*

*

Ads

Minggu, 11 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 121

Ci Kang berlari cepat sekali dengan hati murung. Dia lari ke barat dan tidak tahu harus pergi kemana. Dia telah datang terlalu pagi dan dia tidak dapat menghadiri pertemuan para pendekar itu tanpa adanya gurunya. Kalau ada Ciu-sian Lo-kai disitu, baru dia akan dapat hadir karena tentu gurunya yang akan dapat memberi kesaksian akan kebersihan dirinya.

Dia tidak menyalahkan Cia Hui Song putera ketua Cin-ling-pai itu, melainkan hanya merasa mendongkol sekali. Bagaimanapun juga, memang pemuda Cin-ling-pai itu pernah melihat dia membantu dan menyelamatkan orang-orang Cap-sha-kui bersama ayahnya. Sudah tentu saja Hui Song curiga kepadanya. Dan satu-satunya orang yang akan dapat menanggung dirinya agar dipercaya oleh para pendekar hanyalah gurunya, Ciu-sian Lo-kai yang belum nampak ada di tempat itu.

Hatinya murung sekali dan ketika dia memasuki sebuah desa kecil dimana terdapat sebuah kedai arak, diapun memasuki kedai itu. Kedai yang cukup besar, bahkan terlalu besar untuk sebuah dusun yang penghuninya sedikit dan agaknya hanya terdiri dari crang-orang miskin atau pemburu-pemburu.

Agaknya kedai ini dibuka orang belum begitu lama dan agaknya dibuka untuk menjadi pemberhentian orang-orang yang melakukan perjalanan dan lewat di tempat ttu. Bagaimanapun juga, bau arak yang sedap menarik perhatian Ci Kang dan diapun yang diganggu rasa mendongkol perlu beristirahat menenangkan hatinya.

Ci Kang mengambil tempat duduk di atas kursi yang kasar buatannya, menghadapi sebuah meja yang kasar pula. Seorang pelayan cepat menghampirinya dan dengan membungkuk-bungkuk penuh senyum menjilat pelayan itu menyapanya.

"Selamat siang, tuan. Tuan hendak makan dan minum apakah?"

"Bawakan aku seguci besar arak!" kata Ci Kang.

Pemuda ini setelah menjadi murid Ciu-sian Lo-kai, mewarisi kebiasaan gurunya, suka minum arak. Tentu saja dia tidak minum terlalu banyak walaupun banyaknya arak dapat dilawannya dengan kepandaiannya sehingga dia tidak akan terpengaruh, akan tetapi saat itu hatinya sedang mendongkol dan dia hendak minum sebanyaknya!

"Seguci besar...? Apakah tuan menunggu datangnya banyak teman?"

"Tidak, aku hanya seorang diri..."

"Tapi, arak seguci besar cukup untuk sepuluh orang..."

"Jangan cerewet! Bawa arak itu dan aku akan membayarnya!" bentak Ci Kang marah.

Hatinya yang sedang kesal itu tidak sabar lagi mendengar kerewelan si pelayan. Pelayan itu membungkuk-bungkuk pergi dan Ci Kang mendengar pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya dalam bahasa sandi yang mengejutkan hatinya.

Bahasa rahasia seperti itu hanya dipergunakan orang-orang dari golongan hitam! Dan pelayan itu berkata kepada teman-temannya agar berhati-hati karena tamu yang datang ini tentulah seorang pendekar. Ci Kang melirik sambil lalu dan dia melihat bahwa pelayan itu berbisik-bisik dengan teman-temannya. Jumlah mereka semua ada enam orang! Heran dan curigalah hatinya. Sebuah kedai arak begini besar di dalam sebuah dusun miskin kecil! Dan dibukanya tentu masih baru pula. Lebih lagi, dilayani oleh enam orang! Dan mereka menggunakan kata-kata sandi, bahasa rahasia dari golongan hitam.

Ci Kang duduk dengan wajah muram. Kenyataan bahwa dia duduk di warung golongan hitam membuat hatinya semakin kesal. Keadaan dirinya membuat dia merasa mendongkol dan juga murung dan sedih. Dia dilahirkan di tengah keluarga sesat, walaupun mendiang ayahnya dahulu bukanlah orang jahat.

Dia dibesarkan diantara para datuk sesat. Dia tidak menyukai cara hidup demikiann sehingga dia menentang ayahnya sendiri, bahkan hampir dibunuh ayahnya karena tidak menuruti kehendak ayahnya. Di dunia golongan kotor, dia tidak dapat hidup dan dimusuhi. Kemudian, setelah digembleng selama tiga tahun oleh Ciu-sian Lo-kai dan dia mulai hidup baru, diantara golongan bersih, diapun dihina dan diserang, tidak diterima! Hati siapa takkan merasa murung?

Pada saat itu muncul tiga orang berpakaian seperti orang dusun. Tubuh mereka kurus-kurus dan melihat pakaian mereka yang kotor, mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang miskin yang kekurangan makan kekurangan pakaian. Melihat mereka, pemilik atau kuasa kedai yang bertubuh gendut dan bermuka ramah itu segera menghampiri dan menyambut ke depan pintu.






"Eh, kalian bertiga ada keperluan apakah?" tegur pemilik kedai dengan ramah.

"Maaf, twako, kami datang mengganggu lagi..." kata seorang diantara mereka.

"Kalian butuh apa lagi? Bukankah kemarin dulu kami sudah menyumbangkan tiga karung beras untuk dibagi-bagi antara kalian penduduk dusun ini? Apakah beras itu sudah habis?"

"Belum, toako dan terima kasih atas segala pertolongan twako yang dilimpahkan kepada kami para penduduk dusun selama ini. Akan tetapi, kamipun bukan orang-orang yang hanya mengandalkan hidup dari minta-minta saja. Kami ingin bercocok tanam, akan tetapi tanah itu perlu digarap dan kami tidak mempunyai alat-alatnya. Kalau twako sudi menolong kami untuk sekali ini dan kami dapat mengerjakan tanah, selanjutnya kami tentu akan mampu mencukupi diri sendiri..."

Si gendut itu meraba jenggotnya yang agaknya baru beberapa pekan dicukur dan kini mulai tumbuh dengan liar. Dia mengangguk-angguk dan melirik ke arah para tamu yang kebetulan sedang duduk minum arak dan makan di kedal itu, seolah-olah dia ingin agar semua percakapan itu didengar oleh mereka. Dan memang, percakapan yang cukup keras itu didengarkan oleh mereka, juga Ci Kang memperhatikan.

"Baiklah, kami akan membantu dan membelikan alat-alat pertanian untuk kalian. Nah, pulanglah dulu, dan malam nanti saja kita rundingkan kembali kalau kedaiku sedang sepi."

"Baik, twako, dan terima kasih, twako, sungguh engkau merupakan tuan penolong kami."

Dan tiga orang itu memberi hormat sampai hampir berlutut, kemudian pergi dengan wajah berseri-seri. Dari percakapan dan melihat sikap para penduduk dusun miskin itu saja mudah diketahui bahwa pemilik kedai ini adalah seorang yang dermawan dan baik hati. Akan tetapi sikap ini justeru membuat Ci Kang mengerutkan alisnya. Mereka itu jelas golongan hitam yang menggunakan kata-kata sandi, akan tetapi mengapa kini mereka bersikap begitu dermawan terhadap para penduduk miskin? Sungguh suatu keadaan yang amat aneh dan tidak sewajarnya!

Ketika pesanannya tiba, yaitu seguci besar arak, yang menggotongnya dua orang pelayan diantar pula oleh si kuasa kedai yang gendut dan ramah itu. Si gendut ini membungkuk-bungkuk dengan ramah, akan tetapi matanya yang tajam itu memandang wajah Ci Kang penuh perhatian, tersenyum-senyum dan berkata,

"Harap sicu sudi memaafkan bahwa pelayan kami agak terlambat karena gangguan para petani tadi. Kasihan sekali mereka itu, memang perlu dibantu dan dibimbing."

Jelaslah bagi Ci Kang bahwa si gendut kuasa kedai ini memang sengaja memancing percakapan dengan dia. Dia tidak dapat menduga apa maunya, akan tetapi karena hatinya sedang kesal, dia tidak mau menanggapi, bahkan sama sekali tidak mengacuhkan dan segera menyambar guci arak dan minum langsung dari bibir guci tanpa cawan atau mangkok lagi.

Dia mau minum sepuasnya, biarpun dia bukan seorang pecandu arak, akan tetapi sekali ini dia ingin minum sampai mabok untuk mengusir kekesalan hatinya! Mengingat betapa dia dituduh mata-mata oleh para pendekar dan hampir dikeroyok, hatinya merasa panas dan penasaran sekali. Dia kini menjadi orang setengah matang, kepalang tanggung, masuk golongan hitam dimusuhi karena dia menentang mereka, masuk golongan putih dimusuhi pula karena tidak dipercaya.

"Sialan! Manusia tiada guna!" gerutunya dalam hati sambil menenggak lagi araknya.

Melihat pemuda tinggi besar yang bertubuh tegap dan berpakaian seperti seorang pemburu dengan jubah kulit harimau, dan melihat caranya minum arak, semua orang yang berada di dalam kedai itu memandang dan mereka semua dapat menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang yang gagah perkasa.

"Saya berani bertaruh apa saja bahwa sicu tentulah seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amal terkenal."

Kembali terdengar suara si gendut. Ci Kang merasa semakin kesal dan baru dia melihat bahwa si gendut itu masih berdiri di dekat mejanya. Dia hanya mengerling dengan alis berkerut tanpa menjawab atau berkata sesuatu. Kalau melihat kerut diantara alisnya, sepatutnya si gendut itu mengerti bahwa pemuda itu tidak suka diajak ngobrol. Akan tetapi agaknya dia tidaklah secerdik itu.

"Tentu tidak salah lagi bahwa sicu adalah seorang diantara para pendekar yang hendak mengadakan pertemuan, bukan? Sicu, kapankah diadakannya pertemuan itu dan dimana? Saya ingin sekali mengetahui agar dapat membuat persiapan dagangan saya. Pada hari itu tentu akan banyak para pendekar lewat disini dan..."

"Plakk!"

Tangan Ci Kang menyambar ke arah muka orang gendut itu. Si gendut ternyata memiliki gerakan cepat untuk ukurannya, dan berusaha mengelak, akan tetapi tangan itu mengejarnya dan akhirnya mengenai pipinya tanpa dia dapat menghindarkannya lagi.

"Aduhh...!" Si gendut terhuyung dan meraba pipinya yang menjadi merah sekali.

"Eh, kenapa kau memukul orang...?"

Dua orang pelayan cepat menghampiri untuk melerai, akan tetapi tanpa bangkit dari kursinya, tangan kanan dan kakinya bergerak menyambut dua orang pelayan itu. Terdengar mereka mengaduh dan dua orang itupun terpelanting roboh.

Kini si gendut menjadi marah dan dengan suara menggereng seperti harimau, diapun menubruk dengan kedua tangannya yang membentuk cakar harimau, menyerang kearah kepala dan dada pemuda yang kini sudah menggerakkan tubuh memutar kursinya sehingga meja yang tadi berada di depannya kini berada di sebelah kirinya.

"Wuuuttt...!"

Serangan si gendut itu cukup kuat, mendatangkan angin dan ini membuktikan bahwa dugaan Ci Kang memang benar. Si gendut itu yang nampaknya seorang pengurus kedai arak yang ramah dan murah hati, ternyata memiliki kepandaian silat yang cukup lihai. Akan tetapi, ketika Ci Kang mengangkat tangan kirinya menangkis, menyambut kedua lengan itu, terdengar suara "krekk!" dan lengan kanan si gendut itu patah.

Sebelum si gendut sempat menghindar, secepat kilat kaki Ci Kang menendang lutut dan si gendut mengaduh, lalu jatuh berlutut. Tangan kanan Ci Kang mencengkeram rambut orang itu dan menekan kepala itu ke bawah.

Dua orang pelayan yang tadi dirobohkan, terkejut bukan main melihat kepala mereka sudah dikalahkan, dan mereka berdua itu dalam keadaan berlutut hanya dapat memandang penuh kekhawatiran. Juga tiga orang lain yang menjadi pengurus kedai itu berdiri berkelompok di dekat pintu menuju dapur dengan muka ketakutan.

Tiba-tiba seorang diantara para tamu yang sedang duduk menghadapi hidangannya, menggebrak meja dan bangkit berdiri. Orang ini adalah seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya sederhana namun bersih dan gerak-geriknya halus, wajahnya tampan dan dia sejak tadi duduk menghadapi hidangan di depan mejanya, makan dan minum sendirian saja. Pakaiannya serba putih dan dia lebih pantas menjadi seorang sasterawan daripada seorang ahli silat.

Akan tetapi ketika dia menggebrak meja, mangkok piring di atas mejanya itu mencelat ke atas dan menimbulkan suara berisik ketika jatuh kembali ke atas mejanya. Pemuda berpakaian putih ini bangkit dan menoleh, memandang kepada Ci Kang yang masih menjambak rambut si gendut yang hanya mengeluh panjang pendek. Dengan tangan kanan menekan sandaran kursi, pemuda baju putih itu menudingkan telunjuknya ke arah muka Ci Kang.

"Manusia sombong dan kasar! Berani kau menghina orang mengandalkan sedikit kepandaian?"

Sepasang alis hitam tebal yang seperti sayap burung garuda terbentang itu bergerak-gerak dan sepasang mata yang tajam itu mengeluarkan sinar berapi. Hati Ci Kang menjadi semakin panas. Orang berpakaian putih tentulah kawan golongan hitam yang menyamar menjadi pengurus-pengurus kedai ini, pikirnya.

"Habis, kau mau apa?" Diapun membentak sebagai jawaban ucapan pemuda baju putih itu.

Pemuda baju putih itu memandang tajam dan suaranya penuh wibawa.
"Hayo lepaskan paman itu dan kau harus mohon maaf atas sikapmu yang kasar dan sombong, baru aku akan melupakan kesombonganmu!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: