*

*

Ads

Selasa, 23 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 040

Hari itu dia mendengar bahwa Menteri Liang akan pesiar di Telaga Emas. Oleh karena itulah maka dia menanti disitu untuk ikut melindunginya. Ketika pagi hari itu dia melihat seorang gadis yang tidak dikenalnya dirobohkan orang, tentu saja pendekar tua ini tidak tinggal diam dan segera mendayung perahunya ke pantai.

"Siancai...! Di tempat hening seperti ini masih saja ada kejahatan!"

Shan-tung Lo-kiam meloncat naik ke darat sambil membawa alat musik yang-kim yang tadi ditabuhnya.

Melihat munculnya seorang kakek tua renta membawa yang-kim, orang yang merobohkan Sui Cin dengan totokan itu memandang galak. Dia adalah seorang kakek yang perutnya gendut sekali. Dan kakek ini pernah dilihat oleh Sui Cin ketika ia mengintai di gedung Hwa-i Kai-pang bersama Hui Song. Kakek inilah yang bernama Bhe Hok, tokoh Hwa-i Kai-pang baru yang menjadi pembantu ketua perkumpulan pengemis ini. Dia cukup lihai dengan tongkatnya dan juga licik sehingga ketika Sui Cin lengah tadi karena berhasil membuat Sim Thian Bu terjengkang, dara itu berhasil ditotoknya.

"Hemm, tua bangka bosan hidup dari mana berani mencampuri urusan kami?" bentak kakek berperut gendut itu.

"Bhe-lopek, dia adalah Shan-tung Lo-kiam, musuh kita!"

Tiba-tiba Sim Thian Bu berseru. Ternyata pemuda ini tidak terluka parah, tadi hanya terjengkang karena dahsyatnya tenaga dara itu.

Mendengar nama ini, kakek perut gendut terkejut dan cepat dia menyerang dengan tongkatnya, menghantam ke arah kepala lawan. Shan-tung Lo-kiam mengangkat alat musiknya menangkis.

"Trang... cringg...!"

Terdengar suara nyaring ketika tongkat bertemu yang-kim. Dua orang kakek itu lalu berkelahi dengan seru. Sementara itu, sambil tersenyum licik, Sim Thian Bu menyambar tubuh Sui Cin yang lemas, memanggulnya dan membawanya lari dari situ.

Perkelahian antaya dua orang kakek itu terjadi cepat dan seru, akan tetapi si gendut segera mengerti bahwa kakek yang menjadi lawannya itu terlalu kuat baginya. Melihat Sim Thian Bu sudah melarikan gadis tadi, diapun meloncat dan melarikan diri memasuki hutan di tepi telaga.

Kakek pemegang yang-kim itu tidak mengejar, melainkan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika dia tidak melihat kemana dara tadi dilarikan, dia hanya menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang, kemudian diapun melompat kembali ke dalam perahunya dan mendayung perahunya ke tengah telaga. Dia memiliki tugas yang dianggapnya lebih penting daripada mencari dara yang dilarikan orang itu.

Orang-orang mulai berdatangan ke tepi telaga. Nelayan dan pelancong. Keadaan tenang dan biasa saja seolah-olah tidak pernah dan tidak akan terjadi sesuatu yang luar biasa di tempat itu.

Kemudian, saat yang ditunggu-tunggu dengan hati tegang oleh orang-orang yang bersembunyi, tibalah. Sebuah kereta yang dikawal enam orang perajurit datang ke tepi telaga. Dengan pengawalan ketat, seorang laki-laki berpakaian pembesar bergegas menuruni kereta dan masuk ke dalam sebuah perahu besar yang memang sudah siap di pantai itu.

Itulah Menteri Kebudayaan Liang, pejabat tinggi yang gemar memancing ikan di telaga itu. Perahu itu berlayar ke tengah telaga. Peristiwa ini tidak menarik perhatian orang yang asyik dengan kesibukan masing-masing dan sebentar saja perahu besar yang kini berada di tengah telaga itu sudah dilupakan orang.

Sementara itu, kesibukan-kesibukan rahasia terjadi di sekitar tempat itu. Sebuah perahu hitam dengan bilik tertutup didayung cepat oleh dua orang, meluncur ke tengah telaga menuju perahu besar Menteri Liang. Setelah perahu hitam tiba dekat perahu besar, mendadak tiga orang berlompatan naik ke atas perahu besar dengan kecepatan luar biasa. Mereka itu adalah Kiu-bwe Coa-li, Kui-kok Lo-mo dan Kui-kok Lo-bo! Serentak mereka menyerbu pembesar yang asyik duduk memegang tangkai pancing itu.

"Tar-tar-tar...! Pembesar Liang, bersiaplah engkau untuk mampus!"

Kiu-bwe Coa-li yang memegang tugas membunuh pembesar itu menerjang sambil menggerakkan cambuknya yang berekor sembilan. Sinar hitam menyambar ke arah pembesar itu dari belakang.

Kakek dan nenek Kui-kok itupun sudah berhantam melawan enam orang perajurit pengawal dan terkejutlah mereka ketika mendapatkan kenyataan bahwa para pengawal itu ternyata rata-rata memiliki ilmu silat tinggi. Dan terjadilah perkelahian hebat antara suami isteri Kui-kok-pang itu melawan pengeroyokan enam orang pengawal istimewa.

Akan tetapi yang paling kaget adalah Kiu-bwe Coa-li. Ketika cambuknya menyambar, tiba-tiba Menteri Kebudayaan Liang itu menggerakkan tangkai pancingnya ke belakang.

"Wuuuttt...! Ayaaaa... aduuuhh...!"






Kiu-bwe Coa-li berteriak kesakitan. Tali pancing yang panjang itu menangkis dan membelit cambuk, membuat sembilan ekor cambuk itu lumpuh dan ujung tali kail masih menyambar dan mengait pangkal lengan kiri nenek iblis itu, masuk ke dalam daging tua!

Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya dan nenek itu cepat mencengkeram dan membikin putus tali pancing sehingga mata kail itu tertinggal di daging pangkal lengannya. Pembesar itu sudah bangkit berdiri dan membalikkan tubuh. Kiranya dia seorang pemuda tampan yang tertawa gembira, dengan nada mengejek.

"Wah, tak kusangka pancingku mendapat seekor ikan siluman ekor sembilan!"

Kiu-bwe Coa-li memandang dengan mata mendelik dan kemarahannya memuncak ketika ia melihat bahwa orang yang memakai pakaian pembesar ini adalah seorang pemuda, sama sekali bukan Menteri Kebudayaan Liang. Ia dan teman-temannya telah tertipu dan terjebak. Ada orang yang sengaja menyamar dan menggantikan pembesar itu untuk menyambut serangan mereka.

"Kita tertipu!" teriaknya mengingatkan dua orang kawannya. "Dia bukan Menteri Liang!" Kemudian ia menggerakkan senjatanya dan menyerang pemuda itu dengan ganas.

Pemuda itu adalah Hui Song. Seperti kita ketahui, pemuda ini membagi tugas dengan Sui Cin. Dia sendiri mengunjungi Menteri Liang dan melaporkan bahaya yang mengancam keselamatan menteri itu. Lalu diatur jebakan. Hui Song menyamar dan menggantikan sang menteri dalam kereta menuju ke perahu di telaga, dikawal oleh enam orang jagoan yang menyamar sebagai perajurit-perajurit biasa. Padahal mereka adalah perwira-perwira pilihan!

Akan tetapi enam orang pengawal itu masih kewalahan menghadapi amukan kakek dan nenek Kui-kok-pang, sedangkan Hui Song sendiri mendapat kenyataan betapa lihainya nenek bercambuk ekor sembilan ini. Dia dapat menduga bahwa nenek ini tentulah seorang tokoh Cap-sha-kui yang berjuluk Kiu-bwe Coa-li.

Diam-diam dia harus mengakui kelihaian nenek ini. Masih untung mereka berkelahi di atas perahu, bukan di darat. Kabarnya nenek ini pandai memanggil dan mengerahkan ular-ular untuk mengeroyok lawan.

Kedua pihak yang berkelahi mengharapkan bantuan masing-masing. Para penyerbu tentu saja merasa heran sekali mengapa dua orang kawan yang boleh mereka andalkan itu tidak juga muncul. Mereka telah bertemu dengan Sim Thian Bu yang sudah berjanji membantu, bahkan pemuda cabul itu hendak melakukan pengamatan bersama seorang tokoh Hwa-i Kai-pang yang bernama Bhe Hok itu.

Tentu saja para iblis Cap-sha-kui tidak tahu bahwa Bhe Hok tidak kuat menandingi Shan-tung Lo-kiam sehingga melarikan diri sedangkan Sim Thian Bu setelah memperoleh mangsa, lupa akan janjinya.

Di lain pihak, Hui Song juga terheran-heran mengapa pemuda jembel yang menjadi sahabatnya itu, Sui Cin, tak kunjung muncul untuk membantunya. Tiba-tiba terdengar suara yang-kim dan muncullah seorang kakek lihai yang bukan lain adalah Shan-tung Lo-kiam. Begitu naik ke atas perahu dimana sedang terjadi perkelahian itu, kakek ini segera membantu enam orang pengawal yang terdesak.

Melihat betapa para penjahat itu terjebak oleh seorang pemuda perkasa yang menyamar sebagai Menteri Liang yang dibantu oleh enam orang pengawal pilihan, kakek ini tertawa.

"Ha-ha-ha! Para tokoh Cap-sha-kui terjebak seperti tiga ekor tikus dalam perangkap, ha-ha-ha."

Dan diapun menggerakkan senjatanya yang sesungguhnya, yaitu sebatang pedang sedangkan yang-kim di tangan kirinya hanya dipergunakan sebagai perisai. Dan ternyata, sesuai dengan julukannya, yaitu Lo-kiam (Pedang Tua), begitu memainkan pedangnya, kakek ini memperlihatkan kelihaiannya.

Tiga orang tokoh Cap-sha-kui merasa terkejut bukan main melihat munculnya Shan-tung Lo-kiam yang sudah mereka ketahui kelihaiannya. Munculnya kakek ini tentu saja menambah kekuatan lawan dan membahayakan diri mereka. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara berdesir nyaring dan segera terasa getaran perahu disusul teriakan para anak buah perahu besar,

"Perahu terbakar...!"

Hui Song, enam orang pengawal dan Shan-tung Lo-kiam terkejut melihat betapa ujung perahu terbakar. Mereka meloncat ke tepi dan melihat sebuah perahu kecil tak jauh dari situ. Ada dua orang yang berada di dalam perahu itu, seorang kakek kurus memegang tongkat dan seorang pemuda remaja yang berdiri tegak di atas perahu. Pemuda ini memegang sebuah busur dan dialah yang tadi melepaskan anak panah berapi yang membakar perahu besar.

Melihat peristiwa ini, tiga orang datuk Cap-sha-kui bergerak cepat. Merekapun meloncat meninggalkan lawan dan melihat perahu kecil itu mereka lalu berlompatan turun dari perahu besar menuju ke perahu kecil itu. Kui-kok Lo-mo dan Lo-bo dapat hinggap di atas perahu kecil itu.

Perahu terguncang dan lompatan Kiu-bwe Coa-li tidak tepat. Nenek ini tentu terjatuh ke air kalau saja pemuda itu tidak cepat mengulur tangan kiri menyambar ujung baju si nenek dan sekali tarik dengan sentakan, tubuh nenek itu tertahan dan dapat turun ke atas perahu dengan selamat!

Gerakan pemuda yang memegang busur ini sungguh cekatan dan amat kuatnya sehingga diam-diam Hui Song harus mengakui bahwa pemuda itu merupakan lawan yang amat tangguh.

Ketika para pengawal dan Hui Song hendak mengejar, tiba-tiba pemuda di atas perahu kecil itu kembali meluncurkan dua buah anak panah berapi yang tepat mengenai layar dan bilik perahu besar sehingga terjadi kebakaran besar. Sementara itu tiga orang tokoh Cap-sha-kui sudah bergerak mendayung perahu tanpa diperintah lagi sehingga perahu kecil itu meluncur pergi dengan cepatnya.

Terpaksa Hui Song, para pengawal dan Shan-tung Lo-kiam sibuk membantu para anak buah perahu memadamkan api dan membiarkan perahu kecil yang membawa lima orang sesat itu melarikan diri.

Dengan kecepatan luar biasa, perahu kecil yang didayung oleh orang-orang kuat itu sebentar saja lenyap. Hui Song kecewa sekali. Dia tadinya mengharapkan untuk dapat menangkap seorang diantara mereka agar rahasia kejahatan Liu-thaikam dapat terbongkar. Tanpa adanya bukti, sukar untuk menjatuhkan pembesar korup yang amat dipercaya oleh kaisar itu. Kalau ada bukti dan saksi, barulah kejahatan pembesar itu dapat terbongkar dan diketahui oleh kaisar.

Para pengawal dan anak buah perahu besar ternyata sudah mengenal baik kakek pembawa yang-kim itu dan mereka semua bersikap hormat. Memang kakek ini tidak asing bagi para pembantu dan keluarga Menteri Liang yang menjadi sahabat baiknya. Hui Song segera maju memberi hormat kepada Shan-tung Lo-kiam.

"Terima kasih atas bantuan locianpwe."

Kakek itu tersenyum dan memandang kagum kepada pemuda itu.
"Orang muda, aku Shan-tung Lo-kiam, sejak dahulu adalah sahabat baik Menteri Liang maka tidak aneh kalau aku membela beliau. Akan tetapi engkau seorang muda sudah berani menghadapi para datuk sesat dari Cap-sha-kui, sungguh amat mengagumkan. Siapakah engkau, orang muda?"

Mendengar bahwa kakek ini adalah Shan-tung Lo-kiam yang terkenal sebagai seorang pendekar angkatan tua, Hui Song menjadi kagum. Dia menjura dan memperkenalkan diri,

"Saya bernama Cia Hui Song, locianpwe."

"She (marga) Cia? Adakah hubungannya dengan keluarga Cia dari Cin-ling-pai?"

Hui Song agak meragu. Akan tetapi ketika dia menghadap Menteri Liang, terpaksa dia memperkenalkan diri sehingga enam orang pengawal itu telah mengetahui keadaan dirinya. Kini seorang dari mereka menyela,

"Locianpwe, Cia-taihiap ini adalah putera ketua Cin-ling-pai."

"Ah, pantas begini gagah perkasa!" kakek itu memuji kagum, kemudian dia menarik napas panjang. "Sayang para penjahat itu dapat melarikan diri..."

"Siapakah pemuda yang melepas anak panah dan kakek bertongkat dalam perahu kecil tadi, locianpwe? Saya melihat pemuda itu lihai sekali," tanya Hui Song.

"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan kakek itu, akan tetapi aku yakin bahwa tentu dia yang kini memimpin para tokoh sesat dan dialah agaknya yang bernama Siangkoan Lo-jin dan berjuluk Si Iblis Buta."

"Ahhh...!"

Enam orang perwira pengawal itu terkejut mendengar nama ini. Akan tetapi Hui Song tidak mengenalnya.

"Dan pemuda itu?" tanyanya.

"Entahlah," jawab Shan-tung Lo-kiam, "Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa dia mempunyai seorang putera yang kabarnya telah mewarisi semua kepandaiannya. Mungkin juga pemuda tadi puteranya. Sayang, kalau kita tadi dapat menawan seorang saja diantara mereka, tentu akan memperoleh banyak keterangan."

Hui Song teringat akan sahabatnya yang tidak pernah muncul.
"Locianpwe, saya mempunyai seorang kawan, seorang pemuda jembel yang berada disini terlebih dulu untuk mengamati. Dia cukup lihai, dan kalau dia tadi membantu, mungkin kita berhasil. Akan tetapi saya merasa heran sekali mengapa dia tidak muncul. Apakah barangkali locianpwe tadi ada melihatnya?"

Kakek itu mengingat-ingat lalu menggeleng kepala.
"Seorang pemuda jembel? Tidak ada aku melihatnya. Pagi tadi disini aku hanya melihat seorang gadis cantik berkelahi melawan seorang pemuda dan seorang tokoh Hwa-i Kai-pang gendut. Aku turun tangan membantunya, akan tetapi iblis Hwa-i Kai-pang itu melarikan diri dan nona itu ditawan dan dilarikan si pemuda. Sayang aku tidak dapat mengejar, karena aku harus menanti datangnya Menteri Liang."

"Siapakah pemuda itu dan siapa pula gadis yang dilarikannya itu, locianpwe?" tanya Hui Song dengan alis berkerut dan hati terasa tidak enak.

"Aku tidak mengenal mereka akan tetapi harus diakui bahwa mereka berdua bukan orang muda sembarangan. Gadis itu lihai dan roboh karena dibokong dan dikeroyok. Pemuda itupun lihai sekali dan melihat gerak-geriknya, sepatutnya dia seorang pendekar. Akan tetapi pandang matanya cabul. Aku sedang menanti Menteri Liang untuk melindunginya, maka menyesal sekali aku tidak sempat melakukan pengejaran terhadap pemuda yang melarikan gadis itu."

Hui Song merasa semakin tidak enak hatinya. Dia teringat akan enci dari Sui Cin. Dia sendiri tidak tahu mengapa dia menghubungkan peristiwa itu dengan encinya Sui Cin. Akan tetapi ketidak munculan pemuda jembel itu membuat hatinya merasa gelisah.

"Biar saya yang akan mencarinya, locianpwe," katanya sambil menanggalkan jubah menteri yang menutupi pakaiannya sendiri, kemudian diapun meloncat ke atas sebuah perahu nelayan yang berdekatan dan minta kepada nelayan itu untuk mengantarnya ke pantai.

Kini banyak perahu mendekati perahu pembesar itu dan Shan-tung Lo-kiam bersama enam orang perwira pengawal tadi tidak berani menahan Hui Song karena mereka maklum bahwa sudah menjadi kewajiban seorang pendekar seperti putera ketua Cin-ling-pai itu untuk menolong gadis yang diculik penjahat.

**** 040 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: