*

*

Ads

Rabu, 21 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 156

Pertemuan yang dinanti-nantikan dengan hati tegang oleh para pendekar itupun tibalah. Malam bulan purnama dan mengambil tempat di bekas benteng Jeng-hwa-pang yang sudah rusak dan keadaannya menyeramkan karena tidak pernah ditinggali manusia.

Malam itu, tidak kurang dari seratus orang pendekar dari berbagai aliran berkumpul di tempat itu. Tentu saja tidak semua aliran mengirim wakilnya karena tidak semua pendekar berjiwa patriot. Bahkan banyak sekali para pendekar di dunia kang-ouw yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan pemerintahan dan pemberontakan. Mereka lebih suka bekerja secara bebas, menghadapi kejahatan perorangan dan tidak suka terikat dalam suatu kelompok.

Akan tetapi yang hadir pada malam hari itu telah mewakili sebagian besar dari para perguruan silat dan cabang persilatan. Hal ini adalah karena sebagian besar dari para pendekar merasa perlu untuk menghadiri pertemuan. Pemberontakan yang terjadi sekarang ini bukan sekedar pemberontakan dari golongan yang tidak puas terhadap golongan lain yang berkuasa, bukan sekedar perebutan kedudukan belaka. Akan tetapi yang memberontak adalah kaum sesat yang menjadi musuh besar mereka di sepanjang masa.

Raja Iblis sendiri, dibantu oleh Cap-sha-kui, mengumpulkan para datuk sesat untuk merampas kedudukan dan menggulingkan pemerintah. Kalau sampai mereka berhasil, kalau sampai pemerintah dipegang oleh kaum sesat, berarti dunia para pendekar akan hancur! Jadi, pemberontakan kaum sesat itu bukan hanya mengancam para penguasa yang sekarang menduduki kekuasaan, melainkan juga mengancam kehidupan para pendekar sendiri.

Di pekarangan bangunan-bangunan rusak yang amat luas, yang kini menjadi padang rumput karena tidak terpelihara, para pendekar berkumpul dan membentuk sebuah lingkaran lebar. Di dalam lingkaran itu dinyalakan api unggun besar. Mereka bekerja bergotong-royong tanpa adanya suatu pimpinan karena memang mereka itu datang untuk berunding, mendengar berita dari mulut ke mulut, dan diantara mereka tidak terdapat golongan pimpinan.

Hanya dengan sendirinya mereka semua menganggap para locianpwe yang hadir sebagai pimpinan, bukan hanya karena usia mereka yang lebih tua, melainkan juga karena kedudukan mereka dalam tingkat kepandaian. Diantara para tokoh tua dari berbagai cabang persilatan seperti dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai dan Kun-lun-pai yang hadir, terdapat pula empat orang tokoh tua yang dianggap sebagai tokoh-tokoh bertingkat tinggi oleh mereka, walaupun sebagian dari para pendekar tidak pernah mengenal mereka.

Hanya kaum tua yang mewakili partai-partai besar itu saja yang mengenal empat orang ini dan memperkenalkan mereka dengan sikap hormat kepada para pendekar. Mereka ini adalah Ciu-sian Lo-kai, Go-bi San-jin, Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin. Guru Ci Kang, Go-bi San-jin menjadi guru Cia Sun.

Seperti telah kita ketahui, Ciu-sian Lo-kai adalah Wu-yi Lo-jin menjadi guru Sui Cin sedangkan Siang-kiang Lo-jin menjadi guru Hui Song. Dan mereka berempat ini bukanlah asing satu sama lain. Puluhan tahun yang lalu mereka merupakan empat diantara tokoh penting di dunia persilatan yang telah dikalahkan dan ditaklukkan oleh Raja Iblis dan mereka mengundurkan diri dari dunia ramai untuk bertapa dan memperdalam ilmu.

Dua orang diantara mereka sudah meninggal dunia dalam pertapaan mereka dan empat orang kakek inipun tadinya sudah mengambil keputusan untuk mengasingkan diri dan tidak mencampuri urusan duniawi sampai mati. Akan tetapi, kini mereka semua terpaksa bangkit dan turun tangan ketika mendengar betapa Raja Iblis telah muncul kembali ke dunia ramai, bahkan merencanakan pemberontakan setelah berhasil menguasai para datuk golongan hitam.

Dan sepertli kita ketahui, mereka telah mengambil murid pilihan masing-masing yang memang sengaja mereka gembleng dan mereka wariskan ilmu-ilmu mereka kepada murid-murid itu untuk kelak dapat dipergunakan menghadapi Raja Iblis.

Pernah terjadi kelucuan di antara Ciu-sian Lo-kai dan Wu-yi Lo-jin, puluhan tahun yang lalu. Karena keduanya tukang minum arak, dan keduanya selalu membawa guci arak, ketika saling bertemu terjadi keributan diantara mereka, yaitu saling memperebutkan julukan Ciu-sian (Dewa Arak).

Untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai julukan Dewa Arak, keduanya bertanding, bukan bertanding silat, melainkan bertanding minum arak dengan sewajarnya tanpa mempergunakan akal dan ilmu sin-kang. Dalam pertandingan ini, akhirnya Wu-yi Lo-jin menyerah kalah setelah mereka berdua menghabiskan belasan guci besar arak yang kiranya cukup untuk menjamu dua ratus orang!

Dan mulai saat itu kakek berpakaian jembel berhak memakai julukan Ciu-sian Lo-kai, sedangkan kakek yang selalu berpakaian mewah memakai julukan Wu-yi Lo-jin, biarpun julukan Ciu-sian atau Dewa Arak masih menempel secara tidak resmi pada dirinya.

Pertemuan antara empat orang kakek itu menggembirakan mereka dan mereka merasa muda kembali dan penuh semangat perjuangan. Mereka berempat ini dan beberapa orang kakek tokoh partai-partai persilatan yang besar berada di dalam lingkaran itu, dekat api unggun, dikelilingi oleh para pendekar berbagai aliran.






Tanpa pemilihan dan tanpa diumumkan, empat orang ini dipandang sebagai pimpinan, apalagi karena mereka berempat itulah yang sudah mengenal Raja Iblis dan kesaktiannya yang amat tersohor dan menggemparkan dunia persilatan.

Wu-yi Lo-jin yang usianya sudah amat lanjut, delapan puluh tahun lebih, masih nampak sehat dan gembira. Kepalanya gundul botak, alis, kumis, jenggot dan sedikit rambut yang tersisa di belakang kepalanya sudah putih semua. Jenggotnya putih panjang sampai ke perut. Pakaiannya berkembang-kembang, dari kain yang baru dan indah. Beberapa kali dia minum arak dari gucinya yang besar tanpa menawarkan kepada orang lain. Kini nampak dia menggerakkan tangan kiri ke atas dan berkata,

"Matipun aku tidak akan dapat memejamkan mataku kalau Raja Iblis itu belum terbasmi habis sampai ke akar-akarnya!"

"Bicara memang enak dan mudah, akan tetapi pelaksanaannya yang sukar!" Ciu-sian Lo-kai yang selalu mempunyai perasaan bersaing dengan Dewa Arak yang lain itu mencela. "Aku kira menentang Raja Iblis sekarang ini sama artinya dengan menentang puluhan ribu orang perajurit. Dia sudah menguasai San-hai-koan dan sudah bergabung dengan pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Panglima Ji Sun Ki. Mana mungkin kita mengandalkan kaki tangan biasa saja untuk menempuh dan melawan pasukan yang terdiri dari laksaan orang? Kita harus mencari cara yang lebih tepat."

"Benar, memang sekarang ini, dengan jumlah kita yang hanya seratus orang lebih, kiranya tidak mungkin melawan laksaan orang perajurit. Tadinya kita bermaksud untuk menentang Raja Iblis dengan antek-anteknya yang tentu jumlahnya tidaklah terlalu besar bagi kita. Hui Song, muridku, telah kusuruh melakukan penyelidikan diantara para kepala suku karena di sanapun teriadi pergerakan-pergerakan. Hui Song, coba kau ceritakan semua yang kau ketahui," kata Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas kepada pemuda itu.

Dewa Kipas ini masih tetap gendut sekali perutnya, kepalanya botak, dengan rambut sedikit saja di belakang kepala. Jubahnya, seperti biasa, tidak dapat tertutup saking besar perutnya dan juga karena memang tidak suka hawa panas. Kipasnya yang lebar itu kini berkembang dan digerak-gerakkan ke arah perutnya. Kakek berusia tujuh puluh tahun lebih inipun masih nampak sehat.

Hui Song lalu bangkit berdiri diantara mereka yang duduk membentuk lingkaran dan semua mata ditujukan kepadanya. Dia lalu menceritakan tentang segala yang dialaminya, mulai dari jatuhnya kota San-hai-koan sampai kepada para kepala suku yang mengadakan pertemuan dan pemilihan pimpinan.

"Para kepala suku liar itu sudah mengambil keputusan untuk mempergunakan kesempatan dengan adanya pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan untuk membonceng keadaan dan mulai gerakan mereka ke selatan untuk menghidupkan kembali kekuasaan bangsa utara. Pertama-tama mereka akan menyerang para pemberontak dan mengambil alih kota-kota yang sudah diduduki oleh para pemberontak, menyusun kekuatan dan bergerak terus ke selatan." Demikian dia mengakhiri ceritanya.

Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Ah, kalau begitu, sama dengan kita melibatkan diri ke dalam urusan pemerintah dan pemberontakan. Padahal, bukan demikian maksud kita semula. Kita hanya bergerak untuk menentang Raja Iblis," kata Go-bi San-jin, kakek berjubah pendeta, jubahnya bersih dan baru, mukanya hitam dan matanya lebar menambah kegagahan kakek berusia tujuh puluh tahun yang tubuhnya tinggi besar ini. "Kalau saja kita bisa menyerbu Raja Iblis dan antek-anteknya selagi mereka itu berada di tempat persembunyian Raja Iblis, tentu kita tidak perlu berurusan dengan pasukan pemerintah maupun pasukan pemberontak. Muridku telah berhasil menemukan tempat persembunyian Raja Iblis itu. Cia Sun, ceritakan pengalamanmu."

Cia Sun bangkit berdiri dan dia bercerita tentang gedung kuno di lereng bukit yang merupakan tempat persembunyian dan pertapaan Raja dan Ratu Iblis.

"Akan tetapi, kiranya akan sukar menemukan mereka di tempat itu," katanya sebagai penutup penuturannya. "Setelah kota San-hai-koan mereka rampas, tentu Raja Iblis dan para kaum sesat itu ikut memasuki kota untuk mempertahankan kota itu."

"Biarpun demikian," bantah Go-bi San-jin, "kalau sampai pasukan pemberontak itu dipukul hancur, tentu tempat itu menjadi tempat pelarian Raja Iblis dan Cap-sha-kui. Nah, kalau mereka sudah lari kesana, barulah kita dapat menyergap dan menyerang mereka tanpa adanya campur tangan pasukan."

"Semua itu tidak penting," Wu-yi Lo-jin berkata, "yang penting sekarang adalah bagaimana kita akan bertindak selanjutnya. Sayang bahwa muridku belum datang memberi laporan."

Tiba-tiba Hui Song bangkit berdiri dan berkata,
"Locianpwe, saya telah bertemu dengan nona Ceng Sui Cin. Ia kini membantu nenek Yelu Kim yang telah diangkat menjadi pemimpin para kepala suku. Ia berpendapat bahwa untuk menentang Raja Iblis yang sudah bergabung dengan pasukan pemberontak, harus dilakukan dengan menggunakan pasukan pula. Karena itu, ia akan membantu para suku liar kalau mereka menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutu Raja Iblis."

"Bagus sekali!" Wu-yi Lo-jin berkata girang. "Ah, muridku memang cerdik. Melihat keadaannya sekarang, tidak ada lain jalan bagi kita untuk menentang Raja Iblis kecuali dengan jalan membantu pasukan-pasukan yang menggempur pasukan pemberontak yang menjadi sekutunya itu. Kita harus berpencar, dan masing-masing mengambil jalan dan cara sendiri, baik secara perseorangan maupun bergabung dan membantu pasukan pemerintah atau pasukan mana saja yang menentang Raja Iblis dan sekutunya."

Semua orang merasa setuju dengan usul ini. Memang kebanyakan para pendekar lebih suka bekerja sendiri-sendiri secara bebas, tidak ditentukan oleh siasat suatu pimpinan, walaupun tujuan dari gerakan mereka mempunyai arah yang sama dan tertentu, yakni menentang kekuasaan Raja Iblis.

Maka, mendengar ucapan para tokoh tua itu, mereka menerimanya dengan gembira. Hanya Ciu-sian Lo-kai seorang yang tidak kelihatan gembira. Kemuraman tipis menyelubungi wajahnya yang biasanya gembira itu. Dia merasa kecewa karena muridnya, Siangkoan Ci Kang, tidak muncul dalam pertemuan itu. Akan tetapi, dia tidak mau memperlihatkan kekecewaannya ini dan dia hanya menggunakan pandang matanya untuk melihat-lihat ke sekeliling tempat itu dengan harapan kemunculan Ci Kang yang amat dlharapkannya.

Tiba-tiba sepasang matanya mengeluarkan sinar, bukan karena melihat Ci Kang, melainkan karena dia melihat gerakan orang-orang di luar tembok bekas benteng itu dan sebagai seorang pendekar yang banyak pengalaman, gerakan orang-orang ini dapat ia duga apa artinya.

Kakek ini tiba-tiba meloncat ke depan dan menginjak-injak api unggun sambil berseru,
"Semua berpencar! Kita dikepung!"

Mendengar ini dan melihat sepak terjang Ciu-sian Lo-kai, semua orang terkejut. Para tokoh tua yang melihat betapa orang seperti Ciu-sian Lo-kai nampak gugup dan tegang, mengerti bahwa tentu keadaannya gawat, maka merekapun cepat turun tangan membantu memadamkan api unggun.

"Berpencar dan bersembunyi!" teriak Go-bi San-jin.

"Lihat dulu siapa mereka! Kalau pasukan sekutu Raja Iblis, kita lawan mati-matian!" kata pula Wu-yi Lo-jin.

"Buka jalan darah dan usaha menyelamatkan diri masing-masing!" teriak Siang-kiang Lo-jin yang maklum bahwa kalau pasukan yang datang dalam jumlah yang amat banyak, melawanpun tidak akan menguntungkan.

Tiba-tiba terdengar bunyi terompet disusul derap kaki banyak orang dan benar saja, tempat itu telah dikepung oleh sedikitnya seribu orang perajurit yang kini menyerbu ke dalam benteng kuno itu sambil bersorak-sorak.

Dengan senjata golok atau pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri, pasukan itu menyerbu ke dalam benteng, dipimpin oleh beberapa orang yang amat lihai gerakannya. Tentu saja para pendekar yang sudah siap itu lalu menyambut dengan perlawanan mati-matian dan terjadilah pertempuran yang amat seru dan hebat di dalam pekarangan luas itu, dalam cuaca yang remang-remang karena hanya disinari bulan purnama.

Pasukan yang menyerbu itu dipimpin oleh Gui Siang Hwa, lalu nampak orang-orang yang aneh pakaiannya dan perawakannya, namun mereka ini memiliki gerakan yang amat lihai. Mereka ini adalah orang-orang Cap-sha-kui dan para datuk sesat lain.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: