*

*

Ads

Selasa, 23 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 039

Pagi itu amat indahnya di tepi telaga. Masih sunyi karena hari masih amat pagi, belum ada orang datang ke tempat itu. Sui Cin sejak tadi sudah berada di tepi telaga seorang diri dan ia terpesona oleh keindahan pemandangan pagi hari itu.

Pagi yang cerah. Sinar matahari masih lemah, kuning emas membentuk garis-garis mengkilap di permukaan air telaga yang tenang dan halus seperti sutera kehijauan berkeriput. Kicau burung-burung diantara daun-daun pohon menambah meriahnya suasana.

Langit bersih, hanya ada awan putih berkelompok-kelompok membentuk beraneka macam mahluk khayali. Indah sekali awan-awan itu, tak pernah diam mati melainkan setiap detik berobah dengan halus, seperti permukaan air telaga yang selalu bergerak menimbulkan perobahan-perobahan. Seperti mengalirnya air kehidupan yang setiap saat berobah.

Hening sekali. Keheningan yang agung menyelimuti seluruh telaga dan sekitarnya, keheningan total dimana Sui Cin juga termasuk. Keheningan yang terasa benar pada saat itu oleh Sui Cin. Keheningan yang menenteramkan, sama sekali bukan rasa kesepian yang menggelisahkan.

Dara itu sejak tadi berdiri tak bergerak, seperti patung, memiliki keindahan tersendiri walaupun ia menjadi bagian dari keindahan total itu. Seorang dara yang menjelang dewasa, cantik jelita dan manis dalam kesederhanaannya. Pakaiannya sederhana, bersahaja dan lebih diutamakan sebagai pelindung tubuh daripada sebagai hiasan seperti kebanyakan wanita.

Rambutnya yang hitam panjang itu terurai ke belakang hanya diikat sutera hijau, agak awut-awutan karena tak diminyaki dan kurang sisiran, juga karena dipermainkan angin pagi sejak tadi. Anak rambut terjuntai di dahi dan pelipis menjadi penambah manis. Wajah yang berkulit halus dan berbentuk ayu itu tidak dilapisi bedak. Akan tetapi kulit muka itu sudah halus putih dan kedua pipinya segar kemerahan.

Tiba-tiba patung cantik jelita itu bergerak, menggerakkan kepalanya dan dua gumpalan rambut itu bergerak pula, yang satu pindah dari punggung ke dada. Terdengar tawa kecil dan sekilat deretan gigi rapi berkilauan tertimpa cahaya matahari, mata yang jelita itu agak menyipit ketika ia tertawa kecil.

Yang memancingnya tertawa kecil sehingga sadar dari lamunannya adalah tingkah dua ekor burung gereja yang sedang berkasih-kasihan. Yang jantan selalu mengejar, yang betina lari, jinak-jinak merpati seperti menggoda tapi akhirnya menyerah dan ketika yang jantan hinggap di atas punggungnya, yang betina terpeleset sehingga keduanya jatuh tunggang-langgang ke bawah.

Akan tetapi sebagai burung yang memiliki sayap dengan indahnya mereka dapat menghindarkan diri dari kejatuhan itu dan di lain saat sudah berkejaran lagi sambil berteriak-teriak bersendau-gurau dalam bahasa mereka.

Sui Cin sama sekali tidak tahu bahwa selagi ia terpesona oleh keindahan pemandangan di telaga, ada sepasang mata orang lain juga terpesona, bukan oleh keindahan telaga melainkan keindahan dirinya. Seorang pria yang sejak tadi menyembunyikan diri di balik semak-semak sambil mengamati setiap gerak-geriknya.

Setelah memperoleh banyak keterangan penting dalam pengintaian mereka di Hwa-i Kai-pang, Hui Song dan Sui Cin lalu mengadakan perundingan. Mereka bersepakat untuk mencegah usaha jahat kaum sesat yang hendak membunuh Menteri Liang dan Jenderal Ciang.

Juga dalam percakapan rahasia antara para datuk sesat itu mereka tahu bahwa para kaum sesat itu diperalat oleh Liu-thai-kam. Dua orang pembesar yang hendak dibunuh adalah musuh-musuh Liu-thaikam karena mereka merupakan pembesar-pembesar jujur yang dapat membahayakan kedudukannya.

Juga kini Hui Song dan Sui Cin tahu mengapa kaum sesat melindungi kaisar. Bukan karena kesetiaan Liu-thaikam, melainkan karena pembesar korup ini merasa aman dengan berkuasanya kaisar muda yang mempercayanya itu. Melindungi dan mempertahankan kaisar muda ini berarti melindungi dan mempertahankan kedudukannya sendiri. Semua ini mereka ketahui dari percakapan antara para datuk sesat malam itu.

Hui Song lalu membagi pekerjaan. Dia minta agar Sui Cin yang dikenalnya sebagai pemuda jembel lihai itu melakukan pengamatan di telaga yang disebut Telaga Emas, sedangkan Hui Song sendiri akan menghubungi Menteri Liang dan Jenderal Ciang.

Mereka lalu berpisah. Sui Cin yang sudah merasa bosan menyamar sebagai pemuda jembel setelah kini berpisah dari Hui Song lalu berganti pakaian menjadi dara cantik sederhana seperti biasa dan pagi itu ia sudah menikmati keindahan alam di tepi telaga. Kini ia mengerti mengapa telaga itu dinamakan Telaga Emas. Memang tiap pagi sinar matahari merobah air telaga menjadi keemasan.

Ia tidak perlu melakukan pengamatan sambil bersembunyi. Kini ia merupakan seorang gadis perantau yang sedang berkelana dan melancong ke telaga ini. Cukup wajar dan ia dapat pesiar sambil memasang mata. Andaikata Kiu-bwe Coa-li muncul dan nenek iblis ini menyerangnya, iapun tidak takut!

Akan tetapi ketika pagi itu ia datang ke tepi telaga, keadaan di situ amat sepi dan yang muncul bukan Kiu-bwe Coa-li atau tokoh sesat lainnya, melainkan seorang pemuda tampan pesolek yang sudah dikenalnya, yaitu Sim Thian Bu! Ia sama sekali tidak tahu bahwa pemuda ini sejak tadi telah mengamati semua gerak-geriknya dari tempat tersembunyi.






Sim Thian Bu tiba-tiba muncul dan dengan ramah berseru gembira,
"Nona Ceng! Aih, akhirnya kita saling berjumpa juga. Memang kita ada jodoh! Aku memang tempo hari mengajakmu pesiar ke telaga ini, akan tetapi di tengah perjalanan engkau pergi. Tak kusangka kita justeru saling jumpa di Telaga Emas ini. Bukankah ini jodoh namanya?"

Tentu saja Sui Cin merasa kaget melihat munculnya pemuda ini dan iapun agak tertegun mengingat bahwa ia pernah meninggalkan pemuda ini malam-malam tanpa pamit. Akan tetapi iapun teringat akan sikap kurang ajar pemuda ini, bahkan sekarangpun pemuda ini berkali-kali bicara tentang jodoh!

"Saudara Sim, pergilah dan jangan ganggu, aku ingin sendirian," katanya singkat.

Akan tetapi pemuda tampan pesolek itu tersenyum dan memandang ke kanan kiri. Tempat itu sangat sepi pada saat itu. Permukaan telagapun masih sunyi, hanya ada sebuah perahu kecil nampak jauh di tengah telaga dengan seorang saja di dalamnya, agaknya seorang nelayan yang kesiangan. Sim Thian Bu sama sekali tidak memperdulikan nelayan dengan perahunya yang jauh itu.

"Nona Ceng, kenapa sikapmu begitu terhadapku? Bukankah kita sudah berkenalan dan menjadi sahabat baik? Pertemuan yang tidak kita sangka-sangka ini tandanya bahwa kita berjodoh. Marilah kita pelesir dan bersenang-senang berdua, nona. Jangan kau tinggalkan aku lagi. Aku... sejak pertemuan pertama itu, aku sudah tergila-gila padamu, nona..."

"Tutup mulutmu!" Sui Cin membentak marah.

"Ahhh...! Salahkah kalau seorang pemuda seperti aku tergila-gila dan jatuh cinta kepada seorang gadis sepertimu? Engkau yang salah, siapa suruh engkau begini cantik manis menggairahkan?"

Wajah Sui Cin yang putih halus itu menjadi merah. Belum pernah selama hidupnya ada laki-laki bicara seperti itu kepadanya. Rasa malu dan marah, membuatnya sukar bicara. Akan tetapi sebagai seorang gadis bebas yang jujur, harus diakuinya bahwa ucapan pemuda itu tak dapat disebut kurang ajar. Bukankah Sim Thian Bu mengeluarkan isi hatinya secara jujur? Pendapat ini menyabarkan hatinya dan iapun tersenyum.

"Saudara Sim, pergilah dan jangan menggangguku kalau kau tidak ingin kuanggap sebagai musuh."

Thian Bu tersenyum lebar, dan matanya dipicingkan, memandang dengan gaya lucu memikat, kemudian dia bertepuk tangan tertawa.

"Ha-ha! Aku mengerti sekarang. Engkau belum dapat menerima cintaku karena engkau belum mengenal kepandaianku, bukan? Seorang dara pendekar tentu hanya mau bergaul dengan seorang pembda yang lihai pula ilmu silatnya. Nah, disini merupakan tempat yang baik sekali untuk menguji kepandaian, nona Ceng. Silakan!" Pemuda itu memasang kuda-kuda dengan gaya dibuat-buat.

Sui Cin tersenyum mengejek. Bagaimanapun juga, terasa olehnya ketidakwajaran dalam sikap Thian Bu. Hui Song juga nakal dan jenaka, akan tetapi selalu menjaga kesopanan dan tidak pernah menyinggung perasaan. Sebaliknya, dalam kata-kata, pandang mata dan senyum Sim Thian Bu terkandung suatu sikap cabul dan kurang ajar yang membuat Sui Cin merasa ngeri dan juga marah.

"Aku tidak ingin mengujimu melainkan menghajarmu!" hardiknya dan Sui Cin sudah menerjang maju dengan tamparan-tamparan kedua tangannya.

"Heiittt... perlahan dulu...! Wah, jangan galak-galak, nona manis!" Thian Bu mengelak, bahkan berusaha menangkap pergelangan tangan Sui Cin.

Tentu saja Sui Cin tidak sudi ditangkap dan ia menarik kembali tangannya lalu menerjang dengan dahsyat mempergunakan pukulan dan tendangan.

"Aih, engkau bersungguh-sungguh, manis?"

Thian Bu mengejek dan diapun mengelak, menangkis dan membalas tak kalah dahsyatnya.

Sim Thian Bu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan puteri Pendekar Sadis yang lihai sekali, maka dia tidak berani memandang ringan dan segera mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.

Sebaliknya, baru sekarang Sui Cin benar-benar berkenalan dengan ilmu kepandaian pemuda itu dan diam-diam ia terkejut karena ternyata Thian Bu amat lihai! Melihat ketangguhan lawan, Sui Cin lalu mainkan Ilmu Silat Hok-mo Sin-kun (Silat Sakti Penakluk Iblis) dari ibunya. Ilmu silat ini amat cepat dan ganas dan jarang ada orang mampu menandinginya. Akan tetapi ternyata Thian Bu dapat melawan dengan baik, bahkan keceriwisan pemuda itu membuat Sui Cin merasa malu, kikuk dan gugup.

"Ha-ha, manis. Bagaimanapun, engkau harus menyerahkan diri padaku!"

Pemuda itu menyerang sambil main colek ke arah dada dan dagu Sui Cin secara kurang ajar sekali.

Kini barulah dara itu sadar dengan orang macam apa ia berhadapan. Seorang pemuda cabul yang agaknya biasa menggoda, mempermainkan dan menghina wanita. Ia sudah mendengar tentang seorang jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga) dan kini ia menduga bahwa tentu pemuda yang disangkanya pendekar ini sebetulnya adalah seorang penjahat cabul!

"Bangsat jai-hwa-cat!" Sui Cin memaki.

"Heh-heh, baru sekarang engkau tahu? Ha-ha-ha!" Thian Bu tidak marah dimaki begitu, malah tertawa-tawa dan mempercepat gerakannya.

Kini Sui Cin benar-benar kaget. Kiranya pemuda tampan yang tadinya dianggap seorang pendekar yang berkunjung pada pertemuan para pendekar di Bukit Perahu itu, ternyata benar seorang jai-hwa-cat seperti pengakuannya tadi. Seorang penjahat cabul! Berarti kaki tangan kaum sesat yang menyusup dan kini muncul pula di tepi telaga. Tentu ada hubungannya dengan usaha pembunuhan Menteri Liang.

"Jahanam busuk, manusia palsu! Engkau tentu kaki tangan kaum sesat!" bentaknya dan dengan tenaga sakti Thian-te Sin-ciang ia menerjang.

Kemarahan membuat tenaga dara ini menjadi berlipat ganda. Sim Thian Bu memang berwatak sombong dan selalu memandang rendah orang lain. Maka dia kurang waspada dan terjangan dahsyat Sui Cin itu ditangkis seenaknya saja.

"Dess...!"

Akibatnya, tenaga Thian-te Sin-ciang yang dahsyat itu melanda ke arah Thian Bu dan membuatnya terlempar ke belakang dan terbanting keras!

Akan tetapi pada saat Sui Cin berhasil membuat lawan terjengkang, pada saat itu ada angin keras menyambar dari arah kiri. Sui Cin yang tadinya siap menyusulkan pukulan pada Thian Bu, cepat memutar tubuh hendak menangkis.

"Plakk!"

Tongkat itu tertangkis, akan tetapi bukan mental malah meluncur ke samping dan menotok punggung Sui Cin.

"Tukk!" Dara itu merasa betapa tubuhnya menjadi lemas dan iapun roboh terkulai.

Sejak tadi, perahu kecil yang nampak dari jauh tadi sudah bergerak menuju ke pantai itu. Kakek sendirian yang duduk di perahu kecil itu bukan nelayan karena dia duduk sambil memainkan sebuah alat yang-kim (semacam siter). Ketika kakek itu melihat robohnya Sui Cin, dia menghentikan permainan musiknya.

Kakek penabuh yang-kim ini adalah Shan-tung Lo-kiam. Seperti telah kita ketahui, kakek sasterawan pendekar ini pernah muncul pula dalam pertemuan antara para datuk sesat. Dia ikut mendengar rencana kaum sesat untuk membunuh Menteri Liang yang sejak lama menjadi sahabat baiknya, maka dia selalu mengamati.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: