*

*

Ads

Selasa, 20 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 067

Lurah Coa dan orang-orangnya menyambut kedatangan mereka dengan gembira sekali. Dengan gayanya yang menarik Sui Cin menceritakan bahwa Lan Kim diculik oleh gerombolan penjahat yang berilmu tinggi, akan tetapi ia berhasil merampasnya kembali.

"Lanjutkanlah upacara pernikahan, dan aku sendiri yang akan mengawal enci Lan Kim ke Sin-yang agar dapat membasmi para penjahat yang hendak mencoba menghadang di tengah perjalanan."

Tentu saja keluarga Coa menjadi gembira sekali dan Sui Cin disambut dan dijamu seperti seorang tamu agung yang amat dihormati. Kepada lurah Coa, Sui Cin memberitahukan bahwa kawannya kini masih menyelidik gerombolan itu, membayangi mereka ketika mereka melarikan diri.

Lan Kim didandani dan kini gadis itu tidak menolak lagi, tidak rewel sehingga ibunya merasa lega dan senang. Biarpun pakaian pengantin yang dikenakan nona pengantin itu dibuat tergesa-gesa dan tidak seindah pakaian pengantin yang hilang, namun Lam Kin nampak cantik dan anggun dalam pakaian pengantin.

Setelah saatnya tiba, muncullah jemputan dari Sin-yang, utusan pengantin pria yang mengirim joli dan barang-barang hadiah. Pengantin pria sendiri tidak muncul. Bukankah dia seorang pejabat tinggi di Sin-yang dan Lan Kim hanya menjadi isteri ke lima?

Kedudukannya terlalu tinggi untuk merendahkan dia turun ke dusun menjemput sendiri calon isterinya kelima, dan para utusannya saja sudah cukup membuat keluarga Coa merasa terhormat sekali, apalagi para utusan itu datang membawa hadiah-hadiah yang luar biasa banyaknya bagi keluarga lurah itu.

Setelah lurah Coa menceritakan kepada para utusan bahwa di dusun itu terdapat gangguan gerombolan penjahat dan bahwa Sui Cin adalah seorang pendekar wanita yang mengawal pengantin, para pesuruh dari kota itupun merasa gembira. Siapa tidak akan gembira melakukan perjalanan dikawal seorang pendekar wanita secantik itu?

Berangkatlah rombongan pengantin, diiringi suara musik dan petasan, juga suara tangisan ibu pengantin dan para keluarga wanita lain. Tangis para keluarga wanita mengantar pengantin ini sudah merupakan semacam kebiasaan dan tradisi yang tidak mungkin dapat ditinggalkan lagi. Sukar lagi membedakan mana tangis yang sungguh-sungguh dan mana tangis buatan, seperti juga ratap tangis yang terdengar pada peristiwa perkabungan.






Menyedihkan memang kalau kita benar-benar mau membuka mata dengan waspada dan melihat betapa kepalsuan-kepalsuan semakin tebal menghiasi kehidupan kita. Tangis kita, tawa kita, kebanyakan merupakan perbuatan yang palsu dan pura-pura untuk menutupi atau menyembunyikan keadaan yang sesungguhnya dari batin kita.

Dengan dalih demi sopan santun, demi tata susila dan sebagainya, banyak hati yang sedang berduka memaksa mulut untuk tersenyum atau sebaliknya batin yang tidak sedang perihatin memaksa mata untuk menangis.

Bahkan setiap hari kita selalu seperti terpaksa untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, bersikap atau berbuat yang berlawanan dengan batin! Tidak adanya persamaan atau keserasian antara batin dan ucapan, antara batin, ucapan dan perbuatan, merupakan konflik-konflik yang setiap hari terjadi dalam diri kita.

Kesemuanya itu bahkan seperti sudah menjadi suatu keharusan, suatu kebiasaan bagi kita. Dapat kita selidiki pada diri sendiri. Kalau kita berhadapan dengan orang lain, kalau kita bersikap manis, tersenyum, menangis. Benarkah semua itu sesuai dengan suara hati kita? Ataukah hanya pura-pura saja, sekedar memenuhi syarat umum agar dianggap sopan, beradab dan sebagainya? Mengapa begini? Tidak dapatkah kita bersikap wajar dan selalu ada keserasian antara batin, ucapan dan perbuatan?

**** 067 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: