*

*

Ads

Minggu, 04 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 104

Tentu saja nenek ini tidak tahu bahwa Cia Sun tiga tahun yang lalu tidak dapat disamakan dengan Cia Sun sekarang. Seperti kita ketahui, pemuda ini diajak pergi oleh seorang kakek sakti yang hanya memperkenalkan diri sebagai Go-bi San-jin dan diantara puncak-puncak Pegunungan Go-bi-san yang sunyi, pemuda ini telah digembleng dengan hebat.

Setelah oleh gurunya yang baru itu dia dinyatakan sudah cukup menerima ilmu, gurunya menyuruhnya pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang di luar Tembok Besar, tidak begitu jauh dari Lembah Naga, untuk menghadiri pertemuan para pendekar.

"Dunia sudah berubah," demikian Go-bi San-jin yang gendut itu berkata, "para datuk sesat, seperti iblis-iblis keluar dari neraka dan siap mengacau dunia. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang mereka itu dan para pendekar sudah bersepakat untuk mengadakan pertemuan di tempat itu. Pergilah kesana. Akan tetapi jangan lupa, engkau mempunyai semacam tugas lain. Jika engkau bertemu dengan seorang murid dari Ciu-sian Lo-kai, nah, dia itu lawanmu. Bukan musuh, melainkan lawan dan antara aku dan Ciu-sian Lo-kai sudah saling berjanji untuk mengadu murid kami masing-masing. Engkau tidak boleh kalah karena hal itu akan membuatku malu."

Tugas pertama diterima dengan gembira oleh Cia Sun, akan tetapi tugas kedua ini sebenarnya tidak berkenan di dalam hatinya. Bagaimana dia harus melawan dan berkelahi dengan seorang yang tidak dikenalnya, tanpa sebab, bahkan bukan musuh, melainkan hanya karena perjanjian antara guru mereka untuk saling mengadu murid-murid mereka? Seperti ayam aduan atau jengkerik saja.

Akan tetapi, perintah guru tidak mungkin diabaikan dan diapun menyanggupi. Demi-kianlah, pemuda dari Lembah Naga ini meninggalkan gurunya dan dalam perjalanan menuju ke bekas benteng Jeng-hwa-pang, di daerah Mongol ini, secara kebetulan saja dia melihat seorang gadis yang akan dikorbankan kepada ular-ular berbisa oleh seorang nenek mengerikan.

Cia Sun segera mengenal nenek itu sebagai Kiu-bwe Coa-li, seorang diantara Cap-sha-kui, akan tetapi hampir dia berteriak ketika dia mengenal pula Sui Cin! Gadis yang dibelenggu dan menghadapi ancaman mengerikan dari ular-ular sendok itu adalah Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang selama ini tidak pernah dia lupakan.

Akan tetapi, Cia Sun adalah seorang pemuda yang tenang. Melihat keadaan Sui Cin, din tidak tergesa-gesa bertindak sembrono untuk menyelematkannya dengan kekerasan begitu saja. Dia tahu betapa lihainya nenek itu dan tiga ekor ular sendok itu sudah siap mematuk, apalagi tempat itu dikelilingi oleh puluhan ekor ular.

Maka, sambil bersembunyi dia lalu meniup sulingnya yang selalu dibawanya, dan mengerahkan khi-kang untuk mengusir ular-ular itu. Barulah dia muncul dan dia masih terus menggunakan sulingnya untuk mengalihkan perhatian tiga ekor ular sendok itu dari Sui Cin kepada dirinya. Setelah ular-ular itu menyerangnya, barulah dia turun tangan membunuh binatang-binatang itu.

Melihat betapa nenek iblis itu menyerangnya dengan ganas, Cia Sun tidak tinggal diam menahan diri begitu saja. Nenek ini adalah seorang diantara Cap-sha-kui, datuk-datuk sesat yang amat jahat dan karenanya haruslah dibasmi. Dulu, pernah dia hampir celaka diserang nenek ini bersama pengeroyokan ular-ularnya dan pada waktu itu untung muncul Sui Cin yang membantunya.

Kini, Sui Cin yang menjadi korban kejahatan nenek itu, dan untung dia yang tanpa disengaja tiba di tempat itu sehingga dapat menyelamatkan Sui Cin. Yang membuat dia terheran-heran adalah melihat Sui Cin kelihatan begitu lemah, tidak mampu membebaskan diri dari belenggu yang tidak begitu kuat itu. Apa yang telah terjadi dengan gadis itu? Dan mengapa Sui Cin memandangnya dengan sinar mata keheranan seperti itu, sama sekali tidak kelihatan bahwa gadis itu mengenalnya? Apakah Sui Cin sudah pangling kepadanya?

Setelah mengelak dari sambaran cambuk ekor sembilan, Cia Sun membalas dengan serangan tamparan tangan kirinya, disusul totokan suling yang tadi dipergunakannya untuk mengusir ular.

Nenek itu mengelak dan menggerakkan lagi cambuknya yang mengeluarkan suara meledak-ledak. Terjadilah perkelahian yang seru, serang-menyerang dengan dahsyatnya. Akan tetapi, segera nenek itu mendapatkan kenyataan pahit bahwa lawannya ini luar biasa kuatnya, terlalu tangguh baginya. Semua serangannya gagal, bukan hanya gagal, akan tetapi setiap kali benturan tenaga, ia tentu terdorong dan terhuyung. Hatinya mulai merasa jerih. Akan tetapi Cia Sun yang mengambil keputusan untuk membunuh nenek jahat ini, mendesak terus dengan pukulan-pukulannya yang ampuh.

Pada suatu saat nenek itu terdesak dan terhuyung ke belakang. Dengan gerakan aneh tangan kanan Cia Sun menyambar ke arah ubun-ubun kepala nenek itu dengan cengkeraman maut yang dahsyat. Nenek itu terkejut, cepat menggerakkan cambuknya menangkis dan langsung melibat lengan kanan lawan, kemudian kepalanya bergerak dan rambutnya yang riap-riapan itu menyambar ke arah leher Cia Sun untuk menotok jalan darah maut.

Pemuda itu tidak menjadi gugup, tangan kirinya menyambar dan menangkap bulu-bulu cambuk, kemudian kaki kiri Cia Sun melayang ke depan mengirim tendangan yang mengarah leher lawan. Hebat sekali tendangan ini dan dilakukan selagi kedua tangan mereka tidak bebas. Kiu-bwe Coa-li terkejut dan cepat mengelak dengan miringkan kepala, akan tetapi tetap saja ujung sepatu kaki Cia Sun mengenai pundaknya.

"Dukkk...!"






Tubuh nenek itu terpelanting dan ujung bulu cambuknya rontok karena sebagian putus oleh cengkeraman tangan Cia Sun, sedangkan rambut kepalanya juga banyak yang jebol. Ia menggulingkan tubuh untuk menghindarkan serangah susulan, akan tetapi pemuda itu tidak mau mendesak lawan yang sudah roboh, hanya bersiap-siap melanjutkan perkelahian itu.

Kiu-bwe Coa-li tidak terluka berat, akan tetapi ia maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu akhirnya ia akan kalah karena pemuda itu sungguh lihai bukan main. Ia khawatir bahwa kalau ia melarikan diri, pemuda itu tentu akan mengejarnya, maka iapun mempergunakan akal. Sambil menudingkan cambuknya yang sudah bodol itu ke arah Sui Cin yang masih terbelenggu, ia berkata,

"Kau membelanya? Biarlah ia mampus sekarang juga!"

Dari tengah gagang cambuknya meluncur jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat di gagang cambuk.

Cia Sun terkejut bukan main. Tangannya cepat membuat gerakan memukul ke arah depan gadis itu dan jarum-jarum halus beracun itupun runtuh semua! Kiu-bwe Coa-li semakin kaget. Pemuda ini benar-benar hebat, pikirnya dan hatinya menjadi semakin gentar. Kini cambuknya menuding ke arah pemuda itu dan kembali ada belasan batang jarum halus menyambar ke arah Cia Sun.

"Nenek iblis jahat!"

Cia Sun membentak dan begitu ia mengebutkan lengan bajunya, jarum-jarum itu bukan hanya runtuh, melainkan membalik ke arah nenek itu! Kiu-bwe Coa-li mengebutkan cambuknya dan jarum-jarum itupun runtuh.

"Heh-heh-heh, orang muda, kau boleh juga. Akan tetapi temanmu itu jangan harap akan dapat hidup lagi, ia telah keracunan. Lihat, wajahnya sudah mulai kehilangan cahayanya!"

Cia Sun terkejut dan menoleh. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiu-bwe Coa-li untuk meloncat dan melarikan diri. Cia Sun tiduk mau mengejar karena dia mengkhawatirkan keadaan Sui Cin. Dia tahu bahwa nenek itu tidak membohong. Keadaan Sui Cin memang tidak wajar. Gadis yang dahulu dia kenal sebagai seorang pendekar wanita yang hebat, puteri tunggal Pendekar Sadis, kini demikian lemah dan tidak berdaya sehingga terbelenggu seperti itupun tidak mampu membebaskan diri. Tentu gadis itu telah terluka, atau keracunan seperti yang dikatakan nenek itu. Diapun cepat meloncat dekat dan melepaskan ikatan kaki tangan dan pinggang gadis itu.

Sejak tadi Sui Cin menjadi saksi perkelahian itu dan iapun merasa kagum kepada pemuda berpakaian serba putih sederhana yang lihai itu. Setelah semua belenggu yang mengikat kaki tangannya putus dan ia menjadi bebas, ia segera merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat dan berkata,

"Terima kasih, engkau telah menyelamatkan aku dari tangan nenek iblis itu."

Cia Sun membalas penghormatan itu sambil tersenyum.
"Adik Sui Cin, kenapa engkau begini sungkan? Diantara kita mana ada sebutan pertolongan?"

Sui Cin memandang dengan mata terbelalak dan jelas nampak oleh Cia Sun betapa gadis ini sekarang menjadi semakin cantik menarik.

"Saudara yang gagah perkasa, apa maksudmu...?"

Kini Cia Sun yang melongo.
"Cin-moi... lupakah engkau kepadaku? Aku Cia Sun..."

Akan tetapi gadis itu memandang bingung.
"Cia Sun...? Aku... aku tidak mengenal nama itu..."

"Ehh...? Bagaimana ini? Bukankah engkau... adik Ceng Sui Cin?"

Sui Cin menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.
"Aku tidak tahu... aku tidak tahu..."

Cia Sun merasa khawatir sekali dan memandang tajam.
"Apa maksudmu? Apakah engkau hendak mengatakan bahwa engkau bukan adik Ceng Sui Cin?"

"Aku tidak tahu apakah namaku Ceng Sui Cin ataukah Ceng Bi Hwa..."

"Apa pula ini? Bagaimana engkau tidak yakin akan nama sendiri?"

"Aku tidak tahu, aku sudah lupa segalanya... dan nama Ceng Sui Cin atau Ceng Bi Hwa itupun kudengar dari nenek itu..."

"Engkau adalah adik Ceng Sui Cin, tak salah lagi! Coba ingat-ingat baik-baik, aku adalah Cia Sun dari Lembah Naga. Lupakah engkau kepada nama itu? Antara ayahmu dan ayahku terdapat hubungan yang amat erat... bukankah ayahmu adalah paman Ceng Thian Sin yang berjuluk Pendekar Sadis?"

Dengan sedih Sui Cin menggeleng kepala.
"Aku lupa semua, aku tidak tahu apa-apa, aku lupa siapa sebenarnya diriku. Aku hanya ingat bahwa aku terkena lemparan batu pada kepalaku, dan aku dikejar-kejar seorang musuh lihai. Kemudian aku bertemu dengan nenek itu dan ia telah menipuku, memberi minum yang katanya obat mengembalikan ingatanku. Akan tetapi ternyata obat itu adalah racun, aku menjadi lemas dan dibelenggunya seperti tadi... dan ia mengaku bernama Kiu-bwe Coa-li, katanya ia adalah musuh besarku..."

"Tentu saja! Ia adalah seorang diantara Cap-sha-kui yang jahat. Lupakah engkau?"

"Aku tidak ingat lagi siapa itu Cap-sha-kui..."

"Aih, Cin-moi. Aku pernah hampir celaka di tangan nenek ini beberapa tahun yang lalu, dan engkaulah yang muncul menolongku. Apakah engkau tidak ingat?"

Sui Cin menggeleng kepalanya.
"Aku lupa segala... kepalaku pening, ahh... batu itu menghantam kepalaku amat kerasnyna..." Gadis itu duduk kembali dan memejamkan mata untuk berusaha mengumpulkan tenaganya, akan tetapi ia mengeluh. Tenaganya hilang. "Aku lemas sekali, seluruh tenagaku lenyap... ini tentu karena racun yang diberikan nenek iblis itu kepadaku..."

"Cin-moi, kalau begitu aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah kehilangan ingatanmu, entah mengapa, mungkin seperti yang kau ingat itu, terkena lemparan batu sehingga otakmu terguncang dan ingatanmu hilang atau kabur. Kemudian, dalam keadaan hilang ingatan itu engkau bertemu dengan Kiu-bwe Coa-li dan nenek iblis yang curang itu telah menipumu, menggunakan keadaan dirimu yang lupa ingatan, kemudian meracunimu. Engkau keracunan, Cin-moi. Dan inilah yang harus lebih dahulu disembuhkan. Mari kubantu engkau..."

Cia Sun lalu duduk bersila di belakang Sui Cin, akan tetapi gadis itu meloncat bangun dan memandang dengan sinar mata meragu.

"Adikku yang baik, apakah engkau tidak percaya kepadaku?"

"Aku tidak kenal denganmu..."

"Cin-moi, dalam keadaan hilang ingatan, aku tidak merasa heran kalau engkau tidak lagi mengenal aku, bahkan namamu sendiripun engkau lupa, juga siapa orang tuamu. Akan tetapi, biarpun aku sekarang menjadi seorang kenalan baru, apakah engkau tetap tidak percaya kepadaku setelah tadi melihat betapa aku mati-matian membantumu dari ancaman nenek iblis itu?"

Sui Cin boleh jadi kehilangan ingatannya tentang masa lalu, akan tetapi ia tidak kehilangan kegagahan dan keadilannya. Ia mengangguk.

"Baiklah, aku yang salah. Lalu, apa yang hendak kau lakukan dalam usahamu mengobatiku?"

"Aku tidak tahu racun apa yang diminumkan nenek itu kepadamu, Cin-moi, karena itu tentu saja akupun tidak tahu apa obat penawarnya. Akan tetapi setidaknya, dengan pengerahan sin-kang, barangkali aku akan dapat memulihkan tenagamu, atau setidaknya aku akan dapat mencegah racun itu menjalar dan membahayakan keselamatan nyawamu."

Kembali Sui Cin mengangguk.
"Baiklah, saudara..."

"Cin-moi, dahulu engkau selalu menyebut twako kepadaku, dan namaku Cia Sun..." pemuda itu berkata halus.

"Baik, Sun-twako, silakan dan sebelumnya aku menghaturkan terima kesih."

Gadis itu duduk bersila kembali. Cia Sun duduk di belakangnya dan menempelkan kedua telapak tangannya di punggung gadis itu. Segera Sui Cin merasa betapa ada hawa panas menjalar ke dalam tubuhnya melalui telapak kedua tangan itu yang menempel punggung dan ia bergidik. Ia tahu bahwa pemuda itu sungguh lihai, akan tetapi mengerti juga bahwa nyawanya seolah-olah berada di telapak tangan pemuda itu. Ia menyerah dengan ikhlas dan memejamkan kedua matanya.

**** 104 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: