*

*

Ads

Senin, 19 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 064

Dusun Lok-cun di luar kota Sin-yang di tepi Sungai Huai pada pagi hari itu nampak ramai dan gembira. Para penghuni dusun yang tidak berapa besar itu nampak merayakan sesuatu dan nampak sibuk sejak pagi tadi.

Memang, pada hari itu mereka semua merayakan pernikahan anak perempuan dari kepala dusun mereka. Seperti di dusun-dusun lainnya pada jaman itu, seorang kepala dusun merupakan seorang raja kecil yang amat dihormati oleh para penghuni dusun yang merupakan rakyatnya. Maka, ketika kepala dusun Coa dari dusun Lok-cun itu merayakan pernikahan puterinya, seluruh penghuni dusun itu sibuk merayakannya.

Lurah Coa hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan yang kini sedang dirayakan hari pernikahannya. Seluruh keluarga Coa nampak gembira ria. Mereka merasa terhormat sekali karena puteri lurah itu akan menikah dengan jaksa di kota Sin-yang!

Walaupun jaksa itu usianya sudah hampir enam puluh tahun dan gadis itu menjadi isteri ke lima, akan tetapi semua orang tahu bahwa jaksa itu memiliki kekuasaan yang amat besar di kota Sin-yang, bahkan mempunyai pengaruh dan kawan-kawan di kota raja. Maka, kalau gadis itu menjadi isterinya, walaupun isteri kelima, bukan hanya gadis itu akan terjamin hidupnya dan menjadi nyonya jaksa yang terhormat, akan tetapi juga kepala dusun itu akan naik derajatnya dan mungkin akan mudah naik pangkat!

Akan tetapi, kalau semua orang bergembira, sebaliknya Coa Lan Kim, gadis puteri kepala dusun itu sendiri, sejak beberapa hari yang lalu menangis saja di dalam kamarnya. Gadis ini selalu membayangkan seorang pemuda sederhana yang selama ini menjadi kekasihnya, seorang pemuda petani yang dahulu menjadi pembantu ayahnya, mengurus sawah ladang ayahnya.

Pemuda ini bahkan sudah disetujui oleh keluarga lurah Coa sendiri untuk menjadi calon mantu karena memang pemuda itu cukup tampan, rajin bekerja dan berbadan sehat. Akan tetapi, begitu datang lamaran dari jaksa itu, si pemuda dilupakan, bahkan didepak keluar oleh lurah Coa.

Betapa hati Lan Kim tidak akan berduka kalau ia memikirkan nasibnya dan nasib kekasihnya yang bernama Lo Seng itu? Ia dipaksa untuk menjadi isteri orang lain, padahal sejak dahulu ia sudah membayangkan kehidupan yang berbahagia bersama pemuda itu.

Kini ia harus menurut untuk dibawa pergi dari rumahnya, tidak akan dapat bertemu kembali dengan Lo Seng dan yang membuat ia amat berduka adalah karena ia mendengar bahwa selain dipecat, juga Lo Seng dipukuli karena hendak menentang pernikahannya dengan jaksa itu. Dan ia tidak tahu lagi apa yang terjadi dengan kekasihnya itu.

Pagi hari itu, selagi semua penghuni dusun sibuk membantu keluarga lurah Coa, Lan Kim menangis dalam kamarnya, tidak mendengarkan bujukan-bujukan dan hiburan-hiburan ibunya dan beberapa orang wanita yang bertugas menemaninya.

"Sudahlah, Lan Kim. Mengapa menangis terus? Nasibmu baik sekali, engkau akan meniadi nyonya jaksa yang dihormati orang banyak, bergelimang kemewahan, kenapa menangis? Nanti matamu akan bengkak-bengkak dan memalukan kalau pengantin matanya bengkak-bengkak. Pula, sebentar lagi engkau mulai dirias dengan pakaian pengantin dan nanti menjelang sore engkau akan dijemput dan dibawa ke Sin-yang," demikian antara lain ibunya membujuk.

"Ibu, aku tidak suka... aku tidak mau..."

"Ahhhh... engkau memang keras kepala, Lan Kim! Apakah engkau ingin ayahmu marah? Aku tahu, engkau menolak hanya karena disana ada Lo Sang, bukan?"

"Ibu... bagaimana dengan dia? Ibu, kasihan dia..."

"Hemm, sikapmu ini sama sekali tidak menolongnya. Bahkan akan mencelakakan Lo Seng karena engkau tetap bersikap keras seperti ini. Kau tahu, kalau ayahmu mengetahui bahwa engkau menolak karena Lo Seng, banyak kemungkinan Lo Seng akan dijebloskan penjara atau dibunuh!"

“Ibu...!"

"Karena itu, engkau menurut saja. Dan kalau engkau sudah menjadi isteri jaksa, aku akan membujuk ayahmu agar Lo Seng dipekerjakan lagi. Bukankah dengan demikian berarti engkau menolong dan menyelamatkannya?"

Demikianlah sang ibu membujuk puterinya yang kini hanya terisak perlahan.
"Ambil pakaian pengantin itu, akan kucobakan dahulu, kalau ada yang kurang pas masih ada waktu untuk dibetulkan," kata nyonya Coa.

Akan tetapi, terdengar jeritan kaget dan tukang rias itu kini datang membawa sebuah peti dengan mata terbelalak dan muka pucat.






"Nyonya... celaka... pakaiannya hilang...!"

Wanita itu terkejut bukan main dan bangkit sambil membelalakkan matanya.
"Apa? Hilang bagaimana maksudmu?"

"Hilang, nyonya. Peti tempat pakaian pengantin ini kosong!"

Keadaan menjadi geger. Ketika lurah Coa diberi tahu, dia marah-marah dan mengerahkan semua orangnya untuk mencari siapa pencuri pakaian pengantin. Akan tetapi, isterinya lebih cerdik dan cepat-cepat memanggil tukang jahit untuk secara kilat membuatkan pakaian pengantin baru, walaupun pakaian yang dibuat tergesa-gesa ini tentu saja tidak seindah pakaian pengantin yang hilang.

Ketika keadaan menjadi kacau dan tak seorangpun memperhatikan pengantin wanita, tiba-tiba terjadi keributan lain yang lebih menggegerkan lagi. Tiba-tiba saja, seperti juga hilangnya pakaian pengantin tadi, Coa Lan Kim juga lenyap begitu saja dari dalam kamarnya!

Tidak ada seorangpun yang melihat bagaimana lenyapnya, juga tidak ada yang mendengar sesuatu. Tentu saja kini keadaan menjadi benar-benar kalut. Lurah Coa semakin marah dan seluruh pasukan keamanan dikerahkan, bahkan semua penduduk menjadi ikut gelisah dan ikut mencari-cari kemana perginya pengantin wanita.

Kegembiraan yang berganti dengan kegelisahan dan kekacauan itu amat menarik perhatian Sui Cin dan Hui Song yang kebetulan sekali pada pagi hari itu tiba disitu, memasuki dusun Lok-cun dalam perjalanan mereka menuju ke barat, ke Pegunungan Cin-ling-san.

Tentu saja hati mereka tertarik melihat betapa penduduk nampak begitu gelisah ketakutan, orang-orang mencari-cari sesuatu kesana-sini sedangkan rumah kepala dusun terhias indah, akan tetapi kini orang-orang tidak ada lagi yang melanjutkan pekerjaan merias rumah yang belum selesai sepenuhnya itu. Juga adanya para penjaga berkeliaran dengan sikap cemas itu menarik sekali. Rasa heran mereka bertambah ketika tiba-tiba saja ada belasan orang penjaga keamanan mengepung mereka dengan senjata tajam di tangan.

"Hemm, kalian ini mau apakah mengepung kami?" Sui Cin bertanya dengan alis berkerut.

"Kalian adalah orang-orang asing yang baru memasuki dusun kami. Menyerahlah. Karena kami yakin bahwa kalian yang kami cari-cari. Siapa lagi yang mengacau dusun kami kecuali dua orang asing?" bentak seorang yang bermata lebar dan bersikap bengis.

"Sabar dulu, sobat," kata Hui Song, mencoba untuk tersenyum ramah. "Apa yang terjadi dan mengapa kalian menuduh kami secara membabi-buta? Kami tidak tahu apa-apa. Kami baru saja tiba disini dan melihat kekacauan ini, malah kami bertanya-tanya mengapa kalian begini gelisah dan apa yang terjadi...?"

"Cukup! Ikut kami menghadap kepala dusun, tak perlu membela diri di sini!" bentak si muka bengis dan dia sudah maju untuk menangkap lengan Sui Cin.

Akan tetapi gadis itu menarik tangannya dan sekali kakinya bergerak, ujung sepatunya mencium lutut si mata lebar dan orang ini mengaduh dan jatuh berlutut.

"Nah, bagus! Minta ampun dahulu baru kita bicara," Sui Cin mengejek.

Melihat betapa seorang kawan mereka roboh oleh gadis itu, kecurigaan mereka semakin kuat bahwa dua orang muda mudi inilah tentu yang telah mengacaukan dusun mereka. Maka serentak mereka maju menerjang dengan senjata mereka.

Hui Song dapat menduga bahwa tentu terjadi sesuatu dan orang-orang dusun ini salah duga. Kalau dilanjutkan sikap Sui Cin, tentu mereka akan semakin curiga lagi. Maka diapun cepat merggunakan kepandaiannya, menyambut serangan itu dengan merampas semua golok dan pedang.

Gerakannya memang cepat bukan main karena dia menggunakan jurus Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Menyerbu Ratusan Golok) sehingga para pengeroyok itu tidak tahu apa yang terjadi karena tiba-tiba saja senjata mereka terlepas dan terampas. Kiranya pemuda itu sudah merampas semua senjata mereka dan kini golok dan pedang itu telah ditumpuk di depan kaki si pemuda tampan.

"Tenanglah saudara-saudara. Kami bukan orang jahat dan kalau ada urusan, beritahukanlah kami. Siapa tahu kami dapat membantu kalian," kata Hui Song.

Pada saat itu, lurah Coa sudah tiba disitu dan lurah inipun tadi melihat betapa dengan mudahnya pemuda tampan itu merampasi senjata orang-orangnya. Dia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pendekar, maka diapun cepat maju menjura.

"Harap taihiap sudi memaafkan orang-orang kami yang kurang ajar. Dusun kami sedang dilanda kekacauan karena munculnya iblis yang mencuri calon pengantin wanita..."

"Eh? Ada pengantin dicuri?" Sui Cin berseru kaget dan tertarik sekali.

"Pengantin itu adalah anak saya sendiri, baru saja lenyap tanpa bekas setelah lebih dahulu pakaian pengantin yang lenyap." Lurah Coa lalu menceritakan peristiwa yang baru saja terjadi.

Hui Song dan Sui Cin mendangarkan penuh perhatian.
"Kami akan mencoba untuk mencari penculiknya," kata Hui Song. "Mudah-mudahan kami dapat menemukan kembali puterimu itu."

Setelah mendangarkan penuturan itu, Hui Song dan Sui Cin mempergunakan kepandaian mereka berloncatan pergi meninggalkan dusun. Mereka mengambil keputusan untuk mencari penculik gadis itu dan tentu saja mereka tidak mengharapkan akan dapat menemukan penculik itu di dalam dusun. Mereka mencari keluar dusun, mengelilingi dusun itu dan akhirnya mereka mendaki sebuah bukit tak jauh dari dusun itu karena bukit itu penuh dengan hutan, tempat yang baik sekali bagi para penjahat untuk menyembunyikan diri.

Dengan cepat sekali mereka mendaki bukit dan tibalah mereka di daerah berbatu di luar hutan dan dari jauh mereka sudah melihat seorang kakek duduk bersila di depan sebuah guha yang besar.

Tentu saja mereka menjadi curiga dan tertarik sekali karena keadaan kakek itu sudah amat mengherankan hati. Seorang kakek tua renta yang kepalanya gundul tak ditumbuhi rambut lagi, alisnya amat lebat dan panjang, demikian pula jenggot dan kumisnya yang semua telah berwarna putih.

Sukar ditaksir berapa usia kakek ini, mungkin sudah seratus tahun. Akan tetapi tubuh kakek itu pendek kecil, seorang kakek katai yang pakaiannya juga aneh. Kakek katai jenggot panjang sampai ke perut ini memakai jubah yang mewah! Jubah yang sepatutnya dipakai seorang pembesar atau seorang hartawan!

Dan di punggungnya tergantung guci arak yang besar, sebesar kepalanya yang gundul, diikatkan dengan tali ke pundaknya. Sepatunya dari kulit, juga bagus dan baru.

Ketika Hui Song dan Sui Cin tiba di depan kakek itu, si kakek katai yang tadinya seperti orang bersamadhi itu kini membuka kedua matanya dan begitu sepasang mata itu dibuka, mau tidak mau Sui Cin menahan ketawanya. Dari sepasang matanya ini saja sudah dapat diketahui bahwa kakek ini adalah seorang aneh yang berwatak riang gembira, terbukti dari sepasang mata yang bersinar-sinar dan wajah yang berseri-seri lucu itu.

"Heh-heh-heh!" Kakek katai itu mendahului mereka, terkekeh geli. "Apakah kalian ini sepasang pendekar muda yang hendak mencari penculik pengantin wanita? Heh-heh!"

Tentu saja Hui Song dan Sui Cin terkejut, merasa ditodong ketika kakek itu mendadak saja bertanya seperti itu, Hui Song hanya dapat mengangguk dan Sui Cin melangkah maju dan dialah yang menjawab,

"Benar, kek. Engkau ini kakek pendek lucu bagaimana bisa tahu bahwa kami mencari penculik pengantin?"

Sejenak kakek itu memandang wajah Sui Cin, matanya semakin bersinar dan wajahnya semakin berseri

"Heh-heh, nona manis, apa sukarnya? Kalian berlari-lari mendaki bukit dengan mempergunakan ilmu berlari cepat seperti dua orang pendekar, berkeliaran ke sini mau apalagi kalau bukan mencari penculik pengantin? Heh-heh-heh."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: