*

*

Ads

Sabtu, 03 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 097

"Awas, jangan masuk dulu dengan sembrono!"

Hui Song memperingatkan dan betapapun ingin hati Siang Hwa, ia cukup waspada dan mentaati peringatan ini. Terdengar suara keras dan tiba-tiba dari dalam lubang guha itu menyambar tujuh batang anak panah menghitam yang sudah berkarat disusul oleh debu yang mengepul keluar, debu yang jelas mengandung racun!

Kedua orang muda itu menyingkir dan bergidik melihat anak panah itu meluncur lewat dan jatuh ke dalam jurang di belakang mereka.

"Aih, sungguh berbahaya sekali!" kata Siang Hwa.

Hui Song mempergunakan tenaga sin-kang untuk pukulan jarak jauh, mendorong dengan kedua telapak tangannya ke arah lubang guha mengusir sisa debu dan juga untuk menahan kalau-kalau dari dalam ada serangan mendadak.

Mereka berindap masuk dan ternyata bukan manusia menyerang mereka, melainkan alat rahasia yang agaknya dipasang orang untuk menyerang siapa saja yang berani membuka batu dan memasuki guha itu.

Ternyata seperti dugaan Hui Song, di belakang batu itu terdapat sambungan besi yang terkait pada kaitan baja yang ditanam di lantai dua. Pantas saja tenaga manusia tidak mampu mendorong batu itu dari luar.

Setelah batu itu bergantung pada lubang yang mereka gali, kaitan baja itu tidak kuat menahan berat batu yang patah. Akan tetapi begitu guha terbuka dan batu tergeser, berjalanlah alat-alat rahasia yang membuat tujuh anak panah itu meluncur keluar dan kantong terisi debu beracunpun jatuh pecah berhamburan. Semua itu digerakkan dengan per yang bekerja setelah batu itu tergeser.

Setelah meniliti semua itu, Hui Song menggeleng kepala kagum.
"Sungguh hebat sekali kepandaian orang yang memasangkan alat rahasia ini."

Akan tetapi Siang Hwa tidak begitu memperhatikan lagi semua alat rahasia itu.
"Taihiap, mari kita masuk. Menurut peta, harta karun tersimpan dalam jarak dua puluh satu langkah dari pintu dan tersembunyi di dalam dinding guha sebelah kiri. Biar kuukur jarak itu!"

Dengan sikap gembira dan penuh ketegangan, Siang Hwa lalu melangkah sambil menghitung dari pintu guha. Setelah dua puluh satu langkah dia berhenti.

"Tentu disini tempatnya," katanya sambil berjongkok dan memeriksa dinding sebelah kiri. Hui Song mendekati, hatinya juga ikut merasa tegang.

"Ihh... apa ini...?" tiba-tiba gadis itu berteriak.

"Awas...!"

Hui Song berseru dan cepat tangan kanannya mencengkeram pundak Siang Hwa untuk ditariknya ke belakang dan tangan kirinya menangkis ketika ada benda hitam tiba-tiba saja meluncur ke arah dada gadis itu.

"Trakkk!"

Benda itu ternyata sebuah tombak kuno yang menghitam dan mudah diduga pula bahwa tombak ini, seperti juga anak panah tadi, mengandung racun. Akan tetapi bukan itu yang mengejutkan hati Hui Song dan Siang Hwa, melainkan jatuhnya pula sebuah kerangka manusia lengkap dari dinding itu.

Tadi Siang Hwa meraba-raba dinding itu dan menemukan besi kaitan yang segera ditariknya dan begitu penutup dinding terbuka, kerangka itu terjatuh berikut tombak yang meluncur!

Hui Song menyingkirkan tombak itu, kemudian bersama Siang Hwa menyalakan lilin-lilin yang sudah mereka bawa sebagai bekal tadi. Di bawah penerangan sinar lilin-lilin yang lumayang terang, mereka melihat bahwa di balik pintu yang menutup dinding tadi terdapat sebuah peti besar hitam.

"Itulah harta karunnya!"

Siang Hwa berseru girang sekali dan melonjak seperti anak kecil. Hui Song tersenym dan pemuda inipun dapat merasakan gejolak hatinya yang ikut bergembira. Usaha mereka berhasil dan semua jerih payah tadi tidak sia-sia.






"Hati-hati, nona. Jangan-jangan ada jebakan lagi atau senjata rahasia. Mari kita turunkan peti itu perlahan-lahan."

Hui Song lebih dulu mencoba dengan mencokel-cokel peti itu menggunakan sepotong batu, bahkan Siang Hwa lalu menghunus pedang dan memukul-mukul di atas peti. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu. Barulah mereka berani menarik dan menurunkan peti besar itu yang ukurannya lebih dari setengah meter persegi.

"Mengapa begini ringan?" Hui Song berkata.

"Kita buka saja, coba lihat isinya!" kata Siang Hwa tak sabar.

Peti itu dapat dibuka dengan mudah dan merekapun bersikap hati-hati ketika membuka tutup peti. Tidak terjadi sesuatu, akan tetapi keduanya terbelalak memandang ke dalam peti karena peti itu ternyata kosong sama sekali! Bagaikan awan tipis ditiup angin, lenyaplah semua kegembiraan yang memenuhi hati, terganti rasa kecewa yang amat menghimpit batin.

"Peti kosong...!" teriak Siang Hwa kemudian setelah ia dapat mengeluarkan suara.

"Mungkin bukan ini, mungkin di tempat lain," kata Hui Song membangkitkan harapan.

"Tidak, tidak! Pasti ini. Tempatnya sudah tepat, dan memang beginilah gambaran peti dalam peta Liang-tosu... Yang dimaksudkan seperti apa yang diceritakan suhunya. Tapi... sudah kosong. Ah, inilah sebabnya mengapa ada kerangka manusia ini, dan pasti ada orang mendahului kita. Dalam peta tidak pernah disebutkan adanya kerangka manusia atau tombak!"

"Didahului orang? Akan tetapi siapa dapat mendahuluimu, nona? Bagaimana pula dia dapat masuk kalau tadi batu itu masih utuh dan kaitannya juga baru saja terlepas? Dan siapa pula kerangka manusia? Mari kita selidiki!"

Hui Song dan Siang Hwa masing-masing membawa lilin karena bagian dalam guha itu sudah mulai remang-remang, melakukan pemeriksaan dengan hati kecewa dan tegang.

Hui Song ingin sekali membuktikan kebenaran dugaan Siang Hwa bahwa ada orang mendahului mereka. Kalau benar demikian, harus ada tanda-tandanya bagaimana orang itu dapat memasuki guha itu. Ataukah orang itu yang memasang semua alat rahasia di dalam guha itu? Akan tetapi, bukankah jebakan dan alat-alat rahasia itu sudah diketahui oleh Siang Hwa melalui peta, kecuali alat terakhir berupa tombak meluncur tadi? Tidak, kalau benar ada yang mendahului, tentu orang itu mengambil jalan lain yang tidak perlu merusak kaitan batu bundar penutup mulut guha!

Akhirnya usahanya berhasil. Dia menemukan sebuah lubang di lantai guha sebelah kanan, dan ketika dia menyingkirkan tanah yang menutupi lubang itu, lubang itu ternyata menuju ke bawah dan menembus keluar guha, melalui bawah batu! Mengertilah dia kini dan dia berseru kagum.

"Ah, orang itu memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan di bawah batu. Sungguh cerdik sekali!" katanya.

"Dan kerangka ini adalah kerangka seorang Mongol dan pembunuhnya atau orang yang telah mengambil harta karun ini tentu ada hubungannya dengan perkumpulan rahasia Harimau Terbang di Mongol!"

"Apa...? Begaimana engkau bisa tahu, nona?"

Hui Song mendekati gadis itu yang sedang memeriksa sebuah lencana yang terbuat dari emas.

"Aku pernah mempelajari ciri-ciri khas dari tulang pipi dan dagu orang Mongol asli dan tengkorak kerangka ini jelas adalah tengkorak seorang Mongol. Dan lencana ini kudapatkan dalam genggamannya, agaknya sampai tewas, orang ini terus menggenggam sebuah lencana yang besar kemungkinannya dapat dirampasnya dari leher lawannya yang membunuhnya. Lencana ini adalah tanda anggauta Harimau Terbang, sebuah perkumpulan rahasia di Mongol, yaitu menurut tulisan Mongol yang diukir di atasnya."

Hui Song melihat lencana itu dan dia merasa semakin kagum terhadap Siang Hwa. Kiranya gadis ini selain lihai, juga mempunyai pengetahuan yang luas.

"Jadi kalau begitu kesimpulannya..."

"Seorang atau lebih orang yang lihai dan cerdik sekali telah tahu akan rahasia harta karun ini, dan telah mendahului kita, mungkin sudah belasan bulan melihat betapa mayat ini telah menjadi kerangka yang masih utuh. Dia atau mereka memasuki guha dengan jalan membuat lubang terowongan kecil itu. Kemudian agaknya terjadi perebutan disini, dan orang ini tewas sedangkan dia hanya dapat merampas lencana yang agaknya dipakai oleh lawan sebagai kalung tanpa diketahui lawan itu. Orang itu, atau lebih dari seorang, lalu mengambil seluruh isi peti harta karun, memasukkan mayat orang ini ke dalam lubang bersama peti, memasang sebuah tombak untuk menyerang orang yang datang kemudian membuka tempat penyimpanan peti harta pusaka, Bagaimana pendapatmu, taihiap?"

Hui Song mengangguk-angguk. Perkiraan yang tepat sekali dan dia sendiripun tidak dapat menerka lain.

"Dugaanmu agaknya tepat sekali, nona. Memang hanya seperti itulah kiranya yang dapat terjadi. Alat-alat rahasia di balik batu penutup guha itu dibuat oleh mereka atau dia yang menyimpan harta pusaka itu, sedangkan mayat dan tombak tadi memang ditaruh kemudian, dan pasti oleh si pencuri harta pusaka. Lalu sekarang bagaimana?"

Tiba-tiba Siang Hwa menangis! Hal ini amat mengejutkan hati Hui Song. Dia terkejut dan terheran, sama sekali tidak pernah dapat membayangkan seorang yang gagah dan lihai seperti Siang Hwp dapat menangis sesenggukan seperti anak kecil begitu, akan tetapi dia segera teringat bahwa bagaimanapun juga, Siang Hwa adalah seorang wanita, dan harus diakuinya bahwa mendapatkan peti harta pusaka yang telah kosong itu sungguh merupakan pukulan batin yang amat hebat!

Dia sendiri yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan dengan harta itu, yang hanya terlibat secara kebetulan saja, merasa amat kecewa, menyesal dan tertekan batinnya. Apalagi Siang Hwa! Gadis ini sudah lama menyelidiki tempat ini, sudah berkali-kali gagal, bahkan sudah banyak temannya tewas dalam tugas penyelidikan.

Kini, setelah berhasil menemukan tempat dan peti harta pusaka, setelah harapan sudah memuncak di ambang keberhasilan, tiba-tiba saja segala-galanya hancur dan gagal sama sekali! Dia merasa kasihan, lalu teringat bahwa harta pusaka itu diperebutkan hanya demi menentang pemberontakan, bukan untuk kepentingan diri pribadi.

“Sudahlah, nona. Kiranya tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, kita mencari harta pusaka untuk menghalangi pusaka itu terjatuh ke tangan pemberontak. Dan sekarang seperti dugaanmu tadi, yang mengambilnya adalah orang Mongol, bukan para datuk sesat yang hendak memberontak. Yang penting adalah tidak terjatuh ke tangan pemberontak, jadi sama saja apakah pusaka itu terjatuh ke tangan kita ataukah orang lain asal jangan pemberontak, bukankah begitu?"

Siang Hwa memandang tajam dan sepasang matanya seperti berkilauan di bawah cahaya lilin.

"Taihiap, engkau tentu akan suka membantu kami untuk melakukan pengejaran ke Mongol, membantu kami merampas kembali harta pusaka itu, bukan?"

Hui Song mengerutkan alisnya.
"Untuk apa, nona? Aku... aku mempunyai urusan lain..." dia teringat akan tugasnya seperti yang dipesankan oleh gurunya.

Tentu saja dia tidak berani berterus terang kepada Siang Hwa tentang usaha para pendekar menentang para datuk sesat yang merencanakan pemberontakan, walaupun dia menganggap Siang Hwa juga seorang diantara para orang gagah yang menetang pemberontakan.

Akan tetapi, ucapan gadis itu meyakinkan hatinya dan memperkuat kepercayaannya.
"Taihiap, bukankah kita sehaluan, yaitu hendak menentang para pemberontak? Nah, usaha mendapatkan harta karun itu merupakan pukulan paling hebat bagi mereka, selain mereka gagal memperoleh harta yang akan dapat mereka pergunakan untuk membiayai pemberontakan, juga kita dapat menggunakan harta itu untuk keperluan gerakan menentang mereka."

Timbul kepercayaan di hati Hui Song. Jangan-jangan gadis ini adalah seorang diantara pimpinan para patriot yang hendak membela negara!

"Nona Gui, aku harus pergi ke bekas benteng Jeng-hwa-pang..."

Dia memancing sambil menatap tajam wajah gadis itu. Akan tetapi wajah Siang Hwa tidak menunjukkan sesuatu, hanya sepasang mata itu yang berkilat penuh penyelidikan mengamati wajah Hui Song.

"Cia-taihiap, sudah terlalu lama aku sibuk dengan tugasku mencari harta karun ini sehingga aku agak terlambat mengikuti perkembangan gerakan kawan-kawan kita di luar. Tentu disana akan diadakan pertemuan rahasia antara kita, bukan?"

Hui Song mengangguk.
"Para pendekar akan mengadakan pertemuan disana, kalau aku harus membantumu, aku khawatir akan terlambat."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: