*

*

Ads

Sabtu, 24 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 087

Dalam kesempatan ini, Hui Song menceritakan semua pengalamannya yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh ayah bundanya dan sumoinya. Ketika dia bercerita tentang Sui Cin puteri Pendekar Sadis yang menjadi temannya dalam menghadapi bermacam peristiwa hebat, Cia Kong Liang mengerutkan alisnya. Di dalam hatinya terasa tidak enak mendengar betapa puteranya bergaul dengan puteri Pendekar Sadis, bahkan dia dapat merasakan dalam kata-kata puteranya itu terkandung rasa kagum dan suka.

Dia merasa tidak suka kepada Pendekar Sadis yang dianggapnya sebagai seorang pendekar berhati kejam sekali dan tidak menghendaki puteranya bergaul dengan keluarga itu. Memang ketua Cin-ling-pai dan isterinya itu sebelumnya sudah mendengar dari Siang Wi yang melaporkan bahwa Hui Song bergaul dengan puteri Pendekar Sadis dan mereka sudah merasa tidak senang, akan tetapi baru sekarang mereka mendengar pengakuan langsung dari Hui Song.

Ketika Hui Song bercerita tentang kakek sakti Dewa Kipas Siang-kiang Lo-jin, hati ayahnya tertarik sekali. Dia belum pernah mendengar nama itu, juga belum pernah mendengar kakek sakti yang berjuluk Dewa Arak Wu-yi Lo-jin. Dan mendengar bahwa puteranya mendapatkan gemblengan ilmu selama tiga tahun dari kakek sakti Dewa Kipas dia ikut merasa gembira.

Akan tetapi ketika Hui Song bercerita tentang Raja dan Ratu Iblis yang menghimpun para datuk untuk melakukan pemberontakan kelak, mendengar betapa oleh gurunya itu Hui Song ditugaskan untuk membantu para pendekar menentang gerakan para calon pemberontakan, ketua Cin-ling-pai mengerutkan alisnya.

"Hui Song, aku tidak setuju kalau engkau mencampuri urusan pemerintah! Sejak dulu Cin-ling-pai adalah perkumpulan para pendekar dan kita hanya bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran dan keadilan, bukan bertindak menjadi pembela kaisar atau sebaliknya! Biarkan urusan pemerintahan dibereskan oleh para pejabat, itu adalah kewajiban dan urusan mereka sendiri, kita tidak perlu mencampurinya."

"Akan tetapi, ayah! Mana mungkin kita berdiam diri kalau melihat ada komplotan busuk merencanakan pemberontakan terhadap kaisar?" Hui Song membantah.

"Hemm, mana kita tahu siapa sebetulnya yang busuk? Apakah engkau tidak mendengar betapa kaisar yang muda itu hanya mengutamakan kesenangan dan beliau dikelilingi pembantu-pembantu yang amat busuk dan korup? Sudahlah, tidak pernah kita mencampurinya dan serahkan saja kepada mereka, baik para pejabat maupun mereka yang tidak puas dan ingin memberontak. Kita tidak perlu mencampuri, dan aku tidak suka melihat engkau mencampuri urusan pemerintahan dan pemberontakan!"

"Akan tetapi, ayah, bukankah sudah menjadi tugas kewajiban para pendekar untuk menentang semua kejahatan yang akan mengacaukan kehidupan rakyat, menjaga agar masyarakat dapat hidup tenteram?"

"Benar, karena itu kita tidak boleh mencampuri urusan pemberontakan dan urusan pemerintahan."

"Akan tetapi, mana mungkin ada ketenteraman kalau terjadi pemberontakan?"

"Pemerintah sudah mempunyai pasukan yang kuat. Apa gunanya pemerintah mengeluarkan banyak biaya untuk membentuk bala tentara? Kalau terjadi pemberontakan, pemerintah tentu akan menumpasnya dengan kekuatan tentaranya."

"Justeru itulah, ayah. Sebelum terjadi perang yang hanya akan menyengsarakan kehidupan rakyat bukankah lebih baik kalau para pendekar turun tangan menentang komplotan yang hendak memberontak itu?"

"Hemm, bagaimana kalau kaisarnya yang tidak baik? Bagaimana kalau pemerintahnya yang tidak baik?" Ketua Cin-ling-pai itu membantah. "Dengan campur tanganmu itu, bukankah berarti engkau akan membantu pihak yang tidak benar? Sudah, jangan mencampuri urusan pemerintah, itu bukan tugas kita sebagai pendekar!"

"Ayahmu benar, Hui Song. Pemerintah belum tentu selamanya betul, dan kalau ada yang memberontak, itu tentu disebabkan karena pemerintah tidak benar. Kalau kita selalu membela pemerirtah, berarti kita tersesat kalau membantu pemerintah yang tidak benar," sambung ibunya.

"Ayah dan ibu, harap maafkan kalau aku terpaksa membantah. Pemerintah terdiri dari orang-orang juga, manusia-manusia biasa yang tidak akan bebas daripada kesalahan-kesalahan. Akan tetapi, pemerintah tidak terlepas dari kita. Kita adalah warga negara yang membentuk masyarakat dan bangsa. Tanpa warga negara, tidak akan ada pemerintah karena para pejabat juga warga negara yang terpilih untuk mengurus negara. Kalau pemerintahnya tidak baik, akibatnya rakyat pula yang menanggung, sebaliknya kalau pemerintah dipegang oleh orang-orang bijaksana dan berjalan dengan baik, rakyat pula yang akan makmur.






Kalau pemerintahan tidak benar, dan orang-orang yang mengemudikannya menyeleweng, hal itu merupakan tugas para warga negara pula untuk mengawasinya, mengeritik dan memprotesnya. Tanpa pengawasan, tanpa kritik, mana mungkin orang-orang pemerintah akan menyadari kekeliruan-kekeliruannya? Kalau pemerintah bersalah, bukan cara yang baik untuk menimbulkan pemberontakan dan merebut kekuasaan, karena yang merebut kekuasaan itupun belum tentu benar, hanya kelihatannya saja benar karena kebetulan pemerintah yang dihadapinya dalam keadaan tidak benar! Jadi, baik atau buruk keadaan pemerintah, tetap saja kita, terutama para pendekar, mempunyai tugas untuk menjaga keamanan negara dari gangguan luar yang berupa pemberontakan."

Hui Song yang kini sudah banyak mendengar dari Dewa Kipas tentang kepatriotan dan kependekaran, bicara penuh semangat. Akan tetapi ayahnya melambaikan tangan dengan tidak sabar, seolah-olah mendengarkan ocehan seorang anak kecil saja..

"Hayaaa, Hui Song. Perlu apa engkau memusingkan pikiran dan merepotkan diri sendiri? Aku juga sudah banyak mendengar tentang kaisar yang masih seperti kanak-kanak itu! Kabarnya dia hanya mabok kesenangan dan roda pemerintahan diserahkan kepada para thaikam yang lalim. Dengan demikian, para pembesar korup merajalela, memeras rakyat dan bertindak sewenang-wenang, hanya menggendutkan perut sendiri tanpa memperdulikan keadaan rakyat yang sengsara. Maka kalau ada yang hendak memberontak, hal itu sudah wajar saja. Tidak perlu kita membantu pemerintahan yang buruk seperti itu, karena hal itu berarti kita membantu tegaknya kelaliman yang menggencet rakyat!"

"Tidak ayah, aku tidak setuju! Pemerintah dalam bahaya, diancam gerombolan penjahat yang hendak memberontak. Inilah yang terpenting. Aku harus membantu para pendekar menghalau bahaya ini lebih dahulu. Barulah kemudian kita bertindak mengoreksi kesalahan-kesalahan pemerintah. Bukankah aku sudah pula membantu sehingga pembesar korup Liu-thaikam terbongkar rahasianya dan tertangkap? Kalau pemerintah sudah aman dari ancaman pemberontakan, baru kita mengadakan perbaikan-perbaikan dengan menentang para pembesar korup. Apalagi kalau diingat bahwa pemberontakan kali ini dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis yang mengumpulkan para datuk sesat, sisa-sisa dari Cap-sha-kui dan para datuk sesat lainnya."

"Cukup! Aku tidak mau bicara lagi tentang pemberontakan dan..."

Pada saat itu terdangar ketukan pintu dan ketua Cin-ling-pai itu menghentikan ucapannya dan menyuruh murid yang mengetuk pintu itu masuk. Seorang murid masuk memberi tahu bahwa di luar ada tamu.

"Bin-locianpwe datang berkunjung," katanya.

Mendengar bahwa ayahnya datang berkunjung, Bin Biauw isteri ketua Cin-ling-pai itu meloncat bangun dengan wajah gembira. Mereki semua menyongsong keluar dan dengan gembira kakek itu disambut dan dipersilakan duduk di ruangan dalam. Kembali keluarga ketua Cin-ling-pai itu, ditemani oleh Tan Siang Wi dan sekali ini ditambah lagi dengan ayah mertua sang ketua, berkumpul di dalam ruangan.

Kakek itu sudah tua sekali, usianya sudah delapan puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih nampak sehat berisi. Bentuk tubuhnya pendek tegap, kepalanya botak dan hampir gundul. Sedikit rambut yang menghias di belakang kepalanya sudah berwarna putih semua.

Inilah dia to-koh persilatan yang pernah merajai lautan timur dan berjuluk Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur), seorang berbangsa Jepang yang tadinya bernama Minamoto kemudian berobah menjadi Bin Mo To. Kakek ini dahulu merupakan seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal, menguasai wilayah timur di sepanjang pantai laulan.

Akan tetapi setelah puterinya, Bin Biauw yang merupakan anak tunggalnya, berjodoh dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai, dia mencuci tangan dan meninggalkan julukannya, bahkan membubarkan perkumpulan Mo-kiam-pang yang dipimpinnya. Dia cukup kaya sehingga biarpun meninggalkan segala macam pekerjaan haram, dia masih dapat hidup berkecukupan, di kota Ceng-to di Propinsi Shan-tung.

Melihat Hui Song, kakek itu merangkulnya, lalu memegang kedua pundak pemuda itu, mendorongnya agar dia dapat melihat lebih jelas, lalu dia tertawa bergelak dengan gembira sekali.

"Ha-ha-ha, engkau cucuku Hui Song! Ahh, engkau sudah menjadi seorang laki-laki jantan yang amat gagah. Bagus, bagus, aku bangga sekali. Berapa usiamu sekarang, Hui Song?"

"Dua puluh empat tahun, kek."

Kakek itu menggerakkan alisnya yang putih.
"Apa? Dua puluh empat tahun dan engkau belum kawin?" Dia menoleh kepada Siang Wi, lalu menuding. "Apakah dia ini...?"

Wajah Hui Song menjadi merah.
"Tidak, kek, aku belum menikah."

"Aih, bagaimana ini?" Kakek itu menoleh kepada anaknya dan mantunya. "Sudah dua puluh empat tahun dan belum menikah? Aku sudah ingin melihat cucu buyutku."

"Mana ada waktu untuk memikirkan pernikahan?" Bin Biauw mengomel. "Waktunya dihabiskan untuk merantau dan bertualang saja, ayah. Dia baru saja pulang kemarin dari perantauannya yang memakan waktu hampir empat tahun!"

"Ha-ha-ha, merantau dan bertualang amat baik bagi seorang pemuda untuk menambah pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Akan tetapi, menikah juga perlu sekali untuk menyambung keturunan," kata kakek itu.

"Aku juga berpikir begitu, ayah, bahkan muridku ini merupakan calon mantu yang amat baik."

Bin Mo To memandang wajah gadis yang manis itu, yang kini menunduk malu-malu dan dia mengangguk-angguk.

"Engkau tentu lebih pandai memilih..." katanya.

"Aku belum memikirkan tentang pernikahan!" Hui Song berkata, nada suaranya jengkel.

"Nah, itulah ayah, cucumu yang keras kepala. Kalau diajak bicara tentang pernikahan, nampak tidak senang, dan senangnya hanya bicara tentang pemberontakan dan petualangan saja," kata Bin Biauw.

"Pemberontakan? Apa yang dimaksudkan dengan pemberontakan? Siapa yang hendak memberontak?" Kakek itu bertanya dengan penuh perhatian, agaknya dia tertarik sekali.

"Entahlah, katanya para tokoh hitam ingin melakukan pemberontakan terhadap kerajaan dan dia berkeras hendak menentang komplotan itu."

Kakek itu menarik napas panjang.
"Ahh... sungguh berbahaya sekali...!" kakek itu berkata, memandang kepada mantunya dengan mata penuh tanda tanya.

"Saya sudah melarangnya, ayah. Cin-ling-pai tidak pernah mencampuri urusan pemerintah," kata Cia Kong Liang.

Kakek itu mengangguk-angguk, lalu memandang kepada Hui Song yang diam saja.
"Hui Song, benarkah bahwa engkau bermaksud membantu kaisar dan menentang mereka yang hendak memberontak terhadap kaisar?"

Pemuda itu mengangguk, mengharap bantuan kakeknya dalam hal ini untuk menghadapi kekakuan ayahnya.

"Kong-kong, dalam perantauanku aku melihat dan mendengar sendiri adanya para datuk kaum sesat yang dipimpin oleh Raja dan Ratu Iblis, yang merencanakan pemberontakan terhadap kaisar. Tidak benarkah kalau aku membantu pihak yang akan melindungi kerajaan dan menentang usaha pemberontakan itu?"

"Ha-ha-ha, tentu saja, cucuku. Engkau benar, dan searang pendekar memang sepatutnya kalau berjiwa pahlawan, membela negara nusa dan bangsa. Akan tetapi hal ini harus pula diperhitungkan dan dilihat kenyataan bagaimana sifat kaisar atau pemerintah yang dipimpinnya, bagaimana keadaan orang-orang yang memegang tampuk pimpinan itu! Kalau mereka itu lalim, kalau mereka itu menjadi penindas rakyat, apakah kita sebagai pendekar dan pahlawan juga harus membela kelaliman?"

"Nah, dengarkan ucapan kong-kongmu itu Hui Song!" kata Cia Kong Liang. "Terdapat kebijaksanaan dalam kata-kata itu!"

"Akan tetapi, mereka yang hendak memberontak itu adalah datuk-datuk sesat yang amat jahat, kong-kong!" Hui Song membantah.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: