*

*

Ads

Selasa, 20 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 151

Pemuda itu menangis seorang diri! Lucu nampaknya, akan tetapi juga mengharukan melihat seorang pemuda bertubuh tinggi besar, yang gagah perkasa seperti Siangkoan Ci Kang itu menangis!

Akan tetapi, tangis tak terlepas daripada kehidupan setiap orang manusia, karena hidup ini memang merupakan tempat bagi tawa dan tangis untuk bersilih ganti mengisi batin manusia. Tangis merupakan alat pelepas semua ganjalan dalam batin, pelepas semua kedukaan dan kekecewaan. Orang yang tidak dapat menangis, yang tidak memiliki tangis sebagai pelepasan duka, tentu akan terganggu kesehatannya.

Siangkoan Ci Kang adalah seorang pemuda yang sejak kecil hidup dalam lingkungan yang keras dan boleh dibilang tidak pernah mengenal tangis. Sejak kecil hampir tidak pernah dia menangis. Segala derita batin diterima dengan gigitan bibir. Namun, hal itu bukan berarti dia tidak pernah menangis dalam batinnya. Hanya karena kerasnya hati maka tangis tidak sampai tersalur keluar dari mulut.

Akan tetapi sekarang, menghadapi pengalaman yang bertubi-tubi yang amat menyakitkan hatinya, setelah berada seorang diri di tempat sunyi itu, Ci Kang tidak kuasa lagi membendung air matanya dan diapun menangis tersedu-sedu sembil berlutut di atas tanah dan menutupi muka dengan kedua tangannya!

Dan begitu air matanya mengucur, bagaikan air yang sudah lama terbendung dan sudah terlalu penuh, tangisnyapun menjadi-jadi. Terbayanglah segala pengalaman yang menyedihkan dan mengecewakan hatinya dan diapun membiarkan semua rasa duka itu mengalir keluar melalui air matanya.

Tangis timbul dari perasaan-perasaan hati yang dilanda iba diri. Dan, iba diri ini timbul dari kekecewaan dan kedukaan. Semua ini muncul dari pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan semua pengalaman pahit, semua pengalaman yang mengecewakan dan tidak menyenangkan hati.

Pikiran mengunyah-ngunyah kembali semua hal busuk yang mengecewakan diri, dan hal ini menimbulkan rasa iba diri. Pikiran yang mengenang-ngenang hal-hal yang mengecewakan dan tidak menyenangkan itu seolah-olah berobah menjadi tangan yang mencengkeram dan meremas-remas hati sendiri sehingga air matapun bercucuran keluar. Kalau sudah begitu, kesadaran akan kenyataanpun menjadi kabur dan pikiran yang menguasai perasaan itupun membayangkan bahwa dirinya merupakan orang yang paling sengsara, paling menderita di dalam dunia ini.

Dengan demikian nampaklah dengan jelas bahwa duka timbul karena pikiran yang mengunyah-ngunyah semua pengalaman yang dianggap tidak menyenangkan. Andaikata pikiran tidak mengenang-ngenang kembali semua yang telah terjadi itu, adakah duka? Hal ini hanya dapat kita ketahui dengan mempelajari diri sendiri dan mengamati diri sendiri. Tidak akan ada duka kalau pikiran tidak mengunyah-ngunyah masa lalu, tidak akan ada rasa takut kalau pikiran tidak bermain-main dengan masa lalu dan masa depan.

Segala peristiwa yang terjadi di dunia ini, tentu bersebab. Akan tetapi, pikiran kita yang dipenuhi oleh kesibukan memikirkan masa lalu dan masa depan, membuat kita seringkali tidak dapat melihat bahwa segala macam sebab daripada peristiwa yang menimpa diri kita dapat dipisahkan dari sikap dan perbuatan kita sendiri sebelum peristiwa itu terjadi.

Mungkinkah bagi kita manusia-manusia lemah ini, membiarkan segala macam peristiwa yang menimpa kita lewat begitu saja tanpa meninggalkan bekas sehingga pikiran kita tidak akan mengenang dan mengunyah-ngunyahnya kembali sebagai sesuatu yang menimbulkan duka dalam hati? Dapatkah seluruh perhatian kita tertuju kepada saat ini, saat demi saat, tanpa harus berpaling ke belakang, kepada masa lalu atau menjenguk ke depan, kepada masa yang akan datang?

Terikat kepada masa lalu adalah duka, terikat kepada masa depan menimbulkan takut. Hidup adalah saat ini sepenuhnya! Alangkah indahnya, alangkah bahagianya! Bukan berarti tidak perduli, bukan berarti masa bodoh melainkan justeru waspada karena bukankah hidup adalah SEKARANG INI? Sekarang ini, saat demi saat, adalah hidup. Masa lalu telah lewat, telah mati. Masa depan hanya khayal, belum ada.

Ketika menangis amat sedihnya itu, pikiran Ci Kang penuh dengan kenangan-kenangan yang mengecewakan hatinya. Teringat dia akan semua nasibnya, sejak dia dimusuhi ayahnya sendiri sehingga hampir dia dibunuh oleh ayahnya. Betapa dia senang menentang kejahatan, yang dilakukan oleh ayahnya dan kawan-kawan ayahnya akan tetapi hal ini membuat dia dibenci oleh golongan sesat.

Kemudian, dalam usahanya menjadi orang baik, menggabungkan diri dalam golongan pendekar, dia tidak dipercaya, bahkan dimusuhi oleh para pendekar, dianggap sebagai putera datuk sesat yang tentu jahat pula. Dan berita tentang kematian ayahnya di tangan Raja Iblis. Walaupun dia merasa bangga bahwa pada saat terakhir hidupnya, ayahnya menentang raja datuk sesat itu, bahkan mengorbankan nyawa, akan tetapi tetap saja kenangan akan ayah kandungnya yang tidak pernah akrab dengannya itu menghancurkan perasaannya pula.

Kemudian sekali, pengalaman yang baru-baru ini dia alami bersama Sui Cin! Dia tahu benar bahwa semenjak pertemuannya pertama dengan gadis pendekar itu, ketika dia menolong Sui Cin dari ancaman tangan kotor Sim Thian Bu, dia sudah merasa kagum dan tertarik sekali, bahkan dalam pertemuannya tadi, ketika dia diobati gadis itu, dia merasakan benar betapa dia telah jatuh cinta sejak dahulu kepada nona itu!

Dan teringatlah dia akan ulahnya kepada Sui Cin. Gadis itu mengobatinya, merawatnya, menyuapkan nasi ke mulutnya! Bukan main kenyataan ini! Akan tetapi apa yang dilakukannya tadi? Dia telah membalas kebaikan hati gadis itu dengan perbuatan yang tidak senonoh! Dia telah menghina gadis itu! Makin dibayangkan perbuatannya tadi, makin hancurlah hatinya dan dia merintih-rintih.

"Ya Tuhan... apa yang telah kulakukan tadi...?" Dia mengeluh dan menjatuhkan dirinya di atas tanah, rebah menelungkup sambil menangis!

Batin yang kemasukan satu diantara perasaan girang, susah, takut dan sebagainya akan kehilangan kepekaannya dan biarpun Ci Kang seorang pemuda terlatih yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, namun dalam keadaan menangis dan tenggelam dalam lautan kedukaan itu dia menjadi lengah.

Sama sekali dia tidak tahu ketika ada bayangan orang berkelebat dengan gerakan yang amat cepat dan ringan. Bayangan itu tahu-tahu telah berada dekat sekali dengan Ci Kang dan sekali tangan kanannya bergerak, tubuh Ci Kang mengejang lalu lemas dan tidak mampu bergerak lagi, karena jalan darahnya telah tertotok secara amat lihai!

"Hi-hi-hik, akhirnya engkau jatuh juga ke tanganku, orang sombong!"






Bayangan yang ternyata seorang wanita itu tertawa mengejek dan menggunakan kaki kirinya untuk membalikkan tubuh Ci Kang yang sudah lemas itu sehingga terlentang. Ci Kang yang tiba-tiba saja merasa tubuhnya lemas dan lumpuh melihat wanita itu.

Seorang wanita cantik, bajunya kembang-kembang, perawakannya ramping, pakaiannya sederhana dengan hiasan rambut setangkai kembang. Akan tetapi alis Ci Kang berkerut melihat wanita muda yang cantik ini karena dia mengenalnya sebagai seorang iblis betina yang amat lihai dan berbahaya, juga amat kejam. Gadis ini bukan lain adalah Gui Siang Hwa yang berjuluk Siang-tok Sian-li (Dewi Racun Wangi), murid Raja Iblis!

Tahulah Ci Kang bahwa dia berada dalam ancaman bahaya maut. Iblis ini tentu tidak akan mau melepaskannya, dan dia merasa heran mengapa totokan tadi bukan merupakan serangan maut, karena kalau hal itu dilakukan, tentu kini dia sudah tewas.

Kemudian teringat olehnya akan watak cabul wanita ini yang pernah membujuk rayu padanya. Teringat akan ini, dia maklum bahwa tentu sekarangpun, sebelum membunuhnya, wanita cabul ini akan mengulangi lagi usaha dan bujuk rayunya. Dia merasa sebal dan merasa lebih baik mati, apalagi hatinya sedang berduka seperti itu. Memang kematian lebih baik baginya, sebagai hukuman atas perbuatannya terhadap Sui Cin tadi.

"Iblis betina, engkau telah merobohkan aku dengan curang seperti seorang pengecut. Nah, tidak perlu lagi engkau mengulangi perbuatanmu yang hina dan tak tahu malu, tak perlu lagi engkau merayuku. Kalau engkau memang gagah, bebaskan aku dan kita bertanding sampai mati, atau kalau memang engkau seorang pengecut hina seperti yang kuduga, bunuh saja aku!" katanya sambil memandang dengan mata melotot penuh tantangan.

Akan tetapi, Siang Hwa yang dimaki-maki itu hanya tersenyum mengejek, sama sekali tidak memperlihatkan sikap marah. Dengan lagak genit ia menggunakan telunjuk tangan kirinya mengelus dagu Ci Kang.

"Ehm, tampan! Jangan dikira bahwa hanya engkau saja laki-laki tampan di dunia ini. Kalau engkau menolak melayaniku, masih ratusan orang pria tampan yang siap untuk menyenangkan hatiku. Dan tentang membunuhmu, tentu saja aku akan membunuhmu, akan tetapi jangan mengira engkau akan mati dengan nyaman. Hi-hik, tidak, tampan, karena engkau menyakitkan hatiku dengan penolakanmu, engkau akan mati perlahan-lahan dan dengan sengsara sekali. Aku akan menyayat-nyayat seluruh kulit badanmu sampai penuh darah, dan kutinggalkan engkau disini dalam keadaan seperti itu biar engkau dikeroyok semut dan dipatuk burung-burung sampai engkau mati dengan siksaan hebat. Nah, menarik sekali, bukan?"

Akan tetapi, sebaliknya Ci Kang juga tidak nampak gentar. Dia sudah bertekad untuk menghadapi kematian dengan tabah.

"Perempuan iblis busuk, pengecut jahanam, tak perlu banyak mengeluarkan omongan busuk lagi, bunuhlah kalau mau bunuh, dengan cara apapun juga, aku tidak takut mati!"

Dan Ci Kang lalu memejamkan mata seperti orang yang merasa muak dan hendak tidur, tidak lagi mau memperdulikan gadis itu. Sebetulnya perbuatan ini dilakukan untuk menyembunyikan rasa sesal dan malunya. Dia memaki-maki wanita iblis ini sebagai wanita yang hina dan busuk, wanita yang cabul. Akan tetapi bagaimana dengan dia sendiri? Apa yang telah dilakukannya terhadap Sui Cin hampir tidak ada bedanya dengan kecabulan yang dilakukan wanita ini. Memaksakan hasrat dan gejolak berahi kepada orang lain.

Gui Siang Hwa sudah mengenal watak seorang pendekar muda seperti Ci Kang yang amat keras hati ini. Ia tahu bahwa percuma saja membujuk pemuda ini, baik untuk menjadi kekasihnya atau menjadi pembantu gurunya. Dan orang yang tidak mau bekerja sama berarti musuh, apalagi orang yang memiliki kelihaian seperti pemuda ini. Sungguh bisa berbahaya sekali.

Maka, jalan terbaik adalah membunuhnya! Ia mencabut pedangnya dan siap untuk melaksanakan ancamannya tadi, yaitu merobek-robek kulit tubuh pemuda itu dan membiarkannya tergolek disitu dalam keadaan lumpuh dan penuh luka agar dia mati perlahan-lahan kehabisan darah dan dikeroyok binatang-binatang kecil yang tentu akan tertarik oleh bau darah.

"Hi-hik, lebih dulu aku akan membikin putus otot-otot kaki tanganmu agar setelah bebas dari totokan engkau tidak akan mampu bergerak!" kata Gui Siang Hwa. Pedangnya diangkat ke atas, lalu berkelebat ke arah lutut kiri Ci Kang.

Akan tetapi, tiba-tiba pedang itu berhenti di udara, tertahan oleh sesuatu yang amat kuat. Siang Hwa terkejut sekali dan cepat membalikkan tubuhnya. Ia melihat bahwa pedangnya itu telah terlibat oleh bulu-bulu panjang sebuah kebutan berwarna putih yang gagangnya dipegang oleh seorang gadis remaja yang berdiri sambil memandang kepadanya dengan sepasang mata berapi penuh teguran!

Gadis ini paling banyak delapan belas tahun usianya. Pakaiannya amat sederhana, rambutnyapun dibiarkan riap-riapan ke belakang dan mukanya agak pucat, akan tetapi sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar mencorong!

"Engkau orang jahat!" Gadis ini menegur Siang Hwa dengan suara halus. "Akan membunuh orang begitu saja, orang yang sudah tidak mampu melawan sama sekali. Sungguh jahat!"

Akan tetapi Siang Hwa marah bukan main. Gadis muda ini cukup cantik dan mengingat bahwa Ci Kang selalu menolaknya, kemudian muncul gadis ini yang membela Ci Kang, mudah diduga bahwa tentu gadis ini merupakan kekasih Ci Kang. Ia merasa betapa libatan bulu kebutan itu mengendur, maka iapun lalu menarik pedangnya dan menghadapi gadis itu dengan senyum mengejek. Tentu saja ia memandang rendah gadis bertampang pucat seperti orang berpenyakitan ini.

"Hi-hik, engkau hendak menemaninya mampus? Baik, akan kukirim engkau lebih dulu ke neraka!"

Berkata demikian, pedangnya menyambar ganas ke arah leher gadis itu. Akan tetapi, Siang Hwa kecelik kalau mengira bahwa pedangnya akan mudah merobohkan lawan dengan sekali serang saja. Ia tadi mengeluarkan jurus yang penuh tipuan, pedangnya meluncur menusuk ke arah tenggorokan, akan tetapi sebetulnya pedang itu hanya menggertak saja karena secara tiba-tiba pedang yang meluncur itu berobah arah dan membacok ke bawah, ke arah perut!

Hebatnya, gadis bermuka pucat itu agaknya mengenal gerak serangan ini, karena ia sama sekali tidak melindungi lehernya, melainkan menangkis ke depan dada dengan gagang kebutannya sehingga secara tepat sekali ia menggagalkan serangannya ke arah perut.

"Trangg...!"

Dan Siang Hwa mundur dua langkah dengan kaget karena tangkisan gagang kebutan itu membuat lengannya tergetar, juga gerakan menangkis tadi amat dikenalnya.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: