*

*

Ads

Sabtu, 24 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 089

Hati Hui Song masih diliputi rasa penasaran dan dia nampak termenung ketika dia berjalan seorang diri melalui jalan raya yang kasar dan sunyi itu. Hari itu amat panas dan perutnya terasa amat lapar. Tengah hari sudah lewat dan dusun di depan sudah nampak genteng-gentengnya.

Sudah tiga hari dia meninggalkan Cin-ling-san dan kini Gunung Cin-ling-san sudah tertinggal jauh di belakang, hanya nampak puncaknya saja dari situ. Dia merasa penasaran dan gelisah. Benarkah ayahnya dan kakeknya dan salahkah gurunya Si Dewa Kipas, juga Dewa Arak yang menjadi guru Sui Cin? Benarkah ayah dan kakeknya bahwa pemerintah tidak baik dan sudah sepatutnya kalau ditumpas?

Akan tetapi... membantu gerakan gerombolan seperti Cap-sha-kui itu? Ah, tidak mungkin dapat dia lakukan! Orang-orang seperti mereka itu amat jahat dan perjuangan murni bagaimanapun yang menjadi alasannya, dia tidak sudi bekerja sama dengan kaum sesat itu. Dan diapun yakin bahwa Sui Cin juga tidak mungkin sudi membantu para datuk hitam itu. Bagaimanapun juga, dia tidak boleh sembrono, tidak boleh secara membuta membenarkan satu pihak saja tanpa penyelidikan sendiri.

Dia tahu bahwa kaisar memang dikelilingi pembesar lalim dan korupsi merajalela di seluruh negeri. Setiap orang pejabat disangsikan kejujurannya karena terlalu banyak pejabat yang mempergunakan hak dan kekuasaannya untuk menindas dan untuk mengeruk kekayaan bagi diri sendiri.

Pada jaman itu, sukarlah ditemukan pejabat yang jujur dan benar-benar merupakan pelindung rakyat. Dan memang sudah menjadi kewajiban seorang pendekar untuk menentang kebobrokan ini, akan tetapi dia sangsi apakah tepat kalau dia membantu pemberontakan para datuk sesat, walaupun pemberontakan itu berdalih mengenyahkan pemerintah lalim. Sukar dia membayangkan sebuah pemerintahan baru yang lebih baik kalau kekuasaan berada di tangan para datuk sesat!

Dia sudah mendekati dusun di depan ketika terdengar derap kaki kuda dari arah belakangnya. Hui Song cepat minggir karena jalan itu sempit, memberi kesempatan kepada si penunggang kuda untuk lewat lebih dulu. Dan ternyata kuda itu lewat dengan cepat di sampingnya, seekor kuda yang besar dan baik. Hui Song dapat mengenal kuda baik, akan tetapi begitu penunggang kuda lewat di sampingnya, hidungnya mencium bau yang harum sekali, membuat dia memperhatikan si penunggang kuda.

Seorang wanita muda yang berwajah cantik, bertubuh ramping dengan pakaian yang sederhana potongannya namun bersih dan baru dan minyak wangi yang dipergunakan wanita itu sungguh harum. Wajah gadis ini mengingatkan Hui Song kepada Sui Cin karena memiliki ciri kecantikan yang sama. Rambutnya hitam panjang, berjuntai di punggung dan diikat pita merah. Bagian atasnya yang tidak tertutup menjadi kusut karena tiupan angin, namun kekusutan itu tidak mengurangi kecantikannya, bahkan menambah manis.

Sebatang bunga putih menghias di atas telinga kirinya. Telinganya memakai anting-anting emas dan selain itu tidak ada perhiasan menempel di tubuhnya. Yang membuat gadis itu nampak lebih manis adalah sebuah tahi lalat hitam yang menghias di atas dagu sebelah kiri, agak di bawah mulut.

Dan ketika gadis itu mengerling ketika lewat, Hui Song merasa jantungnya berdebar. Lirikan itu sungguh tajam dan mengandung banyak arti, lirikan yang dapat dikatakan genit memikat! Lirikan yang dihias senyum membayang pada bibir yang tipis merah membasah itu.

Dan ketika kuda itu sudah lewat, dari belakang Hui Song dapat melihat betapa gadis itu memiliki pinggang yang amat ramping dan pinggulnya menari-nari di atas punggung kudanya ketika kuda itu berlari congklang.

Agak sukar menduga orang macam apa adanya gadis itu. Usianya tentu tidak kurang dari dua puluh empat tahun. Melihat pakaiannya yang cukup sederhana, dengan baju luar berkembang, ia seperti seorang gadis dusun biasa saja. Akan tetapi perawatan mukanya menunjukkan bahwa ia seorang gadis kota. Ia tidak membawa senjata, seperti seorang gadis lemah biasa saja, akan tetapi melihat cara ia menguasai kudanya, membayangkan bahwa ia bukan seorang gadis yang begitu lemah, dan terutama sekali jelas bahwa ia menguasai ilmu menunggang kuda dengan cukup baik.

Kuda dan penunggangnya itu bersembunyi di balik debu yang ditimbulkan oleh kaki kuda dan akhirnya menghilang di balik pagar tembok dusun, melalui pintu gerbang yang terbuka lebar.

Hui Song sudah melupakan gadis itu ketika dia memasuki dusun, sebuah dusun yang cukup besar dan hatinya girang melihat bahwa di dalam dusun Lok-cun itu terdapat rumah penginapan dan juga terdapat sebuah restoran yang cukup besar. Setelah memesan sebuah kamar dalam rumah penginapan sederhana itu, dia lalu keluar memasuki kedai makan yang cukup besar dan ramai dikunjungi tamu. Ada belasan meja di situ dan lebih dari setengahnya diduduki tamu yang makan sore.

Mereka makan minum sambil bercakap-cakap dan melihat sikap mereka yang bebas mudah diduga bahwa mereka adalah langganan-langganan restoran itu. Akan tetapi di sudut yang terpisah Hui Song melihat dua orang kakek duduk berhadapan dan keadaan kakek itu menarik perhatiannya sehingga diapun memilih meja yang tidak berjauhan dengan dua orang tamu itu, hanya terpisah dua meja kosong.






Dua orang kakek itu berusia kurang lebih enam puluh tahun. Seorang di antara mereka bertubuh tinggi kurus dan tubuh itu nampak menjadi semakin jangkung karena dia memakai sebuah topi hitam yang tinggi, topi seperti yang biasa dipakai oleh tosu atau kepala agama atau pertapa. Jubahnya juga lebar dan kedodoran menutupi semua tubuhnya dari leher sampai kaki yang mengenakan sepatu kulit setinggi betis. Rambutnya panjang dibiarkan terurai di depan dan belakang, mencapai dadanya. Tubuhnya yang kurus itu seperti tulang dibungkus kulit, seperti tengkorak berkulit, dengan sepasang mata kecil yang dalam. Kumis dan jenggotnya membentuk lingkaran hitam di sekeliling mulutnya.

Adapun orang kedua tidak kalah anehnya. Orang ini tubuhnya besar dan perutnya gendut, dibiarkan perutnya itu nampak karena bajunya terbuka tanpa kancing, atau kancingnya agaknya sudah putus semua karena besarnya perut, atau memang baju itu kurang lebar untuk dapat menutupi perutnya. Perut gendut dan dadanya terbuka. Jubahnya juga lebar dan panjang di bagian belakang, sampai hampir menyentuh tanah. Sebuah guci arak tergantung di pinggang kanan. Kepalanya yang bundar itu dicukur gundul kecuali di tengah-tengah, di atas ubun-ubun terdapat segumpal rambut yang diikat dengan tali kasa.

Kakek ini seperti hwesio akan tetapi bukan hwesio sedangkan temannya itu seperti tosu akan tetapi bukan tosu. Pada jaman itu, banyak para pendeta dan pertapa yang meninggalkan pantangan makan daging dan berkeliaran memasuki rumah-rumah makan, maka kehadiran dua orang itupun tidak menimbulkan perhatian orang.

Namun tidak demikian bagi Hui Song. Pemuda ini amat tertarik dan menaruh perhatian karena sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, dari sinar mata, gerak-gerik dan sikap dua orang kakek itu, dia dapat menduga bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan.

Tiba-tiba percakapan di sebelah kirinya diantara empat orang muda yang sudah setengah mabok menarik perhatian Hui Song. Pesanan makanan sudah dihidangkan dan sambil makan diapun memasang telinga mendengarkan percakapan yang terdengar cukup lantang, dan jelas dapat dikenal suara orang setengah mabok.

"Huh, di jaman seperti sekarang ini, mana ada orang benar?" terdengar suara yang lantang seorang pemuda bermuka hitam. Dengan kepala bergoyang-goyang dan mulut menyeringai tanda kemabokannya, dia melanjutkan. "Sekarang ini jamannya pagar makan tanaman, mereka yang menjadi pelindung malah mengganyang yang dilindungi sendiri. Tidak ada orang dapat dipercaya sekarang ini!"

"Benar, benar! Jamannya sudah berubah, penjahat-penjahat kabarnya berjiwa patriot, sebaliknya orang-orang yang menjadi pendeta melakukan hal-hal memalukan. Lihat saja, di mana-mana terdapat pendeta-pendeta yang lahap makan daging dan mabok-mabokan minum arak, huh!"

Mudah saja diketahui bahwa orang kedua yang mukanya kekuningan ini dalam maboknya telah menyindir dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu dan hwesio itu. Empat orang pemuda itupun melirik ke arah dua orang kakek itu penuh ejekan, sedangkan Hui Song juga mengamati dari sudut kerlingnya.

Diam-diam Hui Song mencela empat orang pemuda mabok-mabokan ini yang tak tahu diri, tidak mengenal gelagat berani sekali menyinggung dua orang kakek yang sama sekali tidak pernah mengganggu mereka itu. Dan dia khawatir kalau-kalau dua orang kakek itu marah.

Akan tetapi dari kerling matanya dia melihat bahwa dua orang kakek itu diam saja, seolah-olah tidak mendengar percakapan lantang itu dan melanjutkan makan minum tanpa memberi komentar, bahkan sedikitpun juga tidak menoleh ke arah meja empat orang yang menyindir mereka itu.

Agaknya mereka sudah selesai makan sekarang. Keduanya bangkit berdiri, membayar harga hidangan lalu melangkah keluar. Ketika mereka berjalan menuju keluar pintu, mereka melewati meja Hui Song. Tiba-tiba pemuda itu terkejut bukan main karena ketika dua orang itu lewat, dia merasa ada dua hawa yang amat berlainan.

Si jangkung berjalan di depan dan ketika dia lewat, Hui Song merasakan hawa yang amat panas lewat pula, sebaliknya ketika si gendut yang lewat, ada hawa yang amat dingin. Akan tetapi Hui Song belum menduga buruk, dan kedua orang itu kini lewat di dekat meja empat orang muda yang masih bercakap-cakap dengan asyik dan melirik ke arah dua orang kakek itu dengan mulut menyeringai penuh ejekan. Tidak terjadi sesuatu dan dua orang kakek itupun tidak kelihatan bergerak melakukan serangan.

Akan tetapi setelah tiba di ambang pintu, mereka menoleh dan tiba-tiba empat orang pemuda itu mengeluarkan teriakan-teriakan kesakitan dan merekapun terguling roboh. Kursi-kursi mereka terbawa roboh dan semua tamu tentu saja memandang terbelalak melihat betapa empat orang muda itu berkelojotan dan mata mereka mendelik, dari mata, hidung, mulut dan telinga keluar darah!

Karena tidak menaruh curiga, tidak seorangpun diantara para tamu itu menoleh kepada dua orang kakek. Akan tetapi Hui Song memandang kepada mereka dan melihat betapa mereka itu melepas senyum keji lalu mereka membalik dan terus melangkah lebar keluar dari rumah makan itu.

Hui Song cepat meninggalkan mejanya setelah meninggalkan harga makanan di atas meja. Sekali melewati empat orang yang kini sudah tidak bergerak lagi dan sudah tewas itu tahulah dia tanpa memeriksa bahwa empat orang itu tewas karena pukulan beracun atau senjata gelap beracun, maka diapun langsung saja mengejar keluar. Dia celingukan dan akhirnya dia melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, sudah jauh di depan, mendekati pintu gerbang dusun Lok-cun. Diapun cepat melakukan pengejaran.

Tepat seperti yang telah diduganya, dua orang kakek itu ternyata lihai. Begitu tiba di luar dusun, mereka berdua lalu berkelebat dan berlari cepat sekali, bagaikan terbang saja!

Akan tetapi, Hui Song adalah seorang pendekar muda gemblengan yang telah mewarisi bermacam ilmu yang hebat-hebat. Apalagi selama tiga tahun dilatih Si Dewa Kipas, dia telah memperoleh kemajuan pesat dan latihan beban besi pada kedua kakinya kini membuat gin-kangnya juga memperoleh kemajuan. Ketika dia meloncat dan berlari, tubuhnya amat ringan dan diapun dapat berlari amat cepatnya melakukan pengejaran.

Dua orang kakek itu agaknya maklum bahwa ada orang yang mengejar, karena mereka itu tiba-tiba membelok memasuki hutan dan gerakan lari mereka semakin cepat. Hui Song terus mengejar dan akhirnya, karena makin lama jarak diantara mereka semakin dekat, tiba-tiba dua orang yang merasa tidak akan dapat melepaskan diri dari pengejarannya, berhenti di sebuah tempat terbuka yang merupakan padang rumput kecil diantara hutan di lereng bukit itu. Mereka berdiri tegak dan mengambil sikap menantang, juga sinar mata mereka membayangkan kemarahan.

Begitu Hui Song tiba di depan mereka, kedua orang kakek itu memandang dengan penuh selidik, kemudian si jangkung yang mukanya kelihatan kering dan galak itu menegur,

"Orang muda, siapakah engkau dan kenapa engkau mengikuti dan mengejar kami?"

Hui Song maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang pandai. Dia tidak mau bersikap sembrono sebelum mengenal mereka dan tahu mengapa mereka membunuh orang-orang sedemikian mudah dan kejinya, maka diapun menjura dengan hormat.

"Harap ji-wi locianpwe suka memaafkan kalau aku bersikap kurang hormat dan melakukan pengejaran. Secara kebetulan aku melihat ji-wi melakukan pembunuhan di dalam restoran terhadap empat orang itu..."

"Hemm, engkau yakin bahwa kami yang membunuh mereka?" tanya si gendut.

"Pembunuhan itu dilakukan dengan serangan beracun dan hanya ji-wi yaqg mampu melakukan serangan seperti itu. Mengapa ji-wi membunuh mereka?"

Dua orang kakek itu saling pandang, nampaknya terkejut melihat betapa pemuda yang pandai berlari cepat ini ternyata bermata tajam. Si jangkung lalu menarik napas panjang dan berkata dengan nada suara menantang,

"Baik, memang kami yang membunuh mereka. Habis, kau mau apa? Siapa engkau?"

Hui Song mulai mengerutkan alisnya. Jawaban kedua orang ini sungguh merupakan tantangan dan sikap mereka bukan seperti sikap orang baik-baik. Akan tetapi dia masih tersenyum dan menjawab,

"Namaku Cia Hui Song dan kalau benar ji-wi yang membunuh mereka, aku ingin sekali mengetahui mengapa ji-wi melakukan pembunuhan sedemikian keji. Apakah hanya karena ucapan yang mereka keluarkan di restoran itu?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: