*

*

Ads

Selasa, 20 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 066

Hui Song diam-diam merasa terkejut. Begini tekeburkah kakek ini? Dia tahu akan kemampuan diri sendiri dan diapun sudah tahu betapa tinggi ilmu gadis puteri Pendekar Sadis itu. Menandingi mereka satu lawan satu saja jarang dapat ditemukan orangnya, dan kakek ini menantang mereka berdua maju mengeroyok dan bertaruh dapat mengalahkan mereka dalam waktu dua puluh jurus! Tentu saja hatinya merasa penasaran karena dia merasa dipandang rendah.

"Baik, locianpwe, kami setuju. Akan tetapi bagaimana kalau... kalau kami yang kalah dalam dua puluh jurus itu?"

"Ha-ha-ha, orang muda yang berhati-hati, tentu engkau sudah menyangka buruk lagi kepadaku, ya? Dengarlah, kalau aku kalah, aku menyebut kalian suhu dan subo, akan tetapi kalau sebelum dua puluh jurus kalian yang kalah, kalian harus membantuku menolong pengantin ini."

"Menolong dengan cara bagaimana?" tanya Sui Cin.

"Kita harus menggagalkan pernikahan itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu agar kapok. Akan tetapi, kalian harus menurut semua rencana siasat yang kuatur dan sama sekali tidak boleh menolak."

Tentu saja Sui Cin dan Hui Song menyetujui karena apa salahnya kalau hanya itu taruhannya? Tanpa bertaruh sekalipun, mereka berdua bukankah sekarang juga sudah berusaha menolong pengantin wanita yang tadinya mereka cari karena menyangka diculik penjahat?

"Baik, baik, kami berjanji," kata mereka dengan gembira.

"Nah, bersiaplah. Jurus pertama!" kakek itu berseru dan tubuhnya bergerak secara aneh, tahu-tahu dalam satu jurus saja dia sudah menendang ke arah lutut Hui Song dan tangan kirinya menyambar ke arah pundak Sui Cin.

Gerakannya selain aneh dan kuat, juga cepat sekali, mendatangkan angin bersuitan mengejutkan dua orang muda yang cepat menghindarkan diri.

Hui Song adalah seorang pemuda cerdik. Dia maklum bahwa kakek ini memang lihai bukan main, akan tetapi kalau dalam waktu dua puluh jurus saja, mana mungkin mengalahkan dia dan Sui Cin, apalagi kalau mereka berdua mengerahkan seluruh daya untuk melindungi diri? Kalau mereka membagi perhatian untuk menyerang, mungkin mereka akan terlengah dan dapat dikalahkan.

"Cin-moi, pergunakanlah daya tahan Thai-kek Sin-kun!"

Gadis itupun cerdik dan ia mengerti apa yang dimaksudkan Hui Song, maka seperti juga pemuda itu, ia segera mainkan Thai-kek Sin-kun, mencurahkan segala perhatian untuk mempertahankan atau melindungi dirinya. Keadaan kedua orang muda itu tiada ubahnya dua buah benteng baja yang amat kuat dan tidak ada bagian lemah yang akan dapat ditembus!

Kakek itu sejenak terbelalak, kemudian mengeluarkan seruan keras dan sampai beberapa jurus lamanya dia berusaha mendobrak benteng pertahanan itu dengan berbagai macam serangan yang aneh-aneh. Namun semua serangannya kandas dan tidak mampu membobolkan benteng-benteng pertahanan dari Ilmu Silat Thai-kek Sin-kun itu.

"Wah, hebat, hebat... Thai-kek Sin-kun yang hebat sekali...!"

Berkali-kali kakek itu berseru dengan suara mengeluh ketika kemanapun juga dia menyerang, dia selalu gagal karena yang diserang itu pasti bisa mengelak atau menangkis. Padahal, dia sudah menyerang selama dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi! Dia termangu-mangu sejenak dan Sui Cin mengejek.

"Hi-hik, kakek lucu, bersiap-siaplah menyebut subo kepadaku. Sudah dua belas jurus, tinggal delapan jurus lagi, jangan mengurangi hitungan!"

"Heh-heh-heh, siapa mengurangi hitungan? Masih ada delapan jurus, cukup untuk mengalahkan kalian!"

Tanpa menanti jawaban, tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara melengking nyaring. Dua orang muda itu terkejut karena suara melengking itu mengandung khi-kang yang amat kuat, yang masuk dengan tajam menusuk jantung melalui telinga.

Cepat mereka memasang kuda-kuda dan mengerahkan sin-kang melindungi tubuh bagian dalam dari serangan suara penuh khi-kang ini. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh kakek itu melesat dan lenyap, yang nampak kini hanya bayangan berkelebatan mengitari mereka, makin lama makin cepat sehingga tidak lagi nampak jelas bayangannya, menjadi kabur!

Inilah berbahaya, pikir mereka. Tanpa dapat mengikuti gerak-gerik kakek itu yang ternyata mempergunakan gin-kang yang sukar dipercaya kalau tidak melihat sendiri, begitu cepat seperti terbang, bahkan seperti menghilang saja, mereka takkan percaya ada gin-kang sehebat itu. Maka, merekapun bersikap waspada, tidak berani berkedip karena sekali berkedip cukuplah bagi kakek itu untuk memasukkan serangannya dengan tepat.






Benar saja, dua kali kakek itu menerjang sambil berputar, akan tetapi karena dua orang muda itu sudah bersiap-siap dengan kuda-kuda yanig amat kuat, mereka berdua mampu menangkis. Kakek itu agaknya merasa penasaran dan menyerang lagi sampai empat jurus, akan tetapi semua serangannnya gagal.

"Hi-hik, tinggal dua jurus lagi dan engkau menyebutku subo!" Sui Cin tak dapat menahan kegembiraan hatinya mengejek.

Tiba-tiba bayangan yang berputaran itu mengeluarkan uap putih dan terciumlah bau arak wangi. Kiranya kakek itu sambil berputar semakin cepat telah menyerang dengan menggunakan semburan arak yang agaknya diminumnya sambil berlari berputar-putar itu.

Sui Cin dan Hui Song terkejut. Sambaran arak itu mengenai kulit mereka seperti jarum-jarum halus saja, dan yang membuat mereka repot adalah semburan yang mengarah muka mereka! Tentu saja mereka gelagapan dan melindungi muka, akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja mereka merasakan lutut mereka lemas kehilangan tenaga dan betapapun mereka bertahan, tetap saja kaki mereka tertekuk dan keduanya roboh berlutut!

"Hoa-ha-ha-ha, tepat dua puluh jurus dan kalian mengaku kalah. Akan tetapi tak perlu berlutut, jangan sungkan-sungkan, aku tidak bisa menerima penghormatan berlebihan ini, ha-ha-ha!"

Sui Cin dan Hui Song saling berpandangan. Lutut mereka tadi tertotok, akan tetapi tidak parah, hanya cukup membuat mereka terpaksa berlutut saja. Kini pengaruh totokan sudah lenyap lagi dan mereka bangkit berdiri. Tahulah mereka bahwa kakek itu selain amat lihai juga tidak berniat buruk, hanya ingin menang tanpa berniat mencelakakan mereka. Akan tetapi Sui Cin cemberut.

"Kakek buruk, engkau telah menang dengan menggunakan akal busuk!"

"Ha-ha-ha, anak manis, akal dan siasat memang diperlukan dalam pertandingan. Siapa kalah kuat harus menggunakan akal. Nah, kalian sudah kalah dan sekarang kalian harus membantuku. Waktunya hanya tinggal setengah hari. Sore hari nanti pengantin wanita she Coa ini akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang, ke rumah calon suaminya, si bangsawan keparat itu. Siapakah nama kalian?"

"Saya bernama Cia Hui Song, locian-pwe."

"Namaku Ceng Sui Cin."

"Hemm, she Cia mengingatkan aku kepada Cin-ling-pai dan she Ceng...? Apakah bocah nakal yang dijuluki Pendekar Sadis itu juga she Ceng?"

Karena maklum bahwa kakek ini tentu seorang tokoh sakti yang selama ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah mendengar tentang kakek katai ini, Hui Song merasa tidak perlu menyembunyikan diri.

"Pendekar Sadis adalah ayah kandung nona ini dan ketua Cin-ling-pai adalah ayah saya, locianpwe."

Kakek itu membelalakkan matanya, mengelus jenggot panjangnya dan terta-watawa.
"Hua-ha-ha-ha, pantas, pantas...! Sekarang aku tidak penasaran lagi mengapa mengalahkan dua orang bocah ingusan macam kalian saja aku harus mengerahkan seluruh tenaga sampai dua puluh jurus, kalau bukan kalian, ha-ha, baru muncul saja aku sudah jatuh nama. Nah, Sui Cin dan Hui Song, kini dengar baik-baik rencanaku untuk menolong gadis itu dan menghajar pembesar mata keranjang itu. Sui Cin, sekarang engkau harus mengantar gadis Coa itu pulang ke rumahnya karena disana sudah dipersiapkan untuk sore nanti mengantar pengantin wanita ke Sin-yang."

"Eh, bagaimana ini? Bukankah gadis itu akan dipaksa kawin dan engkau hendak mencegah terjadinya hal itu, kek?" tanya Sui Cin yang tetap menyebut kakek dan tidak bersikap hormat seperti Hui Song.

"Ingat, kalian sudah kalah dan berjanji akan mentaati semua perintahku untuk menolong pengantin."

"Baiklah, kek, aku tidak membantah, hanya bertanya," kata Sui Cin bersungut-sungut.

Kakek itu tertawa, gembira agaknya dapat menggoda Sui Cin.
"Engkau mengantar gadis Coa itu kembali karena engkau tadi berjanji untuk mencarinya. Katakan saja kepada keluarga itu bahwa gadisnya diculik penjahat dan engkau berhasil merampasnya kembali, dan katakan bahwa engkau akan mengawal sendiri puteri menuju ke Sin-yang agar jangan diganggu penjahat di tengah perjalanan. Mengerti?"

"Wah, kakek buruk, agaknya engkau hendak mengejekku, ya? Sudah jelas bahwa aku gagal merampas kembali pengantin yang kau culik!" Sui Cin mengomel.

"Dan apakah tugas saya, locianpwe?" tanya Hui Song yang terbawa oleh percakapan itu. "Cin-moi, sudahlah kita mentaati saja karena sudah kalah. Pula, kita tahu bahwa locianpwe ini bukan orang jahat, andaikata demikian, tentu kita tidak akan menurut begitu saja."

"Heh-heh, putera Cin-ling-pai ini sukar mempercaya orang, dan selalu menyangka buruk. Untukmu aku sudah mempunyai tugas yang amat tepat. Engkau akan kudandani, ingat, engkau harus taat kepadaku. He, orang muda, kau bawa kesini pakaian pengantin itu!" kata kakek itu kepada Lo Seng.

Lo Seng mengambil sebuah bungkusan di sudut guha dan menyerahkannya kepada si kakek yang segera membuka bungkusan dan keluarlah seperangkat pakaian pegantin berikut penghias rambut dan sebagainya, milik nona pengantin Coa yang lenyap dicuri orang itu! Melihat ini, Hut Song terbelalak dan mukanya berubah merah.

"Locianpwe, apa maksudmu?"

Akan tetapi kakek itu sudah menghampirinya, membentang pakaian pengantin wanita yang lebar dan berwarna indah dengan hiasan huruf-huruf yang berbunyi "Bahagia" itu.

"Engkau harus mentaati perintahku, menjalankan siasatku. Lekas pakai pakaian ini. Engkau harus menyamar pengantin wanita, menggantikannya kelak untuk diboyong ke rumah pejabat itu."

"Wah...! Ini... ini..." Hui Song tergagap dan bingung.

"Hi-hik! Twako, kita sudah kalah dan berjanji mentaatinya. Engkau juga harus mentaati perintahnya."

Sui Cin tertawa-tawa gembira dan geli ketika kakek itu memaksa Hui Song memakai jubah pengantin diluar pakaiannya sendiri. Karena pakaian pengantin itu memang besar kedodoran dan tubuhnyapun sedang saja, maka pakaian itu dapat juga menutupi tubuhnya dan tentu saja kelihatan lucu. Apalagi setelah kakek itu memaksanya memakai rangkaian bunga di kepalanya. Sui Cin melihat ini sambil tertawa-tawa geli, sampai memegangi perutnya saking gelinya. Apalagi melihat betapa Hui Song menjadi bengong dan melongo saja dengan muka yang ketololan, ia menjadi semakin geli.

"Wajahmu cukup tampan, akan tetapi kurang halus untuk menjadi wajah pengantin wanita yang halus putih," kakek itu berkata, mengeluarkan bedak dan menggunakan jari tangannya mengoleskan bedak di muka Hui Song yang terpaksa berdiri tak bergerak dan mendorong muka ke depan, pasrah tanpa berani membantah. Sui Cin yang berdiri di belakangnya, tertawa gembira.

"Wah, sulit amat. Membungkuklah, Hui Song, wah, alismu terlalu tebal, harus dicukur bersih dan dibikin kecil," kakek itu tertawa-tawa.

"Wah, jangan, locianpwe...!" Hui Song berkata khawatir.

Melihat ini, Sui Cin lalu turun tangan.
"Kakek nakal, biarkan aku yang mendandani Song-twako, tanggung akan kelihatan lebih cantik menarik daripada kalau engkau yang merusak mukanya."

Sui Cin memang ahli dalam melakukan penyamaran dan setelah ia turun tangan, maka Wajah Hui Song memang kelihatan cantik, walaupun tentu saja ails-nya masih terlalu tebal dan juga tubuhnya kaku.

Kakek itu lalu memberitahukan siasatnya. Gadis Coa akan diantar pulang oleh Sui Cin dan selanjutnya mereka akan bergerak menukar pengantin dan memberi hajaran kepada pembesar itu dan pemuda Lo Seng diharuskan menanti di dalam guha.

Berangkatlah mereka. Sui Cin mengantar gadis Coa pulang ke dusunnya. Karena sudah diberi tahu bahwa para orang gagah itu akan menolongnya dan akan melepaskannya dari cengkeraman pembesar di Sin-yang agar ia dapat hidup bersama Lo Seng, Coa Lan Kim tidak merasa takut ketika dibawa pulang ke dusun oleh Sui Cin.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: