*

*

Ads

Rabu, 03 Januari 2018

Siluman Gua Tengkorak Jilid 03

Jauh lewat tengah hari, menjelang sore, datanglah enam orang di rumah Cia Kok Heng. Disambut oleh tuan rumah dengan hati gembira sekali dan juga penuh perasaan lega. Bahkan nyonya rumah juga kini dapat tersenyum dan wajahnya tidak pucat lagi. Bagaimanapun juga, dengan berkumpulnya Tujuh Pendekar Tai-goan, apa yang perlu ditakuti? Tujuh orang yang terkenal dengan sebutan Tujuh Pendekar Tai-goan itu memang bukan orang-orang sembarangan.

Pertama adalah Cia Kok Heng sendiri yang menjadi orang termuda namun bukanlah yang paling rendah ilmunya. Orang kedua adalah yang dikirimi surat oleh Kok Heng dan dimintai tolong untuk mengumpulkan semua saudara mereka dan datang ke tempat pendekar she Cia itu. Orang ini bernama Kwee Siu berusia empat puluh lima tahun dan dia adalah murid perguruan Siauw-lim-pai yang lihai, dan kemudian belajar ilmu pedang pula dari Hong-kiam-pai sehingga dia masih terhitung saudara seperkumpulan dengan Cia Kok Heng. Walaupun dalam hal ilmu pedang dia masih kalah lihai dari Kok Heng karena Kok Heng memang murid Kun-lun-pai, akan tetapi Kwee Siu ini memiliki kelebihan lain, yaitu ilmu-ilmu silat dari Siauw-lim-pai.

Orang ke tiga adalah Louw Ciang Su, berusia empat puluh tahun, murid Butong-pai yang lihai sekali dengan senjata rantai bajanya. Orang ke empat dan ke lima adalah kakak beradik she Ciok, yaitu Ciok Lun yang berusia lima puluh tahun dan Ciok Khim berusia empat puluh lima tahun, keduanya tokoh-tokoh dari Tiat-ciang-pai (Perkumpulan Tangan Besi) yang disegani dari kota raja. Tentu saja keduanya memiliki tangan yang amat kuat dan terlatih sehingga mahir dalam ilmu tangan besi, hanya bedanya kalau Ciok Lun biasa mempergunakan senjata toya, adiknya, Ciok Khim mempergunakan senjata golok.

Orang ke enam adalah Siok Bu Ham, berusia empat puluh tahun, tidak berpartai dan murid seorang tosu perantau yang mahir mempergunakan senjata sepasang tombak pendek. Orang ke tujuh adalah Liu Ji, berusia empat puluh lima tahun, seorang tokoh Thian-kiam-pang, seorang ahli piauw dan pedang.

Pendeknya, untuk Tai-goan dan sekitarnya, nama tujuh pendekar ini sudah terkenal sebagai orang-orang gagah yang menentang kejahatan dan seringkali membantu pemerintah untuk menghadapi penjahat lihai.

Begitu enam orang saudaranya itu datang, Kok Heng lalu mengajak mereka ke depan dan mereka bertujuh memeriksa gambar tengkorak darah itu dengan teliti. Ciok Lun meraba lukisan itu dan mengerahkan sin-kangnya. Tangannya yang memiliki Ilmu Tiat-ciang (Tangan Besi) itu tergetar dan menjadi panas, lalu tercium bau amis.

"Hem, darah tulen...!" gumamnya.

"Mungkin bukan darah manusia," kata Kok Heng. "Setiap kali mengancam, siluman itu menggunakan lukisan tengkorak darah, dan agaknya dia menggunakan darah binatang."

Louw Ciang Su, murid Bu-tong-pai, menggeleng kepala dan mengerutkan alisnya.
"Belum tentu. Aku pernah mendengar dahulu tentang seorang penjahat yang mempelajari ilmu hitam dan sering kali mempergunakan darah dalam surat ancamannya dan darah itu ternyata darah manusia. Entah dari mana diambilnya karena memang orang-orang macam itu sudah sedemikian jahat dan kejamnya seperti iblis."

Para pendekar itu berdiam diri dan merasa ngeri juga. Yang mereka hadapi adalah seorang penjahat yang menurut kabar angin memiliki kepandaian seperti siluman, maka merekapun harus bersikap hati-hati. Mereka lalu dijamu oleh nyonya rumah dan ketika Kok Heng menceritakan tentang pemuda bangsawan Phang yang menggoda isterinya kemarin, enam orang pendekar itu mengerutkan alisnya. Lalu terdengar Liu Ji berkata,

"Tidak mungkin dia! Aku mengenal pemuda Phang itu.

“Memang, dia seorang pemuda mata keranjang, terkenal di dunia pelacuran dan tidak segan-segan untuk mempergunakan kedudukan dan hartanya untuk bisa mendapatkan dan menguasai setiap wanita yang disukainya. Akan tetapi dia belum pernah menggunakan kekerasan, apa lagi olehnya sendiri karena dia tidak becus apa-apa, bahkan tubuhnya lemah karena terlalu banyak mengobral nafsunya." Cia Kong Heng mengangguk-angguk.

"Akupun mencurigai dia karena kalau dia itu lihai tentu kita sudah mengetahuinya. Akan tetapi karena kemarin dia menggoda isteriku dan hari ini siluman itu muncul maka sungguh kebetulan sekali dan mau tidak mau, menimbulkan kecurigaan."

Tiba-tiba Kwee Siu, murid Siauw-lim-pai, yang juga menjadi murid Hong-kiam-pai itu mengepal tinju dan memukul meja.

"Bruk!"

Semua orang memandang dan orang tinggi besar ini melotot dengan muka merah.
"Siapapun adanya iblis itu, harus kita hadapi dan malam ini kalau dia berani datang, kita akan menangkap atau membunuhnya!"






“Aku bersumpah, kalau dia berani menjamah sehelai rambut saja isteri Heng-te, aku akan mematahkan tangannya!" Ciok Lun, orang tertua diantara mereka, menarik napas panjang.

"Menghadapi seorang penjahat yang dikenal licin seperti siluman itu, yang pernah diserbu oleh pasukan dan para pendekar namun tetap dapat meloloskan diri, kita harus bersikap tenang. Bagaimana juga, seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, dia selalu memberi peringatan atau mengancam calon korban di waktu siang atau sore, kemudian baru dia turun tangan pada malam harinya. Maka, kita masih memiliki waktu untuk bersiap siaga. Kita harus mengatur penjagaan, membagi-bagi tugas namun harus diatur agar kita dapat saling membantu."

Setelah malam tiba, Tujuh Pendekar Tai-goan itu telah mengatur siasat. Cia Kok Heng sendiri berjaga di dalam kamar, menjaga isteri dan dua orang anaknya dengan pedang tak pernah terpisah dari badannya. Kwee Siu yang tinggi besar dengan pedang di tangan menjaga di dalam ruangan di luar kamar, ditemani oleh Louw Ciang Su yang dililitkan di pinggang. Siok Bu Ham dengan sepasang tombak pendeknya menjaga di belakang rumah. Liu Ji tokoh Thian-kiam-pang itu menjaga di luar, di depan rumah sambil meronda. Adapun kedua saudara Ciok Lun dan Ciok Khim telah berada di atas.

Rumah dan kamar keluarga Cia itu telah dijaga ketat, dikepung oleh para pendekar dan agaknya iblis sendiripun tidak akan mampu memasuki kamar itu tanpa diketahui dan mendapat rintangan yang amat ketat dan berat.

Malam semakin larut dan suasana semakin sunyi menegangkan. Seluruh penghuni rumah itu, kecuali dua orang anak kecil yang sudah pulas, tidak seorangpun yang dapat memejamkan mata barang sejenak. Semua merasa tegang. Yang ada di dalam rumah itu hanyalah Cia Kok Heng bersama isteri dan dua anaknya, dan enam orang rekannya.

Dua orang pelayan telah disuruh mengungsi sore tadi. Menjelang tengah malam, suasana sunyi itu menjadi makin lengang. Rumah keluarga Cia ini terletak agak di pinggir kota, perumahan disitu semua memiliki pekarangan dan kebun yang luas sehingga agak jauh dari tetangga.

Tidak ada bulan di langit, dan cahaya laksaan bintang yang lemah mendatangkan cuaca yang remang-remang menyeramkan. Kesunyian yang mencekam itu kadang-kadang dipecahkan oleh bunyi burung malam yang mendatangkan suasana lebih menyeramkan, dan kadang-kadang terdengar bunyi lemah kelepak burung malam terbang lalu.

Gonggong anjing di kejauhan menambah dalamnya kesunyian yang mencekam di hati, mengingatkan orang akan sesuatu yang tidak mereka lihat dan tidak mereka ketahui, menimbulkan dugaan-dugaan yang mendatangkan rasa gelisah dan takut.

Telah beberapa kali para pendekar itu saling mengunjungi tempat penjagaan masing-masing dan juga memeriksa keluarga Cia yang masih berada di kamar. Hati mereka terasa lega dan diam-diam hati yang tegang itu mengharapkan siluman itu menjadi jerih dan tidak berani muncul melihat persiapan Tujuh Pendekar Tai-goan.

Akan tetapi ketika waktu menunjukkan tepat tengah malam, terdengar bunyi burung malam dan kelepak sayapnya seolah-olah rumah keluarga Cia itu didatangi oleh burung-burung malam. Dan para pendekar mulai merasa seolah-olah mereka atau tempat itu terkepung.

Terdengar suara Siok Bu Ham yang berjaga di belakang rumah batuk-batuk, batuk buatan yang biasa dilakukan orang untuk mengusir rasa serem di hati. Suara batuk-batuk ini dibalas oleh Ciok Khim yang menjaga di atas wuwungan bersama kakaknya, Ciok Lun.

Mendengar suara dua orang rekannya batuk-batuk itu, hati para pendekar yang lain menjadi agak lega. Namun mereka tetap waspada karena naluri mereka yang membuat mereka peka terhadap ancaman lawan tergetar oleh sesuatu yang membuat mereka lebih waspada dan siap siaga.

Tiba-tiba... "ngeonggg...!" terdengar suara nyaring disusul geraman-geraman dan gedobrakan di atas genteng rumah tetangga. Jantung mereka yang sedang tegang itu seperti copot rasanya, akan tetapi mereka segera mengenal suara itu dan di dalam batin menyumpah-nyumpah karena itu adalah suara dua ekor kucing yang sedang berkelahi atau sedang bercanda!

Karena kebisingan dua ekor kucing yang sedang bermain cinta ini amat mmgejutkan dan tiba-tiba, perhatian para pendekar itu sejenak tertumpah kepada suara itu dan ketika perhatian dua saudara Ciok kembali kepada penjagaan mereka, dengan kaget mereka melihat sesosok bayangan orang tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan rumah keluarga Cia, hanya beberapa tombak jaraknya dari mereka!

Tentu saja dua orang saudara Ciok itu terkejut dan sejenak mereka memandang bengong. Kini mereka dapat melihat jelas. Orang itu memakai pakaian dan jubah serba putih dari sutera mengkilap dan di bagian dadanya terdapat gambar tengkorak darah, yaitu lukisan tengkorak dari darah merah yang menetes-netes.

"Iblis keparat!"

Ciok Khim sudah membentak dan pendekar ini meloncat ke depan, dan menyerang orang itu dengan goloknya. Gerakannya cepat dan kuat, dan biarpun yang diinjaknya hanya wuwungan yang lebarnya tidak lebih dari satu kaki saja, namun Ciok Khim dapat meloncat dengan sigap dan menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi, orang itu dengan tenang saja menggerakkan tangan menyambut ke depan.

"Tringgg...!"

Dan mata golok yang tajam itu telah ditangkis begitu saja oleh jari-jari tanganya yang memakai cincin. Ciok Khim merasa betapa tangan kanannya yang memegang golok tergetar hebat, tanda betapa kuatnya tangkisan itu. Orang itupun sudah meloncat ke kanan, ke atas wuwungan melintang dengan cepat.

"Siluman jahat!"

Ciok Lun sudah menerjang dengan toyanya. Mula-mula toyanya menyambar ke arah kepala lawan. Ketika dengan gerakan ringan dan mudah toya itu dielakkan oleh lawan dan menyambar lewat, secepat kilat toya itu sudah dilanjutkannya dengan tusukan ke arah dada, tepat ke arah tengkorak merah itu.

Akan tetapi, hebat-nya, lawan itu sama sekali tidak menangkis, bahkan seperti memasang dadanya untuk ditusuk toya yang digerakkan dengan amat kuat.

"Dukk!"

Toya itu tepat mengenai dada dan ternyata tusukan ini bahkan dipergunakan oleh lawan untuk meminjam tangannya dan kini tubuh itu terjengkang jauh ke belakang, membuat gerakan jungkir balik beberapa kali ketika melayang ke bawah. Sungguh gerakan yang indah, dan terutama sekali, menerima serangan tusukan toya dengan dada begitu saja menunjukkan bahwa orang itu benar-benar memiliki kekebalan yang amat kuat!

"Keparat, mau lari kemana kau?"

Dua orang saudara Ciok ini mengejar dan melayang turun. Di bawah, lawan mereka itu sekali lagi berkelebat sudah lenyap! Selagi mereka kebingungan dan mencari dengan pandang matanya, mereka melihat lawan tadi sudah berada di belakang mereka, berdiri sambil bertolak pinggang!

Diam-diam mereka terkejut. Lawan ini sungguh dapat bergerak seperti setan saja cepatnya. Dan kini, di bawah sinar penerangan lampu, mereka dapat melihat wajah lawan. Ternyata orang itu memakai kedok siluman tengkorak! Mereka berdua segera berteriak keras dan menyerang.

Teriakan itu mereka lakukan untuk memberi tahu teman-teman mereka. Akan tetapi pada saat itu, teman-teman merekapun sedang sibuk! Siok Bu Ham yang sedang berjaga di bagian belakang rumah, ketika mendengar suara kucing tadipun terkejut sekali dan tentu saja perhatiannya juga tertuju ke genteng tetangga dari mana suara hiruk-pikuk itu datang.

Dan ketika dia mengembalikan perhatiannya kepada tempat di sekelilingnya, tahu-tahu di belakangnya telah berdiri seorang yang memakai topeng tengkorak, berpakaian sutera putih dan di dadanya terdapat gambar tengkorak darah!

"Siluman jahanam, berani engkau datang?" bentak Siok Bu Ham dan pendekar ini segera menerjang dengan sepasang siang-kek yang sejak tadi sudah dipersiapkan.

Nampak dua sinar menyambar ketika sepasang tombak pendek itu meluncur dan membuat gerakan menggunting, menyerang dari kanan kiri. Akan tetapi, yang diserangnnya dengan ringan meloncat ke belakang dan serangan berganda itupun mengenai tempat kosong. Sebelum Siok Bu Ham menyerang lagi, orang itu sudah meloncat ke depan.

"Bangsat, jangan lari kau!"

Siluman Gua Tengkorak







Tidak ada komentar: