*

*

Ads

Kamis, 15 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 143

Demikianlah, tanpa disengaja, tiga orang muda itu ikut menghadiri pertemuan antara para suku di utara yang sedang mengadakan pertandingan untuk menentukan siapa diantara mereka yang hendak menjadi pimpinan para suku untuk memulai dengan gerakan mereka menegakkan kembali kekuasaan Mongol yang sudah runtuh. Dan mereka bertiga terpisah-pisah dalam kelompok suku yang berlainan, dengan alasan yang berlainan pula.

Sui Cin berada disitu karena ia telah ditolong oleh nenek Yelu Kim yang menjadi gurunya dan kini ia membantu Yelu Kim sebagai balas budi. Siangkoan Ci Kang berada bersama suku Khin untuk membantu Moghu Khali, ketua suku Khin yang telah menjadi sahabatnya, bahkan dia mau dianggap menjadi jagoan suku itu. Adapun Hui Song berada di tempat itu karena dia hendak menyelidiki Perkumpulan Harimau Terbang, juga untuk menyelidiki keadaan para suku bangsa di utara ini sesuai dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya, yaitu Siang-kiang Lo-jin atau Si Dewa Kipas.

Kini pertandingan telah dimulai dan seperti sudah diduga semula oleh setiap pengikut, jagoan-jagoan itu memang masing-masing memiliki ketangguhan yang mengagumkan. Suku Mongol yang merupakan suku kedua terbesar sesudah suku Mancuria, mengajukan jagoan seorang ahli gulat yang bertubuh raksasa dan jagoan ini tidak menunggang kuda, juga tidak memegang senjata apapun. Akan tetapi, ketika dia sudah maju karena menurut undian dia harus maju lebih dahulu, dia menghadapi lawan yang menunggang kuda secara mengagumkan dan mengerikan.

Lawannya itu menggunakan sebatang golok dan menunggang seekor kuda. Ketika lawan itu menerjangnya dengan golok diputar dan kaki depan kuda itu mengancam hendak menumbuknya, raksasa Mongol ini tertawa, menangkap dua kaki depan kuda itu dan sekali putar, kuda itu terpelanting dan kedua tulang kaki depan itu patah membuat kuda itu tidak ammpu bangkit kembali. Lawannya cukup tangguh, ketika kuda terpelanting, dia melompat turun dan kini dia menerjang si raksasa dengan goloknya.

"Plakkk!"

Raksasa Mongol itu tidak mengelak, bahkan menerima golok itu dengan tangan kosong begitu saja. Akan tetapi, bukan tangannya yang terluka, melainkan golok itu sendiri yang terlempar dan di lain saat, raksasa itu sudah menangkap pergelangan tangan lawan dan sekali mengerahkan tenaga, tubuh lawan itu sudah terlempar jauh sekali dan terbanting dengan keras ke atas tanah sehingga jatuh pingsan dengan tulang remuk!

Sorak sorai yang riuh rendah menyambut kemenangan raksasa Mongol ini dan diapun memperoleh waktu beristirahat menurut peraturan walaupun si raksana Mongol itu masih menantang-nantang dengan congkaknya.

Menurut hasil undian, kini tiba giliran jagoan Mancu. Seperti juga jagoan Mongol, maka jago dari Mancu inipun bertubuh tinggi besar dan terutama sekali sepasang kakinya amat panjang dan berotot kekar sekali. Kaki itu memakai sepatu panjang sampai ke lutut dan solnya dilapisi besi dan diapun tidak menunggang kuda dan tidak memegang senjata.

Setelah dia melawan seorang jagoan lain, Hui Song yang nonton dari dalam kelom-poknya melihat bahwa raksasa Mancu ini tidak kalah hebatnya dibandingkan dengan raksasa Mongol tadi. Kalau raksasa Mongol tadi kebal dan kuat sekali, juga ahli dalam ilmu gulat, maka raksasa Mancu yang lebih tinggi ini selain ahli dalam ilmu gulan campur silat, juga tangguh sekali dengan kedua kakinya!

Dalam satu gebrakan saja, lawannya yang menunggang kuda dan memegang tombak, dihadapi dengan tendangan kakinya yang panjang dan kuat itupun terpelanting jauh! Lawannya berhasil melompat dan menyerangnya dengan tombak. Akan tetapi, kembali kakinya bergerak dan tombak itu dihantam tangan yang amat kut, membuat tombak itu patah menjadi tiga potong!

Lawannya masih penasaran dan menyerang dengan pukulan-pukulan, akan tetapi setiap pukulan ini ditangkis oleh tendangan secara sedemikian cepat dan tepatnya seolah-olah kedua kaki itu merupakan sepasang tangan yang lengannya panjang sekali, dan sebelum lawan itu mampu mengelak, tiba-tiba sebuah kaki melayang dan menghantam kepalanya dari samping. Orang itu terjengkang dan roboh pingsan, atau mungkin juga mati karena ketika digotong oleh kawan-kawannya, dia sama sekali tidak bergerak dan terkulai lemas!

Ketika Ci Kang menerima gillrannya, Hui Song memandang dengan alis berkerut. Sejak tadi dia sudah melihat pemuda ini dan dia merasa heran, bertanya-tanya dalam hati mengapa putera Si Iblis Buta itu berada disini, bahkan menjadi seorang diantara jagoan suku utara! Akan tetapi karena pertandingan itu bukan urusannya diapun diam saja dan hanya nonton.

Dengan tombaknya, Ci Kang dengan mudah mengalahkan lawan, akan tetapi berbeda dengan pemenang-pemenang terdahulu, lawannya dirobohkannya tanpa menderita luka apapun, kecuall senjatanya runtuh dan lawan itu ditodong ujung tombak pada lehernya sehingga tidak mampu bergerak dan terpaksa mengaku kalah. Dan hal inipun dilakukan setelah dia membiarkan lawan menyerangnya sampai belasan jurus sehingga lawannya yang kalah itu tidak sampai terlalu kehilangan muka seperti yang diderita mereka yang tadi kalah dalam satu gebrakan saja!

Setelah semua jagoan dipertandingkan, akhirnya hanya tinggal satu orang yang belum kalah, yaitu raksasa Mongol, raksasa Mancu dan Ci Kang. Dua orang raksasa itu telah memenangkan tiga kali pertandingan yang mereka selesaikan hanya dalam beberapa jurus saja, sedangkan Ci Kang memenangkan dua pertandingan. Dan kini, menurut undian, dua orang raksasa itulah yang akan saling berhadapan. Tentu saja para penonton menjadi tertarik sekali karena sudah dapat dibayangkan betapa akan hebatnya kalau dua orang raksasa yang sama tangguhnya itu maju dan saling melawan!






Mereka berdua sudah melangkah maju, kakinya melangkah seperti king-kong, dengan kedua lengan tegak terpentang, kedua kaki agak membungkuk, kepala ditundukkan dan mata mereka mengintai dari bawah alis mata yang tebal, mulut mennyeringai seperti mulut orang hutan marah.

Langkah mereka seperti menggetarkan bumi dan ketegangan semakin memuncak setelah akhirnya mereka saling berhadapan dalam jarak dua meter. Agaknya mereka saling menilai dan menimbang keadaan lawan dengan pandang mata mereka. Keduanya berdiri seperti arca yang menyeramkan, sedikitpun tidak bergerak.

Tiba-tiba terdengar gerengan nyaring dan kaki bersepatu itu meluncur dengan kecepatan kilat ke arah dada si raksasa Mongol. Demikian cepatnya kaki itu menyerang sehingga tidak sempat dielakkan oleh raksasa Mongol yang lamban itu, namun raksasa itu memasang dadanya dan mengerahkan tenaga sampai perutnya mengembung besar dan otot-otot menonjol di dadanya.

"Blukkk...!"

Hebat sekali benturan antara kaki dan dada itu dan akibatnya, tubuh raksasa Mongol terdorong mundur tiga langkah, akan tetapi tubuh si penendang itupun terlempar ke belakang dalam jarak yang hampir sama!

Keduanya kini berdiri saling pandang dan tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang dan si raksasa Mancu juga tahu bahwa lawannya sungguh kebal, walaupun dia dapat menduga bahwa kekebalan itu hanya sebatas kulit saja dan tendangannya tadi setidaknya mengguncangkan isi dada lawan. Hal ini memang benar karena si raksasa Mongol merasa betapa tendangan tadi menyesakkan napasnya, maka diapun bersikap hati-hati sekali.

Ketika mereka maju kembali, si raksasa Mancu melancarkan serangan tendangan lagi. Akan tetapi kini lawannya menangkis bertubi-tubi dengan kedua lengan sehingga semua tendangannya gagal dan pada suatu saat, kaki kirinya dapat dicengkeram oleh tangan kanan jagoan Mongol.

Dengan tenaga yang besar, raksasa Mongol itu mengangkat tubuh lawan ke atas dan diputar-putar dengan maksud akan dilemparkan atau dibantingkan. Akan tetapi, jagoan Mancu itu dengan kaki kanannya berhasil menendang pundak kanan lawan, sehingga cengkeramannya mengendur dan pada saat hampir dibanting, jagoan Mancu dapat melepaskan dirinya. Dia terbanting akan tetapi tidak terlalu keras sedangkan lawannya yang tertendang pundaknya juga terhuyung ke belakang. Keduanya kini terengah-engah dan berdiri saling pandang bagaikan dua ekor gajah yang sedang berlaga.

Kemudian keduanya mengeluarkan teriakan-teriakan keras dan mereka saling menerjang ke depan dengan cepat.

"Bress...!"

Keduanya bertumbukan, mempergunakan kedua tangan dan kaki, juga dada untuk mengadu kekuatan dengan lawan. Kembali keduanya terjengkang! Mereka merangkak bangun dan melanjutkan pertandingan yang kini semakin seru bahkan mati-matian.

Jagoan Mancu masih mengandalkan tendangan-tendangan, yang disambut lawan dengan kekebalan dan kelincahan sehingga tiap kali kena dicengkeram, dia selalu dapat melepaskan diri, bahkan beberapa kali dia terbanting, akan tetapi dapat bangun kembali. Juga raksasa Mongol beberapa kali kena terjangan kedua kaki yang melakukan tendangan terbang, sampai terjengkang akan tetapi juga dapat bangkit kembali. Sorak sorai dan tepuk tangan riuh rendah menyambut pertandingan yang hebat ini.

Pertandingan itu memang ramai sekali. Dua orang raksasa itu pukul-memukul, tendang-menendang, saling mencengkeram dan berusaha merobohkan lawan mengandalkan kekuatan otot-otot tubuh yang melingkar-lingkar dan melindungi diri masing-masing dengan kekebalan tubuh. Mereka seperti dua ekor ayam jantan yang tidak mengenal artinya menyerah. Dan agaknya mereka itu akan berkelahi terus sampai mati. Para penonton menjadi seperti binatang-binatang haus darah, ingin sekali melihat seorang diantara mereka roboh dan tewas!

Akan tetapi tiba-tiba kepala suku Mongol dan kepala suku Mancu memasuki arena pertandingan dan masing-masing menyerukan kepada jagoan-jagoan itu untuk menghentikan perkelahian mereka. Dua orang reksasa itu mentaati dan mereka mundur, berdiri terengah-engah dan tubuh mereka yang kokoh itu basah oleh keringat.

"Kami sudah melihat cukup!" kata kepala suku Mongol. "Kedua orang jagoan ini sama kuat dan kalau dilanjutkan, mungkin keduanya akan tewas. Hal ini tidak adil karena masih ada seorang jago lagi yang akan memperoleh kemenangan tanpa berkelahi kalau mereka berdua ini keduanya tewas."

"Benar!" sambung kepala suku Mancu. "Biarlah jagoan ketiga maju dulu melawan seorang diantara mereka menurut undian, baru kemudian perkelahian antara dua jagoan ini dilanjutkan!"

Agaknya kedua kepala suku itu merasa yakin bahwa jagoan ketiga itu tentu akan dapat dikalahkan dengan mudah.

Mendengar itu, Ci Kang sudah membisiki sahabatnya, Moghu Khali kepala suku Khin itu. Moghu Khali bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang,

"Memang benar. yang tinggal hanya tiga orang jago. Agar adil, maka biarlah tiga orang jago itu maju bersama, saling serang sampai seorang diantara mereka tinggal sebagai pemenang dan yang dua orang lagi roboh."

Usul kepala suku Khin ini disetujui oleh semua orang. Tentu saja para penonton menjadi semakin gembira. Orang muda berjubah kulit harimau itupun tadi mereka lihat cukup tangguh sehingga kalau tiga orang jagoan tangguh itu maju bersama dan saling serang, tentu mereka dapat menonton perkelahian yang sungguh menarik, seru dan mati-matian.

Kini tiga orang jagoan itu sudah maju ke tengah arena pertandingan. Ci Kang yang maklum akan kekuatan lawan dan juga kekebalan tubuh mereka, maju sambil menunggang kuda putihnya dan memegang tombak kong-ce yang bergagang panjang itu. Sikapnya tenang saja. Dia sebetulnya tidak gentar kalau harus menghadapi mereka dengan jalan kaki dan bertangan kosong, akan tetapi dia tidak mau membiarkan dirinya terancam bahaya terlalu besar karena menghadapi dua orang itu dengan tangan kosong amatlah berbahaya, kecuali kalau dia menggunakan ilmunya untuk membunuh mereka dengan pukulan-pukulan ampuh. Justeru dia sama sekali tidak ingin membunuh orang, apalagi dalam suatu pertandingan adu kepandaian ini dimana dia hanya menjadi wakil kepala suku Khin yang menjadi sahabatnya.

Sementara itu, dua orang raksasa Mongol dan Mancu itu tadi telah menerima bisikan kepala suku masing-masing. Mereka memang cerdik. Mereka berdua itu maklum bahwa antara mereka terdapat tingkat kekuatan yang seimbang dan biarpun masing-masing belum dapat menentukan kemenangan, akan tetapi setidaknya kesempatan mereka untuk menang adalah setengah bagian.

Akan tetapi, kalau seorang diantara mereka sampai dibantu oleh pemuda berbaju kulit harimau itu yang dikeroyok akan celaka. Maka, jalan satu-satunya bagi mereka adalah maju bersama mengeroyok pemuda berkuda itu dan setelah pemuda itu roboh, hal yang mereka yakin akan dapat mereka lakukan dengan cepat kalau mereka maju berdua, barulah mereka berdua akan dapat bertanding kembali untuk menentukan siapa yang lebih unggul.

Ci Kang sama sekali tidak menyangka bahwa dia akan dikeroyok dan barulah dia tahu akan hal ini ketika dua orang raksasa itu maju menghampirinya dari kanan kiri dengan sikap mengancam dan wajah beringas. Ci Kang sama sekali tidak merasa gentar, akan tetapi, diam-diam dia mengkhawatirkan kudanya, maka diapun meloloskan kedua kakinya dari injakan agar kedua kakinya bebas.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: