*

*

Ads

Senin, 29 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 053

Cia Sun tidak membantah lagi, akan tetapi dia masih merasa penasaran dan untuk melapangkan hatinya, dia lalu barpamit dan meninggalkan ayahnya untuk menghirup udara segar di luar rumah yang kini kehilangan keindahan dan daya tariknya baginya itu.

Dia pergi ke kuburan ibunya dan di depan kuburan yang masih baru itu dia tidak dapat menahan lagi kesedihannya dan menangislah pemuda yang biasanya tabah ini tersedu-sedu. Mengingat betapa ibunya masih segar bugar dan bergembira ketika dia meninggalkannya setahun yang lalu dan kini telah tiada, apalagi mengingat betapa ibunya yang dianggapnya sebagai seorang wanita paling lembut, paling baik dan paling mulia di dunia ini tewas terbunuh oleh orang jahat, hatinya terasa sakit sekali dan dendam semakin tumbuh dalam hatinya.

Memang, kedukaan, kemarahan yang menimbulkan kebencian, semua itu muncul dalam batin apabila pikiran mengingat-ingat segala hal yang telah lewat, menghidupkan segala peristiwa dan pengalaman yang lalu itu dalam ingatan, memperbesar rasa iba diri melalui penonjolan si aku yang dibikin susah atau tidak disenangkan.

Makin mendalam pikiran mengingat-ingat, makin berkobarlah nafsu kedukaan dan amarah, membuat kebencian menjadi semakin subur pula. Kebencian timbul dari ingatan. Kebencian adalah ingatan itu sendiri yang disalahgunakan oleh si aku. Tanpa adanya ingatan, tanpa adanya si aku yang mengingat-ingat, takkan ada kebencian.

Sampai hari berganti malam, Cia Sun belum meninggalkan makam ibunya dan para suhengnya yang tewas dalam tangan musuh. Dia duduk bersila, tidak menangis lagi akan tetapi hatinya diliputi penuh duka dan dendam.

Makin dia membayangkan kehidupan yang lalu di samping ibunya, makin dia mengingat akan kematian orang yang disayangnya, semakin besar pula penderitaan batinnya. Dia tidah tahu bahwa sore tadi ayahnya menjenguknya dan memandangya dari jauh tanpa mengganggunya.

Orang tua itu hanya memandang dengan sinar mata terharu, kemudian Cia Han Tiong meninggalkan puteranya, kembali ke dalam kamarnya dimana diapun duduk bersamadhi dengan tenang. Dia harus membiarkan puteranya itu sadar sendiri dan dia dapat menduga bahwa pada saat itu sedang terjadi perang batin dalam diri puteranya.

Malam itu langit tak berbintang, akan tetapi bulan purnama menerangi permukaan bumi dengan cahayanya yang lembut. Cia Sun masih tetap duduk di depan makam ibunya. Hatinya terasa seperti ditusuk ketika secara tiba-tiba dia teringat akan Sui Cin, gadis yang telah menjatuhkan hatinya, membuatnya mengalami perasaan cinta untuk pertama kali dalam hidupnya.

Ketika dia melakukan perjalanan pulang, sudah terkandung rencana dalam hatinya bahwa ibunya akan merupakan orang pertama yang akan diberi tahu tentang rahasia hatinya itu. Dia hendak menceritakan tentang Sui Cin kepada ibunya dan minta nasihat ibunya, bahkan mengharapkan ibunya akan dapat mengatur dan menyampaikan kepada ayahnya tentang hasrat hatinya terhadap puteri Pendekar Sadis.

Dia percaya bahwa ayah ibunya akan merasa girang dan akan menyetujui kalau dia minta dilamarkan Sui Cin. Bukankah diantara ayahnya dan Pendekar Sadis terdapat pertalian batin yang amat erat? Teringat akan semua itu, hatinya menjadi hancur. Kini ibunya telah tiada dan dia merasa malu kalau harus bicara tentang gadis itu kepada ayahnya. Dengan kematian ibunya, dia kehilangan banyak sekali.

Selagi Cia Sun tenggelam ke dalam lamunannya sendiri, tiba-tiba terdengar suara orang di belakangnya,

"Uh-uhh, membiarkan diri tenggelam dalam duka hanya dilakukan oleh orang-orang lemah. Kalau seorang pemuda selemah ini batinnya, tidak dapat diharapkan lagi!"

Cia Sun melompat berdiri sambil membalikkan tubuhnya. Dia terkejut sekali mendengar suara orang itu dan kini dia terbelalak memandang kepada seorang kakek yang tahu-tahu telah berdiri di depannya. Seorang kakek yang menyeramkan, dengan tubuhnya yang tinggi besar, mukanya hitam penuh cambang bauk dan matanya melotot galak, pakaiannya jubah pendeta yang nampak bersih bahkan mewah, sepatunya baru mengkilap.

Diam-diam Cia Sun merasa heran melihat betapa kakek tinggi besar ini tahu-tahu berada di belakangnya tanpa dia mendengar sama sekali. Hal ini saja membuktikan bahwa tentu kakek ini memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi keheranannya tidak mengurangi kemarahannya. Hatinya sedang dipenuhi kemarahan dan dendam, maka kemunculan orang asing yang begitu saja mencelanya membuat pandang mata pemuda ini mengandung api berkilat.

"Iblis dari mana berani datang mengganggu ketenteramku?" bentaknya marah.

"Ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa mengejek. "Kiranya masih ada juga sisa api dalam hatimu. Siapa mengganggu ketenteramanmu? Hatimu jelas tidak tenteram. Apakah kalau engkau menangis seperti itu yang mati akan dapat bangkit kembali? Biar engkau menangis sampai mengeluarkan air mata darah sekalipun, ibumu tetap saja akan tinggal di dalam kuburnya, tidak akan dapat bangkit hidup kembali, ha-ha-ha!"






Tentu saja Cia Sun menjadi marah mendengar kata-kata yang kasar dan nadanya mengejek ini. Andaikata dia tidak sedang diracuni kemarahan dan kebencian, tentu kata-kata ini masih dapat diterimanya. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, ucapan kakek ini membuatnya marah sekali.

"Orang asing, pergilah dan jangan ganggu aku. Apa hubunganmu dengan urusan kematian ibuku?"

"Ha-ha, engkau belum tahu siapa pembunuh ibumu, hanya mendengar nama saja. Siapa tahu pembunuhnya itu adalah orang macam aku, ha-ha!"

Cia Sun terbelalak. Menurut ayahnya, pembunuh ibunya ada dua orang yang berjuluk Hek-hiat Lo-mo dan Hek-hiat Lo-bo.

"Apakah engkau berjuluk Hek-hiat Lo-mo?" tanyanya dengan suara membentak.

"Ha-ha, aku boleh saja disebut Lo-mo (Iblis Tua), akan tetapi apakah aku memiliki Hek-hiat (Darah Hitam) ataukah tidak, haruslah dibuktikan dulu. Akan tetapi aku tahu benar bahwa engkau adalah putera seorang pendekar yang berhati lemah, yang tidak memiliki kegagahan, membiarkan diri dihina dan diinjak-injak orang lain. Engkaupun seorang pemuda yang lemah dan tidak dapat diharapkan."

"Iblis tua, engkau terlalu menghina orang!" Cia Sun marah sekali dan dia sudah mengepal kedua tinjunya dan siap untuk menerjang.

"Ha-ha, engkau hendak menyerangku? Engkau memiliki keberanian itu? Cobalah, orang muda, memang aku ingin sekali melihat sampai dimana kehebatan keturunan Pendekar Lembah Naga!"

Mendengar ini, semakin besar kecurigaan hati Cia Sun. Siapa tahu kakek ini benar-benar musuh besar keluarganya yang datang lagi, untuk menyempurnakan pekerjaannya yang terkutuk itu, yakni membasmi habis keluarga Pendekar Lembah Naga.

Maka dengan kemarahan meluap, Cia Sun sudah menerjang ke depan dan menyerang kakek berjubah pendeta itu. Karena dia sudah dapat menduga bahwa lawan ini tentu lihai sekali, diapun tidak bersikap sungkan lagi dan begitu menyerang, Cia Sun sudah mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang dan begitu tangannya meluncur dia sudah meluruskan telunjuknya yang menjadi kaku seperti baja melakukan totokan bertubi-tubi ke arah tujuh jalan darah utama dibagian depan tubuh lawan. Terdengar bunyi bercuitan ketika tangannya bergerak dan totokan-totokan itu sungguh amat dahsyat!

Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata kakek itu dapat bergerak dengan amat cepat. Tubuhnya bergerak ke sana-sini mengelak dari sambaran jari tangan Cia Sun dan mulutnya mengeluarkan kata-kata seruan,

"Ah, inikah yang disebut totokan It-sin-ci (Satu Jari Sakti)? Hebat, akan tetapi masih mentah!"

Dan ucapannya ini bukan hanya sekedar membual karena tujuh kali totokan itu lewat dan tidak satupun dapat mengenai tubuh kakek itu.

Diam-diam Cia Sun terkejut. Jurus-jurus serangannya tadi adalah jurus-jurus simpanan. Lawan mungkin dapat menangkisnya, akan tetapi menghindarkan diri dari tujuh kali totokan bertubi-tubi itu hanya dengan cara mengelak, sungguh amat luar biasa!

Selain resikonya terlalu besar, juga gerakan tangannya amat cepat sehingga kalau tidak ada orang yang sudah matang ilmunya sehingga gerakannya sudah otomatis dan mendarah daging, kiranya tidak akan mungkin menghindarkan diri semudah itu dari serangkaian totokannya.

Dia juga merasa penasaran dan kini mendesak dan menyerang lagi dengan Hok-mo Cap-sha-ciang! Inilah ilmu yang paling dirahasiakan dari ayahnya. Hok-mo Cap-sha-ciang (Tiga Belas Jurus Penakluk Iblis) adalah ilmu yang amat luar biasa dan mujijat.

Biarpun hanya tiga belas jurus, akan tetapi setiap jurus mengandung kehebatan yang sukar ditahan atau ditandingi lawan. Kalau tidak berada dalam kesulitan, mendiang Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong sendiripun jarang mempergunakan ilmu dahsyat itu. Juga Cia Han Tiong hampir tidak pernah mempergunakannya dalam perkelahian.

Sekali ini, Cia Sun yang berada dalam keadaan sedih dan sakit hati, tak dapat menahan dirinya dan sudah mempergunakan ilmu simpanan terakhir yang paling hebat diantara ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya.

"Wuuuttt... singgg...!"

Angin yang amat kuat menyambar dan suara berdesing terdangar ketika tangan pemuda itu menyambar ke depan. Kakek itu mengeluarkan suara kaget dan tidak berani main-main lagi, segera mengerahkan tenaga dan menyambut dorongan kedua telapak tangan pemuda itu dengan kedua tangannya sendiri. Dia maklum bahwa serangan sedahsyat itu tidak mungkin dielakkan tanpa membahayakan nyawanya. Satu-satunya jalan adalah menyambu pukulan dahsyat itu.

"Plak! Plak!"

Tubuh Cia Sun terdorong ke belakang dan dia merasa betapa tenaganya bertemu dengan sesuatu yang lembut, kedua tangannya bertemu dengan telapak tangan lawan yang amat lunak akan tetapi dia merasa seolah-olah semua tenaganya masuk ke dalam air sehingga hilang kekuatannya, namun ternyata di balik kelembutan itu ada tenaga yang sedemikian halus dan kuatnya sehingga tubuhnya yang terdorong ke belakang. Dan begitu dia berhasil menghentikan tubuhnya yang terdorong, tiba-tiba saja kedua kakinya gemetar dan lemas sehingga dia hampir terguling.

Sebaliknya, kakek itupun membelalakkan kedua matanya yang melotot lebar.
"Ihh, ilmu setan apakah itu? Setahuku Pendekar Lembah Naga adalah seorang pendekar gagah yang tidak pernah tersesat, akan tetapi bagaimana cucunya mempunyai ilmu sesat macam itu tadi?"

Berkata demikian, kakek itu lalu menubruk maju dan jubahnya yang lebar itu berkembang. Cia Sun merasa seolah-olah dia diserang oleh seekor kelelawar raksasa yang terbang dan menyambar ke arahnya. Dia masih merasa lemas kedua kakinya, maka kini diapun mengerahkan Thian-te Sin-ciang untuk melindungi dirinya, menangkis ke depan dari samping sambil mengerahkan tenaga sin-kang.

"Desss...!"

Dan kini, pertemuan antara lengan mereka membuat tubuh Cia Sun terpelanting! Belum hilang rasa kaget pemuda itu, kakek yang amat lihai itu sudah menubruk dengan cengkeraman kedua tangannya kearah kepala dan dada Cia Sun.

"Heh!"

Cia Sun yang masih terpelanting itu terkejut melihat dua buah lengan yang besar dan panjang menyambar dangah cengkeraman maut. Dia menggulingkan tubuhnya mengelak lalu meloncat bangun. Ternyata kedua tangan kakek itu masih melanjutkan serangannya secara aneh dan dahsyat. Akan tetapi Cia Sun cepat memainkan Ilmu Silat Thai-kek Sin-ciang untuk membela dan melindungi dirinya sehingga semua serangan kakek itu dapat dielakkan atau ditangkis!

"Bagus!" Kakek itu memuji. "Thai-kek Sin-ciang yang baik sekali!"

Akan tetapi biarpun mulutnya memuji, kakek itu melanjutkan serangan-serangannya yang ternyata selain aneh sekali gerakannya, juga amat cepat dan kuat sehingga Cia Sun menjadi repot dibuatnya.

Pemuda ini segera merobah gerakannya, berturut-turut dia memainkan San-in Kun-hoat dan semua ilmu yang pernah dipelajarinya. Akan tetapi kakek itu dapat mengenal semua gerakannya dan memuji-muji setengah mengejek!

"Ha-ha, ilmu-ilmu silat yang tinggi dan hebat, akan tetapi masih mentah. Mana Thi-khi-i-beng? Hayo keluarkan, biar kucoba kelihaiannya!"

Cia Sun kini merasa yakin bahwa lawannya benar-benar amat lihai dan telah mengenal ilmu-ilmunya, kecuali Hok-mo Cap-sha-ciang tadi. Hal ini membuatnya merasa gugup dan ketika kakek itu menerjangnya dengan tendangan-tendangan berputar yang amat dahsyat, pahanya kena tendangan dan diapun terguling lagi.

Dan sekali ini, sebelum dia sempat bangun, tahu-tahu kakek itu telah menempelkan jari-jari tangannya ke ubun-ubun kepalanya! Cia Sun memejamkan mata, menanti datangnya maut karena dia yakin bahwa kalau kakek itu menggerakkan jari-jari tangannya, dia tidak akan tertolong lagi. Akan tetapi jari-jari tangan itu tak kunjung terasa oleh kepalanya dan diapun membuka mata. Dilihatnya bahwa jari-jari tangan itu masih menempel di ubun-ubunnya, akan tetapi kakek itu hanya memandang sambil menyeringai.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: