*

*

Ads

Kamis, 01 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 093

Hui Song juga bukan orang bodoh. Dia tahu bahwa gadis ini lihai dan berbahaya sekali dan dalam keadaan seperti itu, dia tidak dapat memilih. Dia sendiri sudah merasa betapa tenaganya sudah pulih dan dia merasa yakin bahwa kalau dia menghendaki, pada saat itupun dia akan mampu mengerahkan tenaga dan membebaskan diri dari belenggu.

Akan tetapi, dengan adanya Siang Wi yang masih tak mampu bergerak, akan berbahaya sekali kalau dia melakukan hal itu. Dan wanita ini hanya minta kepadanya untuk bersahabat. Apa salahnya?

"Baiklah, apa salahnya kalau kita bersahabat? Akan tetapi sikapmu tidak seperti bersahabat. Engkau menawan aku dan sumoi..."

"Sabarlah, aku akan membebaskanmu. Dalam keadaan sekacau ini, bagaimana aku tahu bahwa kalian adalah orang baik-baik? Siapa tahu kalau-kalau kalian ini mata-mata dari pihak pemberontak? Kalau kau mau berjanji menjadi sahabatku dan membantuku dengan suatu urusan, aku tentu akan membebaskanmu dan juga sumoimu dan minta maaf."

Diam-diam Hui Song merasa heran. Wanita ini agaknya tahu pula akan rencana pemberontakan para datuk sesat. Akap tetapi hal inipun tidaklah berapa aneh. Bukankah berita itu telah tersiar di dunia kang-ouw dan melihat kepandaiannya, wanita inipun tentu seorang kang-ouw yang lihai dan sudah mendengar pula akan berita itu. Dan agaknya wanita ini menentang kaum pemberontak, akan tetapi dia harus yakin akan hal ini.

"Nona, seorang dengan kepandaian seperti engkau ini mana takut akan segala kekacauan? Dan pemberontakan apa yang nona maksudkan?"

"Hemmm, tidak tahukah engkau bahwa kini ada rencana pemberontakan yang diatur oleh para datuk di dunia kang-ouw?"

Hui Song mengangguk.
"Aku sudah mendengar. Bukan datuk kang-ouw, melainkan datuk kaum sesat, bahkan Cap-sha-kui bersatu dan bersekutu dengan para datuk jahat dan dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis!" Hui Song memandang tajam untuk melihat reaksi pada wajah gadis itu.

"Ihh...!" Siang Hwa menarik muka kaget dan ngeri. "Sampai sedemikian jauh dan hebat? Kalau begitu, kerajaan terancam bahaya!"

"Nona, engkau mempunyai kepandaian tinggi, lalu dengan adanya kenyataan ini apakah yang akan kau lakukan? Apakah engkau hendak bergabung dengan mereka yang akan memberontak itu?"

Muka Siang Hwa menjadi merah, sebetulnya mukanya merah karena malu dan tidak enak hati, akan tetapi Hui Song mengiranya merah karena marah sehingga diam-diam dia merasa girang dan menduga bahwa gadis ini bukan teman para pemberontak.

"Hemm, Cia-taihiap, apakah engkau juga hendak membantu Cap-sha-kui dan para pemberontak itu?" Siang Hwa yang cerdik balas bertanya sambil menatap tajam.

Hui Song menggeleng kepala.
"Aku bukan penjahat dan bukan pula pemberontak, dan aku lebih suka menentang Cap-sha-kui daripada menjadi sahabat mereka!"

"Bagus, kalau begitu kita sepaham!" Siang Hwa berkata dengan senyum lebar. "Tadinya aku meragukan apakah engkau dan sumoimu itu mata-mata pemberontak. Maafkan aku, kalau begitu aku harus membebaskanmu, taihiap." Berkata demikian, ia mendekat dan hendak melepaskan tali yang mengikat kedua pergelangan tangan Hui Song. Akan tetapi ia berhenti dan menatap wajah itu. "Tapi... kau belum berjanji untuk membantuku."

"Setelah kita bersahabat, tentu saja aku akan membantumu, asal saja bukan untuk perkara kejahatan."

"Hemm, apakah kau belum percaya padaku, taihiap? Aku bukan penjahat. Berjanjilah baHwa engkau akan membantuku, dan aku akan membebaskan kau dan sumoimu. Akan tetapi, sumoimu tidak boleh ikut serta."

"Mengapa?"

"Urusan itu adalah rahasiaku sendiri, orang lain, kecuali engkau yang kuminta bantuan tidak boleh tahu."

Hui Song mengangguk, mengerti. Pula, diapun tidak senang kalau sumoinya mencampuri urusannya. Pertama, watak sumoinya itu angkuh dan keras sehingga di mana-mana mudah menimbulkan keributan dan permusuhan, kedua, tingkat ilmu kepandaian sumoinya, walaupun pada umumnya dapat dianggap cukup lihai, akan tetapi belum boleh diandalkan kalau bertemu dengan datuk-datuk sesat dan ketiga, dia tahu betapa sumoinya mencintanya dan mengharapkan dia menjadi suaminya dan hal ini membuat dia merasa canggung dan tidak enak untuk berhadapan dengan gadis itu.






"Kalau begitu, aku akan membebaskanmu sekarang!" Siang Hwa mendekat tetapi Hui Song tersenyum.

"Tidak perlu lagi, nona. Kalau aku mau, sejak tadipun aku sudah bisa membebaskan diri sendiri."

Berkata demikian, dia mengerahkan tenaga sin-kang, disalurkan kepada lengannya dan sekali kedua lengan itu bergerak merenggut, terdangar suara keras, dan belenggu itupun putus-putus.

"Ihhh...!"

Siang Hwa terkejut dan melompat ke belakang, meraba pinggang dan matanya terbelalak.

Akan tetapi Hui Song tersenyum.
"Jangan kaget dan jangan khawatir, nona. Aku tadi hanya ingin melihat apakah benar-benar engkau berniat baik maka aku sengaja membiarkan diri terbelenggu."

"Aihh... engkau... sungguh hebat, taihiap," katanya kagum. "Dan sekarang aku akan membebaskan sumoimu,"

Iapun cepat menghampiri Siang Wi, menggunakan obat penawar racun bius tadi. Tak lama kemudian terdangar Siang Wi mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat gadis yang tadi merayu suhengnya itu duduk berjongkok di dekatnya, Siang Wi mengeluarkan teriakan marah dan langsung saja ia mengirim pukulan-pukulan bertubi ke arah tubuh lawan yang amat dibencinya karena cemburu itu.

Siang Hwa meloncat ke belakang dan mengelak sambil menangkis beberapa kali. Gerakannya amat diperhatikan Hui Song dan pemuda ini diam-diam harus mengakui bahwa tingkat ilmu silat dari Gui Siang Hwa memang amat tinggi, gerakannya cekatan, cepat sekali dan juga indah walaupun aneh dan liar sifatnya. Mudah nampak olehnya bahwa gerakan gadis itu jauh lebih lihai daripada gerakan sumoinya dan kalau dilanjutkan, tentu sumoinya akan kalah walaupun Siang Hwa tidak mempergunakan racun bius.

"Sumoi, hentikan seranganmu!" bentak Hui Song.

Mendengar bentakan ini, Siang Wi menahan serangannya dan membalik, memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak mengandung sinar marah penasaran.

"Suheng, ia... ia... si wanita cabul ini, tak tahu malu dan patut dibunuh!"

"Sumoi, tenanglah. Nona Gui ini adalah segolongan, tadi hanya terjadi salah paham antara kami..."

"Tapi... tapi aku melihat dengan mataku sendiri, mendengar dengan telingaku sendiri betapa ia telah menawanmu, dan merayumu secara tak tahu malu..."

"Sstt, sumoi. Sudahlah. Kukatakan tadi hanya salah paham. Kini kami sudah bersahabat, dan kami akan melakukan kerja sama untuk suatu urusan yang tak boleh diketahui orang lain. Karena itu, kuminta agar engkau suka meninggalkan tempat ini sekarang juga. Kembalilah kau ke Cin-ling-san dan jangan aku lagi."

"Tapi... suheng..."

"Sudahlah, sumoi. Kau jangan banyak membantah. Ketahuilah bahwa kalau tidak berniat baik, kita berdua tadi sudah tewas di tangan nona Gui. Pergilah!"

Tan Siang Wi berdiri dengan muka pucat, kedua tangan dikepal dan kini kedua matanya mulai basah. Ia memandang kepada dua orang itu secara bergantian, tatapan matanya pada Siang Hwa penuh kebencian, sedangkan kalau ia memandang suhengnya sepasang matanya memancarkan permohonan dan kekecewaan.

"Suheng... haruskah aku pergi... Engkau mengusir aku begitu saja?"

Hui Song mengangguk. Dia tidak ingin menyakiti hati sumoinya, akan tetapi mengingat akan watak sumoinya yang keras, dia harus bersikap tegas. Dia sudah berjanji kepada Siang Hwa dan dia tidak boleh melanggar janji itu. Pula, diam-diam dia menaruh hati curiga kepada Siang Hwa dan ingin menyelidiki siapa sesungguhnya wanita ini dan peran apa yang dipegangnya.

Dia merasa bahwa ada sesuatu di balik diri wanita ini, karena seorang wanita selihai Siang Hwa tidak mungkin secara kebetulan saja bertemu dengan dia, mengajak bersahabat dan minta bantuannya untuk mengurus sesuatu yang rahasia.

"Sumoi, harap jangan banyak bicara lagi. Pergi dan kembalilah ke Cin-ling-san."

Kini beberapa tetes air mata jatuh menitik.
"Suheng... engkau... selalu mengecewakan dan menyakiti hatiku..."

"Maafkan, sumoi..."

Akan tetapi Tan Siang Wi sudah menyambar sepasang pedangnya yang tadi jatuh ke atas lantai ketika ia roboh pingsan dan berloncatan pergi meninggalkan tempat itu. Sunyi keadaan di dalam ruangan itu setelah Siang Wi pergi dan akhirnya terdengar tarikan napas panjang dari Siang Hwa.

"Aihhh... agaknya dengan kegantengan dan kegagahanmu engkau ditakdirkan untuk menjatuhkan dan mengecewakan hati wanita, taihiap. Sudah dua orang wanita kulihat hari ini yang menjadi korbanmu. Pertama adalah diriku sendiri, dan kedua adalah sumoimu!"

Hui Song juga menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan sekali kepada Siang Wi, sumoinya itu. Sejak kecil sumoinya mencintanya dan cinta kanak-kanak itu makin lama semakin kuat dan akhirnya menjadi cinta kasih seorang wanita terhadap seorang pria, cinta kasih yang mengharapkan untuk diikat dan dikukuhkan menjadi perjodohan suami isteri.

Dan dia tahu benar bahwa hatinya tidak mencinta sumoinya, walaupun dia sayang kepada sumoinya itu yang dianggap sebagai adik sendiri. Akan tetapi gadis di depannya ini? Dia belum mengenalnya benar dan tidak tahu apakah benar gadis ini cinta kepadanya seperti yang diakuinya. Dia harus bersikap hati-hati terhadap wanita ini.

"Maafkan aku kalau memang demikian, nona. Akan tetapi semua itu terjadi tanpa kesengajaan dari pihakku, dan ingat, cinta tidak mungkin dapat dipaksakan."

Siang Hwa tersenyum pahit dan mengangguk-angguk, diam-diam dia semakin kagum dan membayangkan betapa akan nikmatnya kelak kalau sampai ia berhasil membujuk pria ini menjadi kekasihnya dan berada dalam dekapannya.

"Aku tidak menyalahkanmu, Cia-taihiap, dan aku merasa kasihan kepada sumoimu itu yang agaknya mencintamu dengan amat mendalam."

"Nona, ingin sekali aku mengetahui bagaimana engkau dapat mengenal namaku?"

Mereka kini duduk berhadapan di atas dua buah bangku yang berada di dalam ruangan itu, terhalang sebuah meja kecil. Siang Hwa tersenyum.

"Aku mendengar dari Ciang-tosu dan Ciong-hwesio yang menjadi teman-temanku dalam urusan yang kumintakan bantuanmu ini."

Hui Song teringat akan dua orang kakek itu dan diapun tersenyum mengejek.
"Wah, jangan-jangan dua orang kakek berpakaian tosu dan hwesio yang kejam itu, yang membunuh empat orang muda di dalam restoran dan..."

"Benar mereka!" kata Siang Hwa dengan sikap sungguh-sungguh. "Dan harap taihiap jangan mentertawakan dan salah sangka terhadap mereka! Mereka itu adalah bekas-bekas tosu dan hwesio dan biarpun kini bukan lagi terikat agama, mereka sudah terbiasa memakai jubah seperti yang dahulu mereka pakai ketika masih menjadi pendeta. Kini mereka adalah pertapa-pertapa dan mereka juga turun di dunia ramai untuk menentang kaum pemberontak."

“Ahh...!" Hui Song terheran dan juga kagum. "Akan tetapi mengapa mereka begitu kejam, menyebar maut di restoran, membunuh empat orang muda yang tidak berdosa?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: