*

*

Ads

Minggu, 18 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 150

"Jahanam, jangan lari kau!"

Hui Song membentak dan mencari-cari, akan tetapi dia tidak tahu ke jurusan mana Ci Kang melarikan diri dan pada saat itu terdengar suara ribut-ribut karena suara gaduh mereka tadi telah menarik perhatian para penjaga dan kini banyak pengawal Bangsa Khin mulai berdatangan.

"Song-ko, mari kita pergi dari sini!" Sui Cin berkata. Ia telah mengikat baju yang robek dengan saputangan. "Tak perlu dicari lagi!"

Suara Sui Cin ini membuat jantung Hui Song berdebar keras saking girangnya. Sui Cin telah mengenalnya! Ini berarti bahwa gadis itu telah memperoleh kembali ingatannya! Akan tetapi di samping rasa girangnya, dia masih merasa terbakar oleh kemarahan.

"Tidak, aku harus mencarinya sampai dapat dan membunuhnya!" bentaknya marah.

Sui Cin mengerutkan alisnya. Dia sendiri tidak marah kepada Ci Kang, hanya merasa heran. Tidak biasanya Ci Kang bersikap seperti tadi. Dia tidak memperlihatkan sikap kurang ajar, apalagi berani melakukan hal seperti tadi. Bukankah dahulu Ci Kang bahkan telah menentang Sim Thian Bu mati-matian ketika saudara seperguruannya itu hendak memperkosanya?

Akan tetapi, kenapa secara tiba-tiba Ci Kang melakukan hal itu? Dan sikap itu timbul setelah pemuda itu makan nasi dengan akar obat, mula-mula mukanya menjadi merah, juga matanya, dan tubuhnya panas sekali. Apakah tidak ada apa-apa di balik itu? Kini, melihat Hui Song marah-marah dan hendak membunuh Ci Kang tanpa dipertimbangkan lebih dahulu persoalannya, ia merasa tidak senang.

"Kalau begitu carilah sendiri!" Dan Sui Cin lalu membalikkan tubuhnya dan melompat pergi.

"Cin-moi...!"

Hui Song gelagapan melihat gadis itu melarikan diri dan dia cepat mengejar, takut kehilangan bayangan Sui Cin dalam kegelapan malam itu. Sui Cin tidak menjawab dan terus melarikan diri.

Mereka berkejaran dan meninggalkan perkemahan itu, melalui padang pasir yang halus dan sunyi. Bintang-bintang bertaburan di langit, merupakan kumpulan titik-titik terang yang membuat cuaca remang-remang, sejuk dan indah.

Akhirnya, di sebuah lapangan yang penuh batu-batu gunung, Sui Cin berhenti den duduk. Hui Song menyusulnya dan pemuda ini berdiri di depan gadis itu. Mereka saling berpandangan sampai lama tanpa berkata-kata, masing-masing mengatur pernapasan yang agak memburu karena berlari cepat tadi.

"Cin-moi... ah, engkau telah sembuh dan mendapatkan ingatanmu kembali? Girang sekali hatiku. Dan jahanam itu! Siangkoan Ci Kang, sekali waktu aku akan membunuhnya! Akan tetapi mengapa engkau merawatnya, padahal, bukankah siang tadi engkau pula yang merobohkannya? Engkau maju sebagai penunggang harimau itu, bukan? Cin-moi, mengapa engkau berada di daerah ini, bahkan lebih aneh lagi, mengapa engkau menjadi jagoan yang membantu nenek iblis itu?"

Dihujani pertanyaan bertubi-tubi itu, Sui Cin diam saja. Setelah Hui Song selesai dengan pertanyaan-pertanyaannya, barulah ia menjawab,

"Song-ko, ceritaku panjang sekali. Kuharap engkau yang lebih dulu bercerita kepadaku sejak kita berpisah dan mengapa pula engkau dapat berkeliaran di tempat ini?"

Sui Cin masih terguncang batinnya oleh peristiwa dengan Ci Kang tadi, maka ia belum sempat memperoleh kembali kegembiraannya dan bersikap serius. Hal inipun dipengaruhi oleh sikap Hui Song yang agaknya amat membenci Ci Kang, padahal ia sendiri, walaupun sikap Ci Kang tadi amat mengejutkan dan membuatnya amat marah, masih belum merasa bahwa ia membenci pemuda putera datuk sesat itu.

Melihat sikap serius gadis itu, Hui Song juga bersikap tenang dan diapun mencari tempat duduk di depan Sui Cin. Sejenak mereka saling berpandangan kembali dan keduanya merasa seolah-olah mereka tidak pernah berpisah, apalagi saling berpisah sampai tiga tahun lebih.

"Aaihh, betapa cepatnya waktu berkelebat," akhirnya Hui Song berkata. "Ingatkah kau bahwa kita telah saling berpisah selama tiga tahun lebih? Akan tetapi, berhadapan denganmu seperti sekarang ini, aku merasa seolah-olah kita tidak pernah saling berpisah, atau baru kemarin saja."

Sui Cin mengangguk karena memang demikian pula perasaan hatinya.
"Song-ko, ceritakanlah segala pengalamanmu. Aku ingin sekali tahu mengapa engkau dapat bekerja sama dengan murid Raja Iblis di Guha Iblis Neraka itu, dan bagaimana pula sekarang engkau tiba-tiba berada di daerah ini."






"Ceritaku juga panjang, akan tetapi baiklah akan kusingkat saja. Tiga tahun lebih yang lalu, kita saling berpisah. Engkau diajak pergi oleh locianpwe Wu-yi Lo-jin, sedangkan aku pergi mengikuti Siang-kiang Lo-jin untuk mempelajari ilmu. Nah, selama tiga tahun aku belajar ilmu dari suhu Siang-kiang Lo-jin. Setelah tiga tahun, suhu menyuruh aku untuk menghadiri pertemuan para pendekar di bekas benteng Jeng-hwa-pang sehubungan dengan tekad para pendekar untuk menentang gerakan yang dipimpin oleh Raja Iblis.”

“Dalam perjalanan itu aku bertemu dengan iblis betina itu. Ia menipuku, mengaku sebagai pejuang yang menentang Raja Iblis, karena itu aku membantunya mencari harta karun yang tersembunyi di dalam Guha Iblis Neraka itu. Akan tetapi, harta itu telah diambil orang lain lebih dulu yang meninggalkan lencana Harimau Terbang di daerah utara. Dan aku terjebak, tentu telah tewas kalau tidak ada engkau muncul menolongku. Akan tetapi, engkau sendiri malah tertimpa bencana ketika menolongku, terluka kepalamu oleh pukulan batu musuh sehingga engkau kehilangan ingatan, dan bahkan menyerangku. Nah, pertemuan yang hanya sebentar itu berakhir dan kita saling berpisah lagi. Aku lalu menyelidiki ke utara dan aku sempat terlibat dalam pemberontakan yang terjadi di San-hai-koan." Hui Song lalu menceritakan pengalamannya dt kota benteng itu.

"Nah, karena tidak mungkin lagi menyelamatkan San-hai-koan, aku pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, bertemu dengan suhu yang menyuruhku melakukan penyelidikan kepada para suku bangsa disini. Aku bertemu dan berkenalan dengan Lam-nong, kepala suku Mancu Timur dan ikut dengan rombongannya ke tempat pertemuan para suku untuk memilih pimpinan. Aku ingin menyelidiki Yelu Kim yang kabarnya adalah ketua Harimau Terbang, menyelidiki tentang harta karun dan juga tentang pergerakan para suku disini dan aku melihat engkau! Melihat pula Ci Kang, jahanam busuk itu..."

"Sekarang dengarkan pengalamanku." Sui Cin memotong cepat ketika mendengar Hui Song mulai hendak memaki-maki Ci Kang lagi. "Seperti juga engkau, aku mengikuti suhu Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun untuk menerima gemblengan ilmu. Dan akupun disuruh oleh suhu untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Di tengah jalan aku melihat kuil tempat tinggal murid Raja Iblis itu dan kaki tangannya. Aku merasa curiga dan menyelidiki mereka. Aku mendengar percakapan mereka tentang harta pusaka di Guha Iblis Neraka, maka aku melakukan penyelidikan kesana. Aku lalu melihat engkau bersama iblis-iblis itu dan selanjutnya engkau tahu. Aku terluka, kehilangan ingatan. Dalam keadaan seperti itu, aku hampir celaka oleh Kiu-bwe Coa-li. Untung ada saudara Cia Sun yang menolongku. Akan tetapi, pada saat itu juga muncul nenek Yelu Kim yang mengobati aku sampai sembuh sama sekali dari racun yang diberikan oleh Kiu-bwe Coa-li, juga sembuh sama sekali dari kehilangan ingatan. Karena budinya ini, aku lalu diangkat menjadi muridnya dan menjadi pembantunya. Aku berjanji membantunya memperoleh kedudukan pimpinan dalam pemilihan jago dan aku berhasil."

"Akan tetapi, kenapa setelah engkau merobohkan Ci Kang, engkau lalu..."

Sui Cin menggerakkan tangan dengan kesal.
"Dengarkanlah dulu! Engkau tahu bahwa Ci Kang pernah menyelamatkan aku dan pertandingan antara kami itu bukan urusan pribadi. Dan aku telah merobohkannya dengan menggunakan jarum merah beracun. Aku merasa menyesal karena kalau tidak kuobati, dia mungkin akan celaka. Aku akan merasa menyesal bukan main kalau sampai dia mati dalam pertandingan yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pribadi kami itu. Maka, aku lalu mengobatinya. Sungguh tidak kusangka sama sekali dia... dia akan melakukan hal itu..."

"Dasar orang jahat, anak seorang datuk sesat seperti Iblis Buta, mana bisa baik?"

"Aku tidak yakin, Song-ko, perbuatannya itu seperti tidak sewajarnya..."

"Ah, dia itu putera datuk sesat, tentu seorang yang jiwanya sudah kotor. Kalau dahulu dia menolongmu, bukan karena kebaikan hatinya, melainkan karena dia tidak ingin engkau diganggu orang lain itulah!"

"Sudahlah, Song-ko, aku tidak mau bicara lagi soal itu. Anehnya, aku sendiri tidak mendendam atas peristiwa itu dan masih ragu-ragu, akan tetapi kenapa engkau malah ribut-ribut?"

"Kenapa tidak, Cin-moi? Melihat engkau hendak dipaksa, hatiku sudah terbakar dan aku tentu sudah menghancurkan kepalanya kalau saja dia tidak lari. Siapa tidak cemburu melihat itu...?"

"Cemburu...?"

"Cin-moi, masih haruskah kujelaskan lagi? Perlukah kuulangi lagi? Sui Cin, sejak dahulu sampai sekarang aku tetap mencintamu dan sampai saat inipun engkau belum pernah memberi jawaban yang pasti. Sui Cin, aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku dan aku hampir merasa yakin bahwa cintaku tidak bertepuk tangan sebelah, bahwa engkaupun cinta padaku. Cin-moi, jawablah..."

Kini sikap Hui Song yang biasanya gembira jenaka itupun berobah menjadi serius, bahkan di dalam suaranya terdengar nada memelas dan memohon.

Sampai lama Sui Cin menatap wajah pemuda itu. Hatinya diliputi kebimbangan yang membuatnya bingung dan sejenak tidak mampu menjawab. Harus diakuinya bahwa ia merasa amat suka, mungkin mencinta kepada pemuda ini. Hui Song adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, budiman, dan berwatak cocok dengannya, riang jenaka dan gembira. Akan tetapi, iapun tahu bahwa ayah ibunya tidak suka kepada orang tua pemuda ini, dan iapun belum tahu apakah orang tua pemuda ini, ketua Cin-ling-pai, suka pula kepada ayah bundanya. Dan baik ia sendiri maupun Hui Song adalah anak-anak tunggal!

"Cin-moi..."

"Song-ko, maafkan aku. Bagaimana mungkin kita bicara tentang hal itu kalau kita berdua masih sibuk dengan urusan perjuangan yang amat penting? Raja Iblis dan sekutunya telah menduduki kota San-hai-koan, dan kekuatan mereka semakin membahayakan keselamatan negara. Lebih baik kita selesaikan tugas kita lebih dahulu. Setelah urusan ini selesai, barulah kita sempat berpikir tentang urusan pribadi. Kalau saatnya tiba, sudah sepatutnya kalau orang-orang tua kita yang saling berunding tentang hal itu, bukan kita sendiri. Bukankah begitu, Song-ko?"

Wajah Hui Song berobah merah. Dia seperti menerima teguran dan merasa tidak enak sendiri. Orang-orang gagah sedunia sedang sibuk bersiap-siap menanggulangi para datuk yang hendak memberontak, dan dia sendiri ribut-ribut bicara tentang cinta!

"Ah, maafkan aku, Cin-moi. Bukan maksudku melupakan perjuangan, hanya aku ingin sekali tahu dan merasa pasti tentang cinta kita... ah, sudahlah. Engkau benar. Biar nasib kita saja yang menentukan kelak. Kalau sudah selesai perjuangan, kita bicara lagi dan aku tentu akan minta orang tuaku pergi kepada orang tuamu untuk meminang. Nah, sekarang mari kita bicara tentang perjuangan. Bagaimana pendapatmu tentang usaha kita untuk menentang Raja Iblis dan kaki tangannya?"

"Aku tidak tahu, Song-ko. Aku menjadi bingung setelah mendengar bahwa Raja Ibils dan para datuk telah bergabung dengan pasukan pemberontak di San-hai-koan dan bahkan sudah menduduki kota benteng itu. Dengan demikian tentu tidak mungkin bagi kita untuk menentang pasukan besar secara begitu saja. Kurasa, lebih besar hasilnya kalau aku melanjutkan perjuangan disini, membantu nenek Yelu Kim yang akan menggerakkan para suku utara untuk menghantam pasukan pemberontak. Dengan demikian berarti akupun secara tidak langsung menentang kekuasaan Raja Iblis, melawan pasukan pemberontak dengan mengandalkan pasukan suku utara."

"Akan tetapi, para kepala suku itupun bermaksud memberontak dan menyerang ke selatan!" Hui Song berseru.

"Itu adalah soal nanti. Kini yang penting adalah menentang para pemberontak, bukan? Kalau pemberontak sudah dapat dihancurkan dan kalau para suku utara hendak melanjutkan gerakan mereka menyerang ke selatan, masih belum terlambat bagiku untuk meninggalkan mereka. Dengan adanya gerakan dari para suku utara yang menyerang mereka, dan pasukan pemerintah yang menyerang dari selatan, berarti Raja Iblis dan sekutunya akan tergencet dari utara dan selatan."

Hui Song mengangguk-angguk.
"Aku dapat melihat kebenaran pendapatmu, Cin-moi. Baikiah, aku akan pergi menghadiri pertemuan para pendekar untuk melihat apa yang akan dibicarakan dan keputusan apa yang akan diambil."

"Song-ko, kalau bertemu dengan suhu, ceritakan keadaanku dan rencanaku menghadapi para pemberontak."

Mereka lalu berpisah. Sui Cin kembali ke perkemahan nenek Yelu Kim sedangkan Hui Song pergi menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang. Betapapun gembira hatinya telah dapat bertemu kembali dengan Sui Cin dan melihat gadis itu telah sehat kembali, namun ada sedikit kekecewaan dalam hati Hui Song mendengar jawaban Sui Cin tentang cintanya, jawaban yang masih belum meyakinkan hatinya bahwa gadis itupun mencintanya.

Cinta asmara memang lebih banyak mendatangkan rasa kekecewaan dan sengsara dalam hati. Asmara selalu menuntut balasan! Asmara selalu mengandung cemburu, dan asmara yang tidak dibalas merupakan sumber kekecewaan dan kedukaan. Asmara adalah nafsu berahi yang menciptakan ikatan.

Namun, asmara amat mengasyikkan, membuai batin setiap orang manusia sehingga manusia seperti dengan rela menentang semua kesengsaraan itu demi mencicipi madu asmara, walau sedikitpun. Hal ini adalah manusiawi, karena nafsu berahi terbawa oleh badan sejak lahir. Yang penting adalah menyadarinya, mengenalnya sebagai satu diantara sifat-sifat badan sehingga kita tidak sampai terseret dan menjadi hambanya, terikat kuat sehingga akhirnya menjadi permainan nafsu.

**** 150 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: