*

*

Ads

Senin, 19 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 063

"Cin-moi...! Ah, betapa girang hatiku melihatmu!"

"Song-twako, engkau disini?" tanya Sui Cin ketika mendengar suara pemuda itu.

"Aku tidak pernah meninggalkan pantai ini sejak kita saling berpisah..."

"Eh? Engkau... tidak kembali ke penginapan?"

Pemuda itu membantunya menarik perahu ke darat dan mengikatkan tali pada tonggak. Wajahnya berseri dan nampaknya gembira bukan main dapat melihat kembali gadis itu.

"Tidak, Cin-moi. Aku... aku tidak berani meninggalkan pantai ini, takut kalau-kalau tidak melihat engkau kembali."

Sui Cin menahan tawanya.
"Ihh, engkau ini aneh sekali, twako. Seperti anak kecil. Masa aku tidak kembali? Bukankah aku sudah berjanji akan memberi kabar kepadamu?"

"Lalu bagaimana, Cin-moi? Bolehkah aku menyeberang? Apakah engkau datang ini untuk mengabarkan bahwa aku boleh menghadap orang tuamu?"

Wajah yang cantik manis itu berubah muram dan ia menggeleng kepala.

"Ah, orang tuamu... menolak kunjunganku?"

Sui Cin merasa rikuh dan serba salah. Ia adalah seorang gadis yang sejak kecil biasa bersikap terbuka, jujur. Akan tetapi kini ia merasa serba salah untuk mengaku bahwa ayah ibunya tidak suka kepada Cin-ling-pai, dan bukan hanya berkeberatan menerima putera ketua Cin-ling-pai datang berkunjung, bahkan tidak suka kalau ia bergaul dengan pemuda itu.

"Maafkan, twako. Pada waktu ini, ayah dan ibu tidak suka menerima tamu, jadi... lebih baik lain kali saja kalau engkau ingin berkenalan dengan mereka."

"Ah, sayang sekali..."

Pemuda itu kelihatan kecewa bukan main. Sesungguhnya, dia ingin sekali berkenalan dengan orang tua gadis ini, Pendekar Sadis yang sudah sejak kecil dia dengar namanya itu. Bukan hanya sekedar berkenalan biasa, akan tetapi dia sudah yakin akan cintanya terhadap Sui Cin dan pada suatu hari dia tentu akan datang bersama orang tuanya untuk meminang gadis itu. Alangkah baiknya kalau sebelumnya dia sudah berkenalan dengan orang tua Sui Cin.

Melihat betapa Hui Song nampak kecewa bukan main, Sui Cin merasa kasihan dan cepat ia berkata,

"Bagaimanapun juga, aku sendiri tidak akan kembali kesana, twako."

Tentu saja perkataan ini mengherankan hati Hui Song.
"Apa? Apa maksudmu? Engkau tidak akan pulang?"

Sui Cin menggeleng.
"Tidak, aku akan pergi lagi merantau."

Hui Song mengerutkan alisnya.
"Eh, kenapa begitu, Cin-moi? Bukankah engkau baru saja pulang dari perantauan? Baru dua hari pulang, masa hendak pergi lagi? Tentu orang tuamu akan melarangmu."

"Aku tidak perlu minta ijin mereka, aku memang pergi tanpa pamit!" kata Sui Cin dengan nada suara tak senang.






Hui Song memandang khawatir.
"Cin-moi... maaf, bukan aku ingin mencampuri urusan keluargamu, akan tetapi apakah yang telah terjadi? Engkau nampaknya tidak senang dan marah. Kalau hanya karena aku tidak boleh menyeberang, hal itu tidak ada artinya Cin-moi dan membuatmu marah, apalagi kepada orang tuamu sendiri."

"Bukan hanya itu, twako. Yang membuat hatiku kesal dan mendorongku pergi lagi meninggalkan rumah adalah karena aku... mau dijodohkan dengan putera gubernur!"

Hati Hui Song berdebar setelah terasa nyeri seperti tertusuk. Dia memaksa senyum dan menjura.

"Wah, selamat, Cin-moi."

"Selamat hidungmu!" Sui Cin membentak jengkel. "Engkau malah ingin menambah kejengkelan hatiku? Aku tidak sudi! Aku tidak sudi menjadi isteri bangsawan ceriwis itu!"

Hui Song merasa betapa suatu kelegaan dan kegembiraan luar biasa menyelinap di hatinya mendengar kata-kata setengah teriakan dari gadis itu. Akan tetapi dia pura-pura terkejut dan bersikap serius.

"Ah, kalau begitu maafkan aku, Cin-moi. Akan tetapi... mengapa engkau begitu marah dan menolak? Bukankah putera seorang gubernur itu merupakan calon suami yang amat baik, terpelajar, kaya raya dan berkedudukan tinggi? Hemm, aku tahu, Cin-moi. Aku tahu mengapa engkau menolaknya."

Sui Cin memang mudah marah dan mudah bergembira. Orang seperti ia tidak dapat marah terlalu lama. Wataknya terlalu lincah gembira untuk dapat bertahan marah terlalu lama. Kini ia memandang pemuda itu dengan wajah berseri dan mulut tersenyum.

"Hemm, engkau seperti peramal saja, twako. Coba ingin kudengar tebakanmu, kalau memang engkau tahu mengapa aku menolaknya."

"Apalagi kalau bukan karena engkau sudah mempunyai pilihan hati sendiri? Engkau tentu sudah mempunyai seorang calon dalam hatimu."

Wajah yang manis itu menjadi merah, akan tetapi bibirnya berjebi mengejek.
"Ihh, engkau hanya ngawur saja! Tidak, aku tidak mempunyai calon seperti yang kau terka itu. Sedikitpun aku belum memikirkan tentang itu. Cih, memalukan saja! Aku menolak karena memang aku tidak suka kepada pemuda bangsawan yang ceriwis itu, dan juga karena aku sama sekali belum mau terikat menjadi isteri orarg. Aku masih ingin bebas seperti burung di udara, merdeka beterbangan ke manapun yang kukehendaki."

Sui Cin tidak menyadari betapa Hui Song telah memancing untuk mengetahui isi hatinya dan tentu saja pemuda ini merasa girang sekali karena kini dia tahu bahwa gadis ini masih kosong hatinya dan dia mengharapkan untuk mengisinya.

"Kalau engkau tidak mau pulang, lalu engkau hendak pergi kemana, Cin-moi?"

"Kemana saja asal tidak pulang, asal tidak mendengarkan bujukan orang tuaku untuk menerima tikus itu sebagai calon suamiku!"

"Kalau begitu, marilah ikut bersamaku, Cin-moi. Aku hendak pulang ke Cin-ling-pai dan mari kuperkenalkan engkau kepada orang tuaku."

Sui Cin mengangguk.
"Aku tidak mempunyai tujuan tertentu, boleh saja kalau pergi kesana. Sudah lama aku mendengar tentang Cin-ling-pai dan akupun ingin berkunjung ke Pegunungan Cin-ling-san yang katanya amat indah. Akan tetapi, jangan mengambil jalan darat. Lebih baik mempergunakan perahu menyusuri pantai ke utara dan mendarat di Hang-couw, baru kita melanjutkan perjalanan melalui daratan."

"Kenapa begitu?"

"Engkau tidak tahu kelihaian orang tuaku. Kalau mereka tahu aku pergi, tentu mereka akan melakukan pengejaran dan kalau aku mengambil jalan darat, jangan harap dapat lolos dari kejaran mereka. Akan tetapi kalau mengambil jalan laut dari sini, tentu tidak meninggalkan jejak dan betapapun lihainya ayah, tentu dia tidak akan dapat mengikuti kepergianku."

Hui Song menyetujui dengan kagum dan tak lama kemudian merekapun sudah berlayar lagi menempuh gelombang menuju ke utara. Sementara itu, malam telah tiba dan pelayaran mereka diterangi bintang-bintang di langit.

"Song-twako, sekali ini aku benar-benar menjadi seorang kelana miskin. Aku pergi tanpa pamit, tidak membawa bekal pakaian, apalagi uang. Perantauanku yang dahulu direstui orang tuaku dan aku membawa bekal banyak emas. Akan tetapi sekarang... aku benar-benar miskin."

"Kita bukan orang-orang hartawan yang sedang pelesir, Cin-moi. Perlu apa bekal uang banyak? Asal engkau tidak menyebar dan membagi-bagikan uang kepada para jembel di pasar, aku masih mempunyai bekal cukup kalau hanya untuk biaya di perjalanan saja."

"Kalau hanya untuk biaya perjalanan, apa sih sukarnya? Kalau memang kita memerlukan, mudah saja mengambil dari peti-peti uang orang lain!"

"Wah, engkau hendak mencuri? Dari para hartawan?"

Sui Cin menggeleng kepala.
"Ayah dan ibu akan marah kalau aku mencuri milik siapapun. Akan tetapi kalau aku mengambilnya dari tempat judi misalnya, mereka tentu tidak akan marah."

Keduanya tersenyum dan perahu meluncur dengan laju. Indah bukan main pemandangan di malam hari itu. Bintang-bintang bercermin di permukaan air laut dan kadang-kadang orang akan terlupa dan mengira bahwa benda-benda bercahaya yaeg jutaan banyaknya itu bukan berada di atas kepala, melainkan di bawah jauh tak berdasar.

**** 063 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: