*

*

Ads

Sabtu, 03 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 098

"Ah, kalau begitu aku tidak boleh mengganggumu! Apakah engkau akan datang sebagai wakil dan utusan Cin-ling-pai?"

Betapa inginnya hati Hui Song untuk mengaku demikian. Akan tetapi dia teringat akan sikap ayahnya dan dia tidak berani berbohong, maka diapun tidak menjawab secara langsung melainkan hanya menggeleng kepala.

"Baiklah, kalau begitu terpaksa kami akan melanjutkan sendiri pencarian kami, dan sekarang kita harus keluar dari tempat ini sebelum malam tiba, taihiap."

Akan tetapi, melihat gadis itu mengangkat lilin tinggi di atas kepala dan terus berjalan menuju ke sebelah dalam guha, Hui Song bertanya,

"Eh, jalan kemana, nona?"

"Taihiap, menurut peta yang dimiliki Ciang-tosu, guha ini merupakan terowongan yang menuju ke belakang bukit. Seperti yang kau lihat, di depan sana ada sinar terang, berarti di sana ada lubang mulut guha di belakang bukit ini. Mari kita mengambil jalan kesana, dan melihat keadaannya. Siapa tahu kalau-kalau penjahat-penjahat yang mencuri harta itu menyembunyikan harta itu disana, walaupun harapan ini tipis sekali. Akan tetapi setelah berhasil memasuki tempat yang luar biasa ini, tiada salahnya kalau kita melihat sebentar bagaimana macamnya tembusan guha ini, bukan?"

Hui Song mengangguk dan mengikuti gadis itu. Setelah maju belasan meter dan membelok, benar saja nampak mulut guha dan kini tidak perlu lagi mereka memakal lilin karena cahaya terang memasuki guha dari pintu atau mulut guha itu.

Matahari sudah condong ke barat, akan tetapi sinarnya masih nampak terang. Silau juga rasanya mata yang sudah lama berada di dalam guha gelap, hanya diterangi api lilin, kini tiba-tiba harus menghadapi cahaya matahari di luar guha itu. Dan pemandangan di depan guha itu sungguh indah, juga amat mengerikan.

Depan guha itu merupakan batu datar yahg lebarnya dua meter dan panjangnya kurang lebih lima belas meter, akan tetapi selanjutnya tidak ada apa-apa lagi, merupakan jurang yang amat curam! Mengerikan kalau memandang ke bawah, yang nampak hanya kabut. Tidak ada jalan keluar dari tempat itu, merupakan jalan mati yang berakhir dengan jurang yang amat dalam.

Di depan nampak puncak bukit batu karang menonjol, jaraknya dari tepi jurang itu tidak terlampau jauh, hanya kurang lebih lima puluh meter, akan tetapi karena adanya jurang yang amat curam itu, nampak menganga mengerikan dan nampak lebih jauh dari kenyataannya.

"Ini merupakan jalan buntu dan mati, tidak ada jalan keluar dari sini. Tidak, nona, pencuri harta pusaka itu tidak mengambil jalan sini, melainkan kembali melalui terowongan kecil yang mereka buat di bawah batu," kata Hui Song sambil menjenguk ke bawah dari tebing jurang itu.

Tidak terdengar jawaban sampai lama. Hui Song menengok dan terbelalak sambil memutar tubuh, memandang dengan terheran-heran kepada tiga orang itu. Siang Hwa, Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah berdiri menghadang di depan mulut guha dengan wajah beringas! Senyum mengejek menghias bibir Siang Hwa yang biasanya bersikap manis dan halus itu.

"Cia Hui Song, pencuri itu tidak keluar dari sini, akan tetapi sekarang engkau harus keluar dari sini!"

"Nona, apa artinya ini?"

Hui Song bertanya, sikapnya masih tenang namun waspada karena dia maklum bahwa tiga orang ini telah membohonginya, buktinya kini dua orang kakek yang katanya tidak dapat melewati jembatan batu-batu pedang itu ternyata telah dapat menyusul ke sini.

"Artinya, engkau harus mampus di sini untuk menebus dosa-dosamu. Pertama, engkau berani menghina dengan menolak perasaan hatiku kepadamu, dan kedua, engkau tidak bersedia membantu kami mencari harta karun itu ke Mongol, dan ketiga, engkau sebagai orang luar telah tahu akan harta karun itu, maka untuk menutup rahasia ini dan untuk menebus dosamu, engkau harus mati. Nah, terjunlah ke dalam jurang itu."

“Tapi... bukankah kita sehaluan...?" Hui Song bertanya, bukan karena takut melainkan karena penasaran dan heran.

"Ha-ha-ha-ha!" kakek gendut yang disebutnya Ciong-hwesio tertawa bergelak. "Sehaluan? Ha-ha-ha...!"

"Nona, apa artinya semua ini?"

Hui Song membentak kepada Siang Hwa, merasa cukup dipermainkan dan menuntut penjelasan, namun matanya tidak lepas dari sikap mereka itu karena dia cukup mengenal kelihaian dan kecurangen mereka.






"Orang tampan yang berhati dingin, engkau ingin tahu dan masih belum dapat menerkanya? Baik, dengarlah sebelum engkau mati. Aku Gui Siang Hwa adalah murid Pangeran Toan Jit-ong dan aku mewakili suhu mencari harta karun. Mereka ini adalah para pembantu suhu yang berjuluk Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo..."

Mata Hui Song terbelalak dan ingin dia menampar muka sendiri karena merasa menyesal sekali atas kebodohannya. Dia seperti pernah mendengar nama kedua orang kakek itu, mengingat-ingat lagi mengangguk-angguk.

"Kiranya dua orang dari Cap-sha-kui...? Bagus sekali kiranya kalian bertiga adalah komplotan busuk itu sendiri!"

"Cia Hui Song, lebih baik kau cepat meloncat ke bawah, atau engkau lebih suka kami yang memaksamu?"

Siang Hwa menghunus pedang tipisnya. Hui-to Cin-jin juga sudah menghunus keluar sepasang pisau belati, sedangkan kakek gendut Kang-thouw Lo-mo melepaskan tali guci arak yang tadinya tergantung di pinggang. Kiranya guci arak kecil ini juga dapat dipergunakan sebagai senjata oleh si gendut ini!

Hui Song tersenyum mengejek, timbul kembali kegembiraan dan ketabahannya. Lebih baik menghadapi lawan secara berterang begini daripada menghadapi mereka yang disangkanya teman sehaluan yang dapat dipercaya.

"Perempuan hina, jangan disangka bahwa aku takut menghadapi kalian bertiga. Dahulu, karena tidak mengira bahwa engkau adalah seorang iblis betina, aku terjebak. Jangan harap sekarang akan dapat mengulangi lagi kecuranganmu itu!"

"Manusia sombong!" bentak Hui-to Cin-jin yang tadinya diberi nama Ciang-tosu itu dan tiba-tiba sinar kilat menyambar ketika kedua tangannya bergerak.

Dua batang pisau itu telah menyambar ke arah tenggorokan dan perut Hui Song dengan kecepatan kilat! Memang inilah keistimewaan kakek itu, bahkan nama julukannya Hui-to (Pisau Terbang).

Akan tetapi sekali ini Hui Song sudah siap siaga dengan penuh kewaspadaan, maklum bahwa yang dihadapinya adalah lawan-lawan yang tangguh, berbahaya dan juga curang sekali. Maka begitu melihat ada dua sinar berkelebat, dengan tenang saja dia menggerakkan tangannya dan dengan sentilan jari tangannya, dua batang pisau itu runtuh ke atas tanah dan menancap sampai hanya nampak gagangnya saja! Tosu itu terkejut dan kedua tangannya sudah memegang dua batang pisau lainnya.

Siang Hwa yang sudah maklum akan kelihaian Hui Song, sudah menerjang ke depan dan pedangnya sudah berkelebat membentuk gulungan sinar yang menyambar-nyambar.

Hui Song dengan tenang mengelak ke sana-sini, dan karena tempat itu memang sempit, diapun mengelak sambil membalas dengan tendangan kakinya yang hampir saja mengenai lutut lawan.

Gadis itu terpaksa meloncat ke belakang dan menyerang lagi, sekali ini dibantu oleh dua orang kawannya yang masing-masing mempergunakan sebuah guci arak dan sepasang pisau belati.

Hui Song melihat bahwa dua orang kakek itupun ternyata lihai sekali, maka diapun bergerak dengan hati-hati. Namun, di belakangnya terdapat jurang yang amat curam dan dia didesak oleh tiga orang yang kepandaiannya tinggi dan bersenjata, maka betapapun lihainya, dia tersudut dan terancam bahaya maut. Gerakannya kurang leluasa, terutama karena ada ancaman maut ternganga di belakangnya dan tiga orang lawan yang cerdik itu agaknya memang hendak mendesak dan memaksanya untuk terjun ke dalam jurang.

Tiba-tiba Siang Hwa mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tangan kirinya sudah mengeluarkan saputangannya yang mengandung bubuk obat bius. Akan tetapi Hui Song sudah siap pula menghadapi ini. Mulutnya meniup dan bubuk obat bius itu buyar membalik, juga dia menahan napas dan baru berani menarik napas setelah racun itu lenyap.

Pada saat itu kembali Hui-to Cin-jin menyerang dengan sepasang belatinya dan tiba-tiba, ketika pemuda itu mengelak, tosu itu melepaskan dua batang pisaunya menjadi sambitan dari jarak yang amat dekat!

Hui Song tidak menjadi gugup dan berhasil menyampok dua batang pisau itu. Pada saat itu, Siang Hwa sudah menyerang dengan pedangnya menusuk ke arah perut sedangkan si gendut menghantam dari samping ke arah kepalanya menggunakan guci arak itu!

Hui Song meloncat dan hendak menangkap hantaman guci arak, akan tetapi pedang Siang Hwa membalik dan tahu-tahu sudah menyerempet pahanya.

"Brettt...!"

Ujung pedang itu merobek celana kakinya yang kanan, merobek celana itu dari paha ke bawah sampai betis, akan tetapi ujung pedang itu tidak mampu membuat luka dalam, hanya membuka sedikit kulit kaki yang biarpun mengeluarkan darah namun bukan merupakan luka yang berat, hanya lecet saja.

"Iblis-iblis busuk yang curang!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan dari dalam guha itu berkelebatan bayangan orang yang amat cepat dan ringan gerakannya. Begitu tiba di luar mulut guha, bayangan ini sudah menendang ke arah perut gendut Kang-thouw Lo-mo dan tangan kirinya mencengkeram ke arah kepala Hui-to Cin-jin!

Gerakannya demikian cepatnya sehingga hampir saja perut gendut itu tercium ujung sepatu. Si gendut cepat mundur, akan tetapi tetap saja pinggangnya terserempet tendangan yang membuat dia terbuyung. Hui-to Cin-jin juga terkejut akan tetapi mampu menghindarkan diri.

"Sui Cin...!"

Hui Song berseru girang bukan main ketika mengenal wajah gadis yang baru datang itu. Tadinya ketika melihat bayangan berkelebat datang membantunya dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang gadis, dan masih belum mengenalnya, akan tetapi kini dia dapat melihat jelas dan kegembiraan yang amat besar menyelinap dalam hatinya ketika dia menyebut nama gadis itu.

Sui Cin meloncat dekat dan mereka saling melindungi.
"Song-ko, jangan khawatir, aku membantumu. Mari kita hajar tiga ekor tikus ini... eh, mana mereka?"

Ternyata Siang Hwa dan dua orang kakek itu sudah lenyap dari depan mulut guha. Hui Song terkejut.

"Mari kita kejar...!"

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara keras dan ada pintu besi yang bergerak menutup mulut guha itu, agaknya digerakkan oleh alat rahasia yang membuat daun pintu besi itu keluar dari dalam dinding. Ternyata Siang Hwa amat cerdiknya. Melihat datangnya seorang gadis yang amat lihai membantu Hui Song, ia merasa khawatir dan cepat ia mengajak dua orang pembantunya lari masuk ke dalam guha dan menggerakkan pintu rahasia yang memang sudah diketahuinya.

Hui Song dapat menduga kecurangan itu yang amat membahayakan keselamatan dia dan Sui Cin, maka diapun menerjang daun pintu itu.

"Brungggg...!"

Daun pintu tergetar akan tetapi tidak pecah oleh terjangan kaki tangan Hui Song. Ternyata daun pintu itu terbuat dari baja yang tebal.

"Song-ko, kita dapat lari melalui tebing di depan itu!" kata Sui Cin sambil menunjuk ke arah puncak bukit yang merupakan tebing di depan, di seberang jurang yang tak nampak dasarnya saking dalamnya itu. "Kita dapat meloncat kesana."

Hui Song memandang dan menggeleng kepala.
"Terlalu berbahaya..."

Dia sendiri merasa sanggup meloncat kesana, akan tetapi bagaimana dengan Sui Cin? Terlalu berbahaya bagi Sui Cin, bukan baginya dan meloncati jarak itu sambil menggendong tubuh Sui Cin jelas tidak mungkin.

Sui Cin sudah lama mengenal Hui Song dan mengerti apa yang berada dalam batin pemuda itu.

"Song-ko, jangan khawatir, aku dapat meloncat kesana...!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: