*

*

Ads

Rabu, 24 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 043

Sim Thian Bu mengangkat muka memandang sejenak, lalu bangkit dan tertatih-tatih berjalan keluar tanpa berani membantah. Setelah Thian Bu pergi, pemuda remaja itu menjatuhkan dirinya di atas dipan, duduk termangu-mangu dan mengepal kedua tangannya.

Dia seperti orang berpikir mendalam penuh rasa penasaran, lalu memukulkan tinju kanannya pada telapak tangan kiri sendiri sampai terdengar bunyi nyaring, kemudian dia menutupi muka dengan kedua tangan penuh penyesalan. Siapakah pemuda remaja ini?

Dia adalah pemuda yang muncul di telaga, berperahu bersama seorang kakek kurus bertongkat. Dialah pemuda lihai yang melepas anak panah berapi membakar perahu besar dimana terjadi perkelahian dan dia yang monolong sehingga tiga orang tokoh Cap-sha-kui dapat lolos.

Dialah pemuda yang dikagumi Hui Song yang dapat menduga bahwa pemuda itu amatlah tangguh dan lihai. Dan tepat seperti dugaan Shan-tung Lo-kiam ketika dia bercerita kepada Hui Song, pemuda ini adalah putera tunggal Siangkoan Lo-jin Si Iblis Buta.

Siangkoan Lo-jin mempunyai riwayat yang cukup menarik. Sejak muda, orang she Siangkoan ini memang hidup di kalangan sesat. Akan tetapi di waktu dia masih muda, dia yang sudah merasa tidak suka akan perbuatan jahat yang kejam. Seringkali dia menentang para paman gurunya, bahkan gurunya sendiri sehingga akhirnya dia dianggap murtad.

Sebagai hukuman kaum sesat yang kejam, kedua matanya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri dengan jalan meracuninya. Semenjak itu, baru berusia dua puluh tahun, dia telah menjadi seorang buta. Biarpun matanya tidak cacat dan masih terbuka seperti orang biasa, namun dia tidak dapat melihat apa-apa lagi.

Hukuman yang membuat cacat ini diterima dengan sabar dan tabah. Akan tetapi, didalam hatinya terkandung rasa penasaran yang amat hebat. Dia berlatih silat terus dengan tekun sehingga kepandaiannya menonjol, bahkan setelah berusia kurang lebih lima puluh tahun, kepandaiannya sudah melampaui para paman gurunya!

Sementara itu, suhunya telah meninggal dunia dan pada suatu hari, dendam yang terpendam selama puluhan tahun itu baru memperoleh pelepasan, Siangkoan Lo-jin memberontak dan lima orang paman gurunya yang dahulu ikut membutakan matanya dibunuhnya semua satu demi satu!

Dan di kalangan kaum sesat, siapapun yang berani menentangnya lalu dibunuhnya. Mulailah nama Siangkoan Lo-jin si kakek buta ini ditakuti orang. Dan terjadi perobahan pada diri kakek ini. Kalau di waktu mudanya dia menentang kejahatan para gurunya, setelah kini cacat, dia malah ingin menjadi pemimpin kaum sesat! Hal ini mungkin timbul karena derita batinnya. Dia menentang kejahatan dan matanya menjadi buta, maka kini dia bahkan hendak menjadi kepala semua penjahat!

Setelah berusia setengah abad dan diakui sebagai seorang jagoan yang amat ditakuti di antara golongan sesat, dia lalu mengambil seorang gadis dari kalangan sesat pula untuk menyambung keturunan. Dan isterinya itu ternyata dapat memberi keturunan padanya, seorang anak laki-laki yang diberi nama Siangkoan Ci Kang.

Tentu saja hati kakek buta ini menjadi girang bukan main. Semenjak lahir, Ci Kang digemblengnya. Bahkan untuk manjadi bayi itupun dia beri ramuan obat agar jasmani anak itu menjadi kuat dan kebal. Dan gemblengan penuh ketekunan dari Siangkoan Lo-jin tidak sia-sia. Anak itu ternyata memiliki bakat yang amat hebat dan setelah berusia delapan belas tahun, anak itu telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya! Dia bahkan lebih lihai daripada ayahnya karena dia lebih muda, menang kuat dan menang daya tahannya, menang cepat.

Ternyata Siangkoan Ci Kang bukan hanya menuruni ilmu kepandaian ayahnya, melainkan juga menuruni wataknya! Sejak kecil, sejak dia belajar membaca dan mulai membaca kitab-kitab kuno, Ci Kang menumbuhkan pendiriannya di batinnya yang berlawanan dengan kenyataan yang ada pada keluarganya.

Dia, seperti para pendekar dan para budiman dalam kitab-kitab yang dibacanya, tidak suka akan kejahatan! Dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang tokoh kaum sesat yang ditakuti dan disegani, dan hal inilah yang membuatnya seringkali termenung dan merasa penasaran. Bahkan setelah dewasa, dia berani pada suatu hari menyerang ayahnya dengan kata-kata mencela mengapa ayahnya terjun ke dalam dunia hitam dan menjadi pemimpin kaum sesat.

"Hemm, kau tahu apa?" ayahnya menjawab dengan senyum kecut. "Engkau tahu mengapa mata ayahmu menjadi buta? Karena akupun ingin menjadi orang bersih macam engkau sekarang ini! Aku ingin menentang kejahatan dan akibatnya aku kehilangan kedua mataku! Kuharap engkau dapat mengerti bahwa menjadi orang baik hanya mengundang datangnya malapetaka dan kerugian saja. Semenjak kehilangan mata, aku mengambil keputusan untuk menjadi tokoh sesat, akan tetapi tidak kepalang tanggung dan harus menjadi nomor satunya!"

Ci Kang merasa tidak puas akan keterangan ayahnya ini. Dia menyelidiki diantara tokoh sesat dan mendengar bahwa ayahnya dibikin buta oleh guru dan para paman gurunya sendiri karena menentang kaum sesat. Akhirnya setelah lihai, ayahnya membalas dendam, membunuh lima orang susioknya sendiri, kemudian bangkit menjadi pemimpin kaum sesat. Hal ini membuat hati Ci Kang kadang-kadang berduka.






Terjadi konflik dalam batinnya antara pendirian dan perasaan hatinya yang menentang kejahatan, terutama sekali kekejaman-kekejaman, dan kenyataan bahwa ayahnya adalah tokoh utama kaum setat!

Tentu saja, sebagai putera Siangkoan Lo-jin, dia tidak dapat lari dari kenyataan ini dan beberapa kali dia harus turun tangan membantu ayahnya kalau ayahnya atau teman-teman sekaum bertemu dengan lawan atau kalau sedang melaksanakan tugas, seperti yang dilakukannya di Telaga Emas itu.

Akan tetapi selamanya dia sendiri tidak pernah melakukan perbuatan jahat yang berupa kekejaman kepada orang lain. Konflik-konflik batin yang dideritanya sejak dia mengerti itu membentuk suatu watak yang aneh pada Ci Kang. Dia menjadi seorang pemuda yang pendiam, dingin, keras seperti baja dan kadang-kadang membawa mau sendiri, tak perduli, dan aneh!

Ketika Ci Kang diajak ayahnya ke telaga itu dan dengan kegagahannya dia berhasil membebaskan tiga orang tokoh Cap-sha-kui, ayahnya memarahi tiga orang tokoh itu yang gagal membunuh panglima Liang.

"Kalian sungguh tolol dan harus malu menjadi tokoh Cap-sha-kui kalau melaksanakan pekerjaan membunuh seorang menteri saja gagal, bahkan digagalkan oleh seorang pemuda yang menyamar sebagai menteri itu."

Demikian Siangkoan Lo-jin mengomel setelah mereka semua berhasil melarikan diri dan berada di tempat persembunyian.

"Bukankah seharusnya lebih dulu melakukan pengamatan dan pengintaian?"

"Maaf, Lo-jin. Sesungguhnya, kami bertiga sama sekali tidak tahu bahwa Menteri Liang telah diganti oleh seorang pemuda lihai, dan semua ini adalah kesalahan jembel gendut ini yang bertugas sebagai pengamat. Kami telah dijanji oleh Hwa-i Kai-pang yang hendak membantu dengan penyelidikan, dan perkumpulan jembel itu telah mengutus si gendut yang tidak teliti ini!" kata Kui-kok Lo-mo dengan nada suara jengkel sambil menuding ke arah Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang yang gendut itu.

Siangkoan Lo-jin mengerutkan alisnya yang putih. Tentu saja dia tidak dapat melihat tudingan telunjuk Kui-kok Lo-mo ke arah orang gendut itu, akan tetapi dia dapat mengerti bahwa orang itu hadir pula disitu.

"Hemm, siapakah engkau utusan Hwa-i Kai-pang?" bentaknya.

Bhe Hok adalah seorang bekas penjahat yang kejam dan tabah, akan tetapi berhadapan dengan kakek buta itu dia merasa gentar sekali. Dia sudah mendengar bahwa kakek buta ini amat lihai dan juga tidak segan-segan membunuh pembantu yang bersalah. Maka, biarpun orang itu tidak dapat melihat, dia segera memberi hormat.

"Saya bernama Bhe Hok, Lo-jin. Dan sayalah yang diutus oleh para pimpinan Hwa-i Kai-pang untuk membantu dalam usaha penyergapan di telaga itu. Saya bertugas mengamati dan memata-matai telaga itu sampai Menteri Liang muncul. Akan tetapi, sebelum menteri itu muncul, secara tak disangka-sangka, saya terlibat dalam perkelahian yang disebabkan oleh... oleh murid Lo-jin sendiri."

Iblis buta itu mendengus.
"Hemm, kau maksudkan Thian Sin Bu?"

"Benar, Lo-jin. Ketika saya sedang melakukan pengintaian, di pantai telaga saya melihat Sim-sicu sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai. Karena saya melihat murid Lo-jin itu terdesak, saya lalu muncul dan membantunya, menotok roboh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba muncul Shan-tung Lo-kiam dan saya lalu berkelahi melawan jago pedang itu sedangkan murid Lo-jin pergi melarikan gadis yang sudah roboh tertotok itu! Karena ditinggal sendiri, terpaksa saya juga melarikan diri karena Lo-kiam itu lihai sekali. Kalau saja Sim-sicu tidak muncul berkelahi dengan gadis itu, atau kalau saja dia tidak pergi meninggalkan saya dan melarikan gadis itu, tentu kami berdua akan dapat menjatuhkan Shan-tung Lo-kiam dan keadaan akan menjadi lain."

"Hemmm...!"

Terpaksa Siangkoan Lo-jin tidak jadi marah kepada orang Hwa-I Kai-pang itu karena ternyata muridnya sendiri yang menjadi biang keladi kegagalan usaha itu.

"Ci Kang, engkau hendak kemana?"

Tiba-tiba kakek buta itu menegur ketika telinganya menangkap gerakan orang ke pintu. Dia mengenal gerakan puteranya yang ringan dan menegur.

Akan tetapi Ci Kang sudah tiba di luar tempat itu dan terdengar jawabannya dari luar,
"Ayah, aku mau mencari angin segar."

Dan diapun sudah jauh sekali sehingga ayahnya tidak sempat lagi untuk mencegahnya. Siangkoan Lo-jin mengenal keanehan watak puteranya maka diapun lalu melanjutkan percakapannya dengan tiga orang tokoh Cap-sha-kui itu.

"Sudahlah, kegagalan membunuh Menteri Liang biar menjadi pelajaran baik bagi kalian semua. Lain kali kita dapat mencari jalan lain untuk melenyapkannya. Sekarang yang penting bagaimana melaksanakan tugas kedua. Lo-mo dan Lo-bo, bukankah kalian sudah mempunyai rencana untuk membunuh jenderal itu?"

"Sudahlah, Lo-jin. Kami akan melaksanakannya sebaik mungkin, dibantu oleh Ular Betina ini."

"Dalam melaksanakan tugasku, biarpun kalian membantu, telah mengalami kegagalan. Kalau aku membantu kalian sampai berhasil, lain kali kalian harus membantuku pula sampai aku berhasil membunuh menteri itu." Kiu-bwe Coa-li mengomel.

Demikianlah, seperti diceritakan di bagian depan, Siangkoan Ci Kang ternyata melakukan pengejaran terhadap murid ayahnya. Biarpun murid ayahnya itu jauh lebih tua dari padanya, namun Sim Thian Bu termasuk murid terakhir sehingga menyebut suheng kepadanya.

Dia sudah tahu akan kejahatan Thian Bu, sudah mendengar bahwa sutenya itu adalah seorang jai-hwa-cat keji. Ingin dia mempergoki sutenya dan menghajarnya, akan tetapi Thian Bu yang cerdik itu selalu dapat lolos dan merahasiakan kejahatannya. Kini, mendengar betapa sutenya telah melarikan seorang gadis, dia menjadi marah dan segera melakukan pengejaran.

Dia tentu saja dapat menduga kemana sutenya membawa pergi gadis culikannya itu. Kemana lagi kalau bukan kedalam guha rahasia tempat persembunyian ayahnya? Hanya di sanalah tempat aman bagi sutenya itu untuk melakukan segala macam kejahatan tanpa diketahui orang!

Dan ternyata dugaannya memang benar. Dan dia datang pada saat yang tepat. Kalau Sim Thian Bu tidak berniat memperisteri Sui Cin dan melakukan bujukan-bujukan dan ancaman-ancaman, melainkan langsung saja diperkosanya seperti yang biasa dia lakukan, tentu kedatangan Ci Kang terlambat dan gadis itu telah ternoda, mungkin jejaknya telah disingkirkan oleh Thian Bu yang licik.

Kemudian, setelah menyelamatkan Sui Cin dan mengusir sutenya sehabis menghajarnya babak belur, Ci Kang duduk sendirian di dalam guha itu sambil termenung. Hatinya semakin sakit den menyesal sekali. Perbuatan keji dari sutenya tadi mengingatkan dia bahwa pria amat cabul dan keji itu adalah sutenya, murid ayahnya dan bahwa ayahnya adalah seorang gembong penjahat yang kini menjadi antek pemerintah yang lalim. Sedih hatinya.

Dia sudah banyak membaca tentang pembesar-pembesar lalim yang mempergunakan penjahat-penjahat, dan dia selalu menganggap, betapa jahatnya pembesar seperti itu dan betapa rendah dan hinanya penjahat yang menjadi anteknya. Akan tetapi kini dia dihadapkan kenyataan bahwa ayah kandungnya sendiri menjadi penjahat antek pembesar lalim! Siapa yang takkan hancur dan sedih hatinya?

Baru setelah guha itu mulai gelap, tanda bahwa senja telah mendatang, Ci Kang keluar dari dalam guha, menutupi lagi mulut guha dengan semak belukar, kemudian melangkah pergi dengan gontai dan hilang semangat. Pemuda ini semakin murung dan wajahnya semakin dingin.

**** 043 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: