*

*

Ads

Sabtu, 10 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 117

"Perempuan itulah pembunuhnya! Ia siluman jahat...!"

Hui Song berseru, akan tetapi mana mungkin para penjaga percaya kepadanya? Mereka tidak mengenalnya, sebaliknya, wanita itu telah mereka kenal baik sebagai kekasih atasan mereka. Mereka mengurung sambil berteriak-teriak. Dengan gemas Hui Song tidak mau melayani mereka, mendorong mereka roboh terpelanting ke kanan kiri dan melanjutkan pengejarannya.

Akan tetapi, serbuan para penjaga itu membuatnya terlambat dan dia sudah kehilangan jejak Siang Hwa yang sudah menghilang entah ke jurusan mana. Hui Song membanting-banting kaki dan diapun tidak mau melanjutkan pengejarannya. Keadaan sudah amat gawat. Tidak perlu membuang waktu. Bagaimanapun juga, Jenderal Lui telah tewas dan dia harus menyerahkan surat dari Kok-taijin kepada wakil dari jenderal itu.

Dengan hati tabah Hui Song lalu kembali lagi ke benteng. Tentu saja dia disambut oleh para penjaga dengan tombak di tangan. Hui Song mengangkat tangan kanan ke atas dan berkata dengan suara nyaring,

"Sobat-sobat harap jangan salah sangka. Aku adalah tamu dari San-hai-koan, membawa pesan dari Kok-taijin untuk Lui-ciangkun. Akan tetapi, kebetulan sekali kedatanganku melihat betapa Lui-ciangkun dibunuh oleh perempuan iblis itu...!"

"Bohong! Wanita itu adalah selir Lui-ciangkun dan dia ini..."

"Tenang dulu, sobat! Pikirlah baik-baik. Dimana adanya perempuan itu sekarang? Kalau memang ia orang baik-baik, kenapa ia melarikan diri? Karena kalian menghadangku, maka aku sampai tidak berhasil menangkapnya. Lui-ciangkun telah dibunuhnya, dan ketahuilah bahwa wanita itu adalah seorang tokoh pemberontak!"

Akan tetapi para penjaga tidak mau percaya begitu saja walaupun ada diantara mereka yang mencari-cari dan tidak dapat menemukan Siang Hwa. Didalam gedung Lui-ciangkun sudah geger dan terdengar tangisan dari isteri-isterinya.

"Sebaiknya kalian bawa aku menghadap wakil dari Lui-ciangkun. Biar yang menentukan apakah aku bersalah atau tidak!"

Usul ini dapat diterima oleh para penjaga dan dengan pengawalan ketat, Hui Song digiring masuk ke dalam benteng dan dihadapkan kepada Bhe-ciangkun yang menjadi wakil dari Lui-ciangkun.

Bhe-ciangkun adalah seorang panglima yang sudah berpengalaman dan usianya sudah lima puluh tahun lebih. Sekali pandang saja dia dapat menduga bahwa yang dibawa menghadap padanya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan memiliki kepandaian tinggi, juga sikapnya tabah dan gagah, sama sekali tidak membayangkan watak yang jahat.

Dengan jujur Hui Song membuat laporan di depan panglima itu.
"Harap ciangkun maafkan bahwa saya telah menimbulkan keributan dan salah sangka. Saya adalah utusan pribadi dari Kok-taijin di San-hai-koan, membawa surat untuk Lui-goanswe. Karena tidak ingin membuang waktu, malam-malam saya langsung memasuki benteng hendak menghadap Lui-goanswe. Akan tetapi, saya melihat seorang wanita yang saya kenal, yaitu Gui Siang Hwa. Ia adalah murid Raja Iblis yang sedang menghimpun para datuk sesat untuk memberontak, maka kehadirannya di Ceng-tek tentu saja membuat saya heran dan curiga. Demikianlah, saya melakukan pengintaian di kamar Lui-goanswe dan tak saya sangka-sangka iblis perempuan itu membunuh Lui-goanswe ketika rayuan dan bujukannya terhadap panglima itu agar ikut memberontak ditolak oleh Lui-goanswe. Dan ia pergi membawa gulungan kertas dari dalam kamar. Saya mengejarnya, akan tetapi para penjaga salah sangka dan tertipu oleh perempuan jahat itu, sehingga ia dibiarkan pergi dan saya malah yang dikeroyok."

Dengan tenang Bhe-ciangkun mendengarkan pula laporan para penjaga dan mendengar bahwa memang ternyata wanita bernama Gui Siang Hwa itu telah lenyap dan wanita itu pergi dalam keadaan setengah telanjang.

Bhe-ciangkun menerima surat kiriman dari Kok-taijin. Begitu membaca surat itu, wajahnya berobah dan dia lalu mengajak Hui Song untuk masuk ke dalam sebuah kamar untuk diajak bicara empat mata. Tentu saja para penjaga merasa heran dan baru mereka tahu bahwa mereka tadi telah salah tangkap.

Sementara itu, setelah tiba di dalam kamarnya bersama Hui Song, Bhe-ciang-kun berkata,

"Ah, kiranya pengkhianat Ji Sun Ki itu bersekongkol dengan pemberontak?"






Hui Song mengangguk.
"Dia malah merencanakan dengan para pemberontak untuk membujuk Kok-taijin, akan tetapi tidak berhasil. Agaknya mereka akan menguasai San-hai-koan untuk dijadikan basis gerakan pemberontakan mereka. Karena itu, Kok-taijin mengharap bantuan pasukan dari sini, ciangkun."

Hui Song lalu menceritakan semua tentang sayembara dan bagaimana dia memasuki sayembara karena curiga dan kemudian dia membantu Kok-taijin.

"Hemm, agaknya para tokoh pemberontak itu berusaha keras untuk mempengaruhi pula Lui-goanswe dan ketika mereka tidak berhasil, Lui-goanswe dibunuh dan gulungan kertas itu adalah catatan keadaan kekuatan di benteng ini. Sungguh berbahaya sekali. Cia-sicu, jasamu besar sekali dan jangan khawatir, aku akan mempersiapkan pasukan besar untuk sewaktu-waktu menggempur pasukan Ji-ciangkun kalau dia benar-benar berani memberontak."

"Terima kasih, ciangkun. Tugas saya disini sudah selesai. Saya mengkhawatirkan keadaan di San-hai-koan, maka saya akan kembali kesana secepatnya."

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi Hui Song kembali ke San-hai-koan dan Bhe-ciangkun memberi seekor kuda yang baik, lengkap dengan satu stel busur dan anak panah yang memang diminta oleh Hui Song sekedar untuk penjagaan diri karena dia maklum bahwa setelah dirinya terlihat oleh Siang Hwa, bukan tidak mungkin gadis itu mempersiapkan teman-temannya untuk menghadangnya apabila dia kembali ke San-hai-koan.

Kekhawatiran Hui Song itu sama sekali tidak terbukti. Dia tidak tahu bahwa pada saat itu, Siang Hwa dan kawan-kawannya sedang sibuk untuk suatu urusan yang lebih penting lagi, yaitu persiapan untuk menguasai benteng San-hai-koan! Hal ini terjadi di luar sangkaan den perhitungan Hui Song. Tak disangkanya bahwa secepat itu Ji-ciangkun akan bergerak untuk merampas dan menguasai benteng untuk kaum pemberontak.

Dipercepatnya pengambil-alihan benteng San-hai-koan oleh para pemberontak ada hubungannya dengan pertemuan antara Hui Song dan Siang Hwa di dalam kamar Lui-ciangkun di Ceng-tek itu.

Setelah bertemu dengan Hui Song dan menyampaikan berita ini secepatnya kepada gurunya dan Raja Iblis juga segera minta kepada Ji-ciangkun untuk bergerak pada hari itu juga! Raja Iblis dapat menduga bahwa munculnya Cia Hui Song di Ceng-tek itu tentu ada hubungannya dengan Kok-taijin, bahkan dia hampir yakin bahwa pemuda itu yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu tentu menjadi utusan gubernur San-hai-koan untuk minta bantuan kepada benteng Ceng-tek!

Karena desakan yang mendadak ini, Ji-ciangkun menjadi sibuk. Dia belum melaksanakan rencananya menculik Kok Hui Lien, anak perempuan dari Kok-taijin itu. Karena desakan Raja Iblis, mau tidak mau harus mempergunakan kekerasan. Demikianlah, pada hari itu juga dia mengerahkan pasukannya untuk mengepung gedung Kok-taijin.

Gubernur ini yang sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan, segera mengumpulkan para pengawalnya. Pasukan pengawal yang berada di luar gedung segera berkumpul dan menjaga rumah majikan mereka dengan ketat.

Ji-ciangkun masih hendak mempergunakan bujukan. Setelah gedung dikepung, dia menyampaikan pesan kepada gubernur itu melalui para pengawal, agar sang gubernur menyerah saja daripada harus diserbu dengan kekerasan.

Akan tetapi Gubernur Kok membalas dengan makian dan semua pengawalnya juga siap untuk melindunginya. Terjadilah penyerbuan yang dilakukan oleh pasukan Ji-ciangkun. Akan tetapi, para pengawal melakukan perlawanan dengan gagah perkasa sehingga terjatuhlah banyak korban diantara kedua pihak. Sampai sehari lamanya, gedung Kok-taijin masih dapat dipertahankan oleh para pengawal walaupun jumlah mereka sudah banyak berkurang dan gedung itu masih tetap dikurung.

Dalam keadaan seperti itulah Hui Song muncul. Dari para penghuni San-hai-koan yang lari mengungsi keluar kota, dia mendengar akan terjadinya pertempuran antara pasukan Ji-ciangkun melawan para pengawal Kok-taijin dan bahwa gedung gubernur telah dikepung pasukan Ji-ciangkun. Maka diapun membalapkan kudanya dan ketika dia memasuki pintu gerbang kota benteng itu, keadaan masih kacau-balau.

Hui Song tidak perduli dan terus membedal kudanya menuju ke gedung Gubernur Kok. Dia menerjang semua perajurit yang berani menghalanginya dan ketika para pengawal Gubernur Kok mengenalnya, mereka membukakan pintu dan membiarkan Hui Song memasuki pintu gerbang yang mereka jaga ketat.

Sedih juga hati Hui Song melihat betapa mayat para pengawal sudah bertumpuk-tumpuk dan berserakan, dan betapa besar jumlah pasukan Panglima Ji yang mengepung rumah gedung itu. Melihat perbandingan jumlah pasukan, jelaslah bahwa tak mungkin pihak gubernur akan dapat bertahan lebih lama lagi. Dia segera menghadap Kok-taijin yang berkumpul di ruangan dalam bersama keluarganya. Keluarga gubernur itu sudah menangis dan nampak ketakutan, hanya sang gubemur yang masih bersikap tenang dan tabah, walaupun wajahnya juga pucat sekali.

"Cia-sicu...!" Gubemur itu girang sekali melihat Hui Song dan merangkulnya. "Ah, engkau dapat datang juga? Bagaimana dengan tugasmu?"

Dengan singkat dan cepat Hui Song menceritakan pengalamannya dan bahwa Bhe-ciangkun di Ceng-tek sudah menyanggupi untuk mengirim pasukan. Akan tetapi dia menambahkan bahwa dia dan mereka yang berada di Ceng-tek sama sekali tidak menduga bahwa pengkhianat Ji Sun Ki akan bertindak demikian cepatnya, sehingga tentu saja bantuan dari Ceng-tek tidak dapat diharapkan akan datang hari ini.

Mendengar ini, sang gubemur menarik napas panjang dan menjatuhkan diri di atas kursi dengan lemas. Para keluarga wanita makin keras menangis ketika mendengar bahwa tidak ada harapan datangnya pertolongan.

"Diam! Jangan menangis lagi!" bentak sang gubernur. Suara tangisan itu membuat dia semakin bingung. Kemudian dia menoleh kepada Hui Song dan berkata, "Biarlah, kalau mereka terlambat datang, aku akan memimpin semua pengawalku melakukan perlawanan sampai titik darah terakhir!"

"Taijin, saya mempunyai usul. Bagaimana kalau taijin menyelamatkan diri keluar dari San-hai-koan? Biarlah saya yang akan mengawal taijin menyelamatkan diri, dibantu oleh pasukan pengawal."

Gubernur itu menggeleng kepala.
"Tidak ada gunanya, sicu. Mana mungkin menyelamatkan seluruh keluarga yang begini besar keluar dengan selamat? Dan engkau tentu akan repot sekali, tidak mungkin dapat melindungi kami semua. Pula, sebagai seorang gubernur, mana aku ada muka untuk melarikan diri ketakutan seperti anjing mau disembelih? Tidak, aku akan tetap bersama keluargaku disini, akan kuhadapi semua dengan tabah. Lebih baik aku tewas sebagai seorang pejabat yang membela kehormatannya sampai akhir daripada harus lari terbirit-birit ketakutan. Hanya ada satu permintaanku kepadamu, sicu. Kau selamatkanlah Hui Lian, anakku satu-satunya ini." Dan gubemur itu menuntun tangan Hui Lian, ditariknya ke depan Hui Song.

Hui Song yang baru beberapa hari lamanya berdekatan dengan gubernur itu, sudah dapat mengenal wataknya yang gagah dan teguh, maka diapun tahu bahwa berbantah tidak akan ada gunanya. Di samping itu, diapun menyangsikan apakah dia dan para pengawalnya akan berhasil kalau hendak menyelamatkan gubemur itu sekeluarganya karena pihak musuh terlampau banyak dan kalau kereta yang membawa gubernur itu dihujani anak panah, bagaimana pula dia akan dapat melindungi mereka?

Berbeda halnya kalau hanya menyelamatkan satu orang saja, apalagi yang bertubuh kecil seperti anak perempuan ini. Dan diapun tahu akan hati seorang ayah seperti Gubernur Kok, yang lebih senang melihat puterinya selamat daripada dirinya sendiri.

"Baik, taijin, akan saya coba untuk menyelamatkan adik ini," katanya sambil memegang tangan anak perempuan itu.

Anak itu tidak nampak ketakutan karena agaknya ia belum mengerti benar apa sebetulnya yang sedang terjadi. Rambutnya yang hitam diikat menjadi dua di atas kepalanya, seperti sepasang sayap burung saja dan ia memakai pita merah. Ia tersenyum ketika tangannya digandeng Hui Song yang biarpun belum dikenalnya benar, namun agaknya ia tahu bahwa orang ini adalah sahabat ayahnya. Akan tetapi ketika Hui Song menggandengnya dan mengajaknya keluar dari ruangan itu, anak itu menangis.

"Ayah...! Ibu...! Aku ikut ayah dan ibu...!"

Ibunya menangis, akan tetapi Kok-tai-jin memberi isyarat kepada Hui Song untuk membawa anak itu keluar. Hui Song lalu mengangkat dan memondongnya. Anak itu meronta-ronta, akan tetapi tidak berdaya dalam pondongan Hui Song.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: