*

*

Ads

Senin, 19 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 062

"Jangan bawa-bawa masa muda ibumu!" Kini Toan Kim Hong menudingkan telunjuknya dengan sikap marah. "Memang aku telah berusia dua puluh tiga tahun ketika menjadi isteri ayahmu, akan tetapi justeru kami tidak ingin melihat engkau seperti kami di masa muda. Kami ingin melihat engkau kembali kepada kedudukan yang wajar dan pantas bagi seorang keturunan bangsawan seperti engkau, menjadi orang terhormat dan mulia. Dan menjadi mantu Raja Muda Can adalah kedudukan yang paling baik yang akan pernah dapat kaumiliki, kecuali kalau engkau dapat menjadi mantu kaisar yang takkan mungkin terjadi!"

Sui Cin menjadi semakin tak senang. Perut dan dadanya terasa panas dan darahnya bergolak. Iapun bertolak pinggang dan alisnya berkerut ketika ia memandang ayah ibunya.

"Jadi... ayah dan ibu hendak memaksaku?"

Melihat ketegangan memuncak, Thian Sin melerai.
"Bukan sekali-kali kami hendak memaksamu, anakku. Kami hanya minta agar engkau suka memikirkan secara mendalam semua kata-kataku dan kata-kata ibumu. Engkau tentu tahu betapa besar cinta kami terhadap dirimu, dan kami hanya berusaha untuk membuatmu berbahagia," kata-katanya halus menghibur, membuat Sui Cin rasanya ingin menangis.

"Kalau ayah dan ibu ingin melihat aku berbahagia, janganlah memaksaku kawin dengan siapapun juga. Tunggu sampai aku berusia dua puluh tahun lebih, seperti ibu dahulu. Aku tidak suka, ayah, aku tidak mau menikah dengan orang she Can itu. Pendeknya, aku tidak suka menikah dengan orang bangsawan."

"Ehh...?"

Toan Kim Hong berseru marah. Ia sendiri adalah puteri seorang pangeran, walaupun pangeran buangan atau pengasingan, dan sejak kecil ia sudah merindukan kemuliaan itu yang kini hampir tercapai kalau puterinya menjadi mantu Raja Muda Can. Dan kini puterinya itu malah mengatakan tidak suka menikah dengan orang bangsawan!

"Kenapa engkau tidak suka menikah dengan orang bangsawan? Kenapa? Hayo jawab, tentu ada alasannya."

"Karena aku benci! Aku benci pada orang-orang bangsawan. Mereka itu tinggi hati, sombong dan korup! Aku benci kepada pembesar-pembesar yang korup, macam Liu-thaikam sehingga aku membantu para penentangnya sampai akhirnya dia jatuh."

"Hemm, jadi engkaukah satu diantara mereka yang berhasil menjatuhkan orang she Liu itu?"

Toan Kim Hong yang tadinya marah-marah kini berkata lunak karena hatinya merasa girang dan bangga sekali. Berita tentang kejatuhan Liu-thai-kam sudah mereka dengar dari keluarga Can yang memuji-muji para pendekar yang membantu pemerintah membongkar persekutuan jahat yang dipimpin Liu-thaikam dan kini ternyata bahwa satu diantara orang-orang gagah itu adalah Sui Cin.

"Sui Cin, tidak semua bangsawan tinggi hati dan sombong. Engkau tidak boleh menilai orang dari keadaan atau kedudukannya. Keadaan apapun juga tentu ada kecualinya. Banyak saja bangsawan tinggi yang rendah hati dan orang-orang biasa yang tinggi hati. Juga banyak orang-orang hartawan yang berwatak pendekar sebaliknya orang-orang miskin yang berwatak penjahat. Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi. Engkau baru saja pulang dari kepergianmu yang setahun lebih itu."

"Benar ayahmu, Cin. Mari kita beristirahat dulu dan berganti pakaian. Engkau harus ceritakan semua pengalamanmu, terutama perjuanganmu meruntuhkan Liu-thaikam yang menggemparkan itu," kata Toan Kim Hong yang kini sudah memperoleh kembali kesabarannya, merangkul puterinya dan mengajaknya masuk ke dalam kamar.

Kepada ayah ibunya Sui Cin menceritakan semua pengalamannya, juga pertemuannya dengan tokoh-tokoh sesat Cap-sha-kui, dengan Cia Sun dan Cia Hui Song. Semua diceritakan dengan jelas kecuali bahwa saat ini Hui Song menanti di kota Ning-po, menanti "lampu hijau" darinya agar pemuda itu diperbolehkan mengunjungi Pulau Teratai Merah untuk berkenalan dengan orang tuanya.

Ketika Sui Cin bercerita tentang murid Cin-ling-pai yang bernama Tan Siang Wi yang tinggi hati, angkuh dan galak, ibunya mengerutkan alis.

"Ah, ketua Cin-ling-pai itu bernama Cia Kong Liang dan memang wataknya angkuh dan memandang rendah semua orang. Pantas kalau dia memiliki seorang murid seperti itu. Terus terang saja, aku tidak suka kepada Cin-ling-pai!"

"Memang wataknya agak tinggi hati, akan tetapi harus diakui bahwa keluarga Cin-ling-pai adalah keluarga gagah perkasa yang selalu menjunjung tinggi kebenaran. Bagaimanapun juga, aku sendiripun terhitung murid Cin-ling-pai."






“Memang benar ayah," kata Sui Cin. "Biarpun Tan Siang Wi itu berwatak angkuh, akan tetapi Cia Hui Song, putera ketua Cin-ling-pai itu sama sekali tidak sombong, bahkan ramah dan baik sekali di samping ilmu silatnya yang tinggi. Dialah yang berkeras menentang kelaliman Liu-thaikam dan aku membantunya."

Lalu diceritakannya semua tentang pemuda itu, tentu saja sambil mencari jalan untuk menyampaikan keinginan pemuda itu yang masih menanti di Ning-po.

"Cia Hui Song juga menyatakan kekagumannya terhadap ayah, dan dia ingin sekali menghadap dan berkenalan dengan ayah dan ibu." Akhirnya ia memancing.

"Hemm, tidak usah kesini... aku sudah merasa tidak suka kepada keluarga itu, lebih baik tidak ada hubungan sama sekali," kata Kim Hong dan mendengar ucapan ibunya itu, tentu saja Sui Cin tidak berani lagi mendesak.

Munculnya urusan dengan keluarga Can tentu saja merupakan halangan besar baginya untuk memperkenalkan Hui Song. Ia menolak pinangan keluarga Can dan hal itu tentu mengesalkan hati ayah ibunya yang sudah setuju menerima, maka kalau ia membawa Hui Song ke pulau tentu hanya akan makin menjengkelkan hati orang tuanya. Tidak, saatnya tidak tepat bagi Hui Song untuk datang berkunjung dan ia harus segera memberi tahu kepada pemuda itu agar tidak menunggu dengan sia-sia di Ning-po.

Pada keesokan harinya, selagi Sui Cin termenung di taman belakang gedung, masih bingung memikirkan tentang Hui Song yang menantinya di seberang, ibunya datang menghampiri, memeluk dan duduk di sampingnya, di atas sebuah bangku batu di taman itu.

"Anakku, maafkan sikap ibu kemarin. Aku telah marah-marah kepadamu, aku menyesal sekali menyambut pulangmu yang sudah amat kurindukan dengan kemarahan." Ibu itu dengan sikap lembut dan sayang mencium pipi anaknya.

Sui Cin balas mencium dan merangkul ibunya.
"Tidak, ibu. Akulah yang minta maaf karena setelah lama meninggalkan ibu, aku pulang tidak membawa oleh-oleh yang menyenangkan, malah mendatangkan kejengkelan di hati ibu dan ayah saja. Kalau aku tahu begini, aku tidak akan pulang dulu dan melanjutkan perantauanku."

"Hushhh, sudahlah. Kita lupakan saja peristiwa kemarin dan mari kita bicara dengan hati terbuka. Sui Cin, katakanlah terus terang, engkau menolak keras lamaran putera Raja Muda Can, apakah dalam perantauanmu itu engkau bertemu dengan pemuda yang telah menjatuhkan hatimu?"

Dara itu memandang wajah ibunya dengan mata terbelalak. Kim Hong menatap sepasang mata yang bening itu, penuh selidik, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu pada sepasang mata itu dan memang anaknya benar-benar heran dan terkejut, tidak menyembunyikan sesuatu. Kim Hong adalah seorang wanita yang amat tinggi ilmunya, luas pengalamannya dan amat cerdik, maka andaikata Sui Cin menyembunyikan sesuatu perasaan tertentu sudah pasti ibunya akan dapat mengetahuinya atau setidaknya mencurigainya.

"Ibu, apa yang kau maksudkan? Menjatuhkan hatiku?"

Pertanyaan yang polos dan jujur karena memang Sui Cin belum paham akan lika-liku dan istilah tentang cinta.

"Maksudku, apakah ada pemuda yang menarik hatimu dan kau suka?"

Sui Cin masih bersikap biasa saja dan keheranan pada pandang matanya lenyap setelah ia mengerti pengertian yang tanpa diketahuinya keliru.

"Ah, itukah yang ibu maksudkan? Tentu saja ada dan banyak. Banyak kujumpai orang-orang pandai dan lihai, gagah perkasa dan menyenangkan. Terutama sekali Cia Sun dan Cia Hui Song. Mereka adalah pemuda-pemuda gagah perkasa yang mengagumkan sekali."

"Bukan begitu maksudku."

"Lalu bagaimana?" Kembali keheranan membayang di mata dara itu.

"Maksudku, apakah ada pemuda yang... eh, kepada siapa engkau jatuh cinta?"

"Ohh...!" Wajah Sui Cin berobah merah dan sejenak ia termangu-mangu, akan tetapi ia segera menggeleng kepala. "Aku tidak mengerti apa yang ibu maksudkan. Aku... aku tidak tahu apakah aku mencinta seseorang, kurasa aku hanya suka saja, ibu, suka bersahabat, terutama kepada... Cia Hui Song."

"Hemm, terutama kepada putera ketua Cin-ling-pai itu? Hati-hati, Sui Cin, jangan kau jatuh cinta kepadanya. Aku tidak suka mempunyai mantu putera Cin-ling-pai!"

Sudah menjadi watak Sui Cin tidak bisa dikeras. Kalau dihadapi dengan kekerasan, ia akan menentang. Maka kini mendengar ucapan ibunya, ia berkata,

"Ibu, terus terang saja, aku suka kepada Hui Song, akan tetapi aku tidak tahu apakah aku mencintanya. Andaikata aku mencinta, siapapun juga tidak akan dapat melarangku!"

Wajah ibunya berubah dan matanya terbelalak, akan tetapi melihat sikap puterinya yang begitu tegas dan keras, tiba-tiba nyonya ini tersenyum, teringat akan kekerasan hatinya sendiri. Ia mengangguk dan merangkul puterinya.

"Baiklah, akan tetapi engkau tidak cinta kepadanya, bukan?"

Sui Cin menggeleng kepala.
"Aku suka kepadanya karena dia gagah perkasa, ramah dan baik budi, ibu. Akan tetapi aku... aku tidak tahu apakah aku cinta kepadanya atau kepada siapapun juga. Aku masih suka hidup bersama ayah ibu, atau hidup seorang diri, merantau dan memperluas pengalaman. Aku tidak ingin terikat oleh pernikahan dan menggantungkan hidupku pada seseorang, mengurung diriku dalam sebuah rumah tangga. Ngeri aku membayangkan betapa aku menjadl nyonya rumah yang tidak pernah meninggalkan rumahnya, seperti seekor anjing yang dirantai di dalam kandangnya. Aku masih ingin bebas, ibu, seperti burung di udara..."

Ibunya mengangguk.
"Aku mengerti perasaanmu, anakku. Agaknya, jiwa petualangan ayah ibu menurun kepadamu. Akan tetapi ingat, anakku. Usiamu sudah enam belas tahun dan sudah sepatutnya engkau mempunyai ikatan dengan seseorang yang kelak akan menjadi suamimu. Kulihat Can-kongcu merupakan calon yang paling baik dan tepat untukmu. Kelak dia tentu akan menduduki pangkat yang tinggi dan hidupmu terjamin, mulia, terhormat dan bahagia. Soal pernikahan dapat saja diundur, akan tetapi asal engkau setuju, ikatan perjodohan dapat diadakan lebih dulu."

"Tidak, ibu, aku tidak mau! Aku tidak cinta pada orang itu, aku tidak suka, bahkan aku benci padanya!"

Wajah Toan Kim Hong menjadi keruh dan ia bangkit berdiri.
"Engkau hanya mengecewakan hati orang tua saja, Sui Cin."

Dan ibu yang kecewa ini meninggalkan anaknya yang duduk termenung dengan muka berubah merah dan hampir menangis. Akan tetapi Sui Cin tidak menangis, walaupun ingin ia melepaskan kemarahan dan kejengkelan hatinya melalui tumpahan air mata. Tidak, ia tidak akan menangis. Ia akan menentang kalau harus dijodohkan dengan pemuda bangsawan she Can yang ceriwis itu! Ia sudah dapat membayangkan kalau menjadi isteri bangsawan. Mengenakan pakaian indah-indah dan tebal tidak enak dipakai, harus bersikap agung-agungan menerima penghormatan orang, harus bersopan-sopan dan berpatut-patut di depan orang banyak, kemudian akan merenungi nasib sendiri di dalam kamar karena suaminya sang bangsawan pergi ke kamar selir-selir yang tak terhitung banyaknya!

Tidak, ia tidak mau. Kalau ia menjadi isteri bangsawan, tentu ia akan menjadi pembunuh, membunuh suaminya dan selir-selir suaminya. Ia ingin bebas, biarpun bersuami, akan tetapi bebas bersama suaminya menjelajahi hutan dan gunung, tidak menjadi boneka-boneka hidup di dalam gedung besar dan pengap! Dan ia teringat akan kesenangan ketika melakukan perjalanan bersama Hui Song. Menentang orang-orang jahat, menggoda dan menumpas mereka, menghadapi bahaya-bahaya yang menegangkan, mengatasi ancaman-ancaman bahaya maut, tidur di alam terbuka. Bebas!

Alangkah senangnya. Itulah hidup dan itulah kehidupan yang disenanginya. Bukan menjadi boneka hidup di samping seorang bangsawan yang menjadi suaminya, juga majikannya.

Hui Song! Dia masih menanti di Ning-po. Sui Cin lalu bangkit berdiri dan meninggalkan taman itu, menuju ke pantai dan tak lama kemudian iapun sudah melayarkan perahu kecil itu menuju ke seberang, ke daratan besar.

Hari telah senja ketika ia meninggalkan pulau tanpa setahu ayah ibunya dan ketika perahunya mendarat di pantai, cuaca sudah mulai gelap. Akan tetapi ketika ia meloncat ke daratan dan menarik pcrahunya, tiba-tiba muncul sesosok bayangan hitam menghampirinya.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: