*

*

Ads

Selasa, 20 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 155

Raja iblis menjadi marah sekali. Tongkat Suci Sakti itu mereka hina! Padahal, melihat tongkat itu saja banyak tokoh persilatan gemetar dan berlutut.

"Bagus, kalau begitu kalian adalah calon-calon bangkai!"

Raja Iblis menyerbu ke depan, menggunakan tongkat itu dan secepat kilat tongkat itu sudah melakukan dua kali pukulan ke arah pria dan wanita itu secara bertubi, bahkan diikuti oleh cengkeraman tangan kirinya yang tidak kalah berbahaya.

Pria dan wanita itupun bukan orang sembarangan. Sekali gerakan saja mereka sudah maklum akan kelihaian kakek yang mukanya seperti kedok mayat itu, dan mereka tahu akan bahayanya tongkat yang dinamakan Tongkat Suci Sakti itu. Maka keduanya cepat mengelak dengan gerakan yang indah dan cepat sehingga semua serangan kakek itu mengenai tempat kosong.

Wanita itu meloncat untuk menghindar dan ketika ia membalikkan tubuhnya, kedua tangannya sudah memegang sepasang pedang berwarna hitam dan ketika dicabut, nampak dua sinar hitam berguung-gulung.

"Awas, tongkatnya itu beracun!" kata si wanita kepada pria yang hanya tersenyum saja.

"Orangnya busuk, bagaimana tongkatnya tidak akan beracun?" Pria itu malah mengejek.

Raja Iblis semakin marah. Tongkatnya menyambar ganas ke arah kepala wanita itu. Wanita setengah tua cantik itu bersikap tenang. Sepasang pedang hitamnya membuat gerakan menangkis dan menggunting, menyambut tongkat.

"Trakk!"

Tongkat itu terjepit sepasang pedang hitam. Pada saat itu, tangan kiri Raja Iblis melayang, menampar kepala lawan.

"Singgg...!"

Pedang kanan melesat dari tongkat menyambut tangan! Raja Iblis kaget, tak mengira wanita itu memiliki gerakan sedemikian cepat dan lihainya. Dia tidak berani mengadu lengannya dengan pedang hitam, menarik tangan dan langsung tangan itu mendorong ke depan. Serangkum hawa panas dan kuat sekali menyambar.

"Ihhh!"

Wanita itu berseru kaget dan cepat meloncat ke belakang. Ketika Raja Iblis hendak mendesak, suami wanita itu sudah menghadapinya dan menghalanginya mendesak isterinya.

"Hemm, engkau lihai juga," kata pria itu. Orang yang mampu mengejutkan isterinya dalam segebrakan saja sungguh jarang terdapat. "Siapakah engkau?"

Akan tetapi Raja Iblis tidak menjawab melainkan menubruk dengan serangan tongkatnya yang menyambar dengan totokan ke arah dahi diantara mata lawan. Pria itu cepat mengelak dengan kepala ditundukkan dan ketika tongkat itu melanjutkan gerakannya menyambar ke arah tengkuknya, dia mengangkat tangan kiri menangkis sambil mengerahkan tenaga sin-kang untuk melindungi kulit lengannya kalau-kalau tongkat itu benar mengandung racun seperti yang tadi diperingatkan oleh isterinya. Dalam hal racun, isterinya memang jauh lebih ahli daripada dia. Akan tetapi dia tidak takut terhadap racun.

"Plakkk!"

Dan kembali keduanya terkejut. Pria itu merasa betapa lengannya tergetar dan dia tahu pula bahwa tongkat itu memang dilumuri atau direndam racun. Sebaliknya Raja Iblis merasa tangannya yang memegang tongkat bertemu dengan tenaga yang dahsyat sekali. Jarang dia bertemu tanding sehebat ini tenaganya. Apalagi melihat betapa lawan itu sama sekali tidak terpengaruh oleh racun pada tongkatnya.

Sejak tongkatnya terampas oleh kelicikan Sui Cin dahulu itu, dia merendam tongkat saktinya dengan racun yang amat jahat agar siapapun yang akan merampas tongkatnya menjadi keracunan, dan juga setelah direndam racun, tongkat itu selain merupakan benda pusaka untuk menundukkan tokoh-tokoh dunia persilatan, juga dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Akan tetapi lawan ini sedemikian lihainya sehingga sin-kangnya mampu menolak hawa beracun yang amat kuat dari tongkatnya.

Maklum akan kehebatan lawan, begitu tongkat tertangkis, Raja Iblis secara tiba-tiba dan cepat sekali menggerakkan tangan kirinya dan sebelum pria itu mengelak atau menangkis, tangan kirinya telah menghantam punggung lawan. Hebat dan cepat sekali tamparan telapak tangan kiri Raja Iblis ini, sama sekali tidak tersangka-sangka dan agaknya pria itupun tidak sempat pula mengelak.

"Plakk...!"

Tiba-tiba sepasang mata Raja iblis terbelalak dan nampak dia menarik kembali tangan kirinya, akan tetapi tangannya itu telah melekat pada punggung lawan. Baru dia tahu bahwa lawannya memang sengaja tidak mengelak dan memang menerima tamparannya tadi.






"Thi-khi-i-beng...!"

Raja Iblis berseru dan secepat kilat tongkatnya menyambar ke arah mata lawan. Pria itu terpaksa mundur dan Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya. Agaknya dia tahu pula bagaimana cara menghadapi Ilmu Thi-khi-i-beng. Setelah Raja Iblis menyimpan tenaga saktinya, tangannya yang tadi melekat pada punggung lawan terlepas dengan mudah dan diapun meloncat jauh ke belakang.

"Kau... Pendekar Sadis?" tanyanya, lalu menoleh ke arah wanita cantik.

"Dan kau... yang dulu berjuluk Lam-sin, kau puteri Pangeran Toan Su Ong?"

Kini tahulah pria dan wanita itu dengan siapa mereka berhadapan dan keduanya nampak terkejut bukan main.

"Aha! Kiranya engkau yang terkenal dengan julukan Raja Iblis yang tersohor itu?" kata Ceng Thian Sin Si Pendekar Sadis.

Isterinya, Toan Kim Hong, berkata,
"Inikah Pangeran Toan Jit Ong yang kabarnya memberontak terhadap pemerintah itu?"

"Hemm, kalau engkau puteri Toan Su Ong, berarti engkau adalah keponakanku sendiri! Keponakan dan mantu keponakan. Tidak lekas memberi hormat kepada pamanmu?"

"Biar paman, biar siapapun, kalau jahat adalah musuh kami!" kata Toan Kim Hong dengan suara garang.

Raja Iblis Toan Jit Ong adalah seorang yang amat cerdik. Dia tidak takut menghadapi dan melawan Pendekar Sadis dan isterinya, akan tetapi diapun tahu bahwa tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan suami isteri perkasa ini. Apalagi ada Siangkoan Ci Kang disitu dan pemuda inipun tidak dapat dipandang ringan. Belum lagi puterinya sendiri yang malah membantu musuh! Kalau dia nekat melawan mereka berempat dan kalah atau mati sekalipun tidak takut, akan tetapi namanya akan jatuh dan pula, bagaimana dengan rencana besarnya?

Raja Iblis menarik napas panjang.
"Sudahlah, mengingat hubungan darah, biar aku memandang arwah kakanda Toan Su Ong untuk mengampuni kalian berdua. Inilah anakku. Kemarilah, nak. Mereka ini adalah encimu sendiri dan kakak iparmu."

Dengan lagak kebapakan dia menghampiri Hui Cu seperti hendak memperkenalkan mereka. Hui Cu yang masih hijau itu tentu saja menjadi lengah melihat sikap kakek yang menjadi ayah kandungnya itu. Dengan mudah sekali Raja Iblis dapat menangkap lengan kanan anaknya dan tiba-tiba kakek itu sudah menotoknya dan memanggulnya lalu meloncat jauh, melarikan diri. Melihat ini, Ci Kang meloncat dan hendak mengejar.

"Lepaskan ia!" bentaknya marah.

Akan tetapi, suami isteri pendekar dari Pulau Teratai Merah itu tahu-tahu telah menghadangnya.

"Mengejar dia sama dengan bunuh diri!" kata Pendekar Sadis.

"Gadis itu dibawa pergi ayah kandungnya sendiri, mencampurinya adalah suatu kebodohan!" kata pula Toan Kim Hong.

Ci Kang maklum bahwa suami isteri ini mencegahnya untuk melakukan pengejaran dengan maksud menghindarkannya dari bahaya maut dan diapun sadar akan kebodohannya. Pula, Raja Iblis itu telah cepat menghilang dan dia sendiri tidak begitu mengenal daerah ini maka melakukan pengejaran selain tak mungkin, juga benar-benar sama dengan membunuh diri.

Baru menghadapi Raja Iblis seorang diri saja dia sudah kalah, apalagi kalau raja sesat itu muncul bersama kaki tangannya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, tidak mungkin dia dapat mendiamkan saja Hui Cu dibawa ayahnya. Gadis itu seperti berada dalam cengkeraman harimau. Lebih celaka lagi, seperti berada dalam cengkeraman iblis. Harimau takkan membunuh anaknya sendiri, akan tetapi Raja Iblis itu hendak memaksa Hui Cu menjadi isterinya, atau akan dibunuhnya.

Kini setelah Raja Iblis pergi, Ci Kang dapat mencurahkan perhatiannya kepada suami isteri itu. Dia memandang kepada mereka dan merasa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Jadi inikah yang terkenal dengan julukan Pendekar Sadis itu? Ayah dan ibu Sui Cin, gadis yang dicintanya. Dan mereka ini demikian gagah perkasa, demikian anggun dan berpakaian indah. Sepasang pendekar yang berilmu tinggi, yang dapat membuat datuk sesat seperti Raja Iblis melarikan diri.

Sepasang pendekar perkasa yang agaknya kaya raya pula. Sedangkan dia? Dia hanya seorang yatim piatu, dan lebih lagi, anak seorang datuk sesat yang buta. Dibandingkan dengan Sui Cin dan keluarganya, dia tidak lebih pantas menjadi seorang pelayan atau pegawai mereka saja. Akan tetapi dia teringat bahwa kemunculan dua orang ini tadi telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut. Kalau tidak ada mereka ini, tentu dia sudah tewas di tangan Raja Iblis, maka diapun cepat menjura dengan sikap menghormat.

"Ji-wi locianpwe telah menyelamatkan nyawa saya. Saya menghaturkan terima kasih."

Suami isteri itu memandang dengan wajah berseri. Mereka merasa suka kepada pemuda gagah yang berani melawan Raja Iblis dan membela gadis itu. Mereka menduga bahwa tentu pemuda ini kekasih gadis itu, atau setidaknya mencinta gadis itu dan mungkin Raja Iblis tidak merestui hubungan mereka. Akan tetapi semua itu bukan urusan mereka.

"Orang muda, engkau gagah dan agaknya tidak akan mudah dapat dirobohkan oleh Raja Iblis itu. Tidak perlu berterima kasih karena kebetulan saja kita berjumpa disini dan setiap orang gagah memang wajib menentang iblis jahat seperti Raja Iblis itu. Nah, selamat berpisah," kata Ceng Thian Sin dengan ramah. Bersama isterinya dia membalikkan tubuhnya hendak melanjutkan perjalanan mereka.

Kepergian Sui Cin yang amat lama itu menggelisahkan hati suami isteri ini dan mereka seringkali melakukan perjalanan untuk mencari puteri mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin pulang ke Pulau Teratai Merah, ia tidak bertemu dengan ayah bundanya yang sedang pergi mencarinya. Ia meninggalkan surat dan melanjutkan perjalanannya ke utara, sesuai dengan perintah gurunya.

Dan tak lama kemudian, Ceng Thian Sin dan isterinya yang kembali ke pulau itu, menemukan surat puteri mereka. Tentu saja keduanya merasa khawatir sekali mendengar betapa Sui Cin terlibat dalam urusan menentang pemberontakan di utara, hendak menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang untuk menentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Raja Iblis. Karena mengkhawatirkan puteri mereka, suami isteri ini berangkat lagi melakukan pengejaran ke utara.

"Ji-wi, harap perlahan dulu!"

Mendengar suara pemuda itu menahan mereka, Ceng Thian Sin dan isterinya berhenti melangkah dan menengok dengan heran.

"Ada apakah, orang muda?" Pendekar Sadis bertanya.

"Kalau tadi saya tidak salah dengar, locianpwe berjuluk Pendekar Sadis. Apakah locianpwe bernama Ceng Thian Sin dan ji-wi adalah ayah bunda dari nona Ceng Sui Cin?"

"Benar, apakah engkau mengenal anakku?"

Toan Kim Hong berseru dengan wajah berseri dan suaranya mengandung kegembiraan. Selama ini mereka berdua sudah mencari-cari akan tetapi belum pernah mendengar tentang puterinya dan tidak dapat menemukan jejaknya. Dan kini, tanpa disangkanya ia mendengar orang bertanya tentang Sui Cin!

"Saya mengenal nona Ceng dengan baik," jawab Ci Kang perlahan.

Ceng Thian Sin memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian. Setelah mendengar bahwa pemuda ini mengenal Sui Cin dan agaknya merupakan sumber berita dimana adanya puterinya itu, tiba-tiba saja pemuda itu menjadi penting baginya.

"Orang muda, sungguh Thian telah menuntun kami untuk bertemu denganmu disini. Siapakah namamu, orang muda?"

"Nama saya Siangkoan Ci Kang."

"Siangkoan...? Jarang mendengar tokoh dengan she Siangkoan di dunia persilatan," kata Pendekar Sadis.

"Bukankah ada seorang datuk yang juga memiliki she Siangkoan, yang terkenal dengan ilmu silatnya yang tinggi?" tiba-tiba Toan Kim Hong berkata.

"Ah, maksudmu Siangkoan Lo-jin? Mana ada hubungannya dengan..."

"Maaf, locianpwe. Siangkoan Lo-jin adalah mendiang ayah saya."

"Ahh...!"

Suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mendengar tentang Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta yang terkenal sebagai seorang datuk kaum sesat yang selain berilmu tinggi, juga amat kejam. Dan mereka juga mendengar berita di dunia kang-ouw selama mereka mencari Sui Cin bahwa Iblis Buta telah tewas di tangan Raja dan Ratu Iblis yang kini merampas kedudukan pemimpin para datuk kaum sesat. Kini merekapun menduga bahwa tentu pemuda ini memusuhi Raja Iblis karena mendendam atas kematian ayahnya. Akan tetapi mengapa pemua ini membela puteri Raja Iblis? Mereka tidak ingin tahu lebih banyak karena hal itu bukan urusan mereka.

"Orang muda, engkau tadi mengatakan mengenal baik anak kami. Dimanakah kini anak kami Sui Cin itu?" Pendekar Sadis bertanya tidak sabar.

"Menurut pengetahuan saya, nona Ceng Sui Cin kini berada bersama para pimpinan suku bangsa di utara ini. Ia telah membantu nenek Yelu Kim yang berhasil meraih kedudukan pemimpin para suku bangsa. Kalau ji-wi dapat bertemu dengan nenek Yelu Kim yang kini menjadi pemimpin besar para kepala suku bangsa di utara, tentu ji-wi akan dapat bertemu pula dengan nona Ceng."

"Apa? Anakku membantu pemimpin para kepala suku liar?" Toan Kim Hong bertanya, matanya terbelalak.

"Orang muda, dimana adanya rombongan nenek Yelu Kim itu sekarang?" Ceng Thian Sin bertanya.

"Tidak begitu jauh dari sini, locianpwe. Di balik bukit tandus di barat itu. Kalau tidak salah, para kepala suku masih berada disana bersama rombongan masing-masing."

"Terima kasih, orang muda. Kami akan mencarinva sekarang juga."

Thian Sin bersama isterinya lalu mengangguk dan meninggalkan Ci Kang yang hanya menjura dengan hormat kepada mereka. Dia tidak berani bicara banyak tentang Sui Cin, tentang hubungannya dengan gadis itu.

Setelah mereka pergi, pemuda itu berdiri termangu-mangu, merasa nelangsa dan kesepian, merasa betapa semakin jauhnya dirinya dari Sui Cin, gadis yang dicintanya itu. Akan tetapi, dia segera teringat kepada Hui Cu dan bangkit semangatnya. Saat ini, yang terpenting adalah menolong Hui Cu dari cengkeraman iblis, dari tangan ayahnya sendiri. Maka diapun cepat pergi dari situ untuk mencari jejak Hui Cu, atau lebih tepat lagi, jejak Raja Iblis.

**** 155 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: