*

*

Ads

Kamis, 25 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 047

"Capp!"

Dara itu menggerakkan tangan kanan dan menjepit ke arah kueh itu. Dengan tepat sekali telunjuk dan jari tengah tangan kanannya telah menjepit kueh itu dan ia melakukan ini sambil tersenyum mengejek.

"Makanlah sendiri!"

Dara itu membentak dan tiba-tiba tangannya bergerak. Kueh itu meluncur cepat ke arah muka orang yang menyambit tadi. Orang itu cepat menggerakkan sumpit untuk menjepit kembali, akan tetapi begitu bertemu sumpit, kue itu hancur dan tentu saja hancuran kue itu menyambar dan mengenai muka orang itu.

Ternyata sebelum membalas dengan timpukan, Siang Wi telah lebih dulu menggunakan tenaga jari tangan membikin kue itu remuk bagian dalamnya. Hancurnya kue menyerang mata, hidung dan mulut, membuat orang itu repot membersihkan mukanya sambil memaki-maki!

Orang kedua yang melihat saudaranya mendapat malu, sudah bangkit dan membentak marah,

"Bocah perempuan, berani kau menghina orang?"

Dan sekali kepalanya bergerak, rambut yang dikuncir tebal itu menyambar ke depan, mengeluarkan suara bersuitan dan memukul ke arah leher Siang Wi. Sungguh merupakan serangan yang aneh akan tetapi juga berbahaya karena thouw-cang (kuncir) yang digerakkan dengan tenaga sin-kang ini tak kalah ampuhnya dibandingkan dengan senjata keras.

Orang itu sungguh terlalu memandang rendah kepada Siang Wi maka dia berani selancang itu menyerang dengan kuncirnya. Kalau tidak begitu tentu dia tidak berani bergerak secara sembrono seperti itu.

"Wuuuuttt...!"

Kuncir itu meluncur lewat ketika Siang Wi merendahkan tubuh mengelak dan begitu kuncir menyambar lewat, tangan kiri Siang Wi mencuat dan tahu-tahu kuncir itu sudah dapat dicengkeramnya! Sekali sentakan, terpaksa kepala orang itu tertunduk dan Siang Wi sudah mengangkat lututnya untuk menghajar muka orang! Tentu sedikitnya hidung orang itu akan berdarah kalau saja saudaranya tidak cepat menubruk dengan pukulan tangan ke arah punggung Siang Wi.

"Huh, pengecut curang!" bentak Siang Wi yang terpaksa melepaskan orang pertama dengan mendorongnya mundur, kemudian sambil meloncat dara itu membalik dan menangkis pukulan orang kedua.

"Dukk!"

Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya, orang berjenggot itu menyeringai kesakitan dan meloncat ke belakang. Tak disangkanya pertemuan lengan itu membuat lengannya kesakitan dan seperti lumpuh saking kuatnya lengan kecil milik nona itu. Kini tahulah dua orang Harimau Sungai Kuning itu bahwa lawannya, biarpun wanita, biarpun masih muda sekali, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat.

Kini para tamu menjadi semakin gembira, dan tuan rumah, yaitu Ang-kauwsu yang juga melihat pertikaian itu diam saja karena diapun ingin melihat kesudahannya. Guru silat ini juga memiliki penyakit yang sama dengan orang-orang dari kalangan persilatan, yaitu suka melihat adu silat.

Pula, diam-diam diapun merasa tidak senang melihat sikap para jagoan Huang-ho yang terkenal kasar dan banyak lagak itu tadi menghina utusan Cin-ling-pai. Dia mengharapkan jagoan-jagoan sombong itu menemui batunya walaupun hatinya khawatir melihat bahwa disitu terdapat pula Huang-ho Lo-eng yang dia tahu amat lihai sekali.

"Budak perempuan kurang ajar! Berani engkau menghina kami di tempat umum? Hayo cepat berlutut minta maaf kalau tidak ingin menerima hajaran kami!" bentak seorang di antara dua jagoan yang mukanya terkena hancuran kue tadi.

Bagaimanapun juga, dia dan kawannya masih sungkan melawan seorang gadis, apalagi sekarang mereka berdua telah memegang senjata andalan mereka, yaitu sebatang tombak besar gagang panjang. Kalau dara itu mau minta maaf, berarti muka mereka telah tercuci, atau kalau dara itu tetap hendak melawan, berarti mereka sudah memberi kesempatan kepadanya untuk minta maaf.






Seorang seperti Siang Wi, mana mengenal minta maaf? Hatinya terlalu keras untuk mau mengalah, apalagi terhadap orang-orang yang sudah berani menghinanya dan menghina Cin-ling-pai.

Ia tersenyum mengejek dan mukanya menjadi semakin dingin, sepasang matanya mengeluarkan sinar kilat.

"Dua monyet busuk, dengarlah baik-baik. Kalian yang telah menghina Cin-ling-pai dan kalau kalian kini berlutut minta ampun, barulah nonamu hendak mempertimbangkan apakah kalian dapat diampunkan. Kalau tidak, aku akan menghajar kalian!"

Ucapan ini sungguh amat hebat. Bukan hanya menantang terang-terangan di depan orang banyak itu, bahkan menghina. Mana bisa Huang-ho Siang-houw, dua jagoan itu mau menerima begitu saja?

"Bocah setan, engkau bosan hidup!" teriak seorang diantara mereka dan golok besar bergagang panjang itu menyambar dahsyat ke leher Siang Wi.

Tentu saja dara perkasa itu tidak sudi lehernya dibabat begitu saja. Ia cepat mengelak sambil membalikkan tubuh menendang meja di depannya. Kakek Huang-ho Lo-eng yang duduk di belakang meja itu cepat menghindar dengan loncatan gesit ke kanan sehingga dia tidak sampai terkena tumpahan makanan dan arak.

Akan tetapi dia bukan hanya meloncat begitu saja, melainkan cepat meraih dan dia sudah berhasil menangkap kaki meja dan menaruh meja itu di samping. Gerakan ini saja membuktikan kecepatan dan kelihaian jago tua ini.

Kini terdapat ruang agak luas bagi Siang Wi yang menghadapi dua orang lawannya. Dua orang harimau itu mulai menyerang dengan golok gagang panjang mereka. Semua orang memandang dengan tegang dan juga agak khawatir karena Siang Wi tidak mau mempergunakan pedangnya.

Dara ini tadi memang melolos sepasang pedangnya, akan tetapi bukan dicabut untuk melawan, melainkan ia letakkan di atas mejanya sendiri agar sepasang senjata itu tidak mengganggu gerakannya, kemudian ia kembali ke hadapan dua orang lawannya, melawan dengan tangan kosong.

"Anak itu terlalu sembrono!"

"Terlalu sombong bisa merugikannya."

"Tapi, ia kelihatan lihai sekali."

Demikianlah para penonton saling berbisik melihat betapa dara itu menghadapi Huang-ho Siang-houw dengan tangan kosong, padahal kedua orang lawan itu menggunakan senjata tajam yang bergagang panjang. Dua orang jagoan itu sendiri merasa kikuk dan sungkan.

"Bocah gila, hayo pergunakan pedangmu!" bentak mereka.

"Melawan dua ekor monyet tua macam kalian tidak perlu pakai pedang!" jawab Siang Wi yang memang tinggi hati.

Dua orang itu tak dapat lagi menahan kemarahan hati mereka. Keduanya lalu menyerang dengan golok mereka. Senjata itu mengeluarkan suara bercuitan dan berdesing-desing, dan terbentuk dua gulungan sinar lebar yang menyambar-nyambar.

Akan tetapi, para tamu menjadi bengong ketika mereka melihat betapa dara itu menggerakkan tubuhnya dan seperti seekor burung walet saja gesitnya beterbangan di antara sambaran kedua golok itu! Bukan main indahnya gerakan dara itu dan tak terasa lagi keluar pujian dari mulut para tamu yang sudah tinggi ilmunya.

Hui Song dan Sui Cin baru saja menyelinap ke dalam rombongan tamu, memilih tempat di sudut. Mereka mempergunakan kesempatan selagi keadaan menjadi kacau karena perkelahian itu, dimana semua tamu mencurahkan perhatiannya ke arah perkelahian untuk menyelinap masuk dan tanpa menemui tuan rumah mereka sudah mengambil tempat duduk di sudut yang agak tersembunyi oleh satu diantara tiang-tiang penyangga bangunan darurat itu. Mereka juga tertarik menonton ke arah perkelahian.

"Hemm, berani benar gadis itu menghadapi pengeroyokan dua orang lawan yang bersenjata panjang dengan tangan kosong saja." kata Sui Cin setelah melihat dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa dua orang bersenjata golok panjang itu tak boleh dipandang ringan.

"Sumoi takkan kalah," kata Hui Song lirih dan Sui Cin terkejut.

"Sumoimu...?"

Ia memandang lebih teliti dan kini iapun mengenal gerakan kaki dan tangan gadis itu, walaupun kadang-kadang gerakan itu berobah aneh. Masih ada dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai dalam gerakan silat gadis itu, akan tetapi sudah bercampur dengan ilmu silat lain yang tidak dikenalnya.

Memang sesungguhnyalah. Setelah menikah dengan Cia Kong Liang, Bin Biauw mendapat banyak petunjuk dari suaminya dan iapun mempelajari dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai yang kokoh kuat. Maka, ketika ia melatih Siang Wi, tentu saja dasar-dasar ilmu silat Cin-ling-pai juga diajarkan, bahkan Siang Wi juga menerima gemblengan dari ketua Cin-ling-pai sendiri.

"Ya, namanya Tan Siang Wi," jawab Hui Song sederhana.

Dia tidak merasa girang bertemu dengan sumoinya. Pemuda ini tahu benar bahwa sumoinya itu sudah sejak lama sekali menaruh perhatian kepadanya dan dalam sikap dan gerak-gerik dara yang pendiam itu terdapat tanda-tanda bahwa Siang Wi mencintanya.

Hal inilah yang membuat dia merasa tidak enak kalau bertemu dengan sumoinya. Diapun menyayang sumoinya ini, akan tetapi sumoinya berwatak keras, terlalu berani dan agak angkuh. Dia tidak mencinta sumoinya, maka merasa semakin tidak enak setelah tahu bahwa sumoinya itu jatuh cinta kepadanya.

"Hemm, ia cantik dan gagah!" Sui Cin memuji. Memang gadis itu manis sekali, terutama pinggangnya amat ramping.

"Ya, tapi keras hati dan galak."

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: