*

*

Ads

Senin, 19 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 065

Kini Hui Song sudah dapat menduga bahwa kakek ini tentulah memiliki kepandaian tinggi, maka dia bersikap hormat dan menjura.

"Maaf kalau kami menggangumu, locianpwe. Kami berdua bukanlah pendekar, akan tetapi dugaan lo-cianpwe benar bahwa kami sedang mencari pengantin wanita yang lenyap diculik orang. Dapatkah kiranya locianpwe membantu kami..."

"Membantu apa?" kakek itu memotong.

"Hi-hik, engkau ini aneh, kek. Tentu saja membantu kami memberi tahu apakah engkau tahu dimana adanya pengantin wanita yang diculik itu," kata Sui Cin, tidak mau bersikap terlalu hormat dan menyebut locianpwe kepada kakek lucu ini.

Anehnya, menghadapi sikap Sui Cin yang bebas dan seenaknya itu, si kakek katai kelihatan lebih senang dan diapun tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha! Nona manis, engkau sungguh menyenangkan hati. Tentu saja aku tahu dimana adanya pengantip wanita itu karena akulah orangnya yang telah menculiknya!"

"Uhh...! Heiiiittt...!"

Hui Song demikian kaget mendengar pengakuan langsung seperti itu dan diapun sudah meloncat ke belakang sambil memasang kuda-kuda karena ketika bicara tadi si kakek botak mengakhiri pengakuannya sambil menggerakkan kedua tangan ke depan yang disangkanya sebagai gerakan hendak menyerang.

Melihat ini, kakek itu memandang kepada Hui Song dengan mata terbelalak, lalu dia tertawa bergelak sambil menepuk-nepuk perut.

"Hua-ha-ha, orang muda, apakah engkau hendak menari monyet? Ha-ha-ha!"

Wajah Hui Song menjadi merah karena malu. Dia sendiri adalah seorang pemuda jenaka dan periang, suka menggoda orang, akan tetapi sekali ini dia bertemu batunya dan sebaliknya malah digoda dan menjadi bahan ejekan orang.

Akan tetapi Sui Cin yang sejak semula sudah merasa suka dan menganggap kakek itu lucu, segera mencela.

"Wah, siapa percaya omonganmu, kek? Engkau tentu hanya membual saja. Mana bisa orang tua renta lemah sepertimu ini mampu melarikan seorang gadis pengantin? Dan pula, untuk apa bagimu? Engkau membual dan aku tidak percaya kentut itu!"

Kakek itu bangkit berdiri dan melihat betapa kakek itu tingginya hanya sampai ke dadanya, Sui Cin merasa semakin geli.

"Wah, kau ini anak kecil beruban ataukah kakek bertubuh kecil?" Ia menggoda.

"Kentut! Siapa yang kentut? Yang bertelur itulah yang berkotek, dan tentu engkau yang kentut, bukan aku, karena mana mungkin aku menjadi ayam biang? Aku jantan, dan engkau betina, maka engkaulah yang menjadi ayam biang dan engkau yang kentut berbau busuk!"

Mendengar omongan yang tidak karuan dan ugal-ugalan itu, Sui Cin terkekeh dan terpingkal-pingkal, membuat kakek itu semakin penasaran lagi.

"Eh, nona, berani engkau mentertawakan aku dan mengira aku membual, ya? Nah, lihat sendiri itulah mempelai wanita yang kuculik dari rumah lurah Coa. Hei, anak-anak, keluarlah dan perlihatkan diri kalian kepada nona tukang kentut dan penari monyet ini!"

Sui Cin dan Hui Song memandang ke dalam guha dan mereka terbelalak heran ketika melihat munculnya seorang gadis manis yang bergandeng tangan dengan seorang pemuda yang bajunya robek-robek dan kulit tubuhnya juga memperlihatkan bekas-bekas cambukan.

Sui Cin yang tadinya mengira kakek itu membual, kini memandang penuh perhatian. Inikah mempelai wanita yang dikabarkan hilang diculik orang itu? Dan kakek ini penculiknya? Lalu siapa pemuda yang kelihatan jujur, seperti kebanyakan pemuda dusun atau petani itu?

"Eh, enci, benarkah engkau puteri lurah Coa, yang akan menjadi pergantin lalu diculik kakek ini? Dan siapa temanmu itu?" Sui Cin bertanya.

Gadis itu memang benar Lan Kim adanya, dan pemuda itu adalah kekasihnya yang bernama Lo Sang. Mendengar pertanyaan Sui Cin, ia mengangguk.

"Aku adalah Coa Lan Kim, puteri lurah Coa yang akan menjadi pengantin, dan memang aku diculik oleh locianpwe ini dan dia ini adalah Lo Seng, calon suamiku," katanya dengan tabah dan sikap menentang.






Memang kini ia akan menentang siapa saja yang hendak menghalangi niatnya hidup bersama Lo Seng yang dicintainya.

"Suamimu? Calon suamimu? Bagaimana pula ini? Kalau engkau mau dikawinkan dengan pemuda ini, kenapa engkau diculik kesini dan bersama calon suamimu..." Sui Cin berkata bingung.

"Aku bukan akan dikawinkan dengan dia!" Lan Kim berkata. "Aku hendak dikawinkan menjadi isteri kelima seorang pembesar di Sin-yang, dan aku tidak mau. Dia ini... pilihan hatiku dan aku ingin hidup bersama dia..."

"Ah, jadi engkau penculiknya!" Hui Song menudingkan telunjuknya kepada Lo Seng, "Engkau menculik pengantin untuk kau kawini sendiri? Sungguh berani dan..."

"Hushh, penari monyet ini benar-benar menjengkelkan!" Kakek katai ikut bicara. "Dengarkan dulu penuturan pengantin wanita dan jangan cerewet dulu seperti perempuan!"

"Wah, kek, jangan gitu! Tidak semua perempuan cerewet!" Sui Cin menegur, agak tak senang karena Hui Song dipermainkan.

"Aku tidak perduli kalau perempuan cerewet, memang sudah pembawaannya. Akan tetapi kalau laki-laki cerewet, aku tidak suka."

Lan Kim mengerti bahwa dua orang muda yang kelihatannya pantas itu tentu bukan orang jahat dan agaknya terjadi kesalah-pahaman tentang penculikannya, maka iapun sambil menggandeng tangan kekasihnya, maju melangkah lagi.

"Harap ji-wi suka mendengarkan penuturanku agar jangan salah sangka. Sejak dahulu antara aku dan Lo Seng ini terjalin hubungan akrab dan kami mengharapkan kelak menjadi suami isteri. Apalagi orang tuaku juga sudah setuju mengambil Lo Seng sebagai mantu, setelah Lo Seng membantu mengurus sawah ladang ayah selama beberapa tahun. Akan tetapi pada suatu hari datanglah pinangan pembesar di kota Sin-yang terhadap diriku. Ayah tidak berani menolak, bahkan merasa beruntung menerimanya. Dan Lo Seng yang menentang lalu dipecat, bahkan dicambuki. Nah, dalam keadaan seperti itu, selagi aku putus asa, muncul locianpwe ini membawa aku lari dari rumah dan mempertemukan aku dengan kekasihku di guha ini."

Kini terdengar Lo Seng bercerita.
"Aku sudah hampir putus asa dan mengambil keputusan membunuh diri saja daripada melihat kekasihku menikah dengan orang lain dan aku sendiri kehilangan pekerjaan dan dimusuhi. Tapi muncul lo-cianpwe ini menyelamatkan aku dan ketika aku bercerita tentang keadaanku, locianpwe ini membawaku kesini, menyuruh aku menunggu didalam guha ini dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa Lan Kim. Kini kami berdua sepakat untuk hidup bersama atau mati berdua. Harap ji-wi dapat mengerti keadaan kami dan tidak memaksa kami untuk kembali."

Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan hati mereka merasa terharu. Kiranya kakek katai itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan seorang penolong budiman.

"Aah, kiranya engkau benar-benar seorang yang baik, kakek tua," kata Sui Cin gembira dan Hui Song menjura.

"Harap locianpwe maafkan kalau kami menyangka buruk."

"Heh-heh, orang-orang muda baru mempunyai kepandaian sedikit saja sudah tekebur dan ingin berlagak pendekar-pendekar jagoan. Orang-orang muda, andaikata aku benar-benar menculik gadis itu untukku sendiri, dengan niat busuk, habis apa yang hendak kalian lakukan?"

"Tentu saya akan menentangnya!" kata Hui Song.

"Kau akan kugempur dan gadis itu kurampas untuk kukembalikan kepada orang tuanya, kek," sambung Sui Cin.

"Bagus, nah, kalau begitu kalian majulah, hendak kulihat sampai dimana kelihaian kalian."

"Tapi, locianpwe tidak berniat buruk dan tidak bersalah...!" Hui Song membantah.

"Hemm, andaikata aku penjahat, apakah engkau juga masih ragu-ragu. Nah, majulah dan anggap saja aku pencuilk gadis. Ingin kulihat sampai dimana kelihaian kalian. Atau, aku sebagai penjahat medahului kalian karena tidak ingin diganggu!"

Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja kakek itu sudah maju dan ketika tangannya bergerak, tangan itu sudah menampar ke arah dada Hui Song.

"Eeiiitt...!"

Hui Song mengelak dengan mundur selangkah, akan tetapi tamparan yang luput itu sudah disambung dengan totokan ke arah pundak. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengejutkan hati Hui Song yang kini menggunakan tangan menangkis totokan.

"Dukk!"

Tubuh Hui Song terhuyung ke belakang. Pemuda ini terkejut bukan main karena tadi ia hanya mempergunakan sebagian sin-kangnya, khawatir akan melukai kakek tua renta itu, akan tetapi akibatnya, dia terhuyung dan lengannya tergetar hebat. Kiranya kakek ini memiliki sin-kang yang hebat.

Akan tetapi, sambil terkekeh-kekeh kakek itu sudah menyerangnya lagi dan gerakannya cepat bukan main. Tubuh yang kecil itu berkelebat seperti terbang saja dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram ke arah pundak Hui Song.

"Lihat seranganku!"

Tiba-tiba terdengar Sui Cin membentak dari samping dan ia sudah menggerakkan tangan kirinya menotok ke arah iga bawah ketiak dari lengan kakek yang mencengkeram itu. Totokan ini hebat dan cepat datangnya, membuat kakek itu terpaksa membatalkan cengkeramannya pada pundak Hui Song, lalu menekuk lengan untuk menangkis sekalian menangkap pergelangan tangan gadis itu.

Namun Sui Cin sudah menarik pulang tangan kirinya dan kini tangan kanannya menampar dan dari telapak tangan itu keluarlah uap putih tipis. Itulah Pek-in-ciang (Tangan Awan Putih), sebuah ilmu pukulan yang amat ampuh, satu diantara ilmu-ilmu ampuh yang diajarkan Pendekar Sadis kepada puteri tunggalnya itu.

"Ehh...!"

Kakek itu terkejut sekali menyaksikan ilmu pukulan yang hebat ini dan begitu dia berkelebat, Sui Cin yang menjadi bengong karena orang yang diserangnya itu tiba-tiba saja lenyap dan tahu-tahu sudah berada di belakang tubuhnya dan sambil terkekeh kakek itu kini menotok ke arah tengkuknya.

Sui Cin merasa adanya angin menyambar ini, maka iapun mempergunakan gin-kangnya dan tubuhnya mencelat ke depan untuk mengelak. Akan tetapi pada saat itu, Hui Song yang sudah tahu betapa lihainya kakek itu, sudah menerjang ke depan pada saat Sui Cin diserang sehingga andaikata Sui Cin tidak mempergunakan kecepatan gerakannya mengelak sekalipun, serangan kakek itu akan dapat digagalkannya karena kini Hui Song juga tidak sungkan-sungkan lagi. Begitu menyerang, pemuda ini telah mempergunakan jurus Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan tenaga sakti Thian-te Sin-kang!

Kembali kakek itu terkejut. Diapun agaknya tidak mengira bahwa dua orang muda itu sungguh merupakan dua orang muda yang berilmu tinggi, dua orang pendekar muda tulen! Apalagi ketika dia melihat betapa ilmu-ilmu yang dipergunakan dua orang muda ini bukanlah ilmu-ilmu silat biasa saja, melainkan ilmu-ilmu yang amat tinggi mutunya.

"Nantl dulu, tahan dulu...!"

Tiba-tiba kakek itu berhenti dan tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke belakang menjauhi dua orang muda itu.

"Kek, kami belum kalah kenapa berhenti?"

Sui Cin yang sudah merasa gembira dengan pertandingan itu, mencela. Bagaimanapun juga, gadis ini merasa benar dalam hatinya bahwa kakek itu bukan orang jahat dan pertandingan itu hanya merupakan pengujian kepandaian saja. Ia bahkan merasa suka kepada kakek itu yang memiliki wajah jenaka dan gembira.

"Heh-heh-heh, akupun belum kalah. Aku hanya minta berhenti sebentar untuk bicara. Agaknya kalian berdua memiliki sedikit ilmu silat, pantas saja kalian begitu tekebur hendak berperan sebagai pendekar-pendekar. Sekarang begini. Kalian melawan aku, dan kalau dalam waktu dua puluh jurus aku masih belum dapat mengalahkan kalian, anggap saja aku kalah dan aku akan menyebut kalian suhu dan subo!"

Sui Cin tertawa geli.
"Wah, kalau engkau menyebut subo kepadaku, berarti usiaku tentu sudah seratus tahun lebih. Tapi itu merupakan penghormatan besar. Baik, aku setuju!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: