*

*

Ads

Selasa, 06 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 110

Hui Song memasuki kota kecil yang merupakan benteng terakhir di daerah utara dari pasukan pemerintah. Benteng itu berada di dekat Tembok Besar, sebelah selatan tembok dan penduduknya cukup banyak karena kota San-hai-koan ini benar-benar merupakan kota dekat laut dan gunung. Penghuninya sebagian besar adalah orang-orang Han utara, akan tetapi banyak juga terdapat orang-orang Mongol dan Mancu, yaitu para pedagang yang datang dari luar Tembok Besar.

Karena kota benteng ini merupakan pertahanan terakhir dari pemerintah Kerajaan Beng. Pada waktu itu, kekuasaan Kerajaan Beng meliputi daerah yang cukup luas. Keselatan sampai lautan dan propinsi paling selatan adalah Kiang-si dan Yun-nan, ke barat hanya sampai Se-cuan dan Shen-si saja dan ke utara hanya sampai batas Tembok Besar. Tentu saja luasnya wilayah ini merupakan warisan atau rampasan dari kekuasaan Kerajaan Goan atau penjajah Mongol yang memang berambisi untuk memperluas wilayah.

San-hai-koan merupakan kota penghubung antara Tiongkok dan daerah Mongol dan Mancu, dan menjadi satu diantara benteng-benteng terakhir di utara, dan merupakan benteng terakhir dan terkuat di daerah timur laut. Karena itu, benteng ini diperkuat dengan pasukan yang cukup besar, dipimpin oleh seorang gubernur yang dibantu oleh seorang panglima perang.

Karena letaknya di tepi lautan, di tepi teluk besar Po-hai, maka sebagian besar daripada penghuninya adalah pelaut-pelaut dan nelayan yang biasa bekerja keras, di samping banyak pula yang menjadi pedagang karena ramainya lalu-lalang di daerah perbatasan ini. Kotanya cukup besar, banyak terdapat rumah makan dan rumah penginapan. Akan tetapi, penjagaan kota itu cukup ketat dan para penjaga keamanan selalu mengadakan pemeriksaan untuk mencegah terjadinya kerusuhan di kota benteng itu.

Ketika Hui Song memasuki kota itu, dia melihat banyak orang, kesemuanya pria, menuju ke satu jurusan. Dia sedang melakukan penyelidikan dan pencarian terhadap diri Sui Cin, maka melihat ramainya orang pergi ke jurusan tengah kota, diapun lalu menyusup diantara banyak orang sambil bertanya-tanya. Siapa tahu dia akan bertemu dengan Sui Cin di pusat keramaian, karena dia tahu bahwa Sui Cin suka sekali menyamar sebagai pria.

Dia tersenyum geli kalau teringat akan hal itu. Betapa bodohnya dia dahulu, kena dipermainkan gadis itu yang menyamar sebagai pria dan dia sama sekali tidak tahu bahwa "pemuda jembel" yang lucu dan jenaka itu adalah Sui Cin! Akan tetapi sekarang, biar gadis itu akan menyamar seribu kali, dia pasti akan dapat mengenalnya.

"Sobat, ada peristiwa apakah maka orang-orang begini banyak berbondong-bondong ke suatu arah? Kemanakah kalian hendak pergi?" tanyanya kepada seorang laki-laki brewok yang wajahnya membayangkan keramahan.

Orang itu memandang kepada Hui Song dan memicingkan matanya.
"Hemm, agaknya engkau baru datang dari selatan, ya?"

"Benar," Hui Song menjawab terus terang, "aku sedang melancong."

Si brewok itu menggeleng kepala.
"Aihh, melancong dalam waktu begini, sungguh berbahaya."

"Eh, ada apakah?"

"Negara sedang tidak aman. Didesas-desuskan orang bahwa akan ada pemberontakan besar. Karena itu, sejak sepekan ini, Kok-taijin dan Ji-ciangkun mengadakan sayembara penerimaan perwira-perwira baru, juga perajurit-perajurit cadangan untuk menjaga kalau-kalau benteng ini diserang musuh."

"Ah, begitukah? Sayembara apakah itu?"

"Tentu saja semacam pibu (adu kepan-daian silat). Setiap orang yang mampu mengalahkan pengujinya, akan diterima. Akan tetapi jangan harap untuk dapat mengalahkan penguji untuk penerimaan calon perwira itu. Kalau hendak masuk perajurit, boleh saja karena pengujinya tidak begitu berat. Akan tetapi penguji para calon perwira itu, waah, luar biasa sekali. Raksasa itu tak terkalahkan sehingga dalam sepekan ini, belum ada seorangpun yang lulus ujian! Dan hari ini kami semua ingin melihat apakah masih ada orang berani menghadapi raksasa itu."

Hati Hui Song tertarik sekali dan diapun ikut bersama rombongan orang yang berduyun menuju ke alun-alun, semacam lapangan rumput yang luas dan yang berada di tengah kota. Kota itu memang merupakan kota tentara, dikurung tembok benteng yang tinggi dan kokoh kuat, dan di dalamnya terdapat pula lapangan-lapangan untuk berlatih baris dan olah raga bagi para perajurit.

Ternyata di tempat itu sudah terdapat banyak orang. Mereka berdiri mengepung sebuah panggung yang tingginya setombak dan di belakang panggung itu terdapat sebuah bangunan kecil dimana duduk seorang pembesar sipil dan seorang pembesar militer yang dijaga oleh belasan orang pengawal yang bersenjata tombak dan golok. Dan di atas panggung berdiri seorang laki-laki yang tinggi besar.






Hui Song dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki tenaga yang amat besar. Dia sendiri mungkin hanya setinggi leher orang itu dan tubuhnya tidak ada setengahnya dibandingkan dengan tubuh raksasa itu. Kepalanya gundul, akan tetapi alisnya tebal dan hitam, kepala itu besar, dengan sepasang telinga yang lebar, mulut, hidung dan matanya juga besar. Tubuhnya yang hanya memakai cawat menutupi pinggul dan selangkangnya itu, kelihatan menyeramkan. Pada bagian dada, lengan, paha dan betis ditumbuhi rambut yang panjang-panjang seperti monyet.

Selain cawat itu, betisnya diikat semacam tali hitam dan sepatunya berwarna abu-abu. Perutnya besar gendut, akan tetapi penuh kekuatan dan nampak keras. Lengan dan kakinya juga penuh tonjolan dan gembungan otot-otot yang kekar. Pundaknya seperti pundak sapi jantan. Pendeknya, raksasa ini cukup menakutkan bagi orang yang harus menghadapinya sebagai lawan.

Dan melihat bentuk mukanya, Hui Song dapat menduga bahwa raksasa itu tentu bukan Bangsa Han, melainkan suku Mongol atau Mancu. Dan melihat dandanannya yang hanya mengenakan cawat, diapun dapat menduga bahwa orang itu tentu ahli silat yang amat kuat.

Seorang pengawal yang agaknya bertugas sebagai tukang bicara, dengan suara lantang berkata sambil berdiri di sudut panggung,

"Saudara-saudara sekalian! Bagi mereka yang belum mengenalnya, kami perkenalkan penguji calon perwira yang diajukan oleh Ji-ciangkun, dan inilah dia jagoan kami, ahli gulat yang bernama Moghul!"

Pegulat raksasa itu mengangkat kedua tangannya ke atas dan memberi hormat ke empat penjuru disambut tepuk sorak para penonton yang kagum kepadanya karena selama ini belum ada seorangpun mengalahkannya. Akan tetapi banyak juga diantara penonton memandangnya penuh kebencian.

"Biarkan aku maju menghadapinya, paman," kata seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berbaju hitam dan nampaknya gagah.

Hui Song memperhatikan percakapan antara orang ini dan seorang laki-laki berusia lima puluhan tahun yang berada di tempat itu pula, tidak jauh darinya.

"Aih, sudahlah, Bian-ji, jangan mencari penyakit. Engkau tidak tahu, selama beberapa hari ini sudah ada belasan orang-orang gagah yang naik melawannya, hanya untuk menjadi bulan-bulan dan permainannya, kemudian dilempar ke bawah panggung dalam keadaan menyedihkan, sedikitnya tentu tulang lengan atau kaki mereka patah-patah. Dia lihai sekali, kuat dan kebal," kata yang tua.

"Akan tetapi aku tidak takut, paman. Bukankah aku sudah mempelajari silat bertahun-tahun?" bantah yang muda.

"Ah, apa kau kira belasan orang muda yang maju pada hari-hari yang lalu itupun bukan ahli-ahli silat? Percuma saja, mereka itu satu demi satu, begitu tertangkap oleh tangan raksasa itu, tidak mampu berkutik, dibanting, ditekuk dan dipatah-patahkan tulangnya."

"Saudara-saudara sekalian," kembali tukang bicara itu berteriak nyaring, "Sampai hari ini belum ada seorangpun calon perwira yang lulus! Apakah benar di kota kita ini tidak ada orang gagah? Kami hanya membutuhkan lima sampai sepuluh orang saja. Tidak perlu mengalahkan Moghul, asal dapat bertahan melawan dia sampai habis terbakarnya sebatang hio saja sudah dianggap lulus. Kamipun tahu bahwa tidak ada orang yang akan mampu menandingi dan mengalahkan Moghul, si manusia gajah!"

Ucapan itu merupakan tantangan. Dengan mengatakan pertanyaan apakah di kota San-hai-koan tidak ada orang gagah, pertanyaan yang sengaja dikeluarkan oleh si pembicara tadi, si pembicara membangkitkan amarah dan penasaran dalam hati orang-orang yang merasa mempunyai kepandaian.

"Paman, aku akan mencoba...!" Pemuda baju hitam tadi segera melangkah maju mendekati panggung.

"A-bian... jangan...!" pamannya mencegah, akan tetapi si baju hitam itu sudah meloncat naik ke atas panggung.

Gerakannya cukup cekatan ketika meloncat dan para penonton menyambut penantang pertama ini dengan sorakan dan tepuk tangan memberi semangat. Si baju hitam itu lalu menghampiri bawah panggung tempat duduk dua orang pembesar dan memberi hormat.

"Hamba Kui Bian mohon perkenan paduka untuk mencoba kebodohan hamba."

Ji-ciangkun memberi isyarat dengan tangannya.
"Majulah dan mudah-mudahan engkau dapat lulus."

Seorang pengawal siap dengan sebatang hio dan dinyalakannya ujung itu. Asap mengepul dan hio itu ditancapkan di tempat hio yang ditaruh di sudut depan panggung yang luas tempat bertanding itu. Si baju hitam lalu bangkit dan menghampiri raksasa. Moghul yang sudah siap dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mulut menyeringai, lagaknya memandang rendah sekali.

Si baju hitam kini menghadapi Moghul dan sudah memasang kuda-kuda dengan sikap gagah. Akan tetapi raksasa itu hanya memandang saja dan menyeringai, dan melihat si baju hitam diam saja, diapun berkata dengan bahasa Han yang kaku,

"Majulah, hio telah menyala."

Si baju hitam tiba-tiba berteriak,
"Lihat serangan!" dan diapun menggerakkan tubuhnya yang meluncur ke depan.

Ternyata dia menggunakan tendangan dengan tubuh seperti terbang dan kedua kakinya itu meluncur ke arah dada si raksasa Mongol. Agaknya Moghul tidak menduga akan diserang seperti ini, maka dia terkejut sekali dan tidak mampu mengelak atau menangkis.

"Blukk...!"

Sepasang kaki itu menghantam dada telanjang itu dengan kuat sekali dan akibatnya, tubuh yang besar itu terjengkang ke atas papan panggung, menimbulkan suara berdebuk nyaring.

Sementara itu, si baju hitam sudah berjungkir balik dan tubuhnya sudah berdiri kembali ke atas papan dengan tegak. Sorak-sorai menyambut jatuhnya si raksasa ini dan Hui Song melihat betapa pembesar sipil yang duduk di atas panggung itu mengangguk-angguk sambil tersenyum girang dan mengelus jenggotnya. Agaknya pembesar ini girang melihat bahwa akhirnya muncul seorang gagah yang mampu merobohkan si raksasa dalam satu serangan saja. Sementara itu, Ji-ciangkun mengerutkan alisnya, agaknya tidak senang melihat jatuhnya jagoannya.

Memang tubuh raksasa Moghul itu kebal. Kiranya tendangan yang amat keras dan membuat dia terjengkang itu sama sekali tidak melukainya. Sebelum lawan sempat menyerang lagi, dia sudah meloncat bangun dan gerakannya ini amat mengherankan. Sukar dapat dipercaya seorang yang segendut dia dapat bergerak demikian cepatnya.

Dengan marah Moghul balas menyerang. Dia mementang kedua lengannya seperti seorang jago gulat atau seperti seekor biruang yang hendak menerkam, kemudian menerjang ke depan, kedua tangannya menyambar dari kanan kiri hendak menangkap kedua pundak lawan.

Akan tetapi si baju hitam itu cukup gesit, dengan gerakan yang cepat dia menyelinap di antara kedua tangan itu dan meloncat ke samping dan kembali melayang dan kedua kakinya menerjang dengan tendangan terbang seperti tadi, akan tetapi sekali ini dari samping kanan Moghul. Raksasa ini agaknya kini tahu akan kelihaian lawan, terutama tendangan terbang yang berbahaya itu. Maka diapun lalu menangkis dengan lengan kanannya yang besar.

"Bresss...!"

Dan kembali dia terguling. Biarpun dia dapat menangkis, namun tenaga tendangan kedua kaki yang dibantu berat badan yang melayang itu agaknya tidak mampu ditahannya dan untuk kedua kalinya dia roboh terpelanting. Agaknya si baju hitam itu sudah lama mengamati gerakan si raksasa Moghul dan tahu bagaimana untuk mengalahkannya, maka dia menggunakan tendangan-tendangan terbang itu untuk menyerang secara tiba-tiba dan dengan kekuatan yang amat besar.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: