*

*

Ads

Sabtu, 03 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 096

"Lihat, akan kupancing keluar mereka!" kata Siang Hwa, kemudian ia mengambil sebatang kayu dan menggunakan kayu itu untuk mengaduk-aduk dan menggerak-gerakkan permukaan air berlumpur di tepi rawa.

Tak lama kemudian air berlumpur itu berguncang dan muncullah moncong beberapa ekor binatang seperti buaya dan mereka bergerak ganas, memukul-mukul dengan ekor mereka yang seperti gergaji ke arah kayu itu bahkan ada yang menggunakan moncongya untuk menyerang.

Moncong itu mengerikan. Panjang dan ketika dibuka, amat lebarnya, penuh dengan gigi yang tajam meruncing seperti gigi gergaji pula! Dan gerakan ini memancing datangnya segerombolan binatang ini sehingga dalam waktu singkat saja di seluruh permukaan rawa itu nampak moncong atau ekor tersembul keluar! Mungkin ada ribuan ekor di seluruh rawa itu.

"Ah, sungguh berbahaya!" Hui Song bergidik ngeri. Bagaimana mungkin mereka akan dapat melawan sekian banyaknya binatang liar dan buas ini? "Lalu begaimana kita akan dapat menyeberang?"

Siang Hwa tersenyum, agaknya bangga akan pengetahuan dan kecerdikannya.
"Kita tidak dapat menggunakan perahu. Selain akan sukar meluncur, juga sekali terpukul ekor binatang itu, perahu kayu akan hancur berkeping-keping. Kita menggunakan bambu. Kalau kita berdiri di atas bambu dan mendayung, tentu bambu akan meluncur laju dan kalau kita berdua, kita dapat berjaga di kedua ujung bambu. mengusir dan menghantam setiap ekor binatang yang berani mendekat dengan pentungan kayu yang dapat kita cari disini. Seorang diri saja akan amat berbahaya karena kalau kita diserang dari depan belakang, selagi berdiri di atas bambu dan mengatur keseimbangan badan pula, akan sukarlah menyelamatkan diri."

Gadis itu lalu mengajak Hui Song pergi mengambil alat-alat itu yang disembunyikannya di balik bukit kecil tidak jauh dari situ. Mereka lalu menggotong sebatang bambu yang panjangnya kurang lebih tiga meter, kedua ujungnya meruncing. Bambu ini sudah tua dan kering, kuat dan ulet sekali dan Siang Hwa juga sudah menyediakan dayung sebanyak dua batang dengan gagang panjang. Dayung ini terbuat dari kayu dilapis baja dan ujungnya bahkan seluruhnya terbuat dari besi, maka dayung ini dapat dipergunakan untuk mendayung perahu istimewa berupa sebatang bambu itu, juga dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh untuk menghadapi binatang-binatang seperti buaya itu.

"Hemm, kiranya engkau sudah mempersiapkan segalanya, nona," kata Hui Song kagum.

"Sudah kukatakan bahwa sudah beberapa kali aku datang ke tempat ini, taihiap. Namun sampai kini tanpa hasil dan sekaranglah timbul harapanku akan berhasil, dengan bantuanmu. Mari kita menyeberang. Biar aku menjaga di ujung depan dan engkau di ujung belakang, taihiap."

"Baiklah!" kata Hui Song yang merasa betapa jantungnya berdebar juga ketika batang bambu itu diturunkan di atas permukaan air berlumpur.

Siang Hwa meloncat ke atas bambu dan berjalan sampai ke ujung depan, diikuti oleh Hui Song. Jangan dikira mudah berdiri di atas batang bambu besar yang terapung di atas air berlumpur. Bambu itu bergoyang-goyang dan condong untuk berputar sehingga orang yang tidak memiliki gin-kang yang tinggi dan pandai mengatur keseimbangan tubuh, tentu akan terbawa berputar dan terpelanting ke dalam air berlumpur itu. Dan di kanan kiri bambu itu kini sudah nampak moncong-moncong mengerikan dan ekor-ekor yang panjang dan kuat!

"Jangan sembarangan memukul mereka, taihiap. Kalau ada yang mencoba menyerang, baru kita memukul, akan tetapi sekali pukul harus mengenai kepalanya dan harus menewaskannya, kalau tidak dia akan mengamuk dan berbahayalah kita. Sesudah seekor kita tewaskan, kita harus cepat mendayung bambu ini meluncur maju, karena bangkainya akan dijadikan rebutan kawan-kawannya sendiri sehingga air lumpur akan berguncang hebat."

Hui Song mengangguk-angguk, matanya tidak berani berkedip memandang ke sekelilingnya dan diapun menggerakkan dayungnya membantu Siang Hwa yang sudah mulai mendayung. Bambu yang ujungnya runcing itu menggeleser lembut dan meluncur dengan cepatnya di atas permukaan air berlumpur itu, menyusup diantara alang-alang dan tumbuh-tumbuhan lain.

Baru belasan meter bambu mereka meluncur, setelah banyak pasang mata di belakang moncong-moncong itu memandang seperti terkejut dan terheran, mulailah datang serangan itu. Seekor binatang liar menerjang dari depan menyambut ujung bambu. Melihat behaya ini, Siang Hwa menggerakkan dayungnya, menyambut dengan hantaman keras.

"Prakkk!"

Pecahlah kepala binatang itu dan dengan dayungnya Siang Hwa mencongkel dan melempar bangkai binatang itu agak jauh. Hui Song melihat betapa tempat dimana bangkai itu jatuh kini penuh dengan binatang yang mengeroyok dan memperebutkan bangkai yang sebentar saja sudah dirobek-robek dan ditelan habis. Air lumpur menjadi merah warnanya. Diam-diam dia bergidik juga membayangkan bagaimana kalau tubuh manusia yang dijadikan rebutan seperti itu!






"Cepat dayung!" Siang Hwa berteriak.

Mereka mendayung dan bambu meluncur ke depan, akan tetapi terpaksa Hui Song harus berhenti mendayung karena tiba-tiba seekor binatang yang amat besar berenang dengan cepat dan memukulkan ekornya ke arahnya. Dayungnya terlampau pendek untuk mencapai kepala buaya itu, maka dia hanya mempergunakan dayung untuk menangkis ekor.

Buaya itu kesakitan dan marah, membalik dan dengan moncong dibuka lebar dia menyerang, hendak menggigit apa saja. Hui Song menggerakkan dayungnya dan pecahlah kepala binatang itu. Seperti yang dilakukan oleh Siang Hwa tadi, dengan dayungnya dia mendorong dan melemparkan bangkai itu agak jauh dari bambu. Bangkai itu segera menjadi rebutan seperti tadi.

Akan tetapi, agaknya binatang-binatang itu menganggap bahwa dua orang penunggang bambu itu mendatangkan rejeki dan memberi makanan kepada mereka, kini mereka semua bareng menghampiri dan nampak betapa moncong-moncong itu muncul banyak sekali di kanan kiri, depan dan belakang perahu.

“Dayung cepat...!"

Siang Hwa berteriak khawatir melihat begitu banyaknya binatang yang mendekati bambu. Kembali mereka mendayung sambil mengerahkan tenaga sin-kang dan karena tenaga Hui Song memang besar sekali, dayungnya membuat bambu itu meluncur dengan amat lajunya.

Akan tetapi, baru sampai di tengah-tengah rawa, bambu itu sudah dikurung oleh ratusan ekor binatang buas itu yang kini agaknya menjadi marah karena tidak mendapatkan makanan lagi. Binatang ini agaknya mempunyai watak seperti ikan-ikan hiu di lautan. Mereka bekerja sama dengan rukun, akan tetapi sekali mencium darah, mereka tidak memperdulikan darah kawan atau lawan. Semua yang berdarah akan diserbu dan diganyang dengan lahapnya!

Melihat ancaman hebat ini, Siang Hwa berteriak,
"Taihiap, cepat, kita berkumpul di tengah dan saling melindungi!"

Mereka berdua melangkah ke tengah-tengah bambu dan beradu punggung, menghadapi penyerbuan binatang-binatang buas itu.

"Bunuh sebanyaknya dan lemparkan bangkai mereka ke sana-sini, untuk mencerai-beraikan mereka!"

Kembali gadis itu berkata dengan tenang, namun hanya sikapnya yang tenang, suaranya agak gemetar. Diam-diam Hui Song merasa kagum. Dia sendiri merasa ngeri dan dia tahu bahwa kalau hanya sendirian saja, akan lebih besarlah bahayanya, walaupun dia tentu akan memperoleh akal untuk menyelamatkan dirinya.

Kini, binatang-binatang liar itu menyerbu dari kanan kiri dan kedua orang muda itu menggerakkan dayung mereka untuk menyambut. Terdengar suara keras pecahnya kepala binatang itu berkali-kali disusul terlemparnya bangkai-bangkai mereka ke kanan kiri. Bangkai-bangkai itu menjadi rebutan, akan tetapi karena yang menyerbu amat banyaknya, biarpun sebagian ada yang memperebutkan bangkai kawan sendiri, yang menyerbu bambu itu tetap saja masih amat banyak.

Hui Song merasa tidak leluasa kalau menghadapi sekian banyaknya binatang itu hanya dengan berdiri di atas bambu dan menyambut setiap binatang yang berani menyerang paling dekat. Maka dia lalu meloncat dari atas bambu, menghantam seekor buaya, lalu kakinya hinggap di atas kepala seekor buaya lain, menghantam lagi dan dengan cara berloncatan dari kepala ke kepala, dia dapat membagi-bagi pukulan dengan lebih baik.

Sebentar saja, belasan ekor buaya telah pecah kepalanya dan terjadilah perebutan bangkai yang hiruk-pikuk. Melihat sepak terjang pendekar itu, Siang Hwa terkejut dan juga amat kagum. Biarpun dia tahu bahwa pendekar itu lihai sekali, namun dia tidak pernah mengira bahwa Hui Song akan seberani dan sehebat itu.

"Mari, taihiap, kini ada kesempatan untuk melarikan diri!" katanya setelah kini para binatang itu sibuk sendiri saling serang dan memperebutkan bangkai-bangkai yang banyak itu.

Mereka lalu mendayung lagi setelah dengan sigapnya Hui Song meloncat kembali ke atas bambu. Bambu meluncur cepat dan biarpun ada beberapa ekor binatang yang memburu, namun mereka sudah dapat tiba di seberang dengan selamat. Mereka menarik bambu itu ke darat dan menyembunyikannya ke belakang serumpun semak-semak.

"Hayaaa... berbahaya juga...!" kata Hui Song sambil menyusuti peluh dari lehernya dengan saputangan.

Siang Hwa juga menyusuti keringatriya dan memandang kagum.
"Akan tetapi engkau hebat, taihiap. Sungguh hebat den membuatku kagum sekali. Memang amat berbahaya tadi, dan sekiranya bukan engkau yang mendampingiku, tentu tamatlah riwayat Gui Siang Hwa pada hari ini!"

"Ah, sudahlah jangan terlalu memuji, nona. Engkau sendiri juga mengagumkan sekali. Nah, sekarang apa pula yang akan kita hadapi?"

"Tinggal satu lagi, taihiap, akan tetapi satu yang paling sukar dan biarpun sudah dibantu oleh teman lihai yang akhirnya tewas di rawa, tetap saja aku tidak mampu mengatasi kesukaran terakhir ini. Mari kita lanjutkan perjalanan."

Akhirnya tibalah mereka di depan sebuah guha kecil yang tertutup batu bundar yang besar.

"Nah, di belakang batu besar inilah tempat penyimpanan harta karun, yaitu menurut peta rahasia yang menjadi warisan Ciang-tosu. Akan tetapi, biarpun aku sudah berusaha mati-matian bersama teman itu, tetap saja kami tidak berhasil menggerakkan batu ini yang seolah-olah melekat pada guha di belakangnya."

Hui Song tertarik sekali dan memandang batu besar bulat itu. Batu itu memang besar, akan tetapi karena bentuknya bulat, rasanya kalau orang memiliki tenaga sin-kang yang sudah cukup kuat, tentu akan mampu mendorongnya sehingga menggelinding atau tergeser dari tempat semula.

Gadis ini cukup lihai dan kuat, apalagi dibantu seorang teman yang juga lihai, bagaimana sampai tidak berhasil mendorong batu bulat ini ke samping? Dia tidak boleh mempergunakan tenaga kasar saja. Kalau dua orang itu dengan tenaga digabung tidak berhasil menggeser batu ini, tentu ada rahasianya.

Dia harus berhati-hati dan tidak boleh sembrono. Maka mulailah dia meneliti dan mendekati batu itu meraba sana-sini dan memeriksa ke sekelilingnya. Akhirnya dia mengambil kesimpulan bahwa memang batu ini, biarpun tidak melekat dan menjadi satu dengan mulut guha, namun ditahan oleh sesuatu yang membuat batu itu sukar dilepaskan dari mulut guha. Tentu ada alat rahasianya.

"Taihiap, mari kita mencoba untuk menyatukan sin-kang dan mendorong batu ini agar tergeser dan membuka pintu guha," kata gadis itu.

Akan tetapi Hui Song menggeleng kepalanya.
"Nona, kurasa akan percuma saja mempergunakan tenaga kasar memaksa batu ini tergeser. Batu ini besarnya membuat ia tidak mungkin dipecahkan dan biarpun garis tengahnya ada dua meter, mestinya dapat didorong dan digeser. Kalau tidak dapat digeser, itu berarti bahwa di balik batu ini ada sesuatu yang mungkin sengaja dipasang untuk menahan batu ini agar tidak pindah dari tempatnya. Aku mempunyai akal yang akan lebih mudah kita laksanakan."

“Bagaimana, taihiap?" gadis itu memandang penuh harapan.

"Kekuatan manusia ada batasnya. Akan tetapi kekuatan yang timbul dari berat jenis batu ini sendiri akan sukar dapat ditahan oleh alat yang membuat batu itu tidak bergoyah dari tempatnya. Mari kita membuat batu itu melepaskan diri sendiri dengan berat jenisnya."

Mula-mula Siang Hwa tidak mengerti, akan tetapi melihat pemuda itu mulai menggali tanah di sebelah batu besar, ia mengerti dan cepat membantu penggalian itu. Karena mereka berdua adalah orang-orang pandai yang bertenaga besar, sebentar saja mereka sudah menggali cukup lebar dan dalam.

Tiba-tiba Hui Song berteriak mendorong tubuh gadis itu ke samping. Batu itu bergerak! Tak lama kemudian batu itupun menggelinding masuk ke dalam lubang galian di sebelah kirinya dan terbukalah setengah pintu guha itu!

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: