*

*

Ads

Jumat, 23 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 081

"Heh-heh-heh! Sui Cin, kau kira kami ini orang-orang apa, mau saling bunuh? Kami hanya memperebutkan kebenaran. Nah, gendut, kau sudah mendengar nasihat nonamu. Kalau kau mampu menerima pukulan guci arakku sebanyak tiga kali, baru aku mau mengaku kalah."

"Baik! Dan kalau kau mampu menerima kebutan kipasku tiga kali, akupun mengaku kalah."

"Bagus! Nah, bersiaplah, aku akan memukulmu lebih dulu." kata Wu-yi Lo-jin.

"Enaknya! Tidak, aku yang mulai dulu dengan kebutan kipasku," bantah Siangkoan Lo-jin.

"Aku dulu!"

"Aku dulu!"

Kembali mereka bersitegang seperti dua orang anak kecil, tidak mau saling mengalah. Diam-diam Sui Cin dan Hui Song merasa heran. Mereka itu adalah dua orang kakek yang memiliki kesaktian, akan tetapi mengapa kedang-kadang sikap mereka seperti anak kecil? Apakah benar kata orang bahwa yang sudah terlalu tua berubah seperti kanak-kanak? Dan ada pula yang bilang bahwa orang yang terlalu pintar itupun kadang-kadang sifatnya seperti kanak-kanak?

Betapapun juga, Sui Cin yang sudah mendapatkan janji kakek katai untuk belajar gin-kang diam-diam berpihak kepada kakek ini. Maka, melihat mereka bersitegang lagi, iapun maju lagi dan berkata,

"Di dalam dunia ini, apa yang lebih baik daripada keadilan? Biarpun gagah perkasa, kalau tidak adil apa gunanya?"

"Benar sekali!" kata Ciu-sian.

"Tidak salah itu!" kata San-sian.

"Demi kebenaran dan keadilan, sudah sepantasnya kalau Wu-yi Lo-jin yang memulai lebih dulu dalam adu ilmu ini. Pertama, melihat bentuk tubuhnya, dia jauh lebih kecil ketimbang Siang-kiang Lo-jin, dan kedua, memang sebenarnya kami berdua lebih dulu kenal dengan Ciu-sian sebelum bertemu dengan San-sian. Nah, kalau kalian memang adil, tentu Ciu-sian yang memperoleh kesempatan lebih dulu. Kecuali kalau kalian memang tidak adil."

Wajah si gendut menjadi merah.
"Hah, siapa tidak adil dan siapa takut? Katai, kau pukulilah dulu, nih, perutku sudah siap menerima pukulanmu yang kau banggakan itu. Mulailah!"

Berkata demikian, si gendut itu lalu berdiri memasang kuda-kuda, kaki kiri di belakang, kaki kanan di depan, tangan kiri memegang tongkatnya, tangan kanan dikepal di pinggang, perutnya dikembungkan ke depan!

"Bagus! Aku memang tahu bahwa engkau seorang gagah yang adil!" seru kakek katai dengan girang sekali sambil menurunkan guci araknya.

Dia membuka tutupnya, minum sisa arak yang tinggal sedikit sampai kosong, menutup mulut guci lagi dan memegang leher guci yang kecil dengan kedua tangannya.

"Nah, kau bersiaplah baik-baik, aku akan mulai menghantam!" katanya sambil memasang kuda-kuda dengan kedua kakinya yang kecil namun kokoh kuat.

Kemudian, diayunkannya guci itu dari belakang ke depan, menghantam ke arah perut gendut itu.

"Bunggg...!"

Guci menghantam perut dan terdengar seperti gentong dipukul. Tubuh gendut itu tidak bergeming dan guci arak itu terpental sediki seperti menghantam karet amat kuat.

"Bukkk...!"

Hantaman kedua lebih kuat lagi, namun tetap saja tubuh kakek gendut tidak bergoyang dan kakek gendut itu selalu tersenyum lebar, mulutnya sedikit terbuka dan senyum itu membuat kedua matanya semakin sipit.

Kakek katai menjadi penasaran. Dua kali pukulan gucinya itu hebat sekali. Batu karang sekalipun akan ambrol dan pecah terkena pukulannya, akan tetapi pukulan guci araknya itu sungguh kehilangan daya kekuatannya ketika mengenai perut gendut yang terisi penuh hawa sin-kang itu.






Diam-diam dia merasa kagum karena dua puluh tahun yang lalu. San-sian ini takkan mungkin kuat menerima hantamannya itu. Hal ini membuktikan bahwa selama ini si gendut memang telah memperoleh banyak kemajuan.

"Awas, sekali lagi!"

Teriaknya dan dua orang muda yang berdiri di pinggir memandang dengan penuh perhatian dan kekaguman. Mereka berdua dapat merasakan kehebatan pukulan ciu-ouw itu. Dari tempat mereka berdiri saja mereka dapat merasakan getaran hawa pukulan yang amat dahsyat dari guci arak, dan ketika guci arak tadi bertemu dengan perut, terjadi getaran yang lebih hebat lagi, terasa benar oleh mereka.

"Siuuuttt... bunggg...!"

Pukulan ketiga ini hebat bukan main, getarannya sampai membuat daun-daun pohon bergerak dan bumi yang diinjak Hui Song dan Sui Cin ikut tergetar. Akan tetapi, San-sian menerima pukulan ketiga itu sambil tersenyum lebar dan sedikitpun tubuhnya tidak tergoncang!

"Heh-heh-heh-ha-ha-ha!" Kakek gendut tertawa.

Sui Cin dan Hui Song maklum bahwa kakek itu bukan sembarangan saja tertawa, melainkan mengeluarkan hawa yang tadi dipergunakan untuk melindungi isi perutnya. Ketika dia tertawa, hawa itu keluar dan nampak uap putih keluar dari mulutnya.

"Tiga kali gucimu yang butut itu menghantamku dan aku tidak merasa apa-apa! Kau kalah, Ciu-sian!"

Ciu-sian mengerutkan alisnya dan mengamati gucinya, seolah-olah hendak menyalahkan gucinya dalam kegagalannya itu. Lalu dia mengikatkan guci di punggungnya lagi dan berkata,

"Gendut! Engkau memang kuat. Akan tetapi sekarang cobalah kau menyerangku tiga kali dengan kipas lalatmu itu. Kalau aku tidak kuat bertahan, maka kekalahanku menjadi lengkap dan baru aku mengakui kekalahan."

"Ha-ha-ha, Ciu-sian, hati-hati kau dengan kebutan kipasku. Pohon besar itupun akan roboh dilanda kebutanku!" kata kakek gendut. "Apalagi tubuhmu yang kecil kerempeng ini!"

"Tak perlu memperlebar mulutmu yang sudah besar, San-sian. Mulailah!"

Kakek katai itu memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lalu ditekuk, seperti orang menunggang kuda dan kedua lengan disilangkan, dipasang di depan dada.

"Sini, agak jauh dari pohon itu!" kata San-sian sambil melangkah mundur menjauhi pohon.

"Srrrttt...!"

Kakek katai itu mengikuti maju, akan tetapi kedua kakinya sama sekali tidak melangkah. Tubuhnya maju dalam keadaan masih memasang kuda-kuda seperti tadi. Hal ini saja sudah membuktikan betapa hebatnya Kakek Dewa Arak ini. Diam-diam kakek gendut harus mengakuinya juga.

"Awas, Sui Cian, aku mulai! Jangan salahkan aku kalau kipasku mengebutmu sampai terlempar dan terbang ke langit!"

Setelah memasang kuda-kuda, kakek gendut menggerakkan tongkatnya, diputarnya ke atas kepala dan tiba-tiba kipas itu menyambar dari belakang tubuhnya, membawa angin besar mengebut ke arah kakek katai dengan kekuatan kebutan yang amat hebat.

Angin kebutan menyambar dahsyat, membuat jenggot panjang dan jubah kakek katai itu berkibar, bahkan Sui Cin dan Hui Song yang berada agak jauh merasakan kebutan angin yang membuat pakaian dan rambut mereka berkibar. Akan tetapi, tubuh kakek katai itu sendiri sama sekali tidak bergeming, seperti angin keras yang biarpun mampu menumbangkan pohon, sama sekali tidak berdaya terhadap sebongkah pilar baja yang kokoh kuat dan tertanam dalam-dalam di tanah!

San-sian menjadi penasaran dan kebutannya yang kedua kalinya lebih kuat lagi, sampai mengeluarkan angin yang suaranya bersiutan. Akan tetapi, seperti juga tadi kakek katai berdiri tegak dan tidak bergeming, hanya memejamkan mata karena angin keras membuat matanya perih. Kedua kakinya yang kecil seolah-olah sudah berakar dalam-dalam di tanah dimana dia berpijak.

"Heh-heh-heh, satu kali lagi dan awas, hati-hati kau!" bentak kakek gendut dan kini dia memutar tongkatnya, kemudian kipasnya membuat gerakan berputar yang aneh.

Dan akibatnya hebat sekali. Debu beterbangan, bukan hanya debu, melainkan juga pasir dan batu kerikil yang beterbangan lalu berpusingan. Ternyata gerakan kipas itu mendatangkan angin berpusing yang kuat dan melanda tubuh kakek katai, seolah-olah angin puyuh yang hendak mencabut kakek katai itu dari atas tanah!

Akan tetapi, kakek katai itu nampak mengerahkan kekuatannya, kedua kakinya agak tergetar, akan tetapi kekuatan dahsyat yang timbul dari gerakan kebutan kipas itupun sekali ini tidak mampu mengangkat kedua kakinya!

"Wah, wah, Ciu-sian, engkau ini ternyata tua-tua keladi, makin tua makin jadi! Hebat dan kita masih belum ada yang kalah atau menang!"

"Jalan satu-satunya, San-sian, hanya mengadu ilmu silat," kata kakek katai sambil melepaskan guci araknya dari punggung.

“Boleh, boleh, memang aku ingin sekali melihat kemampuanmu!" kata San-sian sambil melintangkan tongkat kipasnya.

Melihat betapa dua orang kakek katai itu sudah siap untuk saling gebuk, Sui Cin cepat melangkah maju melerai.

"Harap kalian bersabar dulu," katanya.

"Mana bisa bersabar kalau kehendakku ditentang?" kata kakek gendut.

"Mana bisa bersabar kalau muridku hendak dirampas?" bantah kakek katai.

Sui Cin tersenyum.
"Ji-wi berdua, dan kamipun berdua, mengapa harus ribut-ribut dan diperebutkan? Bagi rata kan beres? Ciu-sian sudah berjanji akan mengajarkan gin-kang kepadaku, dan kalau kakek San-sian mengajarkan ilmunya kepada Song-twako, bukankah itu sudah tepat sekali?"

Dua orang kakek itu bingung, lalu keduanya menggeleng kepala.
"Kenapa kita jadi tolol begini?" kata si gendut.

"Kenapa hal begini sepele saja kita tidak mampu pecahkan tadi?" gumam si katai.

"Nah, pemecahannya mudah, bukan? Mulai sekarang, Song-twako menjadi murid Siang-kiang Lo-jin dan..."

"Tidak ada murid! Tidak ada murid!"

Dua orang kakek itu berkali-kali bicara, dan ketika dua orang muda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki mereka, keduanya membalikkan tubuhnya tidak mau menerima penghormatan murid terhadap guru itu.

"Eh, bukankah ji-wi tadi sampai mau berkelahi karena memperebutkan kami untuk menjadi murid? Kenapa sekarang malah menolak? Apa maksud ji-wi ini?"

Hui Song mengerutkan alisnya dan bertanya. Tadi dia sudah merasa gembira sekali karena kalau dia dapat mempelajari ilmu dari kakek gendut itu, alangkah senang hatinya.

"Bangun dan duduk, mari bicara," kata Wu-yi Lo-jin.

Dua orang itu lalu bangkit dari berlutut dan mereka duduk di atas batu-batu di bawah pohon.

"Seperti pernah kuceritakan kepada kalian, kami sudah terikat oleh sumpah kami kepada tongkat laknat... eh, Tongkat Suci itu bahwa kami seketurunan termasuk murid-murid harus tunduk dan taat, tidak boleh melawan mereka yang memiliki tongkat itu. Kami tidak ingin kalian menjadi murid kami dan terseret ke dalam ikatan itu. Kalian sudah melihat sendiri betapa Pangeran Toan Jit-ong mempengaruhi dan mengikat mereka yang kalah dengan sumpah. Nah, kami yang pernah dijuluki Delapan Dewa juga telah diikat dengan sumpah."

"Akan tetapi, kek. Melihat ilmu kepandaian Ratu Iblis itu, agaknya kalian tidak akan kalah..."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: