*

*

Ads

Rabu, 24 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 044

"Haiii... nona...! Perlahan dulu, nona...!"

Sui Cin sudah tahu bahwa ada seorang pemuda berlari-lari mengejarnya, bahkan dara ini sudah tahu pula siapa pemuda itu. Akan tetapi ia pura-pura tidak dengar atau tidak perduli, melainkan melanjutkan perjalanannya menunggang kuda kecilnya dengan santai.

Ia bahkan tidak memegang kendali kuda, dibiarkan kudanya berjalan seenaknya dan ia melindungi kepalanya dengan sebuah payung yang dikembangkan dan dipanggulnya. Iapun duduk miring di atas punggung kudanya, seenaknya sambil menikmati keindahan pemandangan alam pegunungan di sekitarnya. Jalan itu kasar dan sunyi, sinar matahari membakar panas, maka terasa nyaman berlindung di bawah payung.

"Prak-plok-prak-plok-prak...!"

Suara kaki kuda berirama dan nyaring karena kuda itu mengenakan sepatu atau tapal kaki baru.

Hui Song merasa penasaran sekali. Dari jauh dia mengenal gadis berpayung menunggang kuda itu. Siapa lagi kalau bukan gadis yang pernah membuatnya tak mampu tidur nyenyak, gadis yang membuatnya tergila-gila, gadis perkasa yang pernah membantunya ketika dia dikeroyok oleh tiga orang tokoh Cap-sha-kui yang bernama Tho-tee-kui, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo? Maka dia lalu lari mengejar dan bukan main girangnya melihat kenyataan bahwa dugaannya memang benar, terutama sekali karena sekarang gadis itu tidak membalapkan kuda kecil yang lihai itu untuk meninggalkannya.

Seperti kita ketahui, Sui Cin telah terlepas dari malapetaka ketika ia terculik Sim Thian Bu dan tortolong oleh Siangkoan Ci Kang. Setelah pergi, ia lalu kembali ke dusun dimana ia menitipkan kudanya, dan kini ia melakukan perjalanan berkuda dengan niat pulang ke selatan, ke tempat tinggal orang tuanya di Pulau Teratai Merah.

Sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa ia bertemu dengan Hui Song di tengah perjalanan, atau lebih tepat tersusul oleh pemuda itu. Ia sengaja membiarkan kudanya berjalan terus dan kini dengan napas agak terengah-engah Hui Song berjalan di sebelah kanan kuda itu sambil tersenyum menoleh dan memandang wajah di bawah payung itu. Sejenak kedua mata pemuda itu terbelalak keheranan, akan tetapi dia lalu tersenyum lagi dan nampak gembira sekali.

"Huh, apa maksudmu teriak-teriak seperti orang kesurupan dan lari-lari seperti orang dikejar setan?" Sui Cin menegur sambil tersenyum mengejek.

"Aku tidak kesurupan, memang gila, tergila-gila dan aku bukan dikejar setan melainkan dikejar ketakjuban. Sungguh tak pernah kusangka sebelumnya bahwa yang bernama Sui Cin adalah seorang gadis yang cantik jelitanya melebihi semua bidadari di kahyangan!"

Kedua pipi itu menjadi merah, dan mata itu mengeluarkan sinar berapi. Entah mana yang lebih besar dan yang lebih memerahkan pipi, kemarahan ataukah kebanggaan mendengar pujian itu. Juga ia merasa terkejut karena ternyata Hui Song dapat menduga bahwa ia adalah Sui Cin si "pemuda jembel" itu. Kini tidak perlu berpura-pura lagi.

"Hemm, baru sekarang engkau tahu?" pancingnya. Ia tidak menghentikan kudanya dan terpaksa Hui Song berjalan-jalan di samping kuda itu yang kelihatan tidak senang kerena ada orang yang mengganggu ketenangannya di tempat sunyi indah itu.

"Memang baru sekarang! Wah, kalau aku tahu sejak dulu..."

"Lalu mau apa?"

"Tidak apa-apa. Sungguh engkau pandai sekali menyamar dan kau bilang mempunyai seorang cici."

"Akulah cicinya!"

"Ha-ha, dan engkau adiknya pula, pemuda jembel yang membagi-bagi uang kepada para jembel lain. Sungguh luar biasa! Dan engkau menjanjikan kepadaku untuk memperkenalkan aku kepada cicimu. Nah, sekarang perkenalkan. Kau tahu namaku, akan tetapi apakah namamu juga masih sama? Sui Cin?"

Sui Cin mengangguk.
"Eh, bagaimana engkau tiba-tiba saja dapat menduga bahwa aku adalah pemuda jembel itu pula?"

"Nanti dulu, apakah engkau begitu kejam membiarkan aku berjalan-jalan bersama kudamu yang mempunyai empat kaki sedangkan aku hanya mempunyai dua kaki?"






"Hemm, engkaupun boleh menggunakan kedua tanganmu sebagai kaki!"

"Sialan! Kau suruh aku merangkak?"

"Kalau kau mau!"

"Sudahlah, kasihanilah padaku. Aku capek dan kepanasan, mari kita berhenti dulu di bawah pohon sana itu, tempatnya teduh dan di situ banyak rumput. Kalau engkau tidak kesihan padaku, sedikitnya engkau kasihan kepada kudamu dan membiarkan dia istirahat dan makan rumput."

Sui Cin tak membantah lagi, lalu menepuk bahu kudanya yang segera membelok ke kiri menuju ke arah pohon rindang. Disini ia turun, menutup payungnya dan membiarkan kudanya makan rumput sedangkan ia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol diatas tanah, berhadapan dengan pemuda itu.

Sejenak mereka saling berpandangan dan sekali ini Hui Song yang menundukkan mukanya karena malu akan tetapi juga girang sekali.

"Nah, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi."

"Mengenalimu? Mudah sekali. Ketika aku melihatmu dari jauh, aku segera teringat akan encinya Sui Cin, gadis yang pernah membantuku melawan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu, maka aku mengejarnya. Begitu tiba di dekat kuda dan melihat wajahmu, aku terkejut dan segera timbul keyakinan di hatiku bahwa engkau adalah Sui Cin pemuda jembel itu."

"Hemm, mengapa begitu yakin? Bagaimana kalau aku encinya?"

"Memang mungkin ada persamaan antara seorang enci dan seorang adiknya, akan tetapi sinar mata dan senyum bibir itu tidak mungkin ada keduanya di dunia ini... eh, maaf, maksudku... aku sudah mengenal benar sinar mata dan senyum itu, jadi begitu melihatnya aku segera mengenalmu, Sui Cin. Maaf, rasanya janggal menyebutmu nona, setelah sekian lamanya menyebutmu Cin-te! Sekarang, agaknya tidak mungkin lagi menyebut Cin-te (adik laki-laki Cin), maka kusebut saja namamu."

"Memang benar, Song-ko. Aku bernama Sui Cin dan tidak mempunyai adik maupun kakak. Memang sudah menjadi kebiasaanku di waktu merantau, aku suka menyamar sebagai seorang pemuda. Kebetulan aku bertemu denganmu dalam penyamaran itu dan berkenalan, tentu saja aku terpaksa menyamar terus."

Tiba-tiba Hui Song tertawa bergelak. Sui Cin mengerutkan alisnya, merasa ditertawakan dan ia menjadi marah.

"Mau apa kau tertawa-tawa seperti gila?"

Hui Song menahan ketawanya.
"Aku teringat akan ceritamu tentang banci itu... ha-ha, bisa saja engkau mencari alasan mengapa engkau marah-marah ketika aku mendekatimu. Ingat ketika aku merangkulmu karena kuanggap biasa antara laki-laki dan kau marah-marah dan..."

Wajah dara itu menjadi merah sekali.
"Sudahlah, tak perlu diungkit-ungkit kembali. Sekarang, mau apa sih engkau mengejarku?"

Hui Song bersikap sungguh-sungguh walaupun kini wajahnya cerah dan gembira sekali. Memang harus diakuinya bahwa sejak berpisah dari Sui Cin si pemuda jembel, dia merasa kehilangan dan kesepian.

"Sebenarnya aku tidak mengejarmu, melainkan mencari jejak Sui Cin pemuda itu."

"Mau apa?"

Hui Song tersenyum malu-malu.
"Pertama... eh, untuk bertanya bagaimana dia tidak muncul di pantai telaga, dan kedua... anu... aku ingin menagih janji karena dia berjanji hendak memperkenalkan aku kepada encinya."

"Mata keranjang!"

"Bukan begitu, Sui Cin. Janji tetap janji! Sekarang katakanlah, mengapa engkau tidak muncul di pantai? Aku mendengar penuturan Shantung Lo-Kiam bahwa ada seorang gadis diculik penjahat. Entah bagaimana, aku teringat akan encinya Sui Cin, maka akupun lalu melakukan pengejaran dan pencarian. Dan ternyata aku beruntung sekali, menemukan Sui Cin sahabatku bersama encinya sekaligus. Sui Cin, benarkah engkau yang dikabarkan oleh Shantung Lo-kiam itu?"

Sui Cin mengangguk.
"Benar. Aku melakukan pengamatan di pantai seperti yang telah kita rencanakan, dan karena aku sudah berpisah darimu, aku mengenakan pakaian wanita kembali agar lebih mudah mengamati. Disitu aku bertemu dengan Sim Thian Bu yang tadinya tidak kusangka seorang penjahat karena dia pernah mau ikut menghadiri pertemuan antara para pendekar tempo hari. Kiranya dia seorang jai-hwa-cat dan kami segera berkelahi. Aku lengah ketika muncul seorang di antara tokoh Hwa-i Kai-pang itu, yang perutnya gendut, dan aku tertotok roboh. Lalu muncul kakek itu, yang membawa yang-kim..."

"Shan-tung Lo-kiam..."

"Kakek itu menyerang si gendut dan mereka berkelahi. Aku yang sudah tertotok lalu dilarikan oleh jahanam Sim Thian Bu. Aku dilarikan menuju ke sebuah guha tersembunyi dan... dan... si jahanam keparat itu hampir saja menggangguku!"

Hui Song mengepal tinju.
"Keparat! Lalu bagaimana?"

"Untung muncul seorang pemuda... anehnya, pemuda itu adalah suheng dari Sim Thian Bu walaupun usianya paling banyak delapan belas tahun sedangkan Sim Thian Bu sudah dua puluh lima tahun lebih. Pemuda itu melarang, akan tetapi jahanam itu membantah dan akhirnya jahanam itu dihajar babak-belur oleh pemuda yang amat lihai itu. Kemudian aku dibebaskan dan begitu kaki tanganku bebas, tentu saja aku menyerang Sim Thian Bu yang sudah dihajar parah. Akan tetapi pemuda itu menangkis dan ternyata dia amat kuat..."

Hui Song terbelalak heran.
"Nanti dulu, apakah pemuda itu wajahnya masih amat muda akan tetapi matanya mencorong, pakaiannya sederhana den tubuhnya tinggi tegap?"

"Benar jubahnya kasar belang-belang agaknya dari kulit harimau..."

"Ah, benar dia! Menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam, dia tentu putera Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta!"

"Apa? Datuk itu?" Sui Cin bertanya kaget. "Kalau begitu, Sim Thian Bu adalah murid Si Iblis Buta?"

"Mungkin sekali, dan itulah sebabnya dia menyebut suheng kepada pemuda itu, karena kalah tingkat."

"Tapi kalau pemuda itu putera Iblis Buta, kenapa dia menolongku dan menghajar sutenya sendiri?"

Hui Song termenung.
"Entahlah, sungguh teka-teki yang membingungkan."

Hening sejenak. Kemudian Sui Sin yang mulai merasa biasa berhadapan dengan Hui Song sebagai seorang wanita, bertanya,

"Bagaimana dengan usahamu menyelamatkan Menteri Liang?"

"Berhasil dengan baik," katanya dan diapun lalu menceritakan bahwa dia telah menemui Menteri Liang, menceritakan semua rencana kaum penjahat dan betapa dia lalu pada saat yang ditentukan menyamar sebagai Menteri Liang dan menggantikan menteri itu pergi ke telaga.

Diceritakan betapa yang muncul adalah Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Kiu-bwe Coa-li yang menyerangnya akan tetapi dia dan para pengawal istimewa dapat menanggulangi, bahkan sudah hampir berhasil dibantu oleh Shan-tung Lo-kiam untuk mengalahkan mereka.

"Sayang muncul pemuda aneh itu bersama kakek kurus yang menurut dugaan Shan-tung Lo-kiam adalah Si Iblis Buta bersama puteranya. Pemuda itu lihai sekali, menggunakan panah api membakar perahu dan dia berhasil menyelamatkan tiga tokoh Cap-sha-kui itu sehingga kami tidak berhasil mencegah mereka meloloskan diri."

Sui Cin mendengarkan dengan heran dan kagum. Sungguh tokoh muda yang menolongnya itu amat aneh. Membantu para penjahat, akan tetapi juga menentang kejahatan sute sendiri.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: