*

*

Ads

Selasa, 06 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 108

Daerah pegunungan itu penuh dengan batu-batu karang yang besar-besar, seperti barisan bukit-bukit kecil atau jajaran bangunan-bangunan kuno yang aneh-aneh bentuknya. Dan di daerah ini banyak terdapat guha-guha alam yang besar-besar dan juga aneh-aneh bentuknya. Di atas sebuah di antara bukit-bukit batu itu, terdapat sebuah guha yang amat besar. Pintu guha ini luas, besar dan tinggi, juga amat bersih, tanda bahwa guha itu dirawat dengan baik. Lantainya amat rata dan halus, dan dari luar guha sudah nampak bahwa di sebelah dalam guha itu memang dijadikan tempat tinggal manusia, nampak tirai-tirai kain di balik pintu.

Nenek itu duduk bersila di atas sebuah tikar yang terbentang di ruangan depan guha. Ia adalah nenek Yelu Kim. Pakaiannya tetap bersih dan rapi dan wajahnya berseri. Tangan kanannya membawa kebutan bulu putih dan di depannya terdapat sebuah guci yang mengkilap dan indah, entah terisi apa karena tertutup.

Terdengar auman harimau dari depan guha. Untuk mencapai guha itu orang harus mendaki dari bawah. Nenek itu memandang ke bawah dan mengucapkan kata-kata dalam Bahasa Mongol untuk menyuruh harimau peliharannya itu mendaki naik membawa gadis yang diseretnya itu.

Harimau besar itu mendaki naik, menyeret tubuh Sui Cin dengan menggigit punggung baju gadis itu. Gadis itu masih dalam keadaan pingsan dan agaknya tidaklah sukar bagi harimau itu untuk menyeret tubuh Sui Cin menaiki anak tangga menuju ke mulut guha dimana nenek itu menanti dengan wajah berseri.

"Letakkan ia disini, Houw-cu," kata nenek itu sambil menudingkan kebutannya.

Harimau itu membawa Sui Cin ke depan si nenek dan melepaskannya di atas lantai. Tubuh Sui Cin rebah terlentang.

"Nah, kau boleh pergi mengaso, Houw-cu," kata pula nenek Yelu Kim dan harimau itu mengeluarkan suara mengaum panjang lalu berlari pergi menuruni anak tangga.

Nenek itu lalu membuka baju atas Sui Cin dan melakukan pemeriksaan, meraba sana-sini, mengetuk sana-sini dan akhirnya ia menutupkan lagi baju gadis itu dan mengangguk-angguk.

"Sungguh keji sekali Kiu-bwe Coa-li, meracuni seorang anak perempuan dengan racun ular bunga kuning, racun yang melumpuhkan kaki tangannya."

Kemudian, dengan gerakan ringan nenek itu mengangkat tubuh Sui Cin, dipondongnya tubuh itu dan dibawanya masuk ke dalam guha. Ternyata guha itu amat lebar dan di sebelah dalamnya terdapat sebuah kamar tidur dan sebuah ruangan yang luas. Nenek itu merebahkan tubuh Sui Cin di atas pembaringan kayu yang berada di sudut ruangan luas itu. Kemudian ia membuat api di tungku dan memasak obat.

Sebelum obat itu siap, Sui Cin sadar dari pingsannya. Ia mengeluh dan seketika teringat akan harimau itu, maka iapun bangkit duduk dan matanya terbelalak memandang ke kanan kiri. Tidak dilihatnya ada harimau disitu sehingga melegakan hatinya. Akan tetapi ketika ia melihat nenek yang sedang memasak obat, ia cepat turun dari pembaringan dan alisnya berkerut. Tentu saja ia mengenal nenek yang tadi berkelahi melawan Cia Sun itu.

"Nenek iblis! Apa yang telah kau lakukan terhadap Sun-twako?" bentaknya marah, akan tetapi perasaannya menjadi gentar ketika ia mencoba mengerahkan tenaga, masih saja tidak dapat membangkitkan tenaganya.

Yelu Kim masih duduk berjongkok di depan tungku api, menoleh dan tersenyum.
"Ah, engkau sudah sadar, nona? Aku dan Houw-cu sudah banyak mengejutkan hatimu, bukan? Lupakanlah itu, karena aku berniat baik terhadap dirimu."

"Hemmm, siapa mau percaya omongan seorang nenek iblis sepertimu? Dimana Sun-twako dan mau apa engkau membawaku ke tempat ini?"

Nenek itu tersenyum dan sebelum menjawab, ia mengambil tempat obat dari atas api dan menuangkan air obat yang berwarna coklat itu dan yang mengebulkan uap panas ke dalam sebuah mangkok. Bau sedap harum mencapai hidung Sui Cin, bau masakan obat.

"Aku tidak menyalahkan engkau kalau terjadi salah pengertian. Dengarlah, nona, aku Yelu Kim jangan kau samakan dengan Kiu-bwe Coa-li."

"Kalau tidak sama, mengapa engkau menyerang Sun-twako?"

"Memang kusengaja memancing dia meninggalkanmu agar mudah bagi Houw-cu untuk membawamu kesini."

Mata Sui Cin terbelalak.
"Apa? Harimau itu peliharaanmu dan dia kau suruh datang menculikku?"






Nenek itu masih tersenyum dan mengangguk.
"Aku tidak berniat jahat, anakku yang baik."

Sui Cin mendengus marah.
"Tidak berniat jahat akan tetapi menyuruh harimaumu mengejutkan hatiku dan menculikku, dan engkau sendiri menyerang dan memancing Sun-twako meninggalkan aku? Bagus, kau kira ada orang mau percaya omonganmu ini?"

"Terserah kepadamu, nona. Akan tetapi, kalau aku berniat buruk, apakah kau kira masih hidup sekarang ini, dan juga temanmu itu masih hidup?"

"Dimana Sun-toako?"

"Aku meninggalkan dia. Dia terlalu kuat dan aku tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Setelah engkau dibawa harimauku, akupun meninggalkannya."

"Tapi... tapi apa artinya semua ini dan apa kehendakmu melakukan hal itu terhadap kami?"

"Sabarlah dan dengarkan kata-kataku dengan baik. Terserah kepadamu apakah engkau akan percaya kepadaku atau tidak, akan tetapi sesungguhnya aku tidak mempunyai niat buruk terhadap dirimu atau terhadap temanmu yang gagah perkasa itu. Namaku Yelu Kim dan di daerah Mongol ini aku dihormati orang, bahkan dianggap sebagai orang tua yang patut dimintai nasihat oleh para kepala suku."

Nenek itu mulai bercerita dan ia merasa heran melihat betapa gadis ini sama sekali tidak kaget mendengar namanya. Timbul keinginan hatinya mengenal siapa adanya gadis ini dan apakah ia salah pilih, mengira gadis ini adalah seorang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan boleh diandalkan kelak.

"Nona, engkau sendiri siapakah, siapa namamu dan siapa pula gurumu, mengapa engkau sampai berada di daerah ini dan keracunan?"

Melihat sikap orang yang begitu ramah dan halus, berkuranglah kecurigaan Sui Cin. Bagaimanapun juga, dari sikap dan bicaranya, sukarlah menyamakan nenek ini dengan nenek iblis Kiu-bwe Coa-li. Ia menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dalam keadaan kehilangan tenaga ini iapun tidak akan mampu menjaga diri dan keselamatannya berada di tangan nenek ini, maka sebaiknyalah kalau ia bersikap halus mengimbangi sikap nenek itu.

"Ah, aku menjadi bingung kalau ditanya begitu, nek. Ketahuilah, aku telah lupa sama sekali akan keadaan diriku atau riwayatku. Karena aku kehilangan ingatan inilah maka Kiu-bwe Coa-li dapat menipuku, memberiku minum racun itu yang melumpuhkan kaki tanganku. Aku sampai sekarang tidak ingat lagi siapa adanya diriku, apalagi nama orang tua atau guruku, bahkan aku sendiri tidak tahu untuk apa aku berada di daerah ini..."

Mendengar ucapan itu dan melihat sikap yang sedih dari Sui Cin, nenek itu terkejut dan tertarik sekali. Ia memandang tajam penuh selidik.

"Apa? Engkau kehilangan ingatanmu? Bagaimana bisa terjadi demikian dan kapan terjadinya?"

"Bagaimana aku tahu, nek? Yang kuingat hanyalah bahwa kepalaku terpukul batu yang dilontarkan seorang musuh yang lihai. Aku lupa segala dan ada dorongan dalam hatiku untuk pergi keluar Tembok Besar dan disinilah aku. Aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li yang sejak dahulu menjadi musuh besarku. Akan tetapi aku tidak mengenalnya dan baru aku tahu setelah ia memberi minum racun dan aku terjatuh ke dalam tangannya, aku ditawan dan ia mengaku bahwa ia adalah musuh besarku. Hampir aku tewas olehnya, akan tetapi untung muncul Cia Sun yang menolongku. Menurut Sun-twako, antara aku dan dia masih ada hubungan dekat, akan tetapi akupun sudah tidak ingat lagi siapa dia. Dia berusaha mengobatiku dari pengaruh racun yang melumpuhkan, dan engkau muncul..."

Nenek itu tertarik sekali dan mengangguk-angguk.
"Ah, kalau begitu, selain menyembuhkan engkau dari keracunan, akupun harus berusaha membangkitkan kembali ingatanmu itu, nona."

Sui Cin memandang tajam.
"Mengapa, nek? Mengapa engkau hendak menolongku dengan cara seperti itu? Memisahkan aku dari Sun-twako dan menyuruh harimau peliharaanmu itu untuk membawaku kesini?"

"Nona, di tengah jalan aku bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan iblis itu tanpa sebab menyerangku. Akan tetapi akhirnya ia tewas oleh ulahnya sendiri, terjatuh ke dalam jurang. Lalu ketika aku melanjutkan perjalanan, aku melihat engkau sedang diobati oleh pemuda itu. Aku dapat menduga bahwa engkau tentu terluka oleh Kiu-bwe Coa-li. Aku merasa kasihan kepadamu dan ingin mengobatimu, akan tetapi juga aku dapat menduga bahwa engkau tentu memiliki ilmu silat tinggi, dan agaknya hanya engkaulah yang akan mampu membantuku menyelesaikan sebuah persoalan. Akan tetapi aku tidak mau kalau pemuda itu mencampurinya, maka aku lalu menggunakan akal untuk memancingnya meninggalkanmu dan aku menyuruh Houw-cu untuk membawamu ke sini."

Sui Cin mengerutkan alisnya. Tahulah ia kini bahwa nenek ini hendak menolongnya, akan tetapi juga hendak minta bantuannya. Pertolongan yang bersyarat, pikirnya.

"Nenek yang baik, hendaknya engkau ketahui lebih dahulu bahwa kalau minta bantuanku untuk melakukan kejahatan, aku tidak sudi dan biarlah aku tidak menerima pengobatanmu!"

Nenek itu tertawa.
"Nona, sekali lagi kukatakan bahwa jangan engkau menyamakan aku dengan mendiang Kiu-bwe Coa-li."

"Sungguh aneh sekali. Engkau yang mampu mengalahkan bahkan membunuh seorang iblis seperti Kiu-bwe Coa-li, masih mengharapkan bantuanku. Apakah yang dapat kulakukan untuk seorang sakti seperti engkau?"

"Sudahlah, tidak perlu engkau membuang banyak tenaga. Mari kuobati engkau lebih dulu, baru nanti kuceritakan apa yang harus kau lakukan untukku. Mari, kau minumlah obat ini dan racun ular itu akan menjadi tawar dan kelumpuhanmu akan lenyap, tenagamu akan pulih kembali."

"Tapi... tapi engkau belum menceritakan syaratmu..." Sui Cin meragu.

"Tidak usah. Biar kusembuhkan dulu engkau, baru kemudian kuceritakan dan andaikata engkau menganggap syarat itu terlalu berat atau tidak berkenan di hatimu, engkau boleh tidak usah melakukannya. Nah, kau tahu sekarang bahwa aku tidak berniat buruk. Minumlah dan engkau akan sembuh."

Sui Cin yang tahu bahwa kalau ia tidak minum obat, keselamatannya tentu terancam maut, maka iapun lalu nekat. Memang benar ucapan nenek ini, kalau nenek ini bermaksud buruk dan hendak membunuhnya, apa sukarnya? Apa perlunya nenek ini susah-susah membawanya ke sini dan memberinya obat kalau maksudnya buruk? Ia lalu menerima mangkok itu dan minum isinya. Cairan berwarna coklat itu rasanya tidaklah seburuk rupanya. Baunya sedap dan rasanya agak manis, maka tanpa ragu-ragu lagi diminumnya obat itu sampai habis.

Tiba-tiba ia merasa betapa dalam perutnya bergerak-gerak dan terdengar suara berkeruyukan seperti perut yang lapar sekali. Ia terkejut dan memandang nenek itu dengan tajam. Akan tetapi nenek Ye-lu Kim tersenyum.

"Nona, kau duduklah bersila dan cobalah perlahan-lahan menghimpun tenagamu. Jangan tergesa-gesa, kalau pintu pusar sumber tian-tian sudah terbuka, salurkan tenagamu perlahan-lahan agar tidak merusak jaringan syaraf yang penting. Nah, mulailah. Lebih baik pejamkan matamu."

Sui Cin menurut dan iapun bersila. Makin lama makin keras gerakan dalam perutnya dan perlahan-lahan ia merasa betapa hawa panas bangkit dari pusarnya dan ada kekuatan yang naik. Ia lalu menguasai tenaga itu dan perlahan-lahan menyalurkannya ke seluruh tubuh, perlahan-lahan dan hati-hati sampai ia merasa biasa kembali dengan tenaga sakti yang tadi seperti tenggelam itu. Tak lama kemudian ia merasa segar dan sehat kembali dan dibukanya kedua matanya.

Nenek Yelu Kim berdiri memandang kepadanya dengan senyum ramah. Kini lenyaplah keraguan dari hati Sui Cin dan iapun cepat bangkit dan memberi hormat kepada wanita itu, malu kepada diri sendiri mengingat betapa ia tadi bersikap kasar dalam keraguannya.

"Harap locianpwe sudi memaafkan kekasaranku tadi dan terima kasih atas pertolongan locianpwe."

Nenek itu tersenyum.
"Nantl dulu, aku ingin melihat apakah aku tidak salah menilai orang. Nona, sambutlah seranganku ini!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: