*

*

Ads

Kamis, 01 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 092

Ruangan yang meniadi tempat tidur itu tidak berapa luas dan keadaannya tidak dapat dibilang bagus, apalagi mewah. Namun, kalau orang melihat keadaan kuil yang sudah tidak dipakai dan rusak itu, dia akan heran melihat betapa di dalam kuil kosong yang rusak itu terdapat sebuah kamar di dalamnya, kamar yang cukup teratur dan terawat.

Kamar itu bersih walaupun sederhana dan berbau harum. Di dalam kamar itu hanya terdapat sebuah dipan kayu dan sebuah meja kayu. Satu-satunya hiasan hanyalah sehelai tirai sutera yang juga dipergunakan sebagai penutup jendela yang sudah berlubang dan daun jendelanya rusak.

Inilah ruangan yang dipergunakan oleh Siang Hwa untuk menjadi kamar tidurnya, sementara ia bersembunyi di dalam kuil itu. Dan setelah berhasil membuat Hui Song pingsan dan tidak berdaya lalu menawannya, ia membawa pemuda itu ke dalam kamar dan setelah mendudukkan tubuh Hui Song ke atas pembaringan dan mengikat kedua tangan pemuda itu dengan erat, ia lalu menyandarkan Hui Song dengan usapan-usapan pada muka, terutama di depan hidungnya, menggunakan obat bubuk penawar racun yang membuat pemuda itu jatuh pingsan.

Tak lama kemudian, sadariah Hui Song. Dia menggerakkan cuping hidungnya karena yang pertama terasa olehnya adalah keharuman yang menusuk hidungnya. Lalu dia membuka mata dan terbelalak menatap wajah manis yang berada begitu dekat dengan mukanya.

Wajah cantik manis yang berbau harum, dengan sepasang mata setengah terpejam, bibir setengah terbuka, menantang dengan tahi lalat kecil di atas dagu. Dia terkejut dan otomatis meronta, akan tetapi dia semakin kaget mendapat kenyataan bahwa kedua lengannya tak dtpat digerakkan, terbelenggu pada pergelangan tangannya.

Diapun teringat kini dan alisnya berkerut, matanya menatap tajam wajah cantik yang amat dekat itu. Siang Hwa juga merasa bahwa tawanannya sadar, maka ia membuka mata menatap sambil tersenyum dan semakin mendekat sehingga tangannya menyentuh dada Hui Song.

Pemuda itu bergidik ketika jari-jari tangan halus itu menyentuh dadanya yang ternyata sudah telanjang karena baju di bagian dadanya terbuka. Jari-jari tangan itu bergerak halus seperti cecak merayap di sepanjang dadanya, membuat Hui Song merasa malu dan canggung, akan tetapi dia tidak mampu mengelak karena punggungnya bersandar pada kepala dipan dan kedua lengannya tidak mampu digerakkan, Dia hanya dapat menarik kepalanya ke belakang untuk menjauhi muka manis yang begitu dekat sehingga napas gadis itu menyapu pipinya.

"Ehh...? Kau... kau perempuan curang!" dia membentak, teringat bagaimana dia sampai tertawan oleh gadis ini.

"Kau... kau laki-laki yang gagah perkasa, seorang jantan perkasa yang mengagumkan hatiku..."

Siang Hwa berbisik dan merangkul, mendekap dan membenamkan mukanya di dada yang bidang dan telanjang itu. Sejenak mereka diam saja dan gadis itu dapat merasakan dan mendengar degup jantung yang amat kuat di balik dada itu, sedangkan Hui Song memejamkan kedua matanya. Seluruh tubuhnya tergetar oleh dekapan yang penuh gairah dan nafsu ini. Terasa olehnya betapa dari seluruh tubuh wanita ini seperti keluar hawa panas yang membakarnya dan dia terpaksa harus mengerahkan sin-kang untuk melawan dorongan nafsu yang mulai timbul dalam benaknya.

Pengerahan sin-kang ini menolongnya dan dia membuka mata. Pada saat itu, dia melihat berkelebatnya bayangan orang di luar jendela! Ada seorang wanita yang mengintai ke dalam! Penglihatan ini sungguh amat membantunya dan seketika kegelisahan dan kebimbangannya lenyap. Tidak, dia tidak boleh jatuh ke dalam rayuan gadis jalang ini!

"Pergilah kau, perempuan curang dan jalang!" dia membentak.

Siang Hwa tidak menjadi marah, melainkan memandang dengan sinar mata lembut dan sikap memikat.

"Kalau aku menghendaki tadi aku sudah membunuhmu. Akan tetapi tidak, aku tidak ingin membunuhmu, karena itu aku harus menggunakan siasat untuk mengalahkanmu tanpa melukaimu atau membunuh. Kau maafkanlah aku."

"Hemm, siapakah engkau dan mengapa engkau menawanku?"

"Aku... namaku Siang Hwa, Gui Siang Hwa, seorang yatim piatu yang hidup sebatangkara. Aku ingin sekali bersahabat denganmu, akan tetapi engkau begitu gagah perkasa, tanpa menggunakan akal aku tidak akan dapat merobohkanmu. Engkau... yang bernama Cia Hui Song, bukan?"

Diam-diam pemuda itu terkejut. Kiranya wanita ini bukan saja lihai dan berbahaya, akan tetapi juga cerdik sekali. Dia sendiri belum mengenal gadis ini, bahkan mendugapun tidak dapat siapa gerangan gadis cantik ini, akan tetapi gadis ini sudah mengenal namanya.






"Engkau sudah mengenalku. Engkau bilang ingin bersahabat dengan aku, akan tetapi engkau menyerangku, kemudian merobohkan aku dengan bubuk beracun dan kini menawanku, siapa mau percaya omonganmu?"

"Cia-taihiap, aku... begitu melihatmu, kemudian melihat kepandaianmu, aku... suka sekali kepadamu, aku... jatuh cinta dan aku ingin sekali bersahabat denganmu. Akan tetapi karena aku takut engkau akan memberontak dan tidak percaya kepadaku, maka terpaksa aku merobohkanmu secara itu dan kalau sekarang engkau berjanji mau menerima uluran tangan dan hatiku, aku tentu akan segera melepaskan ikatan kedua tanganmu..."

"Hemm, apa yang kau maksudkan dengan uluran tangan dan hati itu?"

Hui Song sudah berusia dua puluh empat tahun, akan tetapi dia masih asing dengan istilah-istilah mengenai cinta dan dia belum berpengalaman tentang wanita.

Siang Hwa tersenyum, mendekat dan meraba lalu mengelus dada telanjang itu, dan ia mendekatkan mukanya, bibirnya bergerak hendak mencari dan mencium bibir pemuda itu. Hui Song terpaksa menarik kepalanya ke belakang dan terdengar gadis itu berbisik,

"Taihiap, uluran tangan dan hatiku adalah penyerahan seluruh jiwa ragaku kepadamu, aku cinta padamu, taihiap..." Dan Siang Hwa tiba-tiba mencium bibir Hui Song yang tidak dapat mengelak lagi.

"Perempuan hina tak tahu malu!"

Tiba-tiba terdengar bentakan halus dari luar jendela dan mendengar ini, tiba-tiba Siang Hwa melepaskan rangkulannya dan sekali meloncat ia sudah keluar dari dalam kamar itu.

Begitu ia tiba di luar kamar, seorang gadis yang manis menyambutnya dengan serangan sepasang pedang mengeluarkan sinar berkilat. Siang Hwa terkejut bukan main. Sebagai seorang ahli silat pandai, ia mengenal gerakan pedang yang amat lihai, maka iapun cepat mengelak dengan loncatan ke belakang. Akan tetapi gadis itu mendesaknya dengan kilatan-kilatan sepasang pedang yang dimainkan dengan cepat, indah dan berbahaya.

"Siapa engkau?"

Siang Hwa membentak sambil meloncat mundur lagi ke ruangan depan kamarnya yang luas.

"Perempuan hina, aku adalah algojomu untuk mengakhiri kecabulanmu!"

Gadis itu berteriak semakin marah dan penasaran melihat betapa serangan-serangannya tidak pernah berhasil. Ia menerjang lagi ke depan dan sepasang pedang di kedua tangannya itu berkelebatan membentuk dua gulungan sinar yang berkilauan.

"Bagus! Ilmu pedangmu bagus juga!"

Siang Hwa berseru dan begitu tangan kanannya meraba pinggang, ia telah mengeluarkan sebatang pedang yang kebiruan. Kiranya pedangnya itu terbuat dari baja yang tipis sekali, tipis dan lemas sehingga dapat disimpan di pinggang sebagai ikat pinggang! Dan begitu ia mengelebatkan pedangnya, nampak sinar kebiruan.

"Trang! Cringg...!"

Gadis itu mengeluarkan seruan kaget. Pedang kebiruan itu dengan gerakan aneh dan cepat, telah menangkis dan begitu membentur sepasang pedangnya, ia merasa betapa tangannya kesemutan. Cepat ia meloncat ke belakang sambil memutar sepasang pedangnya untuk melindungi dirinya.

Terdengar Siang Hwa terkekeh dan iapun kini membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat gadis pemegang siang-kiam (sepasang pedang) itu menjadi repot untuk menangkis dan menghindarkan diri dari sambaran sinar biru yang amat lihai itu.

Mendengar suara gadis di luar kamar itu, Hui Song segere mengenalnya. Itulah suara Tan Siang Wi, sumoinya! Tentu saja dia merasa gelisah sekali karena dia tahu bahwa sumoinya bukanlah lawan Siang Hwa yang amat lihai itu. Dia berusaha melepaskan diri, akan tetapi pengaruh obat bius masih melemaskannya dan tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya juga amat kuat.

Dia harus menanti sampai tenaganya pulih kembali akan tetapi saat itu sumoinya berada dalam bahaya maut. Dia sudah mendengar suara berdencingan senjata pedang yang saling beradu dan dengan pendengarannya diapun dapat mengenal gerakan sumoinya yang kini mulai kacau dan terdesak, lebih banyak menangkis daripada menyerang.

"Gui Siang Hwa, jangan celakai sumoiku...!" Akhirnya karena khawatir sumoinya celaka, dia berteriak.

Terdengar suara ketawa merdu wanita itu disusul tangkisan-tangkisan yang menimbulkan suara berdenting.

"Hi-hik, kiranya sumoimu sendiri? Tentu saja aku tidak akan membunuhnya kalau begitu!"

Dan suara ini disusul keluhan Tan Siang Wi dan terdengar jatuhnya tubuh gadis Cin-ling-pai itu.

"Sumoi, awas bubuk beracun obat biusnya!" Kembali Hui Song berteriak dengan khawatir.

Akan tetapi sumoinya tidak menjawab dan suasana menjadi sunyi. Yang terdengar hanyalah suara ketawa Siang Hwa dan tak lama kemudian wanita itu masuk lagi ke dalam kamar sambil mengempit tubuh Siang Wi yang sudah pingsan! Kiranya suara terjatuh tadi adalah robohnya Siang Wi terkena obat bius seperti yang pernah dialaminya tadi.

Sambil tersenyum kepada Hui Song, Siang Hwa berkata,
"Lihat, kalau tidak berat kepadamu, tentu ia telah menjadi mayat. Cia-taihiap, dengan perbuatanku tidak membunuh engkau dan sumoimu, bukankah sudah cukup bukti bahwa aku ingin bersahabat denganmu?"

Hui Song maklum bahwa pada saat itu, sebelum dia dapat membebaskan dirinya, keselamatan nyawanya dan nyawa sumoinya memang berada di tangan gadis lihai ini.

"Baiklah, kalau memang benar engkau ingin bersahabat denganku, apa salahnya? Akan tetapi, engkau tidak boleh memaksakan kehendakmu mengenai... mengenai cinta. Hal seperti ini tidak boleh dipaksakan, sama sekali tidak boleh!"

Siang Hwa mengerutkan alisnya. Belum pernah atau jarang sekali ada pria menolak cintanya. Hampir semua pria yang disenanginya menyambut cintanya dengan kedua tangan terbuka, sebagian kecil saja karena takut kepadanya dan sebagian besar karena memang mereka tergila-gila oleh kecantikannya.

Akan tetapi pemuda Cin-ling-pai ini, ia yakin benar bahwa tentu pemuda she Cia ini adalah pemuda Cin-ling-pai karena ia tadi mengenal beberapa macam gerakan dasar dari Cin-ling-pai, pemuda ini tidak tergila-gila kepadanya, juga sama sekali tidak takut walaupun sudah tertawan dan tidak berdaya! Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini. pemuda gagah perkasa seperti ini selain amat mengagumkan hatinya dan menjatuhkan hatinya seperti yang belum pernah dialaminya, juga dapat merupakan seorang sahabat dan sekutu yang amat baik.

Gurunya tentu akan girang sekali kalau bisa mendapatkan pembantu seperti Cia Hui Song ini dan tentu akan memujinya sebagai seorang yang pandai menarik tenaga yang amat kuat sebagai sekutu.

Hatinya amat kecewa dan nafsu berahinya yang tadinya memuncak itu tiba-tiba saja menjadi menurun banyak. Baiklah, bagaimanapun juga, aku harus dapat memanfaatkan pertemuannya dengan pemuda istimewa ini. Kalau tidak dapat menariknya sebagai kekasih, setidaknya untuk saat ini, biarlah ia menariknya sebagai sahabat dan sekutu.

Kalau sudah menjadi sahabat, perlahan-lahan ia akan dapat merayunya dan ia masih penuh kepercayaan akan kemampuan dirinya dalam hal ini, bahkan hampir merasa yakin bahwa akhirnya pemuda ini akan roboh ke dalam pelukannya juga.

"Cia-taihiap, kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tidak biasa memaksakan cinta, dan walaupun aku jatuh hati kepadamu dan mencintamu sejak pertama kali bertemu, akan tetapi aku hanya mengharapkan engkau akan dapat menerima uluran tangan dan hatiku, aku tidak akan memaksamu. Baiklah, apakah engkau mau berjanji untuk bersahabat denganku?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: