*

*

Ads

Kamis, 01 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 095

Hui Song yang sudah tertarik sekali mengangguk. Mereka berempat lalu masuk ke dalam guha, Siang Hwa dan Hui Song di depan, diikuti oleh dua orang kakek itu. Setelah mereka berempat masuk, Sui Cin dari atas "melayang" ke bawah. Ya, gerakannya itu seperti seekor burung melayang saja, demikian ringan dan cepatnya.

Ternyata gadis ini jauh berbeda dengan Sui Cin tiga tahun yang lalu. Gerakannya sungguh luar biasa dan ia telah benar-benar menguasai ilmu Bu-eng Hui-teng (Lari Terbang Tanpa Bayangan) dengan baik. Dengan gerakan yang amat sigap, iapun menyelinap masuk ke dalam guha di sebelah sana pintu dan ternyata di bagian dalam itu merupakan daerah yang luas dan berbatu-batu sehingga memudahkan gadis ini untuk menyelinap diantara batu-batu, bersembunyi dan membayangi empat orang yang berloncatan di sebelah depan.

Setelah melalui perjalanan berliku-liku diantara batu-batu besar, empat orang itu berhenti di depan terowongan dan memandang ke depan.

"Inilah jembatan batu pedang itu!" kata Siang Hwa dan Hui Song memandang terbelalak ke depan.

Hebat memang. Bukan jembatan, melainkan lorong yang penuh dengan batu-batu meruncing seperti dibuat oleh tangan manusia sakti saja. Lorong itu demikian penuh dengan batu-batu meruncing ini sehingga untuk melewati lorong itu, satu-satunya jalan haruslah berloncatan dari batu ke batu, di atas ujung-ujung batu runcing seperti pedang itu! Dan untuk mengerjakan ini bukanlah hal yang mudah, membutuhkan gin-kang yang sudah matang dan juga tenaga sin-kang yang kuat.

"Nah, disinilah semua teman mogok. Ciang-tosu dan Ciong-hwesio sudah pernah mencoba, akan tetapi mereka hanya sampai beberapa meter saja. Aku sendiri sudah tiga kali melewati jembatan ini dengan hasil baik, akan tetapi selanjutnya aku tidak sanggup lagi. Di sebelah depan sana terlalu berbahaya dan sukar," Siang Hwa menerangkan.

"Apakah kesukarannya?" Hui Song bertanya.

"Menuturkannya membuang-buang waktu saja dan tidak ada gunanya. Marilah kita melewati jembatan ini dulu, di depan engkau akan dapat melihatnya sendiri, taihiap. Mulai dari sinilah aku membutuhkan bantuan seorang seperti engkau maka selanjutnya engkaulah yang memimpin karena kepandaianmu jauh lebih lihai dan dapat dipercaya daripada aku sendiri."

"Nanti dulu, nona. Selama beberapa hari aku mengikutimu dan membantumu tanpa banyak bertanya. Kini kita telah tiba di tempat ini dan kukira aku berhak mengetahui segala sesuatu tentang pekerjaan yang kita lakukan. Tempat apakah ini sebenarnya dan harta pusaka itu milik siapakah? Bagaimanapun juga, aku sungguh tidak akan mau membantu kalau terdapat kenyataan bahwa kita sedang melakukan pencurian atau perampasan."

Mendengar ini, Siang Hwa dan dua orang kakek itu saling pandang dan nampak keraguan pada pandang mata dua orang kakek itu. Akan tetapi Siang Hwa mengangguk dan berkata.

"Memang sudah sepatutnya kalau taihiap mengetahuinya, dan orang yang lebih mengetahuinya mengenai harta pusaka itu adalah Ciang-to-su." Dan ia menoleh kepada kakek berpakaian tosu itu. "Ciang-locianpwe, Cia-taihiap adalah orang segolongan dan sehaluan, tiada salahnya kalau mendengar tentang harta pusaka ini. Harap locian-pwe suka menjelaskannya."

"Siancai, sesungguhnya cerita mengenai harta pusaka ini merupakan rahasia besar, tadinya rahasia keluarga pinto, kini menjadi rahasia kita yang menentang pemberontakan. Akan tetapi karena Cia-taihiap, biarlah pinto membuka rahasia dan menceritakannya."

Kakek yang berlagak seperti pendeta beragama To itu mulai bercerita. Kiranya dia adalah keturunan Bangsa Mongol, bahkan nenek moyangnya pada hampir dua ratus tahun yang lalu merupakan pejabat tinggi atau ningrat dalam Kerajaan Goan yang berbangsa Mongol. Ketika itu pemerintahan Mongol yang memakai nama Dinasti Goan menguasai seluruh Tiongkok dan cerita tosu ini terjadi pada waktu pemerintahan dipegang oleh Kaisar Shun Ti (1333-1368).

Pada waktu itu hasil tanah rampasan dari daerah-daerah yang tadinya masih belum mau mengakui kekuasaan Kerajaan Goan kemudian ditaklukkan, dibagi-bagi diantara para ningrat Mongol. Pembagian itu amat besar karena paling kecil tanah yang dibagikan kepada mereka itu mencapai luas seratus hektar!

Terjadilah perampasan-perampasan karena para pejabat tinggi menjadi "mabok tanah" dan timbullah tuan-tuan tanah dalam arti yang sebenarnya karena mereka itu masing-masing memiliki tanah yang ratusan, bahkan ribuan hektar luasnya! Tentu saja orang yang menguasai tanah sampai sekian luasnya itu merupakan raja kecil dalam tanah yang dikuasainya.

Tanah-tanah itu oleh para tuan tanah disewakan kepada buruh-buruh tani dengan memungut hasil tanah yang amat menekan, seolah-olah para petani itu diperas keringatnya dan dihisap sebagian besar hasil tenaga mereka. Dan para petani itu tetap mau saja diperas seperti itu karena mereka hanya bermodal tenaga, tidak memiliki tanah secuilpun. Tanpa adanya tanah, kepandaian dan tenaga mereka untuk bercocok tanam tidak ada artinya dan mereka perlu makan setiap hari.






Dengan adanya kekuasaan mutlak yang dipergunakan dengan sewenang-wenang ini, maka banyak diantara para pejabat tinggi dan ningrat ini yang berhasil menumpuk harta kekayaan yang sukar dibayangkan banyaknya. Dan diantara mereka itu terdapat nenek moyang Ciang-tosu atau yang sesungguhnya berjuluk Hui-to Cin-jin itu!

Pembesar Mongol ini menumpuk harta kekayaan yang amat besar, kemudian menurunkan harta kekayaan itu kepada keturunannya sampai akhirnya pemerintah Mongol ditumbangkan oleh rakyat yang memberontak pada tahun 1368 dan berakhirlah pemerintahan penjajah Mongol dan lahirlah Dinasti Beng-tiauw yang dipimpin oleh bangsa sendiri sampai saat Hui Song mendengar cerita itu dituturkan oleh Ciang-tosu.

Akan tetapi, seperti juga banyak pembesar tinggi pemerintah Mongol lainnya, nenek moyang Ciang-tosu berhasil melarikan sebagian besar harta kekayaannya dan menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia yang dinamakan Guha Iblis Neraka itu.

Dengan bantuan beberapa orang pandai, pembesar Mongol itu menyembunyikan harta kekayaan berupa emas dan batu-batu permata dan setelah berhasil menyembunyikannya, pembesar ini memerintahkan para pengawalnya untuk membunuh semua pembantu sehingga tempat itu menjadi rahasia yang hanya diketahuinya sendiri saja.

Rahasia ini dibawanya lari ketika pemerintahan bangsanya jatuh dan hanya sedikit harta benda yang dapat dibawanya lari ke utara. Dan rahasia itu menjadi warisan bagi anak cucunya. Akan tetapi, tidak mudah bagi anak cucunya untuk dapat mengambil harta pusaka yang tersimpan di tempat yang rahasia dan berbahaya itu. Ketika menyimpan rahasia itu, orang-orang pandai yang membantunya menggunakan alat-alat rahasia sehingga ketika mereka keluar, alat-alat itu digerakkan dan batu-batu runtuh menimbun dan menghapus jejak sehingga amatlah sukar bagi orang untuk menemukan harta itu, biarpun dia sudah tahu dimana letaknya.

Apalagi bagi orang luar. Dan jalan menuju ke harta karun itupun amatlah sulit dan berbahayanya. Inilah sebabnya, mengapa sampai hampir dua ratus tahun, tidak ada orang yang menemukan harta itu yang masih tersimpan dan tertimbun dengan aman di tempat yang menyeramkan itu.

"Keturunan pembesar penyimpan harta karun itu, yang terakhir adalah pinto sendiri. Akan tetapi, biarpun pinto juga mewarisi pengetahuan tentang harta itu dan memiliki peta yang menunjukkan tempatnya, untuk apakah harta itu bagi pinto yang sejak muda menjadi pendeta? Pula, kepandaian pinto terlalu rendah untuk dapat menggali dan menemukan harta pusaka itu, maka sampai kini pinto tinggal diam saja. Barulah setelah pinto mendengar bahwa rahasia harta karun ini sampai ke telinga para pemberontak dan mereka berusaha mencari dan menguasainya untuk dipakai biaya melakukan pemberontakan, hati pinto tergerak dan bersama kawan-kawan sehaluan pinto berusaha mendapatkan harta karun itu mendahului para pemberontak!"

"Jalan selanjutnya bukan terjun ke bawah, melainkan melompati sumur pasir itu dan berusaha mendarat di seberang," kata Siang Hwa.

"Menyeberang ke sana? Tapi, di depan itu hanya tebing..."

"Inilah mengapa aku mengatakan bahwa tempat ini amat sukar, taihiap. Dan bagian ini bukanlah yang paling sukar. Aku sendiri sudah sampai kesana. Kau lihat batu menonjol di tebing itu, yang berwarna agak kehitaman? Nah, tonjolan batu itu dapat dipakai tempat mendarat. Di sebelah atas tonjolan itu terdapat lekukan yang cukup dalam dan lebar untuk tangan berpegangan dan bergantung, sedangkan di bawah tonjolan batu itu terdapat pula lekukan yang lebih besar lagi untuk tempat kaki berpijak. Kau dapat melihatnya, taihiap?"

Hui Song mengangguk-angguk dan dia merasa kagum kepada nona ini. Seorang diri, Siang Hwa dapat menemukan tempat mendarat yang luar biasa itu, sungguh merupakan kecerdikan dan juga keberanian yang jarang terdapat. Dia sendiri, kalau tidak diberi tahu, belum tentu akan dapat menemukan kemungkinan meloncati sumur pasir dan mendarat di tebing yang curam itu.

"Kalau ragu-ragu, biarlah aku yang melompat lebih dulu, taihiap," kata Siang Hwa.

Mendengar ini, tersinggung rasa harga diri Hui Song. Kalau gadis itu berani meloncati, mengapa dia tidak? Dan pula, setelah melihat tonjolan batu dan lekukan-lekukan pada dinding itu, dia maklum bahwa meloncati dan hinggap di tebing itu bukan merupakan pekerjaan yang terlalu sukar baginya.

"Tidak, biarkan aku melompat lebih dulu."

Tanpa menanti jawaban, Hui Song mengerahkan tenaganya dan meloncat. Dengan mudah saja tubuhnya melayang ke depan dan di lain saat dia sudah hinggap di tebing itu, tangan kanannya mencengkeram lekukan di atas tonjolan batu dan kaki kirinya hinggap di lekukan bawah.

"Bagus, sekarang harap merayap ke kiri. Di balik batu itu terdapat batu datar, harap berputar di balik batu dan meninggalkan tempat mendarat itu untukku, taihiap."

Hui Song merayap ke kiri, berpegang kepada lekukan-lekukan di permukaan tebing yang tidak rata dan sebentar saja dia menemukan tempat yang dimaksud oleh gadis itu. Memang, di balik tebing terdapat batu datar dan diapun berputar dan berdiri di atas batu datar itu. Kiranya di balik tebing terdapat lereng yang batunya datar.

Dia memandang ketika gadis itu meloncat dan ternyata Siang Hwa mampu pula meloncati sumur pasir itu dengan mudah, hinggap di tempat dia mendarat tadi. Tak lama kemudian gadis itu telah berdiri di sampingnya, dan sebuah tangan yang hangat lunak memegang tangannya. Dia merasa betapa tangan gadis itu agak dingin gemetar.

"Kenapa?" tanyanya heran.

Jari-jari tangan itu mencengkeram dengan hangat, lalu melepaskan kembali pegangannya.

"Maaf, taihiap. Aku selalu merasa tegang sekali kalau sudah meloncati sumur mengerikan itu, teringat kepada teman-teman yang telah ditelannya."

Ia bergidik. Kemarahan Hui Song karena kemesraan yang lancang itu lenyap dan dia merasa kasihan.

"Engkau tidak sendirian, nona. Akupun merasa tegang dan ngeri. Tempat ini memang sungguh menyeramkan dan sukar dilalui. Akan tetapi aku berjanji akan membantu sampai engkau dapat menemukan tempat penyimpanan harta karun itu, terutama demi untuk menentang para penjahat yang hendak memberontak."

"Terima kasih, Cia-taihiap, mari kita lanjutkan perjalanan ini. Tidak jauh lagi, akan tetapi masih harus melalui dua tempat yang lebih sukar dan lebih berbahaya lagi. Nah, kau lihat, di depan itu terbentang rawa yang menghalang perjalanan menuju ke tempat penyimpanan harta karun itu. Perjalananku yang sudah-sudah, untuk pertama kalinya ketika aku melakukan perjalanan seorang diri menyelidik, hanya sampai di tepi rawa ini dan aku tidak mampu melanjutkan. Kemudian aku datang lagi dibantu oleh seorang yang cukup lihai dan kami berhasil menyeberang, akan tetapi pada rintangan terakhir kami gagal dan pulangnya, temanku itu celaka dan tewas di rawa itu."

Kalau saja Hui Song tahu akan kebohongan gadis ini, tentu dia akan bergidik ngeri. Memang benar gadis itu pernah berhasil menyeberangi rawa dengan bantuan seorang gagah, akan tetapi setelah gagal menemukan harta pusaka, khawatir karena rahasia harta karun itu telah diketahui orang luar, secara keji ia lalu membunuh orang gagah yang tadinya membantunya itu di tengah rawa!

Mendengar ini, Hui Song memandang rawa itu dengan penuh perhatian. Mereka kini sudah tiba di tepi rawa. Sebuah rawa yang kecil saja, akan tetapi sungguh tidak mungkin dilewati tanpa mempergunakan alat. Melompati rawa ini hanya mampu dilakukan oleh burung dan binatang bersayap lainnya saja. Rawa itu merupakan air lumpur yang ditumbuhi bermacam tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di atas lumpur dan tidak melihat perahu atau alat lain untuk menyeberang.

"Bagaimana cara menyeberangi rawa ini dan apa bahayanya, nona?" ta-nyanya.

Siang Hwa tersenyum.
"Nampaknya aman dan tenang, bukan? Akan tetapi ketahuilah, taihiap, dibawah permukaan air berlumpur yang kelihatan tenang itu bersembunyi binatang-binatang iblis yang amat mengerikan dan liar sekali. Binatang yang siap mengintai dari bawah untuk menerkam dan menyerang siapa saja yang berani melintas di permukaan rawa."

"Binatang apakah itu?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: