*

*

Ads

Minggu, 04 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 103

Tentu saja niat yang terkandung di dalam hati Kiu-bwe Coa-li tidaklah demikian. Ia hanya ingin melihat sampai dimana kelihaian gadis ini. Kalau mungkin, tentu lebih mudah baginya membunuh gadis puteri Pendekar Sadis itu secara langsung saja dengan cambuknya ini. Akan tetapi, kalau ternyata gadis itu terlalu lihai, dalam keadaan hilang ingatan, ia akan dapat mempergunakan akal lain yang lebih halus untuk menjerat dan melumpuhkannya.

Kini, melihat gerakan Sui Cin yang demikian hebatnya ketika berkelebatan mengelak dari sambaran cambuknya, nenek itu terkejut. Tak disangkanya gadis itu kini sedemikian hebatnya, memperoleh kemajuan yang demikian pesat, jauh lebih hebat dibandingkan dahulu. Maka, iapun maklum bahwa dengan cambuknya, ia tidak akan mampu membunuh gadis ini, dan iapun lalu melompat ke belakang menghentikan serangannya.

"Bagus, bagus... heh-heh, engkau masih belum lupa akan ilmumu. Baiklah, sekarang aku akan memberi obat kepadamu agar engkau dapat pulih kembali, agar ingatanmu sehat kembali."

Hati Sui Cin merasa lega dan girang sekali. Tadi ia sudah merasa khawatir melihat betapa nenek itu menyerangnya secara dahsyat dan berbahaya.

"Terima kasih, nek."

Nenek itu lalu duduk bersila di atas tanah, Sui Cin juga berjongkok di depannya, melihat nenek itu mengeluarkan seguci arak, sebuah cawan dan sebuah botol kecil dari balik jubah yang lebar itu. Ia menuangkan arak dari guci ke dalam cawan, hanya setengah cawan, kemudian menuangkan bubuk kehijauan dari botol kecil ke dalam cawan berisi arak setengahnya itu. Sambil terkekeh ia mengocok arak itu sehingga bubukan hijau bercampur ke dalam arak.

"Nah, ini obat mujarab sekali, cucuku. Sekali minum engkau akan merasa mengantuk, tertidur dan setelah engkau bangun dari tidur, ingatanmu akan pulih kembali," katanya sambil menyodorkan minuman itu.

Sui Cin menerimanya dan langsung membawa cawan itu ke bibirnya. Akan tetapi begitu cawan itu menempel di bibirnya, ia tidak jadi minum dan memandang nenek itu dengan alis berkerut.

"Eh, ada apakah, cucuku? Hayo minum obat itu dan engkau akan sembuh."

"Tapi, nek. Aku tidak tahu apa isi obat ini, hanya perasaanku melarang aku untuk meminumnya karena mengandung bau amis beracun!"

"Heh-heh-heh-heh, tentu saja, memang obat itu mengandung racun dari ular sendok merah! Memang obat itu racun, racun itu obat, asal kita tahu cara mempergunakannya saja. Eh, Bi Hwa, apakah engkau tidak percaya kepada nenekmu sendiri, kepada orang yang menimang-nimangmu di waktu engkau kecil, kepada orang yang telah mengajarkan semua ilmu itu kepadamu? Apa kau kira aku akan meracunimu? Pikiranmu telah jadi hilang ingatan, akan tetapi tentu belum begitu gila untuk mengira bahwa aku, nenekmu yang menyayangmu, akan meracunimu!"

Merah wajah Sui Cin. Tentu saja ia merasa tidak enak sekali. Ia tidak tahu pasti apakah minuman itu akan mencelakakannya, akan tetapi nenek ini mengenalnya, dan nenek ini tadi sudah mengujinya dan kini hendak menyembuhkannya. Mengapa ia ragu-ragu? Ia mendekatkan lagi cawan itu sambil memejamkan mata, iapun menuangkan arak itu ke dalam mulut dan terus ditelannya. Ia menahan diri untuk tidak muntah oleh bau amis itu!

Begitu arak itu memasuki perutnya, ia merasa ada hawa panas berputaran di dalam perutnya. Itulah hawa gin-kang dari pusar yang otomatis memberontak dan hendak melawan ketika perut itu dimasuki benda berbahaya. Akan tetapi, racun itu sudah bekerja dan Sui Cin merasa betapa tubuhnya lemas dan matanya mengantuk.

"Heh-heh-heh, engkau sudah mulai mengantuk, bukan? Nah, tidurlah dan setelah bangun nanti engkau sudah akan sembuh sama sekali. Tidurlah, cucuku yang baik, tidurlah."

Nenek itu sambil tersenyum melihat Sui Cin yang lemas itu merebahkan tubuhnya di atas tanah, dan Sui Cin mendengar nenek itu bersenandung, seperti sedang meninabobokkan cucunya! Suara itu aneh sekali, dan tidak enak didengar, akan tetapi karena rasa kantuk tak tertahankan lagi, iapun tertidurlah.

Sui Cin tidak tahu berapa lama ia tertidur pulas, akan tetapi ketika sadar kembali, matahari telah naik tinggi dan ia berada dalam keadaan terikat pada sebatang pohon! Tentu saja ia terkejut sekali dan otomatis ia mencoba untuk meronta. Akan tetapi, usahanya sia-sia belaka karena ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan, yaitu bahwa kaki tangannya lemas tidak bertenaga! Ia teringat akan nenek itu dan tahulah ia bahwa ia telah tertipu!

"Nenek iblis jahanam!"






Ia memaki dan terdengar suara terkekeh di belakangnya. Lalu muncullah nenek itu, yang tadinya tertidur pula di atas rumput, agaknya menanti sampai korbannya terbangun. Kini nenek itu menyeringai dan berdiri di depan Sui Cin, mengebut-ngebutkan bajunya yang terkena tanah.

"Heh-heh-heh, nona yang tolol, heh-heh-heh!"

Ia terkekeh-kekeh girang melihat korbannya. Nenek ini, sebagai seorang diantara Cap-sha-kui, memang memiliki hati yang kejam sekali dan kepuasan hatinya adalah kalau ia dapat menyiksa korbannya. Maka, kini dapat menawan nona yang menjadi musuhnya itu dalam keadaan tidak berdaya, tentu saja hatinya girang bukan main.

"Nenek iblis, kiranya engkau telah menipuku! Hayo kalau memang engkau gagah, lepaskan aku dan kita bertanding sampai mati!" Sui Cin berteriak memaki.

"Heh-heh-heh, andaikata kulepaskan juga, engkau takkan mampu bertahan lebih dari satu dua jurus. Dan aku tidak menipu, karena memang aku adalah Kiu-bwe Coa-li, musuh besarmu, ha-ha-ha!"

Diam-diam Sui Cin terkejut. Kiranya hilangnya ingatannya berakibat demikian hebat sampai musuh lamanya tidak ia kenal dan akibatnya ia mudah terjebak.

"Jadi kalau begitu... namaku itu... bukan... bukan Ceng Bi Hwa..."

"Heh-heh-heh, namamu Ceng Sui Cin, engkau puteri Pendekar Sadis, heh-heh-heh, dan sekarang jatuh ke tanganku. Aku ingin menikmati kematianmu yang akan terjadi perlahan-lahan... ha-ha. Eh, nona manis, apa engkau suka dengan ular?"

"Ular...?" Sui Cin yang merasa bingung itu bertanya.

"Ya, ular... heh-heh, engkau tahu, aku adalah Kiu-bwe Coa-li, Ratu Ular!"

Dan nenek itu lalu membunyikan cambuknya berkali-kali. Terdengar suara meledak-ledak dan suara ledakan ini seperti bergema sampai jauh. Tidak lama kemudian, terbelalak mata Sui Cin melihat datangnya banyak ular dari empat penjuru, seperti tertarik oleh suara cambuk yang masih meledak-ledak itu, dan suara mendesis yang keluar dari mulut ompong Kiu-bwe Coa-li.

Ular-ular itu menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumputan bergerak-gerak dan terdengarlah suara mereka mendesis-desis, lidah mereka itu keluar masuk dan kini mereka semua berkumpul mengelilingi tempat itu.

"Bagus, bagus, heh-heh-heh, anak-anakku, kalian sudah datang..."

Sui Cin bergidik. Teringat ia akan nenek itu yang menangisi kematian seekor ular yang juga disebut anaknya. Nenek ini gila atau lebih dari itu, jahat dan keji seperti iblis. Kini nenek itu membuat suara dengan mulutnya, suara mendesis dibarengi ledakan cambuknya dan beberapa ekor ular yang besar mengembangkan lehernya. Itulah ular-ular sendok yang amat berbahaya karena amat kuat. Sekali saja digigit oleh ular seperti ini, dalam waktu beberapa jam saja, kalau tidak memperoleh obat penawarnya yang ampuh, orang itu tentu akan mati!

Sui Cin yang kehilangan ingatannya itu tidak mengenal ular seperti itu, akan tetapi ia tahu bahwa ular-ular ini tentu berbahaya sekali. Tiga ekor ular sendok yang paling besar berjoget di depannya, dengan lidah merah menjilat-jilat keluar, mata yang tak berkedip itu memandang kepadanya, kepalanya lenggang-lenggok seperti menggoda dan hendak mempermainkan Sui Cin.

"Heh-heh-heh, mereka bertiga ini yang kupilih untuk menggerogoti dagingmu, sedikit demi sedikit, ha-ha-ha!" kata nenek itu dan makin gencar cambuknya berbunyi, makin lincah lagi tiga ekor ular itu menari-nari di depan Sui Cin, makin lama makin mendekati gadis yang terikat kaki tangan dan pinggangnya pada batang pohon itu.

Sui Cin memandang tak berkedip kepada tiga ekor ular ini, menahan hatinya agar jangan sampai ia menjerit kengerian. Sementara itu, puluhan ekor ular lainnya yang mengurung tempat itu ikut pula bergerak-gerak seperti menari, akan tetapi mereka tidak berani mendekati tiga ekor ular sendok itu.

"Heh-heh-heh, Ceng Sui Cin, engkau baru tahu bahwa aku ini adalah ratu ular, ya? Aku dapat memerintah ular-ular ini menurut sekehendakku. Dan pertama-tama, aku akan memerintahkan mereka itu menyusup ke dalam pekaianmu, menelusuri seluruh tubuhmu sampai kau hampir mati karena geli dan ngeri. Kemudian, aku akan memerintahkan mereka itu merobek-robek semua pakaianmu sampai kau bertelanjang bulat. Nah, sesudah itu mulailah pesta untuk mereka. Gigit sana-sini, betis, paha, lengan dan bagian-bagian yang tidak berbahaya, menjilati darah dari luka-luka itu. Kemudian mukamu, pipimu yang halus itu, hidungmu yang mancung, bibirmu yang merah, akan digerogoti perlahan-perlahan. Engkau takkan mudah mati, akan kusiksa dulu sampai puas, sebagai hukuman ayahmu, Si Pendekar Sadis, ha-ha-ha!"

Cambuknya meledak-ledak dan tiga ekor ular itu mulai nampak beringas. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara suling yang ditiup dengan indah dan kuatnya, menyelinap suara itu diantara ledakan-ledakan cambuk dan akibatnya sungguh aneh.

Ular-ular yang mengelilingi tempat itu nampak gelisah dan ketakutan, lalu perlahan-lahan mereka meninggalkan tempat itu! Kini hanya tinggal tiga ekor ular sendok itu saja yang masih bertahan, menari-nari di depan Sui Cin. Akan tetapi suara suling terdengar semakin kuat dan tiga ekor ular itu kelihatan ragu-ragu dan bingung, kacau oleh suara ledakan-ledekan cambuk yang kini bercampur suara suling yang agaknya lebih terasa dan lebih mempengeruhi mereka!

"Eh, keparat jahanam kurang ajar!"

Nenek Kiu-bwe Coa-li memaki dan menoleh. Matanya terbelalak marah ketika ia melihat seorang pemuda datang sambil meniup suling, sikapnya tenang dan gagah. Sui Cin juga melihat datangnya pemuda ini dan iapun merasa girang karena ia mengerti bahwa suara suling pemuda itu telah mengusir ular-ular yang tadinya mengurung tempat itu, dan kini suara suling itu membuat tiga ekor ular itu menjadi bimbang dan bingung, seperti kehilangan pegangan.

Ia dapat menduga bahwa suara suling itu menghancurkan pengaruh nenek iblis terhadap ular-ularnya dan timbullah harapannya walaupun ia sendiri masih lemas dan tidak mampu meloloskan diri dari belenggu. Pemuda yang mampu menlup suling seperti itu tentu memiliki kepandaian tinggi, ia menduga.

Sementara itu, Kiu-bwe Coa-li yang menengok dan memandang pemuda itu, segera mengenalnya dan wajahnya agak berubah, kemarahannya memuncak.

"Kau...! Keparat, kau putera ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga itu?"

Nenek itu menggerakkan cambuknya dan mengeluarkan suara mendesis. Karena semua ularnya sudah pergi terusir oleh suara suling tadi, kini tinggal tiga ekor ular sendok yang hendak dikerahkan untuk menyerang pemuda itu.

Akan tetapi, dengan tenang pemuda itu melangkah maju ketika tiga ekor ular sendok menerjangnya dengan semburan-semburan uap hitam dari mulut mereka. Tiba-tiba pemuda yang bukan lain adalah Cia Sun itu, meniup sulingnya dengan kuat. Terdengar suara melengking yang membuat Sui Cin sendiri terpaksa harus berusaha mematikan rasa menulikan telinga karena suara melengking itu amat tinggi dan dahsyat, menusuk telinga menikam jantung.

Akan tetapi agaknya suara itu memang sengaja ditujukan untuk menyerang atau menyambut tiga ekor ular itu. Tiga ekor ular yang sudah mengangkat kepala tinggi-tinggi itu, tiba-tiba mendengar suara ini lalu terkulai dan berkelojotan seperti dalam keadaan kesakitan hebat.

Cia Sun melangkah maju dan tiga kali kakinya menginjak, pecahlah kepala tiga ekor ular itu. Tubuh mereka masih berkelojotan, akan tetapi karena kepala sudah hancur terinjak kaki yang kuat itu, mereka berkelojotan dalam keadaan sekarat!

Dapat dibayangkan betapa marahnya Kiu-bwe Coa-li melihat tiga ekor ular andalannya itu mati. Sambil mengeluarkan suara melengking ia menerjang ke depan, cambuknya meledak-ledak di atas kepalanya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itupun dipergunakan untuk menyerang dengan cakaran-cakaran dan cengkeraman-cengkeraman maut karena kuku-kuku panjang tangan kiri itu mengandung racun.

Akan tetapi, dengan amat tenangnya, Cia Sun mengelak mundur dua langkah kemudian sekali tangan kirinya bergerak mendorong ke depan, angin pukulan dahsyat menyambar bagaikan hawa berapi, panas dan kuat. Kiu-bwe Coa-li menyambut dengan cambuk dan tangan kirinya dan akibatnya, ia terpental ke belakang!

"Ehhh...!"

Nenek itu berseru kaget bukan main. Kalau tadi ia dikejutkan oleh kecepatan gerakan Sui Cin, kini ia dikejutkan pula oleh kekuatan sin-kang yang menyambar keluar dari tangan kiri pemuda ini. Ia pernah melawan pemuda ini, bahkan pernah ia hampir merobohkan Cia Sun dengan bantuan ular-ularnya beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, pada waktu itu, biarpun pemuda ini sudah amat lihai, tenaga sin-kangnya tidaklah sehebat sekarang ini.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: