*

*

Ads

Minggu, 11 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 123

"Gilakah kau?" bentak pemuda itu kepada Ci Kang. "Tadi engkau menyerang mereka dan aku yang tidak mengenal siapa mereka membela mereka. Sekarang, setelah mengetahui bahwa mereka ini adalah penjahat-penjahat terkutuk dan hendak membasmi mereka, engkau muncul melindungi mereka!"

Pemuda baju putih itu benar-benar terkejut, heran dan penasaran melihat tingkah Ci Kang yang dianggapnya aneh sekali itu.

"Sobat, engkau memang gagah perkasa, akan tetapi terlalu kejam! Memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kejahatan, akan tetapi bukan membunuh!"

Pemuda itu mengerutkan alisnya.
"Kau perduli apa?"

Dan diapun sudah menerjang lagi ke depan, merobohkan seorang penjahat dengan tamparan tangan kirinya yang ampuh. Sekali terkena tamparan itu, golok yang menangkisnya terlempar dan orang itu tidak mampu menghindarkan dirinya lagi, dadanya kena dihantam dan terdengar tulang-tulang iga yang patah-patah dan orang itu menjerit dan roboh berkelojotan.

"Kau kejam...!"

Ci Kang menghardik dan ketika orang baju putih itu hendak mengejar para penjahat yang menjadi gentar dan melarikan diri, Ci Kang sudah menghadangnya.

"Kau kini membela mereka? Gila dan biar kubasmi sekalian!"

Orang berbaju putih itu membentak dan menyerang Ci Kang. Tentu saja Ci Kang cepat mengelak dan untuk mencegah orang itu menyebar maut lebih banyak lagi, diapun membalas dan kini mereka kembali berkelahi dengan amat serunya. Karena masing-masing kini sudah yakin akan kelihaian lawan, maka merekapun berkelahi lebih seru dan lebih hebat daripada tadi, masing-masing mengeluarkan ilmu-ilmu silat yang hebat.

Kini para penjahat sudah lari semua dan juga para penghuni dusun sudah sejak tadi melarikan diri. Sebagian besar dari rumah-rumah dusun itu terbakar. Namun, dua orang muda itu agaknya lupa akan keadaan sekeliling karena mereka itu asyik berkelahi dan terpaksa harus mencurahkan seluruh perhatian, menggunakan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaga kalau tidak mau kalah! Dan kepandaian keduanya memang hebat, setingkat dan seimbang.

Entah berapa lama perkelahian itu akan berlangsung sampai ada yang kalah. Sudah hampir seratus jurus berlalu dan keduanya masih terus saling hantam dengan gigihnya. Tiba-tiba terdengar suara jerit minta tolong. Suara wanita yang ketakutan!

Mendengar suara ini, seketika dua orang muda itu melupakan perkelahian mereka dan meloncat lalu berlari ke arah suara itu seperti orang berlomba. Jerit tangis itu kini semakin jelas, keluar dari sebuah rumah yang sudah terbakar bagian belakangnya.

"Tolong...! Toloooonggg... ahh, tolonglah aku...!" Demikianlah suara itu terdengar dari dalam rumah yang sedang terbakar.

"Brakkkkk...!"

Dua tempat pada dinding rumah itu jebol ketika si pemuda baju putih dan Ci Kang secara berbareng menerjang tembok. Keduanya berlari memasuki rumah itu dan melihat seorang gadis yang terbelenggu kedua tangannya pada tiang rumah sedang meronta-ronta ketakutan melihat api mulai membakar dinding kamar itu!

Seorang gadis yang cantik sekali, berpakaian sederhana akan tetapi justeru pakaian sederhana itulah yang membuat kecantikannya semakin menonjol. Karena kedua lengannya ditelikung ke belakang dan ia meronta-ronta, maka lekuk lengkung dan tonjolan-tonjolan pada tubuhnya nampak jelas dan amat menggairahkan!

Melihat munculnya dua orang itu, sepasang mata yang jeli itu terbelalak ketakutan, akan tetapi agaknya ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang hendak menolongnya, bukan orang-orang jahat yang menyerang dusun itu.

"Ah, tolonglah saya...!" Ia memohon.

Pada saat itu, dinding di bagian belakang kamar itu, yang mulai terbakar, runtuh ke bawah mengancam gadis itu yang tentu akan tertimpa runtuhan dinding tembok! Dua orang muda yang gagah perkasa itu bergerak cepat sekali. Pemuda baju putih itu sudah meloncat dan sekali sambar dia sudah merenggut putus tali yang mengikat gadis itu dengan tiang, lalu meloncat sambil memondong tubuh itu, sedangkan Ci Kang meloncat menggempur dinding yang runtuh itu dengan kedua tangannya.






"Braaakkkk...!"

Runtuhan dinding itu pecah berantakan dan diapun cepat meloncat keluar menyusul. Di luar rumah yang terbakar itu, dia melihat pemuda baju putih sudah menurunkan gadis tadi yang kini berdiri kebingungan dan masih menangis. Ketika Ci Kang tiba pula di situ, gadis itu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan dua orang pemuda itu sambil menangis.

"Sudahlah, jangan menangis dan ceritakan apa yang telah terjadi." kata Ci Kang sambil memandang kepada pemuda baju putih yang berdiri tenang dan menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh selidik.

Gadis itu menyusut air matanya. Usianya tidak sangat muda lagi, kurang lebih dua puluh lima tahun. Akan tetapi usia ini bagi seorang wanita merupakan usia yang sedang masaknya, bagaikan setangkai bunga sedang mekarnya. Pakaiannya sederhana namun rapi, wajahnya cantik dan terutama sekali mulutnya manis sekali.

"Saya menghaturkan terima kasih kepada ji-wi taihiap... yang sudah menyelamatkan nyawa saya yang tidak berharga..."

"Sudahlah," kata pemuda baju putih. "Tak perlu bicara tentang itu. Yang penting sekarang ceritakan apa yang telah terjadi maka kau berada dalam rumah terbakar itu dalam keadaan terbelenggu."

Pada waktu itu, dusun kecil yang terbakar ini sudah ditinggalkan orang dan agaknya hanya mereka bertiga saja yang masih berada di situ, kecuali mayat-mayat yang menggeletak di sana-sini, korban kekejaman para perampok.

"Saya bernama Ji Hwa dan tinggal bersama ayah dan ibu di luar dusun, di lereng bukit sana itu... dan saya berada disini karena mengunjungi paman dan bibi saya, pemilik rumah ini. Ketika tadi para penjahat datang, paman melawan dan bibi entah lari kemana, dan saya... perampok ganas itu menawan saya, hendak dibawa pergi. Tapi ketika paman melawan, perampok itu mengikat saya di tiang tadi dan dia lalu berkelahi dengan paman di luar rumah... selanjutnya... saya tidak tahu apa yang terjadi, rumah terbakar dan saya ketakutan sekali..."

Ia menengok ke kiri dimana terdapat mayat-mayat bergelimpangan, membuat gadis itu bergidik ngeri.

"Siapakah pemimpin para perampok itu, nona?" Ci Kang bertanya. "Apakah engkau mengenal para pengurus kedai arak itu?" Dia menunjuk ke arah kedai arak yang sudah habis terbakar.

Gadis itu menggeleng kepala dan kelihatan ketakutan.
"Saya tidak tahu... akan tetapi... saya merasa yakin bahwa ayah saya tahu akan semua itu. Pernah dia berkata kepada saya bahwa dusun ini terancam kekuasaan para penjahat..."

"Hemm, kalau begitu mari kuantar kau pulang, nona. Aku ingin bicara dengan ayahmu," kata Ci Kang.

"Akupun ingin bertemu dengan ayahmu, nona," kata pula pemuda baju putih itu.

Ci Kang memandang pemuda itu sambil tersenyum mengejek.
"Agaknya dalam segala hal engkau tidak mau kalah, sobat. Perlu apa engkau ikut pula dengan kami?"

Pemuda itu tersenyum pahit.
"Aku belum tahu benar siapa engkau dan orang macam apa adanya dirimu. Melihat engkau pergi berdua dengan seorang gadis yang tak berdaya ini, sungguh hatiku merasa tidak enak. Aku baru lega kalau melihat ia sudah berkumpul kembali dengan orang tuanya."

"Sialan!" Ci Kang membentak. "Engkau masih tidak percaya kepadaku? Nah, mari kita saling mengenal. Namaku Ci Kang."

"Shemu?" tanya pemuda itu, ingin tahu nama keluarga Ci Kang.

"Tidak perlu kuperkenalkan."

Ci Kang memang tidak ingin memperkenalkan nama keluarga ayahnya yang terkenal sebagai Siangkoan Lo-jin atau Si Iblis Buta.

"Namaku Sun," kata pemuda baju putih itu, juga tidak mau menyebutkan shenya melihat betapa Ci Kang menyembunyikan shenya pula.

Pemuda ini sesungguhnya she Cia. Ya, dia adalah Cia Sun, putera dari Cia Han Tiong yang tinggal di Lembah Naga! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini merasa penasaran sekali akan sikap ayahnya. Ibunya tewas di tangan musuh dan ayahnya mengampuni musuh-musuh itu.

Dalam keadaan penasaran dan penuh duka dan dendam ini, dia bertemu lalu diambil murid oleh Go-bi San-jin dan digembleng selama tiga tahun. Oleh gurunya ini, di dalam batinnya ditanam jiwa kependekaran yang tegas dan keras menentang kejahatan. Gemblengan ini, ditambah oleh rasa dendam atas kematian ibunya, membuat Cia Sun menjadi seorang pendekar yang tidak mau mengampuni orang-orang jahat dan dia menganggap sebagai tugasnya untuk menentang kejahatan dan membasmi para penjahat, membunuh mereka tanpa mengenal ampun lagi!

Seperti juga Ci Kang yang disuruh oleh gurunya, Ciu-sian Lo-kai untuk pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar untuk mengadakan pertemuan dengan para pendekar, juga Cia Sun diutus oleh Go-bi San-jin untuk pergi ke tempat itu.

Munculnya Raja dan Ratu Iblis yang dibantu oleh Cap-sha-kui dan para datuk kaum sesat membuat orang-orang sakti dan para pendekar berusaha menentangnya dan mereka akan mengadakan pertemuan di bekas benteng Jeng-hwa-pang.

Setelah memperkenalkan nama masing-masing tanpa menyebut nama keturunan, dua orang muda itu lalu mengawal gadis yang bernama Ji Hwa itu pulang. Mereka keluar dari dusun kecil yang sudah sunyi itu dan menuju ke utara dimana terdapat sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon rindang.

"Jauhkah rumahmu dari sini, nona?" tanya Cia Sun yang masih belum percaya benar kepada gadis ini dan selalu tidak meninggalkan kewaspadaannya.

"Tidak jauh, di lereng bukit itu, taihiap. Akan tetapi harap jangan sebut nona padaku, namaku Hwa dan biasa disebut Hwa Hwa saja."

Cia Sun mengerutkan alis dan tidak menjawab. Gadis ini baru saja mengalami peristiwa yang menakutkan dan mengejutkan, baru saja terlepas dari maut dan nyaris terbakar hidup-hidup dalam rumah tadi. Akan tetapi sekarang sudah bicara sambil senyum-senyum dan kerling mata gadis ini membuat hatinya terasa tidak enak. Biarpun Cia Sun sampai saat itu belum pernah bergaul rapat dengan wanita, namun dia mengenal kerling yang tajam memikat, kerling yang membayangkan kegenitan yang disembunyikan, sikap yang agaknya tidak wajar dan berpura-pura.

Rumah itu besar dan kuno sekali, terletak di lereng bukit. Rumah yang besar dan kuno, terpencil sendiri dan dari jauh tidak nampak karena tersembunyi di balik pohon-pohon dan semak-semak belukar. Karena kuno, besar dan sudah rusak tak terpelihara, bangunan itu nampak menyeramkan, pantasnya hanya dihuni oleh setan-setan dan iblis-iblis saja.

"Disinikah engkau dan orang tuamu tinggal?" Ci Kang bertanya ketika mereka tiba di depan rumah. "Bekerja apakah orang tuamu?"

Kiranya diapun, seperti Cia Sun, mulai merasa heran dan curiga melihat betapa gadis itu bersama orang tuanya tinggal di tempat yang serem seperti ini.

Gadis yang minta disebut Hwa Hwa itu tersenyum memandang Ci Kang.
"Kalau melihat pakaian taihiap, agaknya pekerjaan ayah tidak asing bagi taihiap. Dia seorang pemburu dan karena itu kami memilih tempat di bukit dekat hutan-hutan ini."

Dengan sikap ramah dan lincah gadis itu mempersilakan dua orang pemuda itu untuk memasuki gedung kuno.

"Marilah, harap ji-wi taihiap sudi masuk dan menemui ayah dan ibu yang berada di dalam. Saya merasa yakin bahwa ayah akan dapat bercerita banyak tentang penjahat-penjahat yang tadi mengacau dusun."

Cia Sun dan Ci Kang saling pandang sejenak. Biarpun mereka masih merasa penasaran dan ada rasa tidak suka satu kepada yang lain, akan tetapi kini mereka berada dalam sebuah perahu yang sama. Maka, biarpun hanya sedikit, terdapat suatu kepentingan bersama diantara mereka dan setelah saling pandang, tahulah mereka bahwa masing-masing tidak akan mau kalah dan merasa malu kalau mundur.

Mereka lalu mengikuti gadis itu memasuki bangunan dan ternyata memang bangunan itu kuno dan tidak terawat. Banyak bagian yang sudah rusak, akan tetapi sebagian besar masih kokoh kuat karena memang bangunan kuno itu kuat buatannya.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: