*

*

Ads

Rabu, 21 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 073

Si gendut mengangguk dan mengangkat kedua jari kirinya, telunjuk dan jari tengah ke atas.

"Benar, mereka telah turun ke dunia, atau katakanlah keluar dari neraka dan tentu dunia akan menjadi rusak binasa. Apakah engkau juga mendengar apa yang kudengar di luaran bahwa para datuk sesat akan berkumpul menghadap mereka?"

Kembali si gendut mengangguk.
"Karena itulah aku tiba di dusun ini," katanya. "Ketika aku memasuki warung, aku sudah curiga, akan tetapi begitu melihatmu, aku tahu bahwa aku memperoleh teman. Aku makan mempermainkan kalian, akan tetapi ketika pemuda itu membawa air, aku mencium hal yang tidak wajar."

"Wah, hidung anjingmu kiranya semakin tajam saja," kata si kakek katai.

"Apakah selama ini engkau tetap tinggal di Wu-yi-san dan tidak pernah keluar dari tempat pertapaanmu?" kakek gendut bertanya.

Kakek katai mengangguk.
"Mau apa keluar? Hanya akan menderita penghinaan saja. Setelah secara kebetulan aku keluar dan mendengar desas-desus bahwa mereka juga keluar dari tempat persembunyian mereka, aku merasa panas hatiku dan akupun nekat keluar. Dan engkau sendiri? Kabarnya tinggal di Lembah Sungai Harum?"

"Benar, aku tinggal di lembah Siang-kiang, tempat yang tersembunyi. Akan tetapi aku tidak betah untuk menyendiri di tempat sunyi terus. Aku mulai suka keluar dan merantau, dan untung perutku menjadi gendut sehingga tidak mudah dikenal, apalagi kipasku juga sudah berubah bentuk. Akupun memakai nama Siang-kiang Lo-jin..."

"Heh-heh-heh, kenapa bisa sama? Aku tinggal di Wu-yi-san dan menggunakan nama Wu-yi Lo-jin, engkaupun menggunakan nama Lo-jin pula. Apakah enam tua bangka yang lain juga menggunakan nama itu? Bagaimana dengan mereka?"

Si gendut yang memakai nama Siang-kiang Lo-jin (Kakek Sungai Harum) itu menggeleng kepala.

"Aku tidak pernah lagi mendengar tentang mereka. Akan tetapi aku mendengar betapa Si Iblis Buta memimpin beberapa orang Cap-sha-kui membantu pembesar korup yang kabarnya kini sudah terbasmi. Akan tetapi dengan munculnya mereka berdua itu, kalau sampai para datuk sesat dikuasai mereka berdua, tentu akan rusak binasa keamanan rakyat."

"Karena itu, kita harus menyelidiki apa yang akan mereka lakukan. Dan ternyata mereka telah meninggalkan jejak, walaupun mereka telah membunuh puluhan orang di dusun ini."

"Kakek, apa sih maksud mereka membunuhi orang-orang dusun dengan penyebaran racun dalam air minum?" Sui Cin ikut bertanya sambil melanjutkan penjagaannya karena hatinya ingin sekali tahu. "Dan siapakah kiranya yang melakukan perbuatan keji itu?"

"Siapa lagi kalau bukan mereka? Ah, perbuatan mereka sekali ini belum berapa hebat. Mereka itu dapat melakukan apa saja, bahkan yang jauh lebih kejam daripada ini. Dan mereka membunuhi orang-orang dusun itu tentu ada maksudnya."

"Yang jelas tentu saja untuk membunuh kalian bertiga yang agaknya sudah mereka curigai," sambung kakek gendut Siang-kiang Lo-jin.

"Belum tentu!" kata kakek katai dengan muka berubah gelisah. "Kalau mereka menghendaki kami, kenapa yang mereka racuni adalah sumber air? Tidak, tentu mereka itu hendak membikin panik dan takut kepada penduduk sehingga semua penghuni dusun melarikan diri. Keadaan seperti sekarang inilah yang mereka kehendaki, untuk membuat keadaan sekeliling sini menjadi sunyi agar mereka dapat melakukan pertemuan dengan aman dan tidak diketahui orang lain."

"Hayaaa, tua bangka Ciu-sian ternyata masih cerdik. Agaknya hawa arak telah mempertajam otakmu. Benar sekali dugaanmu itu. Akan tetapi, tahukah engkau bagaimana kita akan mencari jejak mereka?"

"Aku tahu. Melalui air."

"Bagus! Akupun berpikir demikian. Mari kita selidiki."

"Sssttt...!" Tiba-tiba Sui Cin memberi isyarat tanpa menoleh, matanya ditujukan keluar pondok warung. "Aku melihat berkelebatnya bayangan orang, lima atau enam orang, cepat sekali, di ujung dusun sebelah timur."

"Aku juga melihat bayangan tiga orang di ujung barat, menuju ke utara," bisik Hui Song.






"Benar," kata Sui Cin pula. "Bayangan-bayangan itu menuju ke utara."

Dua orang kakek itu bergerak cepat, mendekati tempat pengintaian dua orang muda itu, akan tetapi bayangan-bayangan yang bergerak cepat itu telah lenyap. Sampai lama mereka menanti, dan kini dua orang kakek itu ikut mengintai, akan tetapi dusun yang sudah kosong itu sunyi sekali, tidak nampak lagi adanya bayangan lewat di situ. Dan kini senja telah mendatang.

"Kita harus memberanikan diri mencari jejak mereka sekarang juga sebelum gelap. Siang tadi mereka telah beraksi, membunuh banyak orang, maka kurasa malam inilah penentuan waktu mereka berkumpul."

Wu-yi Lo-jin yang bersikap sebagai pemimpin rombongan empat orang itu berkata dengan nada mengambil keputusan.

Agaknya Siang-kiang Lo-jin juga tidak berkeberatan membiarkan rekannya mengambil sikap memimpin. Dia mengangguk dan mereka berempat lalu berloncatan keluar dengan hati-hati sekali. Setelah mereka berempat mengadakan pemeriksaan dan merasa yakin bahwa di dusun itu memang tidak ada orang lain kecuali mereka berempat, mulailah dua orang kakek sakti itu mengadakan pemeriksaan. Semua saluran air mereka periksa dan ternyata diantara banyak saluran air, hanya satu saluran air yang tidak mengandung racun, yaitu yang mengalir ke utara!

"Hemm, kalau begitu tepatlah seperti yang dilihat dua orang pembantu muda kita ini, mereka menuju ke utara dan air yang menuju ke sana saja yang bersih dari racun."

Dengan penuh semangat akan tetapi amat hati-hati, dipimpin oleh Wu-yi Lo-jin mereka lalu bergerak menuju ke utara, menurutkan jalannya saluran air jernih itu.

Saluran air itu berlika-liku dan akhirnya terjun ke dalam Sungai Huai yang baru saja meninggalkan sumbernya, jadi masih kecil dan jernih. Dan berhentilah mereka di lembah sungai yang datar, yang merupakan padang rumput yang luas, mereka melihat adanya sebatang bambu tinggi yang puncaknya dipasangi sehelai bendera. Itulah bendera yang amat dikenal oleh Wu-yi Lo-jin. Sebuah bendera yang melukiskan dua buah tengkorak disilang tulang-tulang yang menjadi gagang sepasang pedang.

Wu-yi Lo-jin dan Siang-kiang Lo-jin nampak pucat dan gelisah. Tentu saja Hui Song dan Sui Cin yang tidak mengenal bendera itu merasa heran, akan tetapi ketika mereka hendak bertanya, dua orang kakek sakti itu sudah menaruh telunjuk di depan mulut, tanda bahwa kedua orang kakek sakti itu amat gelisah, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan pernapasan merekapun agaknya ditahan dan tidak sampai terdengar, tanda bahwa mereka berdua itu sungguh tidak ingin ketahuan orang!

Tentu saja hal ini membuat dua orang muda itu selain merasa heran, juga merasa ngeri. Kalau sampai dua orang kakek seperti mereka itu ketakutan, tentu ada hal yang amat gawat dan agaknya pemilik bendera itu benar-benar memiliki kesaktian seperti iblis sendiri!

Malam itu bulan bersinar terang, tidak dihalangi awan. Di angkasa memang ada gumpalan-gumpalan awan hitam, akan tetapi gumpalan-gumpalan awan itu terpisah-pisah dan hanya lewat sebentar saja, sejenak menutupi sinar bulan lalu pergi lagi, membentuk berbagai macam rupa yang menyeramkan.

Lapangan rumput itupun nampak terang oleh sinar bulan yang lembut dan penuh rahasia. Akan tetapi, yang nampak hanyalah tiang bendera dari bambu itu saja, dan bendera bergambar sepasang tengkorak yang kadang-kadang saja berkibar lembut tertiup angin malam yang halus.

Empat orang yang mengintai itupun berpencar, dengan hati-hati bersembunyi karena kedua orang kakek itu tadi sudah memesan kepada Hui Song dan Sui Cin agar berhati-hati dan jangan sekali-kali sampai memperlihatkan diri.

"Mereka itu amat berbahaya, apalagi kalau sedang berkumpul dalam jumlah banyak. Kita datang hanya untuk menyelidiki keadaan dan rencana mereka, bukan untuk melakukan penyerbuan."

Demikianlah dua orang kakek itu berpesan kepada dua orang muda yang tentu saja dapat memaklumi pesanan itu dan tidak berani sembarangan bergerak.

Tiba-tiba, setelah lebih satu jam mereka menanti, terdengar suara jerit tangis seorang anak kecil! Dalam sunyi menegangkan itu, tentu saja suara ini membuat suasana menjadi semakin menyeramkan. Suara anak menangis itu mengaduh-aduh ketakutan, membuat wajah Sui Cin menjadi pucat dan iapun tak dapat menahan lagi perasaan hatinya. Ia bergerak dan biarpun terdengar suara Hui Song "Sshhhh...!" mencegahnya, namun Sui Cin tidak mau diam lagi.

Tangis anak itu seperti menusuk-nusuk jantungnya. Mana mungkin ia tinggal diam saja kalau ada seorang anak begitu ketakutan dan agaknya terancam bahaya maut? Bagaimanapun juga, ia harus menyelidikinya dan kalau perlu turun tangan menolongnya, apapun yang akan menjadi resikonya. Maka, dengan hati-hati sekali iapun menyelinap diantara pohon-pohon dan batu-batu besar, bergerak cepat menuju ke arah suara tangis anak itu. Melihat ini, Hui Song merasa khawatir sekali dan iapun terpaksa bergerak mengejar. Ketika dia dapat menyusul, dia menangkap lengan gadis itu.

"Hati-hati, Cin-moi..." bisiknya.

"Aku harus menolongnya, apapun yang terjadi," bisik Sui Cin kembali.

"Hati-hati, siapa tahu ini jebakan mereka..."

Akan tetapi Sui Cin melanjutkan usahanya mencari karena kini hanya terdengar tangis ketakutan lemah saja dari suara anak tadi. Dan ternyata suara itu membawa mereka menjauhi padang rumput dan tiba di luar sebuah hutan.

Tiba-tiba, tiba-tiba sekali sehingga amat mengejutkan hati Sui Cin dan Hui Song, terdengar jerit yang menyayat hati kemudian diam! Dua orang pendekar itu saling berpegang tangan dan saling pandang di bawah sinar bulan, keduanya terbelalak dan muka mereka pucat.

Jeritan tadi jelas merupakan jeritan maut seorang anak yang berada dalam puncak ketakutan atau kesakitan. Sui Cin kini bergegas lari menyusup diantara semak-semak, diikuti oleh Hui Song dan tak lama kemudian mereka tiba di depan sebuah guha, mengintai dari balik batu, pohon dan semak-semak.

Dan apa yang mereka lihat hampir membuat Sui Cin muntah, bahkan Hui Song sampai terbelalak tak mampu bergerak seperti telah berubah menjadi patung. Mereka berdua merasa ngeri, jijik, dan juga marah bukan main.

Penglihatan di depan guha itu sungguh membuat bulu kuduk berdiri. Amat mengerikan! Seorang laki-laki yang seperti raksasa sedang memangku tubuh seorang anak kecil telanjang yang menelungkup dan bagian bawah tubuh anak itu mandi darah yang juga membasahi paha laki-laki raksasa itu.

Melihat tubuh kecil telanjang yang tertelungkup di atas pangkuan dalam keadaan mandi darah dan tidak bergerak lagi itu mudah diduga bahwa anak itu tentu sudah mati dan agaknya baru saja tewas. Yang amat menjijikkan adalah betapa raksasa itu memegang sebuah kaki kecil yang agaknya kaki anak itu yang direnggut lepas begitu saja dari tubunya. Raksasa itu memegang kaki seperti memegang paha ayam atau paha kelinci, lalu mengganyangnya mentah-mentah. Daging paha kaki yang masih berdarah itu dilahapnya seperti seekor harimau sedang melahap paha domba.

Sui Cin menutupi mulutnya untuk mencegah muntah atau berteriak. Memang amat mengerikan penglihatan itu. Kakek itu sukar ditaksir berapa usianya. Akan tetapi tubuhnya telanjang hanya mengenakan untaian daun-daun yang melingkar di pinggangnya. Tubuh kakek itu besar sekali dan nampak kuat. Di pundah dan lengannya tumbuh rambut panjang seperti monyet. Di bawah tengkuknya terdapat punuk atau daging jadi.

Sebuah gelang akar kayu hitam menghias lengan kirinya. Kepala dan muka orang ini sungguh menyeramkan. Di dahinya juga tumbuh daging jadi dan hanya bagian belakang kepalanya saja yang ditumbuhi rambut pendek kaku. Mukanya tidak berjenggot atau berkumis, muka yang kasar dengan mata besar, hidung pesek dan mulut lebar dengan gigi-gigi menonjol. Di belakang raksasa ini terdapat tulang-tulang dan tengkorak manusia, agaknya raksasa ini sudah biasa makan daging manusia mentah-mentah.

Melihat kekejian yang tiada taranya ini, Sui Cin tak dapat menahan kemarahannya dan iapun sudah bergerak siap menerjang keluar. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya ditekan orang dan tubuhnya menjadi lemas. Ketika ia menengok, ternyata yang menekan jalan darah di pundaknya itu adalah Wu-yi Lo-jin sendiri yang agaknya sudah berada di belakangnya bersama Siang-kiang Lo-jin!

Sui Cin mengerutkan alisnya, akan tetapi Wu-yi Lo-jin menggeleng kepala dan memberi isyarat kepada dua orang muda itu untuk mengikutinya pergi meninggalkan tempat mengerikan itu. Setelah jauh dari raksasa itu, Wu-yi Lo-jin berkata,

"Sui Cin, hampir saja engkau menggagalkan semua usaha kita."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: