*

*

Ads

Rabu, 21 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 072

Wu-yi Lo-jin sudah mempersiapkan bubur ayam satu mangkok besar dan Hui Song cepat membawa bubur ayam yang masih mengepul panas-panas itu kepada tamunya.

Kakek gendut itu duduk di atas bangku, akan tetapi bangku itu terlalu kecil untuk tubuhnya yang gendut besar, maka dia lalu pindah duduk di atas meja kecil pendek, mengangkat kedua kakinya ke atas meja dan duduk seperti orang duduk di lantai. Mangkok terisi bubur panas itu diterimanya, sepasang sumpit besar digerakkan dan terdengar suara berseruputan seperti seekor babi kalau sedang makan.

"Hei, pelayan, tambah lagi buburnya. Tolong cepat sedikit! Bawa saja dua mangkok agar tidak tertunda makanku!"

Kakek gendut itu berseru dan Hui Song terkejut. Semangkok besar bubur tadi saja sudah cukup untuk dua orang, akan tetapi agaknya kakek gendut ini hanya menuangkannya sekaligus ke dalam perutnya. Bergegas dia menerima dua mangkok lagi dari Wu-yi Lo-jin dan mengantarnya kepada tamu aneh.

Akan tetapi, sebentar saja dua mangkok inipun disikat habis dalam waktu singkat dan si kakek gendut sudah berteriak-teriak minta tambah lagi. Sibuklah Hui Song berlari hilir-mudik, sibuk pula Wu-yi Lo-jin yang harus melayani permintaan tamu aneh itu. Biarpun tamu mereka hanya seorang saja, akan tetapi karena cara makan tamu itu amat cepat dan terus minta tambah, mereka menjadi sibuk seolah-olah melayani banyak tamu.

Setelah menghabiskan belasan mangkok bubur dan kakek gendut masih minta tambah lagi, mulailah Wu-yi Lo-jin mengerutkan alisnya. Juga Hui Song dan Sui Cin melirik dengan alis berkerut dan hati tidak senang. Akan tetapi, yang dilirik oleh tiga orang itu enak-enak saja duduk sambil tersenyum ramah, mengulurkan tangan kiri memperlihatkan mangkok kosong sambil minta tambah lagi.

"Masih ada buburnya? Bung pelayan, tambah lagi buburnya lima mangkok, juga mi goreng dua kati, masak daging sekati campur sayuran yang masih segar. Dan araknya seguci!"

Tentu saja mendengar pesanan ini, tiga orang itu menjadi terkejut dan makin heran. Si gendut itu makannya melebihi seekor kerbau!

"Hati-hati, tanyakan apa dia membawa uang," bisik Wu-yi Lo-jin kepada Hui Song ketika pemuda ini masuk ke dapur. "Kalau dia tidak bayar, bisa bangkrut kita!"

Akan tetapi Hui Song yang semakin merasa yakin bahwa kakek gendut ini tentu bukan orang sembarangan, merasa sungkan untuk menanyakan hal itu. Tidak demikian dengan Sui Cin. Gadis ini setuju dengan pendapat Wu-yi Lo-jin, maka dari tempat duduknya ia bertanya,

"Kakek yang baik, pesananmu makanan begitu banyak, harap suka bayar lebih dulu!"

Ucapan Sui Cin itu wajar dan tidak mengandung penghinaan melainkan jujur dan terbuka, maka kakek gendut itupun tidak merasa tersinggung, melainkan tertawa,

"Hah-hah-ha! Nona, apakah aku kelihatan seperti orang yang biasanya menyikat makanan tanpa membayar?"

"Aku tidak menuduh demikian, akan tetapi, karena pesananmu amat banyak sedangkan warung kami kecil saja..."

"Ya-ya, warung kecil di kaki gunung, pemiliknya seorang gadis cantik jelita, penjaganya seorang pemuda ganteng perkasa, tukang masaknya kakek aneh luar biasa! Ha-ha, inilah uangku, apa masih kurang?"

Berkata demikian, kakek gendut itu mengeluarkan sepotong emas yang beratnya tentu tidak kurang dari satu tail. Tentu saja sepotong emas ini sudah lebih dari cukup untuk membayar makanan, berapapun banyaknya.

Karena kehabisah air jernih, Hui Song lalu membawa tong air untuk mengambil air dari sumber di belakang warung. Ketika dia memikul air memasuki warung itu dan lewat dekat si gendut, tiba-tiba kakek gendut itu menggerak-gerakkan dan mengembang-kempiskan hidungnya seperti tadi, seperti seekor anjing mencium sesuatu.

Dia menghentikan makannya, matanya mengikuti Hui Song yang kini menuangkan air ke dalam tong air besar yang berdiri di sudut dapur. Tiba-tiba kakek gendut itu menggerakkan tangannya dan nampak dua sinar putih berkelebat memasuki dapur.

"Prokk! Prak!" dua batang sumpit besar yang tadi dipakai makan si gendut itu kini tahu-tahu sudah menancap dan membikin retak tong-tong air itu.

Airnya tentu saja tumpah dan mengucur keluar melalui lubang-lubang retakan tong yang disambar sumpit. Melihat ini, tiga orang itu terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.






"Apa artinya ini? Mengapa engkau melakukan ini?" Sui Cin menegur dengan marah.

Kakek gendut itu kini sudah menghampiri mereka di dalam dapur dan berdiri tegak sambil memegang tongkat kipasnya dan memandang ke air yang memenuhi lantai dapur. Kemudian dia memandang kepada Wu-yi Lo-jin dan tiba-tiba menudingkan kipasnya ke arah guci arak milik kakek katai itu sambil berkata,

"Bukankah guci itu guci emas dari Wu-yi-san? Coba kau kakek katai, pergunakan gucimu untuk menguji apakah air ini beracun seperti yang kusangka atau tidak!"

Wu-yi Lo-jin terlalu kaget mendengar bahwa air itu beracun sehingga dia tidak memperhatikan betapa si gendut itu mengenal gucinya. Dia membuka tutup gucinya, akan tetapi nampak ragu-ragu.

"Wah, arakku masih setengah guci..."

Kakek gendut menyodorkan sebuah panci kosong dan Wu-yi Lo-jin tanpa banyak cakap lagi lalu menuangkan arak dari gucinya ke dalam panci itu. Tercium bau harum dan setelah guci itu kosong, Wu-yi Lo-jin segera menampung air yang tumpah itu ke dalam gucinya. Benar saja, air itu berobah menghitam, tanda bahwa air itu memang benar beracun!

"Ihh, air ini beracun!" katanya sambil membuang air itu dari gucinya.

Dia mambalik untuk mengembalikan araknya, akan tetapi panci itu telah kosong, dan araknya telah habis.

"Loh, siapa minum arakku, hah?"

Dia tidak perlu terlalu sibuk menyelidiki karena kakek gendut itu masih kelihatan mengusap bibirnya yang berlepotan arak itu dengan ujung lengan bajunya.

"Heh-heh, arak baik... arak baik...!"

"Kurang ajar si gendut laknat, kau mengbabiskan arakku, ya?"

Wu-yi Lo-jin marah sekali dan mengambil sikap menyerang. Si gendut juga sudah melangkah mundur setindak dan bersikap hendak melawan.

Melihat kedua orang kakek itu hendak bersitegang hanya karena hilangnya arak, Sui Cin berkata,

"Air beracun itu tentu ada yang membuat!"

"Benar!" kata Hui Song. "Tentu ada yang menaruh racun. Wah, tadi banyak orang mengambil air! Mari kita peringatkan mereka, jangan sampai ada yang menjadi korban!"

Dua orang muda itu berlari keluar dan dua orang kakek itupun agaknya sadar lalu mengikuti dari belakang. Akan tetapi, ketika mereka tiba di luar warung, mereka mendengar teriakan-teriakan, jeritan-jeritan dan tangis memenuhi dusun itu. Dan nampaklah penglihatan yang mengerikan. Di sana-sini menggeletak orang-orang yang berkelojotan sambil memegangi perutnya, bahkan ada diantara mereka yang sudah tewas tak mampu bergerak lagi.

Hui Song cepat meloncat ke depan dan suaranya lantang ketika dia berteriak keras,
"Saudara-saudara sekalian dengarlah baik-baik! Air sumber itu mengandung racun! Karena itu sebaiknya jangan minum dulu sebelum diperiksa teliti apakah air itu beracun atau tidak. Ingat, jangan ada yang minum dulu, air apapun jangan diminum dulu!"

Suaranya yang lantang ini menolong banyak orang. Mereka yang sedang mengangkat cangkir untuk minum, tiba-tiba saja mengurungkan niatnya. Akan tetapi ketika diperiksa, yang sudah menjadi korban dan roboh keracunan tidak kurang dari tiga puluh orang banyaknya!

Gegerlah dusun itu. Dan tanpa dicegah lagi, para penghuni dusun itu segera mengungsi meninggalkan dusun yang dilanda malapetaka hebat itu. Hanya tinggal beberapa orang saja yang tinggal dan bersama belasan orang ini, Hui Song, Sui Cin, dan dua orang kakek itu segera mengurus jenazah puluhan orang itu. Ternyata racun yang dicampurkan di air itu amat jahat sehingga biarpun kedua orang kakek itu mencoba untuk mengobati mereka yang tadinya belum tewas, percuma saja.

"Huh, ini seperti bekas tangan Setan Selaksa Racun," kata kakek gendut setelah memeriksa seorang korban.

"Siapakah Ban-tok-kwi (Setan Selaksa Racun) itu?" tanya Sui Cin.

"Seorang diantara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan)," jawab si kakek gundul.

"Kalau begitu mereka sudah muncul?" Wu-yi Lo-jin berseru. "Celaka, kita mengintai malah kebobolan."

"Heh-heh, tua bangka katai dari Wu-yi-san memang selalu ceroboh!" kata si kakek gendut.

Kini Wu-yi Lo-jin memandang dengan alisnya yang panjang berkerut kepada kakek gendut, wajahnya membayangkan kemarahan.

"Heh, gendut! Engkau licik! Engkau agaknya sudah mengenalku, sudah mengenal guci wasiatku, akan tetapi engkau sendiri menyembunyikan nama. Siapa sih sebetulnya tua bangka gembul gendut ini dan bagaimana kau bisa mengenalku, dan apa kehendakmu datang ke tempat ini?"

"Ha-ha-ha-ha, setan pendek, apa benar engkau tidak dapat mengenalku lagi hanya karena tubuhku sekarang sudah gendut? Hei, Ciu-sian (Dewa Arak), lupakah engkau kepada kipasku?"

Wu-yi Lo-jin terbelalak, lalu menggunakan tangannya ke depan mukanya dan matanya kini mengincar ke arah wajah si gendut. Dari balik tangannya, dia tidak lagi dapat melihat tubuh si gendut dari leher ke bawah, hanya nampak kepalanya saja dan diapun terkekeh.

"Heh-heh-heh-heh, kiranya San-sian (Dewa Kipas) benar-benar! Siapa bisa mengenalmu kalau kini tubuhmu rusak seperti itu? Dahulu engkau paling gagah dan tampan diantara Pat-sian (Delapan Dewa), akan tetapi sekarang engkau menjadi seperti kerbau bengkak hamil! Ha-ha--ha-ha!"

Si Dewa kipas juga tertawa bergelak.
"Dan engkau semakin pendek saja, apakah selama ini engkau tidak tumbuh tinggi melainkan bahkan mengeriput dan mengecil?"

"Mari kita bicara dalam warung," kata kakek katai. "Dan biarkan semua orang pergi saja dari tempat ini. Tempat ini menjadi terlalu berbahaya bagi orang-orang biasa."

Mereka lalu menasihatkan kepada belasan orang yang tinggal disitu untuk pergi mengungsi pula, karena mungkin sekali akan muncul banyak datuk-datuk sesat yang amat jahat dan kejam. Agaknya tempat itu memang sudah diincar oleh para datuk untuk menjadi tempat mereka berkumpul, maka sengaja melepas racun untuk mengusir semua penghuni dusun.

Empat orang itu lalu memasuki warung dan atas perintah Wu-yi Lo-jin, Hui Song dan Sui Cin menutup semua pintu dan jendela.

"Sui Cin, engkau mengintai dari belakang dan engkau Hui Song, engkau mengintai dari depan. Kalau nampak orang, beritahu kami."

Dua orang muda itu menuju ke pos masing-masing. Sui Cin berdiri mengintai dari balik jendela belakang, sedangkan Hui Song berdiri mengintai dari balik pintu depan yang direnggangkan sedikit.

Dusun itu kini sunyi sama sekali. Tidak ada seekor anjing atau ayampun yang nampak berkeliaran karena binatang-binatang itu sudah mati semua, yang masih hidup dibawa mengungsi oleh para penduduk. Sementara itu, hari telah menjadi siang dan dusun yang kosong itu ditimpa sinar matahari yang cukup hangat.

Akan tetapi, penglihatan yang nampak oleh Sui Cin dan Hui Song di luar warung itu amat menyeramkan. Sunyi sekali, tidak ada sesuatu yang hidup. Karena itu, bergeraknya daun-daun yang tertiup angin saja sudah amat menarik perhatian. Dusun yang ramai itu kini berobah menjadi sunyi seperti tanah kuburan.

Dua orang kakek itu bercakap-cakap dan biarpun biasanya mereka bersikap kocak bahkan ugal-ugalan, kini mereka terlibat dalam percakapan yang serius dan anehnya, kedua orang kakek itu yang sudah jelas memiliki kesaktian, kini kelihatan seperti orang-orang ketakutan!

"San-sian, kalau aku tidak keliru sangka, engkau yang selama ini juga bersembunyi dan bertapa, kini keluar tentu dengan alasan yang sama dengan aku, bukan?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: