*

*

Ads

Senin, 08 Januari 2018

Siluman Gua Tengkorak Jilid 24

Di dalam tempat rahasia ini perkumpulan Jit-sian-kauw itu, Sian-su mengumpulkan semua anak buah dan juga para tamunya. Sepasang mata di balik topeng itu nampak gelisah.

"Para anggauta dan juga para saudara sekepercayaan semua yang mulia! Tempat pemujaan kita terancam bahaya besar! Pendekar Sadis dan pembantunya telah berkhianat dan tentu mereka itu akan datang mengacau disini. Oleh karena itu, aku perintahkan kepada semua anggauta untuk bersikap waspada, menjaga semua jalan masuk dan memasang semua jebakan-jebakan. Dan kepada para saudara sekepercayaan, saya harap sukalah mengeluarkan sedikit tenaga membantu mempertahankan tempat pemujaan kita yang keramat."

Dengan cekatan Sian-su lalu membagi-bagi tugas diantara anak buahnya yang tinggal tiga puluh orang lebih banyaknya itu, memerintahkan para gadis itu bersembunyi di ruangan dalam dan tidak memperbolehkan mereka keluar.

Tosu Siok Cin Cu yang menjadi pembantu utamanya, dengan pakaian Siluman Tengkorak, mewakilinya untuk mengatur para anak buah dalam melakukan penjagaan. Kemudian Sian-su membujuk para tamunya yang berkepandaian untuk ikut melakukan penjagaan.

Dinatara para tamunya itu terdapat sepuluh orang yang memiliki kepandaian silat tinggi dan mereka ini yang merasa betapa pusat kepercayaan mereka terancam oleh musuh, dengan senang hati mau membantu Sian-su.

Kepercayaan yang membuta sering kali menyesatkan orang dan membuat manusia lupa bahwa segala macam agama atau kepercayaan diciptakan untuk manusia. Agama atau kepercayaan lain diadakan untuk menuntun manusia ke jalan yang dianggap benar dan baik.

Jelaslah bahwa manusianya yang penting dan kepercayaan itu merupakan pelengkap dalam kehidupan, sebagai alat penerangan dan penuntun. Namun, betapa banyaknya kepercayaan yang membuta membuat para pemeluknya lupa bahwa manusianya yang penting dan mereka itu bahkan lebih mementingkan agama atau kepercayaannya, dan manusianya sendiri lalu menjadi alat belaka yang mudah saja dikorbankan demi kepercayaan atau agama itu.

Dan yang memegang peran dalam hal ini adalah para pemimpinnya, para pendetanya yang mempergunakan nama agama untuk memenuhi ambisi pribadinya. Para pemeluk itu mau saja diseret ke dalam kancah permusuhan dan kebencian, bunuh-membunuh, rela berkorban untuk membunuh atau terbunuh, semua dilakukan demi nama mempertahankan agama atau kepercayaan seperti yang digembar gemborkan oleh para pemimpinnya.

Terjadilah keadaan yang sama sekali terbalik. Bukan lagi agama untuk manusia melainkan manusia untuk agama, bukan lagi agama sebagai alat manusia melainkan manusia menjadi alat agama.

Demikian pula dengan para tamu dari ketua Jit-sian-kauw ini. Merekapun menyerahkan kepercayaan secara membuta dan di dalam penyerahan kepercayaan ini memang selalu terdapat hal-hal yang dianggap menguntungkan atau menyenangkan sebagai pendorong. Mereka, para pemeluk agama Jit-sin-kauw ini, telah menikmati kesenangan jasmani berupa pesta-pora pemuasan nafsu-nafsu berahi, akan tetapi juga kesenangan batiniah yang berupa harapan bahwa kalau sudah mati kelak mereka akan memperoleh kesenangan karena sudah disediakan suatu tempat yang baik untuk mereka oleh Dewa Kematian yang telah mereka puja-puja dan beri korban.

Kini, mereka rela untuk membela kepercayaan mereka, bahkan rela untuk mati kalau perlu, dengan keyakinan bahwa kematian itu akan berakhir dengan kesenangan bagi mereka.

Para tamu ini sama sekali tidak tahu bahwa ketika mereka ikut berjaga dengan sibuk untuk mempertahankan "tempat pemujaan keramat" itu, di sebelah dalam kamar rahasianya, Sian-su yang dibantu oleh orang kepercayaannya, yaitu Siok Cin Cu, sedang sibuk sendiri membenahi barang-barang berharga yang amat berharga, semua dimasukkan ke dalam dua buah peti sampai penuh!

"Siok Cin Cu, kita harus dapat menyelamatkan dua peti ini lebih dulu. Pendekar Sadis dan wanita itu tidak boleh dipandang ringan. Engkau tahu kemana harus menyembunyikan peti-peti ini kalau keadaan memaksa."

"Baik, Sian-su, jangan khawatir. Akan tetapi sudah demikian berbahayakah keadaannya sehingga Sian-su perlu berkemas dan berkhawatir?" tanya tosu Siok Cin Cu itu di balik topengnya.

"Berbahaya sekali sih belum, akan tetapi kita perlu waspada. Para anak buah dan para tamu dengan bantuan jebakan-jebakan mungkin akan dapat menahan Pendekar Sadis dan temannya. Akan tetapi aku khawatir bahwa Hong-kiam-pang tidak akan mau sudah dan mereka akan berusaha untuk menemukan tempat kita. Im Yang Tosu agaknya berkeras hati benar untuk menggempur kita."

Siok Cin Cu menarik napas panjang.
"Agaknya kita telah salah tangan membunuh Tujuh Pendekar Tai-goan itu, Sian-su, sehingga menjadi berlarut-larut memancing permusuhan dengan Hong-kiam-pang."






"Tidak salah tangan sama sekali. Pertama, mereka itu menentang kita. Ke dua, ada gejala-gejala bahwa diantara mereka itu megetahui rahasiaku. Mereka memang perlu dibinasakan untuk mencegah datangnya bahaya yang lebih besar."

Percakapan mereka terhenti ketika terdengar suara hiruk pikuk di luar. Mereka saling pandang dan dua pasang mata di balik topeng itu tampak gelisah. Akan tetapi Sian-su menenangkan diri dan berkata,

"Siok Cin Cu, engkau membawa peti ini sebuah dan aku sebuah. Engkau mengambil jalan kiri dan aku ke kanan. Engkau tahu dimana kita dapat bertemu di luar tempat ini."

"Sian-su... hendak meninggalkan tempat ini? Apakah tidak menahan musuh dulu?"

"Sstt, diamlah. Yang penting menyelamatkan dua peti ini baru kita pikirkan untuk menghantam musuh yang berani masuk kesini. Mari, cepat!" kata Sian-su menyerahkan sebuah diantara dua peti hitam itu kepada Siok Cin Cu.

Tosu ini menerima peti, mengangguk dan segera meloncat pergi dari kamar rahasia itu, bersimpang jalan dengan ketuanya. Memang telah terjadi pertempuran semenjak di terowongan.

Seperti kita ketahui, Thian Sin dan Kim Hong menuju ke balik tebing untuk menyerbu sarang Jit-sian-kauw itu dari belakang, melalui jalan rahasia, yang telah mereka berdua ketahui. Akan tetapi sebelum menuju kesitu, Thian Sin mengajak Kim Hong untuk lebih dulu memasuki sebuah hutan kecil tak jauh dari situ.

"Eh, kita kemana?" tanya Kim Hong yang seperti juga kekasihnya telah menanggalkan pakaian dan topeng tengkorak.

"Sudah kuceritakan kepadamu bahwa aku pernah terpaksa mengusir lima orang tokoh Bu-tongpai dan aku berhasil memberi tahu mereka tentang keadaanku dan minta kepada mereka untuk menanti di hutan ini. Nah, itu mereka!" kata Thian Sin ketika melihat Liang Hi Tojin keluar dari sebuah gubuk kecil bersama empat orang murid Bu-tong-pai. Cepat Thian Sin dan Kim Hong menghampiri mereka.

"Siancai, siancai... sungguh tidak sabar kami menanti-nanti berita darimu, Ceng-taihiap," kata Liang Hi Tojin sambil menjura ke arah dua pendekar itu. "Dan Toan-lihiap juga sudah datang, sungguh membesarkan hati!"

Thian Sin dan Kim Hong yang sudah mengenal tokoh ke dua dari Bu-tong-pai ini segera membalas penghormatan mereka berlima.

"Saya menanti saat baik dan kesempatan, totiang. Dan sekaranglah saat baik itu tiba."

"Kita menyerbu Guha Tengkorak? Tapi... kami tidak pernah menemui jalan masuk."

"Jangan khawatir, kami sudah tahu jalannya." kata Kim Hong. "Mari ngo-wi (kalian berlima) ikuti kami."

Berbondong-bondong merekapun berangkat dengan penuh semangat. Orang-orang Bu-tong-pai ini bukan hanya ingin membalas kematian Louw Ciang Su murid Bu-tong-pai, seorang diantara Tujuh Pendekar Tai-goan, akan tetapi juga mereka merasa bertugas untuk membasmi gerombolan Siluman Guha Tengkorak yang telah melakukan pengacauan dan kejahatan-kejahatan kejam itu.

Setelah menemukan jalan masuk rahasia melalui terowongan itu, Thian Sin masuk lebih dulu, diikuti oleh Kim Hong. Barulah, di belakang dua orang pendekar ini, Liang Hi Tojin dan empat orang murid keponakannya berjalan masuk dengan pedang siap di tangan mereka.

Sebagai seorang yang pernah diperdaya oleh Sian-su, Thian Sin pernah melalui terowongan ini dan rahasia jebakan terowongan ini tidak disembunyikan darinya, maka sedikit banyak dia tahu dimana adanya jebakan-jebakan itu.

Sebaliknya, ketika melarikan diri dari tempat itu, Kim Hong membawa seorang tawanan yang telah memberi tahu kepadanya adanya jebakan-jebakan sehingga ia bersikap hati-hati dan juga dalam keributan itu, terowongan tidak terjaga dan tidak ada anggauta gerombolan yang menggerakkan alat rahasia jebakan. Ketika tiba di sebuah tikungan terowongan, tiba-tiba Thian Sin berseru,

"Awas anak panah!"

Dan hampir berbareng dengan ucapannya, dari depan dan belakang menyambar puluhan batang anak panah ke arah mereka! Akan tetapi, orang-orang Bu-tong-pai itu sudah siap dengan pedang mereka dan dengan memutar pedang, anak panah yang menyambar mereka runtuh ke atas tanah.

Kim Hong dan Thian Sin menggunakan gerakan tangan mereka menangkis, dan dua batang anak dapat ditangkap oleh Thian Sin yang cepat menggerakkan tangan. Dua batang anak panah itu meluncur ke atas dan terdengarlah jeritan orang disusul jatuhnya sesosok tubuh yang tadinya bersembunyi di bagian atas dan menggerakkan alat-alat yang meluncurkan anak-anak panah itu. Orang itu tewas dengan leher dan dada tertembus dua batang anak panah yang dilemparkan oleh Thian Sin tadi.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati tanpa memperdulikan orang yang sudah tewas itu. Mereka melangkahi mayat itu dan dengan hati-hati Thian Sin terus melangkah maju, diikuti oleh yang lain.

Terowongan itu tidak begitu gelap, agak remang-remang karena ada cahaya matahari yang masuk melalui beberapa celah-celah yang berada di langit-langit torowongan.

"Berhenti...!" Tiba-tiba Thian Sin berbisik dan semua orang berhenti.

Tidak nampak sesuatu yang mencurigakan disitu, akan tetapi mereka melihat Pendekar Sadis memberi isyarat agar mereka berhenti, sedangkan dia sendiri melangkah ke depan sambil melirik ke sana-sini dengan penuh kewaspadan.

Tiba-tiba terdengar bunyi berderit dan lantai yang diinjaknya itu terbuka, sedangkan di dalam sumur di bawah itu nampak batu-batu meruncing menanti di bawah! Akan tetapi, Thian Sin sudah mengeluarkan suara melengking dan tubuhnya mencelat ke kanan, ke arah batu karang besar dan sekali tangannya menyambar, dia telah menangkap seorang laki-laki bertopeng tengkorak dan tubuh orang itupun dilemparkannya ke dalam sumur, sedangkan dia sendiri sudah meloncat lagi ke tempat semula dimana teman-temannya berdiri memandang dengan mata terbelalak ke dalam sumur.

Orang yang terlempar itu mengeluarkan suara pekik mengerikan dan tubuhnya disambut oleh batu-batu karang yang seperti golok itu dan tewas seketika. Lantai itu masih terbuka dan terpaksa mereka bertujuh lalu melompati sumur itu dan melanjutkan perjalanan lagi ke depan.

Tidak ada lagi jebakan yang menghadang perjalanan mereka, akan tetapi begitu mereka keluar dari pintu rahasia, mereka sudah diserbu oleh para anak buah Siluman Guha Tengkorak yang dibantu oleh sepuluh orang tamu pemeluk kepercayaan baru itu sehingga terjadilah perkelahian yang amat seru.

Liang Hi Tojin mengamuk dan empat orang murid keponakannya juga mempermainkan pedang mereka, dikeroyok oleh para anggauta gerombolan Jit-sian-kauw yang dibantu oleh sepuluh orang tamu. Melihat betapa sepak terjang Liang Hi Tojin dan empat orang murid Bu-tong-pai itu cukup tangkas dan kuat, Thian Sin dan Kim Hong lalu sama-sama meloncat ke arah dalam.

"Engkau dari kiri, aku dari kanan!" kata Thian Sin dan nona itu mengangguk mengerti apa yang dikehendaki kekasihnya.

Mereka berdua sudah tahu dimana adanya kamar Sian-su, dan memang ada dua jalan yang menuju ke kamar itu, sebuah kamar yang mewah dan dimana hampir setiap malam terjadi kecabulan.

Pada saat itu, seorang yang berpakaian dan bertopeng Siluman Tengkorak sedang bergegas melarikan diri keluar dari lorong sambil membawa sebuah peti hitam. Orang ini bukan lain adalah Siok Cin Cu, tosu pembahtu utama Sian-su yang bertugas menyelamatkan sebuah peti berisi barang perhiasan itu.

Diam-diam tosu ini merasa heran, mengapa Sian-su tidak lebih dulu menyambut dan menahan serbuan lawan melainkan lebih mementingkan untuk menyelamatkan barang-barang berharga itu. Akan tetapi karena dia sendiri maklum betapa lihainya Pendekar Sadis, tugas ini tentu saja menggembirakan hatinya. Dia tidak perlu menghadapi lawan yang mengerikan itu dan lebih enak menyelamatkan diri membawa peti perhiasan yang dia tahu amat berharga ini.

Siluman Gua Tengkorak







Tidak ada komentar: