*

*

Ads

Sabtu, 03 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 099

Pada saat itu terdengar suara ketawa Siang Hwa dari balik daun pintu baja.
"Ha-ha-ha, orang she Cia. Lebih baik engkau ajak temanmu itu meloncat turun ke dalam jurang karena mau tidak mau kalian harus melakukannya!"

Dan tiba-tiba pintu baja itu terbuka sedikit dan meluncurlah pisau-pisau terbang, jarum-jarum dan juga batu-batu yang dilemparkan oleh tiga orang itu! Karena mereka adalah orang-orang yang lihai, tentu saja lemparan mereka itu amat kuat dan berbahaya, terutama pisau-pisau terbang yang menjadi kepandaian khas dari Hui-to Cin-jin.

Sibuk juga Hui Song dan Sui Cin mengelak dan memukul runtuh senjata-senjata rahasia itu dan dalam gerakan Sui Cin, Hui Song melihat kecepatan yang amat luar biasa. Besarlah hatinya. Agaknya selama tiga tahun ini Sui Cin yang digembleng oleh Dewa Arak Wu-yi Lo-jin telah memperoleh kemajuan pesat, terutama dalam ilmu gin-kang seperti dapat dilihatnya ketika gadis itu tadi menyerbu menolongnya dan kini ketika mengelak dari sambaran senjata-senjata rahasia. Dia dan Sui Cin meloncat ke arah pintu, akan tetapi pintu itu cepat sudah tertutup kembali dari dalam!

"Memang tidak ada jalan lain," kata Hui Song mengerutkan alisnya yang tebal. "Kalau kita berdiam disini, tentu mereka akan mencari akal untuk mencelakakan kita. Kalau cuaca sudah gelap, sukarlah kita untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan gelap mereka. Menerjang pintupun percuma saja. Akan tetapi, benarkah engkau sanggup meloncat kesana, Cin-moi?"

"Tentu saja sanggup, biar aku melompat lebih dulu agar hatimu tiduk akan khawatir lagi."

"Jangan Cin-moi. Jangan, biar aku yang melompat lebih dulu sehingga engkau dapat memperoleh tempat pendaratan yang aman disana."

"Baiklah, Song-ko. Akan tetapi cepat, itu di sebelah kanan kulihat banyak lekukan pada dinding batu, kau loncatlah ke sana, Song-ko."

"Baik, Cin-moi."

"Berhati-hatilah."

Hui Song mengambil ancang-ancang, lalu berlari dan meloncat sambil mengerahkan gin-kangnya, menuju ke tempat pendaratan di tebing bukit di depan. Tubuhnya meluncur seperti seekor burung saja dan tepat tiba pada dinding di mana terdapat banyak lekukan, agak ke bawah.

Dengan cekatan tangannya mencengkeram lekukan batu dan kedua kakinya hinggap pada lekukan batu pula. Dia telah mendarat dengan selamat! Dia menoleh dan tersenyum kepada Sui Cin, lalu berseru,

"Cin-moi, sekarang kau meloncatlah. Ke sebelah kananku ini, banyak lekukan dan baik untuk mendarat. Aku akan menjagamu disini!"

Dia sudah siap dengan tangan kirinya untuk menolong kalau-kalau loncatan Sui Cin tidak mencapai sasaran. Bagaimanapun juga, dia belum tahu sampai dimana kemampuan gin-kang gadis itu.

"Baik, Song-ko, aku meloncat!"

Gadis itu meloncat dengan gerakan yang indah dan cekatan, akan tetapi pada saat itu, Hui Song melihat dua orang kakek itu keluar dari pintu mulut guha yang tiba-tiba terbuka dan melihat betapa kakek gendut itu melontarkan batu-batu yang sebesar kepala orang ke arah Sui Cin yang sedang meloncat.

"Cin-moi, awas...!"

Teriaknya, akan tetapi terlambat. Gadis itu tentu saja sama sekali tidak pernah menduganya bahwa ia akan diserang dari belakang dan dalam keadaan melayang itu, sukar baginya untuk mengelak.

"Bukkk...!" Sebuah batu sebesar kepala tepat mengenai belakang kepalanya.

"Oughhh...!"

Gadis itu mengeluh dan tubuhnya terkulai. Untung baginya bahwa loncatannya tadi amat kuat sehingga tubuhnya kini melayang ke arah Hui Song. Pemuda ini cepat menangkap lengan kiri Sui Cin dan gadis itu bergantung pada pegangannya dengan tubuh lemas. Gadis itu tidak pingsan, akan tetapi kelihatan lemas dan pandang matanya nanar dan agaknya timpukan yang mengenai belakang kepalanya itu membuatnya nanar dan pening.

"Jangan takut... tenang saja... aku menolongmu...!"






Hui Song menghibur dengan kata-kata lembut sambil menguatkan hatinya yang dicekam kegelisahan. Pada saat itu, dia mendengar desir angin dari belakang dan tahulah dia bahwa ada beberapa batang pisau terbang menyambar ke arah tubuh belakangnya. Dia tidak mungkin dapat mengelak atau menangkis, maka Hui Song mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkannya ke punggung.

Empat batang pisau mengenai tengkuk dan punggungnya, akan tetapi semua runtuh dan hanya merobek bajunya saja, sama sekali tidak mampu menembus kulit tubuhnya yang dilindungi tenaga sin-kang yang amat kuat.

Dia lalu menarik tubuh Sui Cin ke dinding batu, kemudian memanjat dengan satu tangan saja dibantu pengerahan tenaga pada kedua kakinya dan akhirnya, dengan susah payah, berhasillah dia mencapai puncak yang tidak begitu jauh lagi dan memondong tubuh Sui Cin yang lemas, dibawa meloncat ke balik puncak sehingga terlepas dari sasaran senjata-senjata rahasia lawan.

Hui Song duduk di balik batu besar dan merebahkan tubuh Sui Cin. Gadis itu masih sadar, akan tetapi sepasang matanya yang terbuka itu nampak kosong dan tubuhnya lemas. Cepat Hui Song meraba kepala bagian belakang gadis itu. Hanya terluka sedikit saja akan tetapi banyak darah yang keluar. Dia menotok beberapa jalan darah untuk menghentikan aliran darah, kemudian mengurut tengkuk dara itu perlahan-lahan.

Dia dapat menduga bahwa otak dalam kepala dara itu terguncang oleh hantaman batu sehingga membuat gadis itu nanar dan pening. Dia khawatir kalau-kalau ada kerusakan di dalam susunan syaraf otak. Dengan sin-kangnya yang disalurkan ke dalam telapak tangannya, dia membantu gadis itu untuk menyembuhkan luka di dalam kepala.

Rasa hangat yang menyelinap ke dalam kepala itu agaknya terasa nyaman sekali karena tak lama kemudian, keluhan-keluhan kecil dan rintihan yang tadinya keluar dari mulut Sui Cin terhenti dan tak lama kemudian gadis itupun tertidur pulas.

Hui Song membebaskan jalan darah yang ditotoknya agar tidak menghalangi darah yang mengalir ke otak dan dia menjaga tubuh yang lemah itu tertidur pulas terlentang di depannya. Dia tidak berani membuat api unggun karena khawatir kelau-kalau para iblis itu melakukan pengejaran.

Tiga orang musuh itu lihai dan curang, dan Sui Cin sedang dalam keadaan terluka, maka berbahayalah kalau dia membuat api unggun dan tiga orang itu dapat mencarinya. Karena maklum bahwa dalam keadaan seperti itu Sui Cin tidak dapat mengerahkan sin-kang melawan hawa dingin, dia lalu menanggalkan jubah dan bajunya, menyelimuti tubuh Sui Cin dengan itu dan dia sendiri bertelanjang dada.

Malam itu udara cerah dan bulan bersinar terang. Hawanya dingin sekali akan tetapi dengan kekuatan sin-kangnya, Hui Song mampu bertahan terhadap hawa dingin itu. Dia duduk dekat Sui Cin dan tiada jemunya mengamati wajah gadis itu, wajah yang selama ini selalu terbayang olehnya terbawa dalam mimpi.

"Sui Cin... ah, Cin-moi... tak kusangka bahwa begitu berjumpa, engkau telah menyelamatkan nyawaku..." bisiknya dengan perasaan hati penuh haru.

Dia tahu bahwa tadi, selagi dia diserang oleh tiga orang jahat yang curang itu di tepi tebing, kalau tidak muncul dara ini, besar sekali kemungkinannya dia akan terjengkang dan tewas!

Masih bergidik dia membayangkan bahwa gadis cantik yang tadinya dianggap sahabat dan teman sehaluan, yang dianggap sebagai seorang pendekar yang sedang bergerak menentang para datuk yang hendak memberontak, ternyata malah merupakan tokoh sesat itu sendiri, bukan sembarang orang melainkan murid Raja Iblis!

Dan dua orang kakek yang berdandan seperti tosu dan hwesio itu ternyata adalah dua orang di antara Cap-sha-kui. Sungguh berbahaya sekali. Jelaslah bahwa memang Siang Hwa, gadis murid Raja Iblis itu, sedang mencari harta karun itu untuk membiayai pemberontakan yang dipimpin oleh gurunya. Dan semua yang terjadi tadi memang merupakan perangkap baginya. Tenaganya hendak dipergunakan untuk mencari harta karun dan setelah harta karun itu lenyap didahului orang, dianggap tidak berguna lagi dan tentu saja akan dibunuh.

Hui Song mengepal tinju dan tersenyum dingin.
"Bagaimanapun juga, bagus sekali bahwa aku telah mengetahui akan adanya harta pusaka itu dan akan kuperjuangkan agar harta pusaka itu jangan jatuh ke tangan para pemberontak!"

Untunglah bahwa pencuri harta pusaka itu meninggalkan jejak berupa tanda lencana perkumpulan Harimau Terbang di Mongol. Dia sendiripun harus pergi keluar Tembok Besar untuk menghadiri pertemuan antara para pendekar dan sebelum itu dia akan dapat menyelidiki tentang harta karun yang dicuri itu di Mongol. Akan tetapi sekarang ini, yang terpenting adalah menolong Sui Cin. Dia hanya mengharap dara ini tidak terluka terlalu parah.

Pada keesokan harinya, setelah matahari terbit, Hui Song melihat Sui Cin menggeliat dan mengeluh halus. Dia yang tadinya duduk bersila di bawah pohon, cepat menghampiri sambil tersenyum, jantungnya berdebar girang karena kini dia akan dapat bercakap-cakap dengan gadis pujaan hatinya itu.

"Cin-moi...!" Panggilnya lirih sambil mendekat.

Sui Cin membuka mata, bangkit duduk sambil menoleh. Begitu melihat Hui Song, ia mengeluarkan teriakan nyaring dan tubuhnya mencelat ke depan, menyerang dengan tendangan ke arah dada pemuda itu.

Gerakannya demikian ringan dan cepat. Andaikata Hui Song sudah tahu sebelumnya bahwa dia akan diserang, biarpun gerakan gadis itu amat cepat, agaknya dia masih akan mampu menghindar. Akan tetapi perbuatan Sui Cin itu sama sekali tidak pernah disangkanya, maka dia terkejut dan heran dan karena itu gerakannya mengelak kurang cepat sehingga ujung sepatu gadis itu masih saja menyambar pundaknya.

"Bukk...!"

Tubuh Hui Song terpelanting dan Sui Cin sudah meloncat lagi datang dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan tangan dan kakinya.

"Heiii...!"

Hui Song terpaksa bergulingan untuk mengelak. Akan tetapi betapapun dia berteriak mencegah, gadis itu seperti kesetanan dan menyerang terus semakin hebat saja. Hui Song terpaksa mempergunakan kepandaiannya, meloncat ke sana-sini dan kadang-kadang harus menangkis karena serangan-serangan gadis itu cepat bukan main.

"Cin-moi, ingatlah... Cin-moi...!"

"Engkau jahat, kejam, curang...!"

Sui Cin memaki-maki dan menyerang terus. Makin lama, Hui Song menjadi semakin bingung dan khawatir. Beberapa kali tubuhnya sudah terkena pukulan atau tendangan, walaupun tidak mengakibatkan luka parah karena dia sudah menjaga diri dengan kekuatan sin-kang, namun terasa nyeri dan beberapa kali dia jatuh bangun.

"Cin-moi, aku... aku Hui Song, lupakah kau padaku?" beberapa kali dia berseru karena kini dia mulai menduga bahwa agaknya gadis ini kehilangan ingatannya, padahal kemarin masih menolongnya, berarti masih ingat kepadanya.

Tidak salah lagi, tentu hantaman batu yang mengenai belakang kepala gadis itulah yang menyebabkan kini Sui Cin seperti lupa kepadanya.

Akan tetapi Sui Cin agaknya tidak perduli dan menyerang terus lebih hebat lagi. Dia mendapat kenyataan betapa kini Sui Cin dapat bergerak amat cepatnya, kadang-kadang seperti berkelebat lenyap saja. Dia merasa kagum dan dapat menduga bahwa tentu kehebatan gadis ini adalah hasil dari bimbingan dari Wu-yi Lo-jin selama tiga tahun.

Makin lama makin repotlah dia kalau harus bertahan saja. Gerakan gadis itu terlalu cepat dan kalau hanya dihadapi dengan elakan dan tangkisan, akhirnya dia tentu akan terkena pukulan telak yang akibatnya akan berbahaya sekali. Maka, terpaksa untuk menahan gelombang serangan Sui Cin, Hui Song mulai membalas. Gerakannya mantap dan pukulan atau sambaran tangannya amat kuat sehingga ketika Sui Cin menangkis, gadis ini terhuyung.

"Sui Cin, ingatlah...!"

Hui Song masih terus mencoba untuk menyadarkan. Akan tetapi, gadis itu menyerang lagi dan keduanya berkelahi dengan amat serunya. Kini Hui Song juga mengerahkan tenaga dan kepandaiannya. Dia yakin bahwa Sui Cin kehilangan ingatan dan percuma sajalah kalau dibujuk atau diingatkan dengan omongan. Ia harus dapat merobohkan gadis ini, membuatnya tidak berdaya, baru dia akan berusaha untuk mencarikan obat atau untuk mengingatkan kembali.

Dia membalas dan terjadilah pertandingan yang hebat. Sui Cin bergerak amat cepat berkat ilmu gin-kang bimbingan Wu--yi Lo-jin sedangkan Hui Song sendiri mempunyai gerakan yang juga cepat dan mengandung tenaga sin-kang yang membuat gadis itu agak kewalahan.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: