*

*

Ads

Minggu, 04 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 105

Kiu-bwe Coa-li lari sambil memaki-maki.
"Keparat! Anjing monyet tikus sialan!"

Ia merasa betapa nasibnya amatlah buruknya. Sudah baik-baik bertemu dengan puteri Pendekar Sadis, malah sudah berhasil ia meringkus tanpa banyak susah dan selagi ia menikmati kepuasan hatinya menyiksa gadis itu sebelum membunuhnya, tahu-tahu muncul pemuda lihai itu, putera ketua Pek-liong-pang dari Lembah Naga! Dan nyaris ia celaka, mungkin tewas di tangan pemuda itu! Hanya dengan susah payah dan berkat kecerdikannya ia mampu lolos dari ancaman maut, walaupun cambuk ekor sembilan dan rambutnya rontok dan bodol!

"Sialan...!" gerutunya. mungkin ia kurang perhitungan ketika melakukan perjalanan, keliru memilih hari baik!

Memang menggelikan sekali ulah nenek iblis itu. Akan tetapi, kalau kita mau membuka mata melihat kenyataan hidup ini, akan nampaklah oleh kita bahwa kenyataan hidup sehari-hari diantara kita tidaklah banyak bedanya dengan sikap nenek Kiu-bwe Coa-li itu.

Kitapun sudah terbiasa sejak kecil untuk menggantungkan diri pada nasib! Dan setiap ada peristiwa merugikan menimpa diri kita, kita lalu menyalahkan kepada nasib. Nasib buruk, sial, bintang gelap, dan sebagainya kita lontarkan sebagai ungkapan kekecewaan hati. Mari kita sama membuka mata dan mengamati kenyataan ini. Tidak demikianlah kebiasaan kita sehari-hari?

Kita selalu mencari kambing hitam keluar, menimpakan semua kesalahan keluar diri kita dan mencari-cari alasan dari luar, lalu kalau tidak menemukan lain orang atau barang sebagai penyebab datangnya kegagalan atau kerugian, kita masih melontarkan sebabnya kepada nasib!

Seorang yang gagal dalam ujian akan mencari-cari alasan keluar, menyalahkan gurunya yang dikatakan tidak adil, menyalahkan sistim pelajarannya, menyalahkan teman-teman dan kalau tiada alasan menimpakan kesalahan kepada orang lain lalu melontarkannya kepada nasib. Nasib buruk katanya!

Seorang yang gagal dan kalah dalam pertandingan olah raga dan lain-lain akan mencari-cari alasan di luar dirinya, menyalahkan lapangannya yang dikatakan buruk, licin dan sebagainya, menyalahkan alat permainan yang dikatakannya tidak memenuhi syarat dan sebagainya, atau ada pula yang menyalahkan keadaan kesehatannya atau juga melontarkannya kepada nasib!

Seorang yang dagangannya tidak laku dan gagal dalam usahanya akan selalu mencari kesalahan pada tempatnya, para pembelinya, atau juga kepada nasib. Seorang pengarang yang hasil karangannya tidak mendapat sambutan, tidak dibaca orang akan menyalahkan para pembaca yang dikatakannya tolol dan bodoh tidak mengenal karangan yang bermutu dan yang baik, atau juga melontarkannya kepada nasib.

Bukankah semua ini merupakan suatu sikap yang amat buruk, suatu kelucuan yang konyol dan tidak lucu? Bukankah sikap seperti itu merupakan suatu kebodohan dan menjadi penghalang besar daripada kemajuan diri pribadi? Kalau saja mereka itu mau menyelidiki dan mencari alasan-alasan kegagalan itu dalam diri sendiri, pasti akan mereka temukan sebab-sebab kegagalan semua itu. Sebabnya terletak dalam diri sendiri!

Segala sesuatu yang terjadi di dunia ini berputar pada suatu sumber yang berada di dalam diri sendiri. Dan sikap mencari segala sebab pada diri sendiri merupakan suatu kebijaksanaan yang amat besar dan amat berguna bagi kehidupan manusia, karena dengan cara demikian, kita masing-masing akan dapat melihat dan menemukan kesalahan-kesalahan dan kekurangan-kekurangan pada diri sendiri dan hanya kalau kita sudah menemukan kesalahan-kesalahan kepada diri sendiri inilah maka akan dapat terjadi perbaikan-perbaikan dan pembetulan-pembetulan. Nasib berada di dalam telapak tangan kita sendiri karena segala sebab dan semua akibat berada di telapak tangan kita sendiri.

Bukan hanya kegagalan, bahkan segala peristiwa, seyogianya ditelusur dari dalam diri sendiri. Kalau ada orang membenci kita, biasanya kita menjadi marah, kita membiarkan pikiran berceloteh, mengagungkan diri sendiri sedemikian tingginya.

"Mengapa dia benci kepadaku? Kurang bagaimanakah aku? Aku selalu baik, selalu ramah, selalu memberi, akan tetapi mengapa dia benci kepadaku? Dasar dia orang dengki, iri, jahat...!" Demikianlah celoteh pikiran yang selalu mengangkat dan mengagung-agungkan diri sendiri.

Dengan cara membiarkan pikiran berceloteh macam itu, kita akan mandeg, bahkan mundur, dan kita tidak akan mampu melihat kenyataan, melihat kesalahan sendiri dan kita hanya akan menambah kebencian diantara manusia.

Akan tetapi, kalau kita selalu waspada terhadap diri sendiri, mengamati diri sendiri tanpa menilai, tanpa mencela atau memuji, akan nampaklah segalanya itu, akan jelaslah bagi kita mengapa ada orang membenci kita dan sebagainya. Dan kewaspadaan ini, pengamatan ini sekaligus menimbulkan kesadaran yang melahirkan tindakan nyata pula, mendatangkan keberanian untuk merobah kesalahan sendiri.

Kiu-bwe Coa-li bersungut-sungut dan marah-marah, menyalahkan nasibnya. Padahal semua kegagalan yang menimpa dirinya bukan lain merupakan buah yang dipetik dari pohon yang ditanamnya sendiri! Ia bersungut-sungut dan karena ia berjalan cepat sambil melamun, hampir saja ia menabrak seorang yang sedang berjalan perlahan dari depan. Orang itu menyerongkan langkah, memiringkan tubuh sehingga tabrakan terhindar.






Kiu-bwe Coa-li hanya merasakan angin berseliwer halus ketika orang itu lewat di sampingnya dan barulah ia sadar bahwa hampir saja ia bertubrukan dengan orang lain. Hatinya yang sedang murung itu menjadi panas dan marah, apalagi ketika ia mengangkat muka dan melihat bahwa yang hampir bertubrukan dengannya itu juga seorang nenek yang pakaiannya indah dan bersih.

Nenek inipun sudah tua, tentu sudah tujuh puluh tahun lebih, malah lebih tua dari nenek Kiu-bwe Coa-li. Akan tetapi jelas nampak perbedaan antara kedua orang nenek itu. Kalau Kiu-bwe Coa-li berwajah buruk sekali, sebaliknya nenek ini menunjukkan bahwa di waktu mudanya ia tentu seorang wanita yang amat cantik.

Akan tetapi bukan kecantikan seorang wanita Han, melainkan kecantikan asing, dengan matanya yang lebar, hidungnya yang terlalu mancung dan dagunya yang panjang meruncing itu. Juga dandanannya jauh berbeda dengan wanita Han, bahkan juga berbeda dengan pakaian wanita-wanita Mongol pada umumnya. Rambutnya yang sudah putih itu dikuncir dua, bukan dikuncir melainkan dibagi dua dan diikat dengan kain lebar. Telinganya yang lebar itu memakai anting-anting gelang yang besar pula. Lehernya memakai kalung dari untaian batu-batu putih bundar seperti tasbeh. Jubahnya berwarna putih bersih, dengan rangkapan berwarna biru dan kuning yang indah.

Tangannya memegang sebatang kebutan yang juga berbulu putih seperti rambutnya. Nenek ini nampak agung dan berwibawa, juga gerak-geriknya halus seperti wanita bangsawan. Mulutnya tersenyum membayangkan kebesaran hati ketika ia memandang kepada Kiu-bwe Coa-li.

Sejenak Kiu-bwe Coa-li mempergunakan sepasang matanya yang agak juling itu untuk memandang dan hatinya menjadi semakin panas. Nenek itu dianggapnya terlalu sombong dan genit! Sudah tua masih berdandan begitu rapinya, memakai kalung dan anting-anting pula, dan pakaiannya bagus-bagus!

"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya sambil menggoyang-goyang cambuknya. "Dimana kau taruh matamu maka engkau berani hampir menubruk aku?"

Nenek berjubah putih-putih itu tersenyum.
"Sobat, jangan marah-marah dulu dan ingatlah baik-baik, siapa yang bendak menubruk tadi? Engkau berjalan setengah berlari sambil melamun sehingga tidak melihat ke depan dan kalau aku kurang cepat menyingkir tentu telah kau tabruk."

Suaranya halus dan dari suara dan kata-katanya jelas bahwa ia adalah seorang wanita Mongol yang pandai berbahasa Han. Kata-katanya menunjukkan bahwa ia terpelajar, karena ia menggunakan bahasa yang halus, lebih halus daripada kata-kata yang keluar dari mulut Kiu-bwe Coa-li, seorang nenek berbangsa Han asli.

Ucapan yang halus dan sikap yang tenang itu menambah kemarahan Kiu-bwe Coa-li, karena ia merasa seolah-olah diejek. Ia menudingkan cambuknya ke arah muka nenek itu sambil membentak,

"Perempuan tua bangka Mongol yang bosan hidup! Buka mata dan telingamu baik-baik. Engkau berhadapan dengan Kiu-bwe Coa-li dan kalau engkau tidak lekas berlutut minta ampun, cambukku akan mencabut nyawamu!"

"Ck-ck-ck..." Nenek itu menggeleng kepala perlahan sehingga anting-antingnya yang seperti gelang itu bergoyang-goyang, akan tetapi mulutnya masih tersenyum. "Kiranya Kiu-bwe Coa-li, seorang dari Cap-sha-kui yang namanya menggelapkan angkasa di selatan? Wah, hebat sekali. Kiu-bwe Coa-li, aku sudah tua, nyawa ini tidak akan dapat kupertahankan selamanya dan sekali hendak pergi meninggalkan badan, siapa yang mampu menangguhkannya? Akan tetapi jangan harap dapat memaksaku berlutut karena aku tidak mempunyai kesalahan apapun kepadamu."

"Keparat! Berani engkau membantah dan menantangku? Apakah kau bosan hidup?"

Pada saat itu terdengar auman yang keras dan menggetarkan bumi. Kiu-bwe Coa-li terkejut bukan main ketika tiba-tiba seekor harimau yang amat besar muncul dan berlari menghampiri nenek berjubah putih itu. Harimau itu juga memandang kepadanya dan menggereng marah, matanya mencorong dan bibir atasnya mendesis-desis, meringis memperlihatkan gigi dan taring yang amat kuat.

Diam-diam Kiu-bwe Coa-li merasa ngeri dan jerih juga. Biarpun ia lihai, akan tetapi menghadapi seekor harimau yang demikian besarnya, ia maklum betapa besar bahayanya melawan binatang seperti ini.

"Houw-cu... diamlah dan jangan ribut," kata nenek itu dengan suara membujuk dan harimau itu lalu mendekam di samping si nenek berjubah putih.

"Huh, biarpun engkau mempunyai peliharaan kucing itu, jangan dikira aku takut!" Kiu-bwe Coa-li menantang.

Nenek itu tetap tersenyum, akan tetapi sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar mencorong, seperti mata binatang peliharaannya.

"Kiu-bwe Coa-li, sungguh mengherankan sekali bahwa orang dengan watak seperti engkau ini dapat hidup sampai usia tua. Aku bukan orang yang suka mempergunakan kekerasan, tidak suka berkelahi, akan tetapi juga bukan orang yang takut akan ancaman-ancaman dan gertak-gertak kosong belaka!"

"Akan tetapi yang suka mengandalkan perlindungan binatang buas!" ejek Kiu-bwe Coa-li yang masih merasa ragu-ragu untuk turun tangan mengingat adanya harimau yang nampaknya buas sekali itu.

Kalau hanya harimau biasa saja, ia tidak akan gentar. Akan tetapi harimau ini sungguh luar biasa besarnya dan nampaknya kuat bukan main.

"Begitukah? Aku tidak minta perlindungan Houw-cu, dia hanya marah karena hidungnya dapat mencium bau busuk. Eh, Houw-cu, pergilah bersembunyi sebentar agar perempuan kejam ini tidak menjadi ketakutan."

Seperti seekor binatang jinak yang mengenal perintah majikannya, harimau itu pergi setelah beberapa kali menoleh ke arah Kiu-bwe Coa-li sambil menggereng seperti merasa curiga dan marah. Kemudian dia menghilang di balik pohon-pohonan dan tidak terdengar lagi suaranya.

"Nah, dia sudah pergi, Kiu-bwe Coa-li. Sekarang engkau mau apa?"

"Mau membunuhmu!" bentak Kiu-bwe Coa-li marah dan nenek ini sudah melakukan serangan dengan cambuknya.

Cambuk itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan dan biarpun sudah ada dua ekornya yang putus ketika ia menghadapi Cia Sun tadi, akan tetapi masih ada sisa tujuh ekor yang kini menyambar dan melakukan totokan-totokan yqng dahsyat.

"Hemmm...!"

Nenek berjubah putih itu berseru kaget menyaksikan kehebatan gerakan serangan Kiu-bwe Coa-li dan ia melompat ke belakang sambil mengebutkan kebutan putih di tangannya.

"Pratt-pratt-prattt!"

Cambuk itu bertemu dengan kebutan beberapa kali dan nenek berjubah putih itu terhuyung ke belakang.

"Heh-heh-heh, kematian sudah di depan mata, bersiaplah engkau, tua bangka!"

Kiu-bwe Coa-li mengejek dan terus menyerang lagi. Ia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada nenek itu sehingga bertanya namapun tidak. Demikian watak orang-orang Cap-sha-kui yang rata-rata sombong dan kejam itu. Dan itulah kesalahannya.

Andaikata ia tadi bertanya dan ia tahu dengan siapa dia berhadapan, tentu ia akan bersikap hati-hati dan mungkin ia akan pergi tanpa berani mengganggu nenek berjubah putih itu. Akan tetapi ia terlalu sombong dan pada saat itu hatinya sedang marah karena kekalahannya terhadap Cia Sun.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: