namamu, nona dan bagaimana seorang gadis cantik jelita seperti nona dapat berada di tempat liar seperti ini?"

Siang Hwa tersenyum. Pemuda ini sungguh menarik hatinya.
"Engkau sungguh tabah, berani berada seorang diri di tempat ini. Tidak takutkah kau bertemu dengan suku-suku liar? Ataukah engkau termasuk seorang pendekar yang akan menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang?"

"Ha-ha, seorang gadis muda cantik seperti nona tidak takut bersendirian di sini, apalagi seorang laki-laki seperti aku."

"Akan tetapi aku dapat membela diri dengan baik, kaki tanganku dan pedangku akan mampu menghalau semua bahaya yang mengancam diriku."

"Akupun tidak takut akan bahaya, nona, dan selama ini kaki tangankupun mampu melindungi diriku dari ancaman bahaya. Eh, nona belum memperkenalkan diri. Siapakah nama nona yang cantik dan gagah?"

Siang Hwa makin tertarik dan iapun meloncat turun dari atas kudanya, membiarkan kudanya makan rumput yang hijau subur dengan membuka kendali kudanya.

"Aih, benarkah engkau ahli membela diri? Tentu ilmu silatmu tinggi sekali. Nah, mari kita bermain silat sebentar, kalau engkau mampu menandingi aku, barulah aku akan memperkenalkan namaku. Kalau engkau ternyata hanya seorang pemuda biasa saja, tidak perlu aku memperkenalkan nama."

Melihat pemuda yang tampan, nampak gagah dan bersikap menarik dan pandai merayu itu timbul gairah dan kegembiraan dalam hati Siang Hwa. Ia sudah terlalu lama sibuk mengurus hal-hal yang serius, dan ia membutuhkan hiburan sebagai selingan dan pemuda ini, baik wajahnya, bentuk tubuhnya maupun sikapnya menjanjikan hiburan manis yang menyenangkan.

Sebaliknya, Thian Bu adalah seorang mata keranjang yang selalu tertarik apabila melihat wanita cantik, maka sikap Siang Hwa sungguh menggembirakan hatinya. Tidak ada yang lebih menyenangkan daripada bermain cinta dengan seorang wanita cantik, dan bermain silat dengan wanita cantikpun tidak kalah menggembirakannya. Maka diapun lalu meloncat ke belakang mencari tempat yang lebih enak agak menjauhi kuda.

"Mari nona, mari kita main-main sebentar. Akan tetapi, tidak biasa aku bertanding tanpa taruhan. Oleh karena itu, mari kita bertaruh dalam pertandingan silat ini," ajaknya sambil bertolak pinggang dengan sikap gagah.






Siang Hwa tersenyum gembira dan menggulung lengan bajunya. Nampaklah sepasang lengan yang berkulit putih bersih dan berbentuk bulat indah. Iapun bertolak pinggang dengan sikap menantang, akan tetapi wajahnya berseri gembira.

"Baik, apa taruhannya?"

"Kalau aku sampai kalah olehmu, maka aku akan menurut segala permintaanmu," jawab Thian Bu.

"Akur! Apapun yang kuperintahkan harus kau taati. Dan kalau aku kalah?"

"Tentu sama juga, semua permintaanku harus kau penuhi."

Keduanya saling pandang dan tersenyum karena mereka sudah sama-sama tahu apa maksud yang tersembunyi di balik taruhan itu.

"Nah, mari kita mulai. Lihat seranganku!"

Siang Hwa membentak dan iapun menyerang dengan cepat, mengayun tangannya menyambar ke arah dada Thian Bu. Pemuda itu melihat datangnya serangan yang amat cepat dan didahului angin pukulan kuat, diam-diam terkejut karena dia tidak menyangka bahwa wanita itu ternyata demikian cepat dan kuatnya. Diapun menggerakkan tangannya menangkis.

"Dukkk...!" Keduanya terpental akan tetapi Sim Thian Bu sampai terhuyung.

"Aihh...!"

Kini dia benar-benar kaget dan Siang Hwa tertawa mengejek lalu menyerang lagi. Karena maklum bahwa gadis itu ternyata jauh lebih lihai daripada yang diduganya, diapun cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan balas menyerang.

Terjadilah pertandingan yang seru dan ramai. Keduanya memang sudah saling tertarik dan tentu saja tidak suka saling melukai, akan tetapi bagaimanapun juga, keduanya ingin keluar sebagai pemenang karena tentu akan lebih senang memerintah daripada mentaati perintah.

Setelah perkelahian berlangsung selama lima puluh jurus, diam-diam Siang Hwa girang sekali. Pemuda ini bukan hanya ganteng, akan tetapi juga cukup lihai sehingga cukup berharga untuk dijadikan kekasih merangkap pembantunya!

Sebaliknya, Thian Bu mulai merasa khawatir ketika memperoleh kenyataan pahit bahwa dia tidak mampu mengatasi lawannya. Dia khawatir bahwa kalau sampai dia kalah, wanita ini mengajukan permintaan yang akan memberatkan dirinya dan tidak seperti yang diharapkannya. Kalau dia menang, tentu dia tidak hanya akan minta wanita itu mengakui namanya, akan tetapi juga akan minta agar wanita itu suka melayaninya dan menjadi kekasihnya untuk beberapa hari lamanya!

Maka, diapun mengeluarkan seluruh tenaganya dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Bagaimanapun juga, harus diakuinya bahwa dia kalah setingkat. Dia mulai terdesak dan tiba-tiba dalam keadaan terdesak dan menghadapi serangan bertubi-tubi itu, lututnya disentuh ujung sepatu Siang Hwa Thian Bu merasa betapa kaki kanannya kesemutan dan seperti lumpuh, maka ketika tangan Siang Hwa mendorong dadanya, diapun terjengkang dan terjatuh ke atas tanah yang bertilam rumput tebal.

Sebelum dia dapat meloncat bangun, Siang Hwa sudah menubruknya, menekan pundaknya dengan jari tangan mengancam ubun-ubun kepalanya dan wanita itu tersenyum menghardik,

"Engkau sudah kalah!"

Melihat sikap dan senyum itu, Thian Bu tersenyum pula.
"Ya, aku sudah kalah. Aku sudah takluk dan akan mentaati permintaanmu."

"Bagus! Nah, kau peluklah aku, kau cintailah aku!"

Thian Bu terbelalak girang, lalu merangkul dan menarik wanita itu ke atas tubuhnya.
"Ha-ha, itulah yang akan kuminta kalau aku menang!"

"Kau kira aku tidak tahu?"

Siang Hwa juga berkata dan balas merangkul. Mereka berciuman dan bergumul di atas rumput tebal di tempat yang sunyi itu. Memang kedua orang ini seperti lalat dengan sampah, cocok satu sama lain sehingga setelah saling bertemu, mereka seperti merasa memperoleh tandingan yang amat cocok dan menyenangkan. Sampai matahari naik tinggi mereka lupa diri dan tenggelam dalam lautan kenikmatan mengumbar nafsu mereka sepuasnya.

Setelah puas bermesraan dengan kekasih barunya itu, Siang Hwa mengajak Thian Bu duduk berteduh di bawah pohon. Sambil memegang tangan pemuda itu dan memandangnya dengan sinar mata mesra, ia berkata,

"Sim Thian Bu, engkau adalah murid mendiang Siangkoan Lo-jin, bukan?"

Bagi Thian Bu, ucapan ini tidak mengejutkan. Nama gurunya memang amat terkenal di dunia dan diapun sejak tadi dapat menduga bahwa wanita yang amat menyenangkan hatinya ini tentu dari golongan sesat. Yang membuat dia merasa tidak enak adalah karena dia sendiri belum mengenal siapa adanya wanita ini, walaupun telah menjadi kekasihnya. Sejak tadi dia menduga-duga siapa gerangan wanita muda yang selain cantik, juga memiliki ilmu silat yang amat tinggi ini.

"Benar, sayang. Dan engkau sendiri? Ilmu silatmu begitu hebat..."

"Nanti dulu. Aku mendengar bahwa gurumu itu tewas di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong dan isterinya. Benarkah?"

Thian Bu mengangguk, tidak mengerti apa maksud wanita ini bertanya tentang hal itu.

"Apakah engkau tidak menaruh dendam atas kematian gurumu itu?" Sepasang mata yang jeli namun genit itu memandang penuh selidik.

Thian Bu cukup cerdik untuk bersikap hati-hati. Kini dia mulai dapat menduga bahwa tentu wanita ini mempunyai hubungan dekat dengan Raja Iblis, maka diapun menggeleng kepala.

"Mendiang suhu tewas karena dia menentang Toan Ong-ya, dan itu merupakan kesalahannya sendiri. Dia tidak tahu diri dan tidak mau menerima kehadiran orang yang jauh lebih kuat. Aku sendiri bahkan ingin membantu Toan Ong-ya, akan tetapi aku takut untuk menghadap karena tentu aku akan dicurigai sebagai murid mendiang suhu yang tewas di tangan beliau."

Giranglah hati Siang Hwa mendengar ini. Ia lalu merangkul dan mencium orang muda itu.

"Kekasihku, jangan khawatir. Ada aku disini yang akan menanggungmu bahwa engkau pasti akan diterima dengan hati girang oleh Toan Ong-ya."

"Engkau? Mengapa bisa begitu?"

"Karena aku adalah satu diantara muridnya yang paling dipercaya dan dikasihi."

"Ahh...!" Thian Bu benar-benar terkejut akan tetapi juga girang bahwa dia telah berhasil memikat hati murid terkasih Raja Iblis! "Pantas saja ilmu silatmu begitu hebat. Aku akan senang sekali kalau dapat membantu gurumu, yang berarti akan membantumu dan akan selalu berada di sampingmu."

"Jangan khawatir, mari kita pergi dan mulai saat ini, engkau tidak akan terpisah dariku."

Demikianlah, sejak saat itu, Sim Thian Bu menjadi pembantu Siang Hwa yang paling boleh diandalkan, di samping juga menjadi kekasihnya yang melayaninya setiap saat ia menghendaki. Bahkan ketika dihadapkan kepada Raja dan Ratu Iblis, suhu dan subonya itupun menerima Thian Bu dengan girang.

Dan dalam penyerbuan terhadap para pendekar di dalam benteng Jeng-hwa-pang itu Thian Bu juga berada di samping Siang Hwa, membantu dan ikut menyerbu.

Kita kembali ke dalam bekas benteng Jeng-hwa-pang. Penyerbuan yang terjadi secara mendadak itu tentu saja amat mengejutkan dan membuat panik para pendekar. Namun, mereka adalah pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak mau menyerah begitu saja.

Begitu pasukan itu menyerbu masuk, mereka melakukan perlawanan dengan gigih. Dan karena rata-rata para pendekar memiliki ilmu silat tinggi, sebentar saja tempat itu penuh dengan tubuh anak buah pasukan yang berserakan dan tumpang tindih. Akan tetapi, jumlah pasukan itu jauh lebih besar dan diantara mereka terdapat pula orang-orang pandai Cap-sha-kui, juga Siang Hwa dan Thian Bu. Oleh karena itu, para pendekar terdesak dan banyak pula diantara mereka yang roboh setelah terlebih dahulu merobohkan beberapa orang perajurit. Para pendekar terhimpit dan cerai berai, dan terpaksa mencari jalan keluar berdarah untuk menyelamatkan diri.

Akhirnya, hanya tokoh-tokoh besar yang memiliki kepandaian tinggi saja diantara para pendekar yang mampu meloloskan diri. Sedikitnya lima puluh orang pendekar tewas di dalam pertempuran itu dan selebihnya lolos. Akan tetapi, mayat-mayat anak buah pasukan pemberontak yang berserakan tewas di situ tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya!

Biarpun demikian, Siang Hwa merasa girang sekali dan membawa pulang pasukan ke San-hai-koan dengan gembira dan merasa telah memperoleh hasil baik membasmi sebagian para pendekar yang menjadi musuh besar gurunya dan golongannya. Dan di San-hai-koan mereka disambut dengan girang dan pujian.

Dalam kesempatan ini, Siang Hwa menonjolkan jasa Thian Bu sehingga Raja Iblis makin percaya kepada pemuda ini. Bahkan panglima pemberontak Ji Sun Ki juga mempercayakan seribu orang perajurit untuk dipimpin oleh Sim Thian Bu untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun di sekitar San-hai-koan untuk memperluas dan memperkuat kedudukan mereka di samping merampok bahan-bahan makanan dan ternak untuk ransum.

**** 157 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: