*

*

Ads

Rabu, 21 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 071

Kakek itu mengangguk-angguk sambil kembali melirik ke kanan kiri. Hal ini mengherankan hati Sui Cin dan Hui Song.

"Kek, kenapa engkau kelihatan takut kalau aku bicara tentang belajar ilmu darimu. Siapa yang kau takuti?"

"Ssstt... mari kita keluar dari guha dan akan kuceritakan semua kepada kalian," kata kakek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya lenyap dari dalam ruangan guha itu.

Sui Cin yang takut kakek itu kabur cepat mengejar, diikuti pula oleh Hui Song. Ternyata Wu-yi Lo-jin duduk di atas batu depan guha, menanti mereka.

"Nah, disini kita bicara agar tidak ada yang ikut mendengarkan tanpa kita ketahui. Anak-anak, ketahuilah bahwa kalau tidak ada terjadi sesuatu yang amat hebat, tua bangka seperti aku ini mau apa keluar ke dunia ramai? Tentu kalian tidak pernah mendengar apalagi melihat aku yang hanya tinggal menanti datangnya kematian di dalam tempat pertapaanku di Wu-yi-san. Akan tetapi, seperti kukatakan tadi, telah terjadi sesuatu yang amat hebat, yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia. Maka, bagaimanpun juga, terpaksa aku harus keluar dari tempat partapaanku dan disini aku bertemu dengan kalian."

Hui Song dan Sui Cin terkejut bukan main, saling pandang, kemudian memandang lagi kepada kakek katai ini. Miringkah otak kakek ini? Mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakek itu, yang mereka anggap menceritakan hal yang bukan-bukan dan aneh-aneh saja.

"Apakah yang telah terjadi, kek? Siapa yang mengancam kehidupan dan keselamatan manusia?"

Kakek itu memandang ke kanan kiri, lalu menarik napas panjang.
"Kalau diingat, memang memalukan sekali. Terjadinya sudah puluhan tahun yang lalu. Kami, sekelompok delapan jagoan yang dahulu menjadi datuk-datuk dunia persilatan, sebelum muncul datuk-datuk seperti See-thian-ong sebagai datuk barat, Tung-hai-sian sebagai datuk timur, Lam-sin sebagai datuk selatan dan Pak-san-kui sebagai datuk utara. Kami delapan orang yang merajai delapan penjuru dunia. Ketika itu usiaku baru sekitar tiga puluh tahun. Akan tetapi, tiba-tiba muncullah pasangan Raja dan Ratu Iblis itu!"

Kembali kakek katai itu kelihatan gelisah dan memandang ke kanan kiri. Kalau seorang sakti seperti Wu-yi Lo-jin saja kelihatan ketakutan, tentu saja hal ini mendatangkan rasa serem di hati dua orang muda itu sehingga mereka ikut pula menoleh ke kanan kiri.

"Siapakah mereka itu, kek?" Sui Cin bertanya lirih.

"Raja Iblis itu seorang pangeran asli yang melarikan diri dari istana. Dia bersama isterinya terjun ke dunia kang-ouw dan segera kami delapan orang jagoan yang menjadi datuk mereka kalahkan secara mutlak, termasuk aku. Kepandaian mereka memang hebat bukah main, mirip iblis-iblis saja mereka itu. Kami delapan orang datuk bersumpah di depan suami isteri iblis itu untuk tidak muncul lagi di dunia kang-ouw, bahkan kami semua telah menyerahkan tanda takluk kepada kami selama hidup. Dengan tanda itu, kami tidak akan berani melawan mereka lagi, dan kalau kami melanggar, maka kami akan dihukum mati menurut sumpah kami. Juga murid-murld kami secara otomatis terikat oleh sumpah itu. Kami semua terpaksa setuju karena itulah jalan satu-satunya untuk menebus nyawa kami yang sudah berada di tangan mereka."

Bukan main hebatnya cerita ini, membuat Sui Cin dan Hui Song melongo. Peristiwa itu tentu terjadi puluhan tahun yang lalu, mungkin ketika orang tua mereka masih kecil, akan tetapi mengapa mereka tidak pernah mendengar cerita itu dari orang tua mereka? Agaknya semua itu terjadi diam-diam dan tidak sampai menghebohkan dunia kang-ouw maka tidak terdengar oleh keluarga mereka. Memang di dunia persilatan terdapat banyak sekali orang-orang sakti yang lebih suka menyembunyikan diri.

"Jadi selama puluhan tabun ini locian-pwe selalu bersembunyi dan bertapa?" tanya Hui Song, tertegun.

"Benar, aku tidak pernah melihat dunia ramai, bahkan jarang bertemu manusia. Hanya bertemu manusia kalau ada pemburu tersesat sampai ke puncak Wu-yi-san."

"Akan tetapi sekarang engkau keluar dari pertapaan, kek."

"Itulah! Aku tidak dapat menahan diri lagi ketika aku mengetahui bahwa raja dan ratu iblis itu juga keluar! Semenjak mereka memaksa kami bersumpah, merekapun bertapa dan kabarnya bahkan memperdalam ilmu kepandaian mereka yang sudah hebat. Kami mengira bahwa seperti kami, mereka itu mengundurkan diri sampai mati. Akan tetapi ternyata kini mereka keluar! Dan ini berbahaya sekali. Mereka menaruh dendam kepada istana, juga kepada semua pendekar mereka merasa benci. Jadi, dapat kau bayangkan apa yang akan terjadi kalau mereka itu keluar. Mendengar mereka keluar, akupun meninggalkan pertapaanku. Biarlah kalau perlu aku berkorban nyawa, akan tetapi dalam usiaku yang lanjut ini, dalam hari-hari terakhir, aku harus berusaha membendung kejahatan yang akan mereka lakukan."






"Sudah berapa lama locianpwe meninggalkan pertapaan?"

"Sudah tiga bulan. Dan selama ini aku menyelidiki jejak mereka. Dan terdengar berita yang amat mengejutkan. Kiranya mereka itu benar-benar telah mulai menghimpun datuk-datuk kaum sesat, bukan hanya untuk membasmi para pendekar akan tetapi bahkan untuk menyerbu istana!"

"Wahhh... gawat...!" Sui Cin berseru. "Dimana mereka itu, kek?"

"Gerakan mereka seperti iblis, mana dapat diketahui dimana mereka berada? Akan tetapi, aku mendengar bahwa pada akhir bulan depan para datuk itu, termasuk Cap-sha-kui, akan menghadap mereka di sumber mata air Sungai Huai, di lereng Pegunungan Ta-pie-san, tak jauh dari sini. Karena itulah aku berada disini dan kebetulan aku bertemu kalian ketika menyelamatkan nona pengantin. Sungguh girang hatiku karena kalian adalah orang-orang muda perkasa keturunan pendekar-pendekar sakti yang patut menjadi sekutu kami menghadapi iblis-iblis itu. Karena itulah aku tidak dapat menerima sebagai murid walaupun aku akan mengajarkan gin-kang kepadamu, Sui Cin. Kalau aku menerimamu sebagai murid, berarti engkau akan terikat pula oleh sumpah kami terhadap kedua iblis itu."

"Kalau memang sepasang iblis itu benar-benar mengancam keselamatan dunia, kami siap membantumu, locianpwe," kata Hui Song dengan sikap gagah.

"Benar, akupun siap membantumu, kek. Iblis-iblis itu sudah sepatutnya dihadapi dan dibasmi. Mereka tentu jahat, apalagi kalau sampai dapat memperalat Cap-sha-kui yang jahat."

Wu-yi Lo-jin tersenyum geli.
"Biarpun aku bangga dan kagum terhadap sikap kalian dua orang muda, akan tetapi aku juga merasa geli. Kalian seperti anak-anak ayam mencoba untuk menantang srigala! Akan tetapi semangat kalian itulah yang kita perlukan. Bagaimanapun juga, kita memang harus bersatu menentang kejahatan. Kalau kalian sudah siap membantu, marilah kita pergi melakukan penyelidikan. Akan tetapi kalian harus berhati-hati dan jangan bertindak sendiri-sendiri, harus selalu menurut petunjukku."

Berangkatlah tiga orang itu menuju ke lereng Ta-pie-san, mencari sumber air Sungai Huai dimana kabarnya akan dijadikan tempat pertemuan bagi datuk-datuk sesat untuk menghadap Raja dan Ratu Iblis.

Dusun di kaki Pegunungan Ta-pie-san itu disebut dusun Kim-ciu-cung, sebuah dusun yang cukup besar karena dusun itu menjadi pusat pasar rempa-rempa yang ditanam oleh para penghuni dusun sekitarnya dan di dusun itulah semua hasil rempa-rempa itu dikumpulkan, dan orang-orang kota banyak yang datang untuk membeli rempa-rempa itu. kemudian dimuatkan gerobak dibawa ke kota.

Sebuah kedai makan baru dibuka orang. Tidak begitu menarik perhatian karena hanya warung kecil saja yang menyediakan empat buah meja saja dengan beberapa buah bangku.

Akan tetapi kalau melihat dua orang penjaganya, orang akan tertarik juga untuk sarapan atau makan siang di kedai ini. Pelayannya hanya seorang saja, seorang pemuda yang berwajah tampan, walaupun agak kaku dalam pakaian pelayan itu. Kasirnya, yang juga kadang-kadang turun tangan sendiri membantu si pelayan muda kalau kedai itu dipenuhi tamu, lebih menarik lagi. Ia seorang gadis yang amat manis, walaupun dandanannya sederhana seperti orang dusun. Tukang masaknya seorang kakek gundul botak berjenggot panjang sampai ke perut.

Mudah diduga siapa mereka. Pelayan muda itu adalah Hui Song, kasir wanita itu Sui Cin dan kakek Wu-yi Lo-jin menjadi tukang masaknya.

"Jangan kau yang menjadi tukang masak," kata kakek itu kepada Sui Cin. "Masakanmu terlalu aneh dan terlalu enak, bisa membuat orang terheran-heran dan ketagihan, kita jadi repot. Pula, kalau aku yang membantu di depan, orang-orang tentu akan merasa takut selain juga menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Masakanmu hanya aku saja yang menikmatinya."

Kakek itu mengajak Hui Song dan Sui Cin membuka warung nasi dengan menyewa sebuah rumah pondok kecil. Semua ini dilakukan dalam usahanya melakukan penyelidikan, hanya untuk sementara saja menjelang datangnya hari dimana para datuk sesat menghadapi Sepasang Iblis atau Raja Iblis dengan Ratunya.

Tentu saja kesal rasa hati mereka bertiga ketika pada hari-hari pertama, yang memenuhi warung mereka hanyalah pedagang-pedagang rempa-rempa. Terpaksa mereka melayani mereka yang datang makan, dan yang lebih memuakkan hati Sui Cin lagi adalah omongan-omongan mereka yang jorok ketika mereka melihat bahwa warung itu dilayani seorang gadis yang amat manis.

Mereka bukan ingin mencari keuntungan, maka makin banyak orang-orang biasa berdatangan, makin gemas hati mereka dan makin lelah mereka melayani. Bahkan kakek nakal itu, saking jengkelnya kepada orang-orang biasa yang berdatangan makan, sengaja mencampurkan keringat kepada masakannya, bahkan kadang-kadang dia masak sembarangan saja.

Akan tetapi anehnya, para pendatang itu tidak ada yang mengeluh, bahkan memuji-muji bahwa masakan warung itu enak dan pujian ini tentu saja diucapkan sambil melirik dan tersenyum penuh arti kepada Sui Cin!

"Wah, kek, kalau begini terus aku tidak kuat!" Pada suatu malam, sepekan kemudian Sui Cin mengeluh kepada kakek itu. "Kalau aku tahu hanya akan dijadikan bahan sikap dan ucapan jorok melayani orang-orang kasar itu, aku tidak sudi. Pula, katanya kau hendak melatih gin-kang kepadaku. Kalau setiap hari bekerja seperti ini, kapan kita latihan? Apakah engkau begitu mata duitan hendak mencari untung sebesarnya dari usaha buka warung ini dan menggunakan aku dan Song-twako sebagai tenaga suka rela tanpa bayaran?"

"Sabarlah, Sui Cin. Kita hanya bersandiwara dan selama beberapa hari ini permainan kita baik sekali sehingga kita sudah dianggap sebagai tukang-tukang warung yang wajar. Dengan begini, pada suatu hari pasti kita akan dapat mendengar tentang mereka, tunggulah saja."

Benarlah apa yang diucapkan Wu-yi Lo-jin itu. Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi, ketika warung itu masih sepi dan tiga orang sedang membuat persiapan, masuklah seorang tamu yang aneh. Dia seorang kakek yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi tentu sudah enam puluh tahun lebih. Dan segala-galanya nampak besar dan bulat pada kakek ini.

Kepalanya besar bulat, botak licin bagian atasnya, hanya tinggal sedikit rambut tertinggal di bagian belakang kepala yang dikumpulkan menjadi gelung kecil di belakang. Anehnya, rambut di kedua pelipisnya tumbuh panjang kecil seperti ekor tikus berjuntai ke bawah sampai ke dada. Kedua telinganya seperti telinga gajah. Mukanya yang seperti bentuk muka arca Ji-lai-hud itu selalu tersenyum ramah. Bajunya yang biru kedodoran itu tidak mampu menutupi dada dan perutnya. Dadanya penuh dengan buah dada seperti wanita, perutnya bulat besar sekali sehingga pusarnya mekar dan menjadi besar pula. Celananya lebar dan sepatunya dari kain putih kekuningan.

Ketika memasuki warung kakek gendut ini tersenyum lebar dan membawa sebuah benda aneh. Benda itu adalah kipas yang bergagang besi baja. Agaknya benda ini memiliki tugas ganda. Dapat dipakai untuk mengipas kalau kegerahan, gagangnya dapat dipakai sebagai tongkat dan mungkin saja benda itu dapat dipergunakan sebagai semacam senjata toya.

Begitu memasuki warung, hidung kakek itu berkembang kempis mencium-cium seperti seekor anjing mencari jejak.

"Heh-heh, sedap! Perutku lapar, bisakah aku mendapatkan sarapan di warung ini?" tanyanya kepada tiga orang yang memandang kepadanya.

Baru melihat begitu saja, Sui Cin dan Hui Song sudah dapat menduga bahwa tentu tamu ini bukan orang sembarangan, dan agaknya orang ini adalah seorang diantara para datuk yang hendak menghadap Raja dan Ratu Iblis. Maka mereka saling pandang dan bersikap hati-hati.

"Bisa, bisa...!" kata Hui Song sambil menghampiri kakek itu dengan sikap seorang pelayan. "Kami ada bubur ayam, bakmi, daging, sayur..."

"Bubur ayam? Bagus, sediakan semangkok besar!"

Dan melihat beberapa buah prabot dapur di atas meja, karena baru saja dicuci, di antaranya sepasang sumpit besar yang biasa dipergunaken untuk masak, kakek gendut itu mengambil sepasang sumpit besar itu.

"Heh-heh, menggunakan sumpit ini untuk makan lebih enak!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: