*

*

Ads

Kamis, 25 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 046

Ang-kauwsu (guru silat Ang) memang mempunyai banyak kenalan. Sebelum menjadi guru silat yang tinggal di kota Pao-fan, di waktu mudanya dia pernah bakerja sebagai kepala piauwau (pengawal barang) yang cukup terkenal di kota raja. Sebagai piauwau, tentu saja dia banyak mengenal dunia hitam, mengenal para penjahat karena hal ini amat penting bagi pekerjaannya. Karena bersahabat dan suka memberi hadiah, maka para penjahat tidak akan mengganggu kiriman barang-barang di bawah bendera piauw-kiok yang dipimpinnya.

Kini usianya sudah enam puluh tahun dan ketika dia diundang oleh Jenderal Ciang yang sudah dikenalnya dan diberitahu tentang komplotan yang hendak membunuhi para pembesar yang setia, dia segera menyatakan kesetiaannya untuk membantu jenderal itu menumpas para penjahat. Tentu saja hanya dengan cara mengadakan pesta ulang tahun ke enam puluh dan mengundang semua golongan sebagai pancingan agar para penjahat itu melihat kesempatan hadirnya Ciang-goanswe disitu dan berani turun tangan.

Dia sendiri tidak berani mencampuri karena begitu mendengar bahwa komplotan itu terdiri dari orang-orang Cap-sha-kui, nyali guru silat ini sudah terbang dan mukanya menjadi pucat ketakutan. Siapa orangnya takkan ngeri mendengar nama Cap-sha-kui?

Berita tentang pesta ulang tahun Ang-kauwsu telah tersiar luas. Diberitakan bahwa Ang-kauwsu mengadakan pesta besar-besaran dan meriah, bahkan mengundang orang-orang penting, juga Jenderal Ciang dari kota raja akan hadir dalam pesta itu. Juga diberitakan bahwa Ang-kauwsu membuka kesempatan kepada semua kawan di rimba raya untuk datang tanpa adanya surat undangan karena sukar menyampaikan surat undangan kepada mereka.

Berita ini cukup bagi kaum sesat bahwa Ang-kauwsu tidak melupakan mereka dan bahwa semua orang tokoh sesat akan diterima sebagai tamu terhormat kalau menghadiri pesta itu. Tentu saja yang dimaksudkan dengan tokoh adalah mereka yang memiliki kepandaian cukup tinggi untuk menjadi tamu kehormatan Ang-kauwsu.

Sejak pagi pada hari yang ditentukan, ruangan besar yang merupakan tempat darurat, yaitu halaman depan rumah yang dibangun untuk tempat pesta, mulai dibanjiri tamu dari berbagai golongan. Tidaklah sukar untuk menduga siapakah tamu-tamu dari golongan bersih dan siapa pula tamu dari golongan sesat karena sebagian besar dari para kaum sesat itu bersikap kasar dan congkak, juga aneh-aneh pakaian dan sikap mereka. Karena para undangan itu terdiri dari orang-orang dari kaum persilatan, maka tidak diadakan penggolongan tempat duduk bagi wanita dan pria.

Biarpun wanita, kalau wanita kang-ouw, tidak merasa canggung duduk diantara kaum pria. Ada belasan orang wanita diantara para undangan itu yang duduknya berpencaran. Diantara mereka terdapat seorang gadis yang sikapnya menonjol karena selain wajahnya angker dan galak, juga dara ini amat cantik dan datangnya sendirian saja ke dalam pesta itu.

Akan tetapi ketika ia memperkenalkan diri kepada tuan rumah sebagai seorang murid yang mewakili Cin-ling-pai, ia menjadi pusat perhatian orang di sekitarnya. Cin-ling-pai, nama yang sudah amat terkenal. Akan tetapi banyak pula yang merasa heran mengapa Cin-ling-pai diwakili oleh seorang gadis yang masih begitu muda, cantik jelita dan halus pula gerak-geriknya. Yang dapat menunjukkan bahwa ia seorang ahli silat hanyalah sepasang pedang yang tergantung di punggung dan wajahnya yang angker itu.

Dara itu berusia sembilan belas tahun, pakaiannya ringkas namun cukup mewah dan bersih, sepatunya mengkilap, wajahnya manis sekali, dengan mulut yang kecil dan dagu yang meruncing, matanya tajam galak dan rambutnya hitam dan lebat sekali, digelung ke atas merupakan sanggul yang besar dan diikat sutera kuning. Kalau rambut itu dilepas sanggulnya, mungkin panjangnya sampai ke lutut. Sepasang pedang panjang tipis melintang di kanan kiri pundak, tergantung pada punggung dan ini menambah kegagahannya.

Ketika Ang-kauwsu mendengar bahwa gadis cantik ini adalah wakil Cin-ling-pai yang memberi selamat kepadanya, dia lalu mengantar tamu ini ke sebuah meja dimana telah duduk tiga orang tamu lain, dua wanita dan seorang pria yang menjadi kenalan baiknya karena mereka itu adalah keluarga piauwsu di kota Pao-fan.

Dara Cin-ling-pai itu dipersilakan duduk dan gadis itu nampak lega karena memperoleh teman duduk yang cukup sopan dan yang usianya sekitar tiga puluhan, belum tua benar. Ia memperkenalkan diri sebagai Tan Siang Wi dan segera bercakap-cakap dengan tiga orang semeja itu.

Tak jauh dari meja dimana Tan Siang Wi duduk, terdapat pula tiga orang pria sedang duduk bercakap-cakap. Sukar dikatakan apakah mereka itu golongan sesat ataukan golongan bersih. Pakaian mereka cukup rapi, dan jelas menunjukkan pakaian ahli-ahli silat karena ringkas dan sikap merekapun gagah.

Seorang diantara mereka sudah tua, jenggot kumis dan alisnya sudah putih namun tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Dua orang lainnya yang duduk di kanan kirinya berusia empat puluh tahun lebih, rambut mereka dikuncir tebal dan wajah mereka nampak gagah dengan jenggot terpelihara rapi.






Akan tetapi, sikap tiga orang ini agak congkak dan hal ini dapat nampak pada pandang mata mereka yang ditujukan kepada para tamu yang hadir. Bahkan setiap kali ada tamu datang, terutama tamu yang menunjukkan bahwa mereka ini datang dari golongan hitam, mereka bertiga bicara dan tertawa-tawa. Pandang mata mereka yang ditujukan kepada tamu baru itu ketika tertawa-tawa menunjukkan bahwa tentu tamu baru itu yang menjadi bahan ketawa mereka.

Demikian pula ketika Tan Siang Wi muncul, mereka berbisik-bisik dan melirik ke arah gadis itu, tersenyum-senyum menyeringai dengan sikap kurang ajar sekali. Karena Siang Wi tidak mendengar apa yang mereka bicarakan, dara inipun tidak perduli. Akan tetapi setelah ia duduk bersama tiga orang tamu dan kebetulan duduknya menghadap ke arah meja tiga orang itu, mulailah Siang Wi mengerutkan alisnya.

Ia melihat betapa tiga orang itu, terutama dua orang termuda, selalu memandang kepadanya dan sengaja mainkan mata mereka seperti lagak laki-laki yang hendak menggoda wanita. Tentu saja Siang Wi menjadi mendongkol dan mula-mula ia memang membuang muka saja dan tidak mau balas memandang. Akan tetapi, telinganya mulai dapat menangkap percakapan mereka itu diantara berisiknya suara para tamu lain. Marahlah gadis ini.

Tan Siang Wi adalah murid tunggal dari Bin Biauw, isteri ketua Cin-ling-pai. Seperti kita ketahui, Bin Biauw atau nyonya Cia Kong Liang ini adalah puteri bekas datuk sesat Tung-hai-sian, seorang Bangsa Jepang. Setelah berbesan dengan ketua Cin-ling-pai, Tung-hai-sian mencuci tangan dan tidak lagi berkecimpung di dalam dunia sesat.

Puterinya, Bin Biauw, biarpun puteri seorang datuk sesat, adalah seorang gadis yang baik sehingga dapat menjatuhkan hati Cia Kong Liang. Akan tetapi setelah kini mempunyai seorang murid, ternyata muridnya ini sedikit banyak mewarisi watak Tung-hai-sian.

Tan Siang Wi ini berwatak keras sekali, tidak pernah mau mengalah, agak tinggi hati dan angkuh walaupun ia selalu bertindak gagah dan menentang kejahatan. Selain mewarisi ilmu dari Bin Biauw, ia juga menerima petunjuk-petunjuk dan ilmu silat dari ketua Cin-ling-pai sendiri maka dapat dibayangkan betapa lihainya Siang Wi.

Kelihaiannya membuat dara ini semakin tinggi hati, terutama terhadap golongan sesat yang dianggap musuhnya. Tangannya berobah ganas kalau ia berurusan dengan kaum sesat dan sedikitpun ia tidak mau mengalah atau memberi hati. Maka, selama satu dua tahun saja memasuki dunia kang-ouw, gadis ini telah dijuluki orang Toat-beng Sian-li (Dewi Pencabut Nyawa) karena ganasnya terhadap musuh-musuhnya. Agaknya karena kenyataan yang sudah didengarnya bahwa sukongnya, yaitu Bin Mo To di Ceng-to, adalah seorang bekas datuk sesat, gadis ini hendak membuktikan kepada semua orang di dunia bahwa dia adalah murid isteri ketua Cin-ling-pai, jadi seorang pendekar, bukan orang sesat!

Terdapat kecondongan hati kita untuk selalu menutupi kekurangan dan menonjolkan kelebihan kita. Kita selalu ingin disebut baik. Keinginan seperti ini selalu timbul karena kenyataan yang kita lihat bahwa keadaan kita adalah sebaliknya daripada baik. Hanya orang yang berkulit hitam sajalah yang selalu ingin disebut putih. Hanya orang yang bodoh sajalah yang selalu ingin dianggap pintar, dan hanya orang yang melihat betapa kotor dirinya sajalah yang selalu ingin dianggap bersih dan baik.

Kita lupa bahwa justeru keinginan-keinginan untuk dianggap lain daripada kenyataan ini yang seringkali mendorong kita untuk melakukan hal-hal yang buruk dan bodoh. Kalau kita sadar akan kekotoran kita, maka kita akan berusaha membersihkannya, bukan dengan cara menyembunyikan atau menutupinya.

Kalau kita sadar bahwa kita bersih, maka kita akan menjaga agar kebersihan itu tidak ternoda kekotoran, bukan lalu menjadi tinggi hati dan merasa bersih dan baik sendiri karena perasaan demikian itu sudah menodai kebersihan itu sendiri. Mengapa kita kadang-kadang merasa ngeri untuk menghadapi dan melihat kenyataan apa adanya, betapa buruk dan kotor sekalipun kenyataan itu? Menutupi kenyataan, melarikan diri dari kenyataan, jelas tidak akan dapat merobah keadaan itu.

"Ha-ha-ha!"

Seorang diantara tiga pria itu tertawa lagi sambil menyumpit dan makan kue yang mulai dihidangkan. Wajah mereka mulai merah oleh arak.

"Agaknya Cin-ling-pai sudah kehabisan jago jantan maka mengeluarkan jago betina, heh-heh!"

Ucapan itu sebenarnya lebih merupakan kelakar diantara mereka sendiri karena diucapkan perlahan dan dimaksudkan untuk mereka dengar sendiri, dan ketiganya tertawa bergelak sambil melontarkan pandang ke arah meja Siang Wi.

Akan tetapi karena mencurahkan perhatian ke arah mereka, Siang Wi dapat menangkap kata-kata itu dan marahlah gadis ini. Ia tidak mampu lagi mengendalikan dirinya dan sekali melompat, ia telah meloncati mejanya dan tahu-tahu seperti seekor burung saja ia sudah hinggap di atas lantai dekat meja tiga orang itu!

"Kalian tadi bilang apa?" bentaknya sambil berdiri dengan kedua tangan bertolak pinggang dan mata tajam penuh kemarahan menatap mereka.

Tiga orang itu terkejut. Tak mereka sangka bahwa gadis itu akan dapat mendengar ucapan yang menghina Cin-ling-pai tadi, juga mereka terkejut melihat gadis itu demikian gesitnya meloncati meja dan kini berdiri di depan mereka dengan sikap mengancam.

"Eh, kami bilang apa? Tidak ada sangkut-pautnya denganmu!" seorang diantara mereka menjawab dan melanjutkan jepitan sumpitnya pada kue di atas piring.

"Bagus! Kalian menghina Cin-ling-pai dan masih berani bilang tidak ada sangkut-pautnya denganku? Biarpun Cin-ling-pai diwakili seorang wanita setidaknya jauh lebih gagah daripada kalian ini banci-banci pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya!"

Para tamu yang duduk di sekitar tempat itu menjadi kaget dan merekapun menoleh dengan penuh perhatian dan wajah mereka tertarik sekali. Dalam pertemuan antara para orang-orang kang-ouw sudah lumrah apabila terjadi keributan dan perkelahian. Mereka bahkan sebagian besar mengharapkan terjadinya hal ini, karena dalam pertemuan para ahli persilatan, terasa kurang sedap dan kurang bumbu kalau tidak terjadi keributan dan perkelahian.

Tiga orang itu sebenarnya bukan orang-orang sembarangan. Kakek yang berjenggot putih itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal yang berjuluk Huang-ho Lo-eng (Pendekar Tua Sungai Kuning) bernama Pui Tek. Adapun dua orang laki-laki gagah di sampingnya adalah dua orang muridnya, juga amat terkenal sebagai Huang-ho Siang-houw (Sepasang Harimau Sungai Kuning).

Mereka bukan penjahat dalam arti kata memiliki pekerjaan jahat seperti perampok atau bajak, akan tetapi karena orang-orang takut kepada mereka, maka dengan mudah mereka memperoleh hasil dari hadiah yang mereka terima dari para pedagang demi keselamatan dan keamanan. Mereka adalah semacam tukang-tukang pukul yang disegani.

Guru mereka, Huang-ho Lo-eng Pui Tek pernah dalam suatu perkelahian dikalahkan oleh Cia Kong Liang ketua Cin-ling-pai. Walaupun bukan merupakan permusuhan pribadi dan tidak ada dendam secara terbuka, namun kekalahan itu membuat Pui Tek mendongkol dan tidak suka kepada Cin-ling-pai, menganggap ketua Cin-ling-pai yang memang keras wataknya itu terlalu sombong. Dengan sendirinya, kedua orang muridnya juga tidak suka kepada Cin-ling-pai, maka tidak heranlah kalau mereka tadi mengeluarkan kata-kata yang nadanya tidak bersahabat terhadap Cin-ling-pai sehingga membuat Siang Wi menjadi marah sekali.

Kini, di depan meja mereka berdiri seorang gadis Cin-ling-pai yang bertolak pinggang dan memaki mereka banci pengecut di depan begitu banyak orang. Tentu saja wajah tiga orang itu menjadi merah sekali dan kemarahan mulai memenuhi hati mereka. Akan tetapi, bagaimanapun juga mengingat akan julukan Pui Tek yang masih memakai Lo-eng (Pendekar Tua), dua orang harimau itu tentu saja lebib condong merasa diri mereka pendekar dari golongan bersih daripada sebagai golongan hitam, maka ada rasa harga diri pada mereka yang membuat mereka merasa malu kalau harus ribut-ribut dan berkelahi melawan seorang gadis yang masih remaja, yang usianya tentu belum ada dua puluh tahun.

Mereka adalah jagoan-jagoan di sepanjang Sungai Kuning, tentu memalukan kalau harus berkelahi melawan seorang dara remaja. Akan tetapi didiamkan sajapun tidak mungkin setelah gadis itu memaki mereka sebagai banci pengecut.

"Bocah perempuan kurang ajar, makanlah ini!"

Bentak orang yang menyumpit kue itu dan sekali tangan kanan yang memegang sumpit bergerak, kue sepotong yang disumpitnya itu meluncur ke arah muka Siang Wi dengan kecepatan kilat!

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: