*

*

Ads

Rabu, 24 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 042

Melihat betapa pemuda itu mulai membuka baju, Sui Cin menjadi pucat dan ia merasa betapa tengkuknya dingin sekali saking ngeri dan takutnya. Ia dapat menduga apa yang akan dilakukan pemuda bejat ahlak ini kepada dirinya dan mulailah ia meronta-ronta, mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri dari ikatan kaki tangannya.

Gerakannya ini membuat dipan itu bergoyang-goyang dan keempat kakinya berdetak-detak. Akan tetapi, pada saat itu sambil terkekeh Sim Thian Bu yang menanggalkan bajunya itu menubruk dan memeluknya.

"Aih, jantung hatiku, engkau hendak lari kemana sekarang?"

Melihat pemuda itu sudah menindihnya dan wajah pemuda itu demikian dekat dengan wajahnya, Sui Cin terbelalak dan menjerit.

"Jangan...! Kau bunuh saja aku...!"

"Ha-ha, bunuh engkau? Aih, sayang dong...! Engkau cantik manis..."

Sim Thian Bu hendak mencium akan tetapi Sui Cin mengelak dan miringkan mulutnya, kemudian ia teringat akan akal yang pernah didengarnya dari ibunya. Suaranya terdengar gemetar ketika ia berkata lirih.

"Akan tetapi jangan begini... ah, kalau tiada jalan lain... aku bersedia... tapi jangan begini... lepaskan dulu belenggu ini agar kita dapat melakukannya secara wajar..."

Sim Thian Bu menjadi girang sekali.
"Engkau... engkau mau...?"

Dia bertanya sambil menatap wajah dara itu. Sui Cin mengeraskan hatinya dan mengangguk.

"Tapi, lepaskan belenggu-belenggu ini... sungguh tidak enak dalam keadaan terbelenggu begini..."

Ia sudah siap. Begitu belenggu dibuka, ia akan mengirim serangan kilat yang mematikan kepada pemuda jahanam itu.

"Baik..." kata Sim Thian Bu dengan girang dan pemuda itu turun dari atas tubuh Sui Cin yang ditindihnya.

Tangannya meraih ke arah belenggu kaki, dan Sui Cin sudah menanti dengan jantung berdebar tegang. Akan tetapi, jari-jari tangan pemuda itu tidak melepaskan belenggu, melainkan meraba kaki dan kini wajah pemuda itu menoleh, memandangnya dangan tersenyum mengejek. Jari tangan itu kini malah membuka sepatu dari kaki Sui Cin, dan melihat gelagatnya, pemuda itu bukan hendak membuka tali belenggu, melainkan hendak melucuti pakaian gadis itu.

"Heh-heh, engkau puteri Pendekar Sadis, sungguh cerdik dan licik. Kau kira aku tidak dapat merasakan betapa tubuhmu menegang penuh kekuatan dan betapa engkau akan menyerbu begitu aku membuka kaki tanganmu? Heh-heh, memang hendak kulepaskan, akan tetapi bukan belenggu kaki tanganmu, melainkan saluruh pakaianmu, ha-ha-ha!"

Tangan pemuda itu kini sudah mencengkeram kain celana Sui Cin.
"Jangan... ah, jangan...!"

Kini gadis itu memohon dengan suara lemah karena hilanglah harapannya dan dia hampir pingsan menghadapi bayangan yang amat mengerikan dari malapetaka yang akan menimpa dirinya.

"Sim Thian Bu! Mundur kau! Apa yang hendak kau lakukan ini?"

Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras dan tahu-tahu di ambang pintu telah muncul seorang pemuda bertubuh tinggi tegap yang melihat wajahnya masih muda sekali, paling banyak berusia delapan belas tahun, akan tetapi wajah itu nampak dingin dan sepasang mata mencorong, sedangkan tubuhnya tinggi tegap melebihi orang dewasa umumnya.

Sim Thian Bu yang tadinya sudah siap untuk merobek dan merenggut pakaian Sui Cin, terkejut dan menoleh lalu mundur dua langkah, matanya terbelalak nampak ketakutan akan tetapi mulutnya tersenyum membujuk.

"Ah, kiranya suheng yang datang. Suheng, maafkan aku dan biarkan aku menyelesaikan urusan pribadiku ini dulu, nanti akan kulayani suheng bicara kalau memang suheng datang membawa keperluan yang harus kubantu."






"Sim Thian Bu, aku bertanya tadi. Apa yang akan kau lakukan ini?"

Sim Thian Bu memandang pemuda remaja itu dengan sinar mata mengandung kemarahan, akan tetapi agaknya dia merasa jerih terhadap pemuda remaja itu, dan diapun tersenyum lebar.

"Aih, engkau masih terlalu muda untuk mengetahui urusan ini, suheng. Dia ini seorang kekasihku dan kami hendak main-main sebentar. Apakah suheng ingin melihat kami bermain cinta?"

Sui Cin sudah ingin memaki untuk menyangkal ucapan jai-hwa-cat itu, akan tetapi ia diam saja dan memandang heran. Sungguh mengherankan memang keadaan pemuda remaja yang baru tiba. Usianya paling banyak delapan belas tahun, akan tetapi mengapa jai-hwa-cat yang usianya dua puluh lima tahun ini menyebutnya suheng dan bersikap jerih terhadap pemuda remaja itu? Ah, kalau pemuda remaja itu benar suheng dari Sim Thian Bu, tentu ia akan lebih celaka lagi dan tidak mempunyai harapan sama sekali untuk dapat lolos.

Menghadapi Sim Thian Bu yang lihai dan cerdik itu saja ia sudah tidak berdaya dan kini berada di ambang malapetaka yang mengerikan, apalagi kalau kini datang suheng si jahanam itu yang tentu saja lebih jahat dan lebih lihai, walaupun usianya jelas lebih muda. Ia memandang dan mendengarkan penuh perhatian, ingin melihat perkembangan kemunculan pemuda remaja itu dengan waspada. Siapa tahu kemunculan ini bahkan menolongnya.

"Kekasihmu? Dibelenggu?"

Pemuda itu berkata dan kulit diantara kedua alisnya yang tebal berkerut, pandang matanya yang tajam mencorong itu ditujukan ke arah tubuh Sui Cin, penuh selidik. Kemudian dia berkata lagi, suaranya bernada memerintah,

"Lepaskan belenggu kaki tangannya!"

Sim Thian Bu nampak terkejut dan marah.
"Akan tetapi, suheng, ia itu punyaku, dan aku berhak melakukan apa saja terhadap dirinya. Aku belum mau membebaskannya, hendak main-main dulu dengan gadis ini..."

"Lepaskan kataku!"

Suara itu mengandung wibawa yang amat besar dan terasa pula oleh Sui Cin betapa kuatnya khi-kang terkandung dalam suara itu.

Sim Thian Bu juga merasakan ini, akan tetapi agaknya dia masih penasaran.
"Suheng, engkau keterlaluan mendesakku..."

Sim Thian Bu terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba saja pemuda itu sudah menerjangnya. Luar biasa cepatnya gerakan pemuda remaja itu. Seperti terbang saja tubuhnya tahu-tahu menyambar dan meluncur ke arah Sim Thian Bu dan tangannya menampar. Melihat ini Sim Thian Bu terkejut dan cepat mengelak sambil menggerakkan tangan untuk menangkis.

"Plakk!"

Entah bagaimana. Walaupun jai-hwa-cat yang tangguh itu sudah mengelak dan menangkis, tetap saja pundaknya terkena tamparan dan tubuhnya terpelanting seperti disambar pukulan yang amat kuat.

"Suheng...!" teriaknya dan diapun meloncat bangun, lalu hendak balas menyerang pemuda remaja itu.

"Plak! Plak!"

Kembali tubuh Sim Thian Bu terjengkang, kini lebih keras lagi. Sui Cin memandang heran dan kagum. Dara ini dapat melihat betapa pemuda remaja itu menguasai gerakan jai-hwa-cat, sehingga biarpun Thian Bu yang menyerang, akan tetapi sebaliknya dia yang roboh karena serangannya telah dihadang di tengah jalan dan sebaliknya, balasan pemuda remaja itu tidak mampu dihindarkannya.

Kini pemuda remaja itu agaknya sudah marah. Sejak tadi dia tidak mengeluarkan kata-kata lagi, akan tetapi sinar mata yang mencorong itu kini berapi. Dengan gerakan ringan sekali kedua kakinya melakukan gerakan srat-sret-srat-sret, tubuhnya tahu-tahu sudah berada dekat Thian Bu dan kini kaki tangannya bergerak secara aneh.

Hebatnya, setiap sambaran tangan atau kakinya tentu mengenai sasaran! Terdengarlah suara plak-plok dan bak-buk ketika tubuh Thian Bu menjadi sasaran pukulan dan tendangan pemuda remaja itu sehingga tubuh Thian Bu terguling-guling dan tidak sempat bangun karena setiap kali merangkak hendak bangun sudah disambut oleh tamparan atau pukulan lain! Akhirnya terdengar Thian Bu mengeluh.

"Suheng... ampunkan aku..."

Pemuda remaja itu berhenti bergerak, menatap wajah jai-hwa-cat yang sudah bengkak-bengkak dan matang biru itu.

"Kau tahu, aku benci laki-laki yang memperkosa wanita. Lain kali kubunuh kau!"

Hanya itu kata-katanya dan tiba-tiba tubuhnya melayang ke dekat dipan dan dua kali dia menggerakkan tangannya dan Sui Cin merasa betapa belenggu kaki tangannya putus semua dan ia dapat bergerak lagi! Tentu saja begitu dapat bergerak, meledaklah semua kemarahan dan ketakutan yang tadi menghimpit di dada dara itu.

"Haiiiiittt...!"

Ia mengeluarkan suara melengking tinggi dan tubuhnya sudah meluncur ke depan. Dengan pengerahan sin-kang sekuatnya ia sudah menggerakkan tangannya, menghantam ke arah kepala Sim Thian Bu dalam serangan maut!

"Dukk!"

Sim Thian Bu sendiri tidak mampu menghindarkan diri karena tubuhnya masih nyeri semua dan kepalanya pening, akan tetapi tiba-tiba pemuda remaja itu bergerak dan pemuda inilah yang menangkis pukulan Sui Cin tadi.

Tangkisan itu kuat bukan main, terasa oleh Sui Cin dan lengannya tergetar hebat. Ia terdorong mundur tiga langkah dan matanya menatap tajam kepada wajah pemuda remaja yang menangkis pukulannya tadi. Ia menjadi serba salah. Mau marah teringat bahwa pemuda inilah yang telah menyelamatkannya dari malapetaka yang nyaris menimpanya. Tidak marah, ia kecewa dan penasaran karena niatnya membunuh atau setidaknya menghukum Thian Bu dihalangi.

Sejenak mereka saling pandang dan di dalam pandang mata pemuda remaja itu kini terdapat kekaguman. Agaknya baru dia tahu bahwa dara yang tadi hendak diperkosa Thian Bu itu adalah seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hal ini dapat dirasakan ketika dia menangkis dan ternyata pukulan gadis itu mengandung sin-kang yang amat hebat sehingga lengannya sendiri tergetar dalam pertemuan tenaga itu. Jelas bukan gedis sembarangan!

"Aku... aku harus menghajar jahanam busuk itu!" Sui Cin akhirnya berteriak marah.

Pemuda itu menggeleng kepala, sikapnya tenang dan pandang matanya tetap dingin.
"Suteku sudah kuhajar sendiri." katanya singkat saja.

"Tapi... tapi dia hendak memperkosaku, dia penjahat jai-hwa-cat terkutuk!"

Kembali pemuda itu menggeleng kepalanya.
"Baru hendak, tapi belum. Pergilah, nona."

Sui Cin menjadi bingung, seperti kehilangan akal menghadapi pemuda remaja yang tidak banyak cakap dan bersikap dingin serius ini. Kalau dia berkeras dan sampai ia bentrok dengan pemuda ini, berarti ia yang bo-ceng-li (tak tahu aturan). Bukankah ia baru saja diselamatkan dari bencana yang bahkan melebihi maut? Dan kalau pemuda ini membela Thian Bu, hal itu wajar saja karena memang Thian Bu itu sutenya! Bagaimana ada sute seperti itu dan suheng seperti ini? Bumi dan langit bedanya. Sui Cin mengepal tinju, kehilangan akal, akhirnya ia mendengus dan menyambar sepasang sepatunya, kemudian sekali berkelebat ia sudah meloncat keluar dari dalam guha itu!

Kini pemuda remaja itu menghadapi Thian Bu yang sudah merangkak bangun dan duduk di atas dipan dimana dia tadi hendak memperkosa Sui Cin. Dia menyusuti darah dari ujung bibirnya dan kelihatan takut walaupun pada sinar matanya terdapat rasa marah dan dendam yang disembunyikan.

"Sute, kuulangi. Sekali lagi aku melihatmu memperkosa wanita, kubunuh engkau! Ada urusan penting engkau tinggalkan di telaga, malah engkau sibuk hendak melakukan perbuatan memalukan. Pergilah!" Pemuda itu menundingkan telunjuknya ke pintu guha dengan nada dan sikap mengusir.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: