*

*

Ads

Sabtu, 24 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 086

Diam-diam diapun merasa kagum melihat ketegasan sikap puteranya, yang hendak membantu Su Kiat menyelesalkan urusannya. Hanya dia kecewa melihat puteranya yang baru saja tiba setelah bertahun-tahun pergi tanpa berita, telah meninggalkannya lagi. Dia lalu membubarkan pertemuan itu dan mengundurkan diri ke dalam kamar bersama isterinya, menanti dengan hati tak sabar kembalinya Hui Song yang sudah amat lama mereka rindukan itu.

Sore telah berganti malam ketika Hui Song berkelebat di atas genteng gedung tempat tinggal Coan Ti-hu yang berada di tengah kota Han-cung yang terletak di kaki Pegunungan Cin-ling-san. Gedung itu dijaga ketat di sekelilingnya oleh pasukan penjaga, namum mereka tidak dapat melihat gerakan Hui Song yang amat cepat bagaikan burung malam beterbangan itu.

Suasana sunyi di gedung besar itu tiba-tiba menjadi ribut ketika terdangar teriakan suara nyaring dari atas genteng.

"Coan Ti-hu, buka telingamu dan dangar baik-baik. Ini aku Ciang Su Kiat yang datang!"

Tentu saja para pengawal segera datang berlarian dan mereka menjadi panik sendiri. Setelah ada yang melihat dua -bayangan yang berdiri tegak di atas wuwungan rumah, mereka berteriak-teriak dan sebentar saja bangunan itu dikurung.

Tentu saja Coan Ti-hu sendiri juga mendengar teriakan itu, akan tetapi dia tidak berani keluar, bahkan memerintahkan agar para pengawal pribadinya menjaganya di dalam kamar dan dia memerintah para penjaga untuk menangkap pemberontak itu.

"Diam di bawah!" Su Kiat berteriak pula. "Dan biarkan pembesar laknat itu mendengar kata-kataku! Coan Ti-hu, engkau telah bertindak sewenang-wenang membunuh ayahku. Aku sendiri yang hendak membalas dandam telah dihukum oleh Cin-ling-pai, kehilangan sebelah lenganku! Ketahuilah bahwa semua perbuatanmu ini adalah urusan sendiri, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai. Orang she Coan, sekarang aku tidak berdaya, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku membalaskan kematian ayahku dan buntungnya lenganku karena perbuatanmu!"

Setelah berkata demikian, Su Kiat melemparkan potongan lengannya itu ke bawah. Lengan itu jatuh ke dalam ruangan dan semua pengawal memandang dengan jijik dan ngeri.

"Serang dengan anak panah!" bentak seorang komandan pasukan keamanan dan belasan orang perajurit penjaga segera menghujankan anak panah ke arah dua bayangan di atas wuwungan itu.

Akan tetapi, Hui Song sudah menghadang di depan tubuh suhengnya dan dengan kebutan-kebutan kedua tangannya dia meruntuhkan semua anak panah yang menyambar tubuh suhengnya dan dilarikannya suhengnya keluar kota Han-cung.

Di persimpangan jalan di lereng Pegunungan Cin-ling-san, Hui Song berhenti dan melepaskan tubuh suhengnya.

"Ciang suheng, disini kita berpisah. Bawalah ini untuk bekal dan engkau mengerti bahwa sejak sekarang, engkau tidak seharusnya naik lagi ke Cin-ling-san, dan jangan memperlihatkan diri di kota Han-cung dan sekitarnya. Engkau tentu menjadi buronan pemerintah."

Dengan tangan kanannya Su Kiat memeluk pemuda itu dan menangislah dia.
"Sute... ah, sute... kalau tidak ada engkau, aku akan mati penasaran. Dan ilmumu sekarang demikian hebatnya. Akupun sekarang mempunyai cita-cita, sute. Aku akan mempelajari ilmu sampai tinggi agar aku dapat membalaskan kematian ayah dan juga membalaskan semua yang menimpa diriku kepada pembesar laknat itu. Sute, sampaikan maafku kepada suhu dan subo. Mereka telah begitu baik kepadaku, akan tetapi apa balasku? Hanya menyeret Cin-ling-pai ke dalam kesukaran saja. selamat tinggal, sute...!"

Dan orang buntung itupun pergilah berlari-lari meninggalkan tempat itu, diikuti pandang mata haru oleh Hui Song. Dia dapat mengenal seorang jantan yang gagah perkasa. Suhengnya itu, Ciang Su Kiat, dia takkan merasa heran kalau suhengnya itu kelak dapat berhasil memenuhi cita-citanya dan muncul sebagai seorang yang pandai.

"Kasihan Ciang-suheng...!"

Tak terasa lagi kata-kata ini keluar dari mulutnya seperti keluhan dan Hui Song menggeleng-geleng kepala, menghela napas.

"Seorang murid murtad seperti itu tidak perlu dikasihani!"

Mendengar suara orang yang tiba-tiba menyambut ucapannya tadi, Hui Song membalik dan memandang bayangan yang muncul dari balik batang pohon.

"Sumoi...!" tegurnya, kaget dan juga girang mengenal bahwa bayangan itu adalah Tan Siang Wi, murid ayah ibunya yang amat disayang sekali oleh ibunya.






Sebelum dia mengikuti Dewa Kipas Siangkoan Lo-jin untuk mempelajari ilmu selama tiga tahun, pernah dia bertemu dengan sumoinya itu dalam perantauannya, ialah ketika dia menghadiri pesta ulang tahun Ang-kauwsu. Di tempat itu Tan Siang Wi ikut pula membantunya ketika dia dan Sui Cin menyelamatkan Jenderal Ciang yang diserbu oleh para datuk sesat. Ternyata kini Siang Wi telah berada di depannya, memandang tajam kepadanya dan di bawah sinar bulan yang baru muncul, wajahnya nampak cantik manis dan matanya bersinar-sinar.

"Suheng, setelah bertahun-tahun pergi baru engkau kembali! Betapa rinduku kepadamu!" Gadis itu lari mendekat dan memegang kedua tangan Hui Song.

"Sumoi, bagaimana engkau bisa berada disini?"

Hui Song bertanya, membiarkan kedua tangannya dipegang sambil menekan perasaan hatinya yang berdebar ketika dia merasa betapa tangan gadis itu lunak hangat dan jari-jari tangannya menggetar.

"Suheng, aku sengaja membayangimu ketika engkau mengajak pergi Ciang-suheng tadi. Aku melihat semua sepak terjangmu di gedung pembesar itu dan ah... betapa hebat engkau, suheng, aku kagum sekali kepadamu. Kepandaianmu kini amat hebat."

Hui Song melepaskan kedua tangannya dengan halus, kemudian tersenyum.
"Kau terlalu memuji, sumoi. Kau sendiri sudah dapat membayangi kami tanpa kami ketahui, hal ini membuktikan bahwa engkau kini bertambah lihai saja. Tak kusangka bahwa engkau masih tinggal bersama ibu di Cin-ling-san."

"Habis, dimana lagi kalau tidak di Cin-ling-san bersama subo dan suhu?" tanya Siang Wi heran.

Hui Song tertawa.
"Tentu saja di rumah... suamimu! Aku mengira bahwa engkau tentu sudah menikah, seperi banyak para suheng lainnya."

Pemuda itu tidak dapat melihat di bawah sinar bulan remang-remang betapa wajah gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu saja, terutama sekali karena kecewa, marah dan penasaran.

"Suheng! Kenapa kau bisa berkata begitu, menyangka aku seperti itu?"

Mendengar suara yang bernada keras itu, Hui Song terheran.
"Aih, sumoi, kenapa marah? Apa anehnya kalau aku mengira bahwa engkau sudah menikah? Usiamu hanya lebih muda dua tahun dariku dan mengingat bahwa aku sudah berusia dua puluh empat, sudah sepatutnya kalau engkau sudah menikah, bukan?"

"Bukan itu, suheng! Tapi ah... masih pura-pura tidak tahukah engkau bahwa selama tiga tahun ini aku selalu menantimu dengan penuh rindu? Lupakah engkau akan janji-janji kita di waktu kita masih remaja dulu, suheng? Suhu dan subo juga sudah setuju mengenai kita dan aku... aku selalu menunggu dengan hati rindu..."

Hui Song terbelalak, terkejut dan mundur tiga langkah melihat sumoinya membuat gerakan seperti hendak memegang tangannya atau merangkulnya itu. Dia teringat akan masa remajanya bersama Siang Wi. Mereka masih kekanak-kanakan ketika itu dan karena Siang Wi merupakan murid istimewa kesayangan ibunya, hubungan antara mereka memang akrab sekali.

Dan ketika mereka bermain-main, setengah bergurau mereka memang pernah berjanji bahwa kelak mereka akan menjadi suami isteri. Pada waktu itu tentu saja dia tidak pernah mimpi bahwa pernikahan adalah sebuah urusan besar yang mutlak bersyaratkan cinta kasih kedua pihak. Dan dia tidak pernah mencinta sumoinya ini, bahkan semakin dewasa dia merasa tidak cocok dengan sumoinya yang berwatak galak, angkuh dan serius ini.

"Tapi... janji kanak-kanak... hanya main-main saja, sumoi."

"Suheng...! Apa maksud kata-katamu itu? Salahkah keyakinan hatiku selama ini bahwa... bahwa engkau cinta padaku seperti aku mencintaimu? Suhu dan subo sudah yakin pula akan hal ini!"

Hui Song terkejut. Tak disangkanya sudah sejauh itu urusan yang tadinya dianggap permainan kanak-kanak itu. Sumoinya selam ini, mungkin sejak anak-anak, mencintanya dan merasa yakin bahwa diapun mencinta gadis ini, dan ayah ibunya juga yakin dan setuju pula menjodohkan dia dengan Siang Wi. Ini bukan urusan kecil dan main-main lagi!

"Sumoi, jangan kita bicarakan hal itu sekarang di tempat ini. Aku sendiri belum pernah berpikir tentang perjodohan. Mari kita pulang!"

Dan tanpa menanti jawaban dia sudah meloncat dan lari dari situ. Siang Wi juga meloncat dan mengejar, akan tetapi ia tertinggal jauh. Gadis itu mengerahkan tenaga dan ilmu gin-kangnya, mencoba untuk menyusul, akan tetapi tetap saja pemuda itu lenyap dengan cepat. Terkejutlah ia dan baru ia tahu bahwa ketika ia tadi membayangi Hui Song, ia dapat mengejar dan menyusul karena pemuda itu tidak mengerahkan kepandaiannya, mungkin karena bersama Su Kiat. Kini pemuda itu berlari cepat sekali dan sebentar saja sudah lenyap, membuat ia menjadi semakin kagum.

Ketika tiba di rumahnya, Hui Song disambut oleh ayah ibunya yang ternyata masih menantinya dengan hati gembira bercampur gelisah. Gembira melihat putera tunggal mereka itu pulang setelah merantau selama bertahun-tahun, dan gelisah melihat Hui Song bersikap membela kepada Su Kiat.

"Apa yang kau lakukan bersama Su Kiat?" tanya ketua Cin-ling-pai kepada puteranya yang telah berlutut di depan dia dan isterinya.

"Aih, biarkan dia beristirahat dulu!" isterinya mencela, kemudian wanita itu merangkul Hui Song menyuruh puteranya bangun dan duduk di atas kursi di sebelahnya.

Sambil memegang tangan puteranya dan kedua matanya yang basah oleh air mata menatap wajah tampan itu penuh kasih sayang, wanita itu melanjutkan,

"Hui Song, anak nakal kau, membikin hati ibumu gelisah selama bertahun-tahun! Kemana saja engkau pergi tanpa berita selama ini?"

"Maaf, ibu. Aku pergi merantau, kemudian bertemu seorang sakti dan mempelajari ilmu selama tiga tahun."

"Hui Song," potong ayahnya, "mengenai perantauanmu itu, kau ceritakan besok saja. Sekarang ceritakan dulu apa yang telah kau lakukan bersama Su Kiat."

"Ayah, Ciang-suheng secara jantan mengakui dengan suara keras diatas gedung Coan Ti-hu bahwa perbuatannya tidak ada sangkut-pautnya dengan Cin-ling-pai, bahwa dia bukan murid Cin-ling-pai."

"Hemm, engkau mencampurinya dan ikut mengacau gedung pembesar itu?" tanya ayahnya dengan alis berkerut.

"Tidak, ayah. Aku hanya mengantar dan melindungi Ciang-suheng sampai disana. Setelah dia melemparkan potongan lengannya dan meneriakkan kata-katanya, kami segera pergi."

Pada saat itu masuklah Siang Wi. Ia baru saja dapat menyusul Hui Song dan ia dapat mendengar keterangan pemuda itu.

"Benar, suhu," katanya cepat. "Suheng hanya melindungi Ciang Su Kiat ketika dia dihujani anak panah. Suheng meruntuhkan semua anak panah hanya dengan kebutan kedua tangannya, dan ketika dia mengerahkan gin-kangnya, teecu sama sekali tidak mampu menyusulnya. Dia kini lihai bukan main, suhu!"

Tentu saja Cia Kong Liang, ketua Cin-ling-pai itu dan isterinya, merasa girang dan bangga sekali, akan tetapi Hui Song lalu digandeng ibunya yang berkata,

"Sudahlah, kau harus beristirahat dulu, anakku. Mari lihat kamarmu, masih tidak berubah sejak dulu dan tiap hari kusuruh bersihkan."

Ketika rebah di atas pembaringannya, di dalam kamar yang amat dikenalnya itu, diam-diam Hui Song merasa terharu sekali. Orang tuanya, terutama ibunya, amat sayang kepadanya dan dia merasa begitu tenteram dan terlindung berada di kamarnya ini, merasa betah dan enak. Dia dapat tidur melepaskan lelahnya tanpa mimpi dan ketika pada keesokan harinya dia bangun, tubuhnya terasa segar sekali.

Hari itu, setelah makan pagi mereka semua, ketua Cin-ling-pai dengan isteri dan puteranya, dihadiri pula oleh Tan Siang Wi yang sudah dianggap sebagai keluarga sendiri, berkumpul di ruangan keluarga di belakang dan bercakap-cakap.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: