*

*

Ads

Selasa, 23 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 038

Sui Cin yang menyamar sebagai seorang pemuda jembel, merasa cocok dan senang sekali melakukan perjalanan bersama Hui Song. Pemuda ini berandalan, jenaka, gembira dan nakal, suatu sifat yang cocok dengan wataknya sendiri.

Ketika ia melakukan perjalanan bersama Sim Thian Bu menuju ke telaga setelah gagal nonton pertemuan para pendekar yang urung diadakan, mula-mula iapun merasa cocok. Sim Thian Bu seorang pemuda ganteng pesolek yang pandai memikat hati. Akan tetapi, baru sehari melakukan perjalanan bersama, ia sudah melihat bahwa keramahan pemuda itu pura-pura dan pandang matanya, tutur sapanya, semakin berani mengarah cabul. Maka, pada malam harinya ketika mereka bermalam di rumah penginapan, diam-diam Sui Cin meninggalkan tanpa pamit. Ia lalu menyamar sebagai pemuda jembel yang merantau sendirian, bebas gembira sampai ia bertemu dengan Hui Song.

Seperti telah kita ketahui, Sui Cin yang menyamar sebagai pemuda jembel melakukan perjalanan dengan Hui Song menuju ke kota raja. Ia mengatakan hendak mencari encinya! Dan Hui Song juga pergi ke kota raja dengan dalih hendak menyelidiki Hwa-i Kai-pang yang bekerja sama dengan pasukan pemerintah. Padahal sesungguhnya dia ingin sekali berkenalan dengan enci dari pemuda jembel itu yang ternyata adalah dara yang pernah dijumpainya dan yang amat menarik hatinya itu.

Di sepanjang perjalanan, keduanya merasa cocok sekali. Akan tetapi setiap kali malam tiba, Sui Cin tidak pernah mau diajak bermalam di rumah penginapan, melainkan mengajak bermalam di kolong-kolong jembatan atau di emper-emper toko! Ketika Hui Song memprotes, Sui Cin menjawab.

"Song-twako, engkau tahu bahwa aku sudah biasa hidup sebagai pengemis. Maka, akupun lebih leluasa tidur di kolong jembatan daripada di kamar hotel. Kalau engkau mau tidur di hotel, silakan. Aku di emper toko sini saja."

Hui Song terpaksa menurut biarpun dia mengomel karena dia tahu bahwa pemuda ini bukan jembel asli melainkan putera Pendekar Sadis yang kaya raya dan suka membagi-bagi uang pada para jembel! Dia tidak tahu bahwa Sui Cin sendiri jarang tidur di tempat kotor itu. Kalau sekarang ia memilih tidur di emper adalah untuk menghindari tidur sekamar dan seranjang dengan Hui Song!

Pada suatu malam mereka terpaksa tidur di bawah pohon dalam sebuah hutan. Kota raja sudah dekat dan hawa udara malam itu dingin sekali. Melihat betapa pemuda jembel itu tidur meringkuk kedinginan, Hui Song membesarkan api unggun.

Akan tetapi agaknya masih belum cukup dapat mengusir dingin, bahkan dalam tidurnya Sui Cin agak menggigil. Karena khawatir kalau-kalau pemuda jembel itu jatuh sakit, Hui Song melepaskan jubahnya dan menyelimuti tubuh Sui Cin yang sudah tidur nyenyak.

Akan tetapi, pemuda jembel itu masih kelihatan meringkuk kedinginan sedangkan Hui Song sendiri setelah menanggalkan jubahnya juga merasa dingin sekali. Maka dia lalu merebahkan dirinya dekat Sui Cin dan untuk mengurangi rasa dingin bagi mereka berdua, dia lalu merangkul tubuh Sui Cin merapatkan diri.

Benar saja, dia merasa hangat dan nyaman. Juga Sui Cin mengeluarkan suara lega. Akan tetapi hanya sebentar saja karena tiba-tiba Sui Cin meronta dan siku lengannya menyodok ke belakang.

"Hekk...!"

Hui Song merasa dadanya sesak karena tersodok siku dan dia memandang terbelalak kepada Sui Cin yang sudah meloncat berdiri. Pemuda jembel itu bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan marah sekali.

"Apa... apa yang kau lakukan tadi?" bentaknya.

Hui Song bangkit duduk termangu-mangu, keheranan.
"Apa...? Mengapa...? Aku tidak apa-apa..." jawabnya bingung.

"Kenapa engkau... memelukku tadi?"

Hui Song mengangkat alis dan pundaknya.
"Agar kita berdua tidak kedinginan. Cin-te, engkau sungguh aneh, apa salahnya kalau aku memelukmu?"

Baru Sui Cin sadar akan keadaannya, akan penyamarannya. Iapun duduk dekat api unggun.

"Maaf, Song-twako. Engkau mengagetkan aku yang sedang tidur dan... dan engkau mengingatkan aku akan pengalaman tidak enak beberapa bulan yang lalu ketika tadi engkau merangkul aku."

"Pengalaman apakah, Cin-te? Kurasa tidak ada salahnya dua orang laki-laki yang sudah bersahabat saling merangkul." Hui Song mengomel karena dadanya masih terasa memar.

"Ada seorang pria yang juga merangkulku... ihh, aku masih jijik dan ngeri membayangkan perbuatannya itu!"

"Aih, engkau seperti wanita saja, Cin-te. Apa salahnya laki-laki itu merangkulmu kalau memang dia sahabatmu?"

"Dia bukan hanya merangkul, akan tetapi... hendak... mencium dan mengajakku melakukan... hal yang tidak senonoh..."

Sui Cin tidak membohong ketika menceritakan ini karena memang dalam penyamarannya sebagai seorang pemuda jembel, pernah ada seorang jembel pria lainnya yang berbuat seperti itu kepadanya sehingga ia menjadi marah, menghajar jembel itu sampai babak belur dan pingsan baru meninggalkannya.

"Ahh...!"

Kini Hui Song terbelalak, kemudian menepuk pahanya sambil tertawa geli. Sui Cin melirik dengan hati mendongkol.

"Kenapa kau mentertawakan aku?" bentaknya.

"Aku tidak mentertawakan kau, Cin-te. Aku hanya merasa geli sendiri. Aku sudah pernah mendengar tentang pria yang suka berjina dengan pria lain, juga tentang wanita yang lebih suka bercinta dengan sesama wanita. Akan tetapi, wah, sialan benar! Apakah engkau menyamakan aku dengan pria itu?"

"Bukan begitu, akan tetapi pengalaman itu membuat aku merasa geli setiap kali ada pria memelukku. Itulah sebabnya mengapa aku tadi terkejut sekali."

"Maaf... maaf... aku tidak tahu dan tidak sengaja..."

"Sudahlah, asal mulai sekarang engkau jangan sekali-kali lagi mengulang perbuatan itu."

"Aku tidak berani...!" Hui Song tertawa.

"Awas kalau kau ulangi lagi, aku akan bilang kepada enciku bahwa engkau adalah seorang pemuda kurang ajar yang sukanya kepada sesama pria."

"Wah, gawat! Sungguh mati, aku tidak berani lagi. Eh, Cin-te, siapakah nama encimu itu?"

Sui Cin tidak segera menjawab, membesarkan nyala api unggun.
"Enci akan marah kalau aku lancang memperkenalkan namanya. Engkau tanya sendiri saja kalau sudah bertemu dengannya."






Pada keesokan harinya, mereka memasuki pintu gerbang kota raja. Ketika Hui Song bertanya dimana adanya enci sahabatnya itu, Sui Cin menjawab,

"Soal enciku mudah. Akan tetapi aku ingin sekali mengikutimu dan melihat bagaimana caranya engkau menyelidiki Hwa-i Kai-pang itu."

Terpaksa Hui Song mengajak Sui Cin melakukan penyelidikan. Setelah mereka mendapat keterangan dimana adanya gedung perkumpulan Hwa-i Kai-pang, mereka segera menuju kesana.

Gedung itu besar dan megah, sungguh tidak pantas menjadi pusat perkumpulan para pengemis. Dan di pintu gerbang nampak pengemis-pengemis muda yang bertampang serem melakukan penjagaan dengan lagak seperti pasukan tentara menjaga pintu gerbang saja. Dan nampak pula beberapa kali orang-orang berpakaian seperti pejabat pemerintah naik kereta memasuki halaman gedung itu sebagai tamu.

Sui Cin sudah tidak sabar dan hendak menyerbu saja, akan tetapi Hui Song mencegahnya.

"Kita datang bukan untuk menyerbu, melainkan untuk menyelidiki rahasia mereka. Nanti malam saja kita kembali dan melakukan pengintaian."

Malam itu sunyi dan dingin. Setelah makan malam Hui Song dan Sui Cin berangkat menuju ke gedung perkumpulan pengemis Hwa-i Kai-pang. Gedung itu megah dan besar, dikelilingi tembok tinggi dan satu-satunya pintu masuk pekarangan hanya pintu gerbang yang terjaga ketat siang malam itu.

Akan tetapi, tidak sukar bagi Hui Song dan Sui Cin untuk memasuki pekarangan belakang dengan meloncati pagar tembok bagian belakang. Agaknya Hwa-i Kai-pang begitu percaya akan kebesaran nama dan pengaruh mereka sehingga menganggap mustahil ada orang yang bosan hidup berani memasuki pekarangan mereka tanpa ijin, maka bagian belakang tidak dijaga.

Bagaikan dua ekor kucing, Hui Song dan Sui Cin menyelinap dan naik ke atas genteng bangunan bersembunyi di balik wuwungan. Tak lama kemudian mereka sudah membuka genteng mengintai ke bawah, ke dalam sebuah ruangan di bagian belakang gedung itu.

Ruangan itu luas dan melihat gambar-gambar orang bersilat yang berada di atas dinding, juga adanya rak penuh bermacam senjata di sudut, mudah diduga bahwa ruangan itu tentu sebuah lian-bu-thia (ruangan berlatih silat). Di sebuah sudut ruangan nampak empat orang duduk seenaknya di atas lantai. Keadaan empat orang kakek itu menyeramkan.

Keempatnya mengenakan baju tambal-tambalan dan berkembang-kembang seperti baju pengemis akan tetapi kainnya masih baru. Yang menyeramkan adalah wajah dan sikap mereka. Seorang yang duduk hampir rebah bertubuh gendut dengan perut seperti gentong, kepala botak dan rambutnya dikuncir lucu seperti ekor babi. Alisnya tebal, mata hidung dan mulutnya besar-besar.

Orang kedua di sebelah kirinya adalah seorang kakek tinggi kurus yang rambutnya panjang riap-riapan, kepalanya memakai kopyah pendeta, tangan kanan memegang pipa tembakau berbentuk ular. Dia nampak kurus sekali bersanding kakek pertama yang kegerahan membuka bajunya, atau mungkin juga karena perutnya terlalu gendut, kancing bajunya tak dapat ditutup.

Orang ketiga lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar nampak kuat. Mata kirinya ditutup dengan penutup mata berwarna hitam. Rambutnya sedikit, hampir gundul dan wajah yang bermata satu ini membayangkan kebengisan yang kejam. Orang keempat berwajah buruk, dengan mulut yang moncong bentuknya, punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat bulat. Agaknya mereka sedang bercakap-cakap dengan santai, menghadapi arak wangi dan sepiring ayam panggang utuh berada di antara mereka.

Hui Song dan Sui Cin yang mengintai merasa heran. Melihat pakaian mereka berempat itu, agaknya tak salah lagi bahwa empat orang itu tentu tokoh-tokoh Hwa-i Kai-pang. Akan tetapi sikap dan wajah mereka sama sekali tidak pantas menjadi tokoh jembel. Lebih patut kalau menjadi kepala-kepala rampok!

"Kurang ajar sekali, kini di Cin-an muncul dua orang muda yang berani menentang kita!" si perut gendut berkata sambil mengembangkan lengan kanan.

"Kalau mereka tidak lari dan kuketahui tempatnya, tentu keduanya takkan kuampuni lagi, akan kupatahkan kaki tangan mereka dan kukeluarkan isi perut mereka!" kata si mata satu dengan suara penuh geram.

Kakek yang mengisap huncwenya mengepulkan asap sehingga tercium bau yang harum memuakkan.

"Hemm, sebaliknya diselidiki benar-benar siapa pemuda jembel yang membagi-bagi uang itu. Sungguh kedengaran aneh sekali."

"Kalian tak perlu khawatir," kini kakek buruk rupa yang memegang tongkat berkata. "Kewajiban kita hanyalah menjaga kota raja dan sekitarnya, bekerjasama dengan pasukan pemerintah, mencegah pengaruh buruk mendekati sri baginda. Peristiwa di Cin-an itu membuktikan adanya kerja sama yang baik antara anak buah kita dengan pasukan pemerintah. Itu sudah cukup menguntungkan kita. Rakyat melihatnya dan kita tentu semakin ditaati sebagai pembantu pemerintah."

"Akan tetapi, Lo-eng (Pendekar Tua), dua pemuda itu kabarnya lihai sekali. Kalau tidak dicari dan dibasmi, bisa berbahaya, kelak hanya akan mendatangkan kesulitan," kata si gendut.

Mendengar percakapen itu, Sui Cin mengepal tinju. Ingin ia turun dan mengamuk, menghajar mereka, terutama si perut gendut. Akan tetapi agaknya Hui Song dapat merasakan gerakannya. Pemuda itu menyentuh tangannya dan berbisik,

"Hati-hati ada orang datang!"

Tiba-tiba ada dua bayangan berkelebat. Sui Cin terkejut bukan main karena bayangan itu memiliki gerakan yang amat cepat dan ringan, tanda bahwa mereka mempunyai kepandaian yang cukup tinggi. Untung Hui Song telah mengetahui kedaaan mereka lebih dulu sehingga ia tak jadi turun tangan.

Bagaikan dua ekor burung, bayangan dua orang itu sudah melayang turun memasuki ruangan itu. Empat orang yang sedang bercakap-cakap itu terkejut dan berlompatan berdiri, siap menggempur musuh.

Sepasang orang muda yang mengintai di atas melihat betapa gerakan mereka hebat, membayangkan kepandaian tinggi. Akan tetapi ketika empat orang itu mengenal kakek dan nenek yang muncul seperti iblis itu, wajah mereka menjadi girang. Kakek bertongkat yang menjadi ketua Hek-i Kai-pang, yaitu yang menamakan diri Hwa-i Lo-eng, cepat menjura dengan hormat.

"Aih, kiranya Kui-kok Pang-cu berdua yang datang berkunjung! Selamat datang dan silakan duduk!" Juga tiga orang kakek yang menjadi pembantu-pembantunya memberi hormat.

Kakek dan nenek itu adalah Kui-kok Lo-mo dan isterinya Kui-kok Lo-bo, sepasang suami isteri yang berpakaian putih-putih dan bermuka pucat seperti mayat itu. Mereka adalah tokoh-tokoh Cap-sha-kui dan karena Cap-sha-kui juga sudah diperalat oleh Liu-thaikam, seperti halnya Hwa-i Kai-pang, maka tentu saja mereka terhitung rekan dan saling mengenal.

Melihat betapa kakek dan nenek yang bermuka putih pucat itu masih berdiri saja, ketua Hwa-i Kai-pang kembali mempersilakan mereka duduk.

"Ji-wi, silakan duduk."

"Nanti dulu, Kai-pang-cu, kami menanti munculnya tamu lain!" Lalu Kui-kok Lo-bo melambaikan tangan ke atas sambil membentak, "Apakah kau masih juga belum mau turun?"

Sui Cin terkejut sekali, mengira bahwa ialah yang disuruh turun karena nenek bermuka pucat itu memandang ke arah tempat ia bersembunyi. Tentu saja ia tidak takut dan hendak turun. Akan tetapi kembali Hui Song mencegahnya dan memegang lengannya. Dan pada saat itu terdengarlah bunyi ledakan cambuk disusul melayangnya seorang nenek bongkok kurus ke dalam ruangan itu. Kiranya Kui-bwe Coa-li, satu diantara Cap-sha-kui yang dimaksudkan oleh kakek dan nenek iblis itu!

"Hi-hik, matamu masih tajam sekali Lo-bo?" Kui-bwe Coa-li berkata dengan nada mengejek.

"Coa-li, untuk mengetahui kehadiranmu, tak memerlukan ketajaman mata, cukup mencium bau yang amis seperti ular itupun cukuplah, ha-ha-ha!" Kui-kok Lo-mo mengejek.

"Huh! Hidung kerbau ini masih besar kepala juga!"

Nenek iblis itu balas memaki. Tidaklah aneh sikap antara para iblis Cap-sha-kui ini. Memang mereka adalah datuk-datuk sesat yang kasar.

Akan tetapi Hwa-i Lo-eng girang sekali kedatangan tamu-tamu lihai ini. Dengan hormat dia mempersilakan mereka duduk di ruangan tanpa kursi itu. Lantai mengkilap bersih, maka mereka lalu duduk di lantai begitu saja. Ketua pengemis itu membunyikan genta kecil dan muncullah lima orang gadis cantik menyuguhkan arak dan daging.

"Ha-ha! Para pelayanmu cantik-cantik, Lo-eng!" kata Kui-kok Lo-mo sambil mencolek pinggul seorang diantara mereka.

Hui Song dan Sui Cin memandang dengan heran. Perkumpulan pengemis akan tetapi mempunyai pelayan-pelayan yang terdiri dari gadis-gadis cantik yang berpakaian indah seperti perkumpulan orang-orang bangsawan atau hartawan saja!

Akan tetapi sepasang orang muda ini tetap mengintai dengan hati-hati karena mereka kini maklum bahwa datuk-datuk sesat dari Cap-sha-kui ternyata bersekongkol dengan Hwa-i Kai-pang dan agaknya mereka diperalat oleh pemerintah! Betapapun aneh kedengarannya, namun agaknya kenyataannya begitulah karena bukankah tadi ketua Hwa-i Kai-pang menyebut tentang adanya kerja sama antara mereka dan pemerintah?

Sambil makan minum, Kui-kok Lo-mo menceritakan maksud kedatangannya.
"Sebagai sesama rekan, kami membuka rahasia kami. Kami menerima tugas untuk membunuh Jenderal Ciang."

"Ah...! Beliau adalah panglima kedua di kota raja! Bukan hal mudah untuk mendekatinya, apalagi membunuhnya!" kata kakek yang mengisap pipa tembakau.

Hui Song dan Sui Cin juga kaget bukan main! Dan mereka merasa bingung. Para datuk sesat ini bekerja sama dengan pemerintah, akan tetapi mengapa iblis muka pucat mendapat tugas membunuh Jenderal Ciang, panglima kedua dari kerajaan? Sungguh sukar dimengerti. Akan tetapi mereka mendengarkan terus.

"Kami mengerti akan beratnya tugas kami, karena itulah kami datang kesini mengharapkan bantuan kawan-kawan yang tentu lebih tahu akan kebiasaan-kebiasaan panglima itu sehingga kami dapat turun tangan pada saat yang tepat," kata Kui-kok Lo-bo.

"Sebaiknya, kalau kita bekerja sama!" Tiba-tiba Kui-bwe Coa-li berseru. "Kalian membantuku Menteri Kebudayaan Liang, baru kemudian aku membantu kalian menyingkirkan Ciang-goanswe. Dengan majunya kita bertiga, mustahil kita takkan berhasil membunuh jenderal itu!"

Suami isteri itu saling pandang dan mengangguk setuju. Membunuh Menteri Liang merupakan pekerjaan amat mudah kalau dibandingkan dengan tugas mereka membunuh Jenderal Ciang. Dan bantuan Kiu-bwe Coa-li tentu saja amat berharga.

"Bagus, kami setuju dengan kerja sama itu," kata Kui-kok Lo-mo.

"Nah, sekarang kita minta bantuan kawan-kawan dari Hwa-i Kai-pang bagaimana sebaiknya untuk dapat menyerang Menteri Liang!" kata Kui-bwe Coa-li.

"Mencari kesempatan baik untuk menyerang Menteri Liang jauh lebih mudah daripada Jenderal Ciang!" kata Hwa-i Lo-eng yang tentu saja lebih banyak mengenal keadaan para pembesar di kota raja.

Apalagi dia sudah banyak menerima tugas mengamati dan memata-matai para pembesar yang menjadi lawan Liu-thaikam termasuk Jenderal Ciang dan Menteri Liang.

"Ceritakan yang jelas, pang-cu," kata Kiu-bwe Coa-li dengan girang karena merasa betapa tugasnya akan menjadi ringan setelah mendapat bantuan rekan-rekannya.

"Begini : Menteri Liang mempunyai suatu kegemaran, yaitu berlayar dan memancing ikan di Telaga Emas di sebelah selatan kota raja. Sebulan dua tiga kali dia pergi ke telaga itu dan saat itulah terbaik untuk turun tangan. Pertama, dia berada di luar kota raja dan kedua, biasanya dia tidak disertai banyak pengawal. Nah, cu-wi tinggal bersiap-siap saja, kalau dia pergi ke telaga itu, cu-wi turun tangan. Kami sendiri sudah banyak dikenal, tentu saja tidak mungkin dapat membantu turun tangan sendiri. Akan tetapi, disini ada saudara Bhe Hok ini yang merupakan tokoh baru dan belum banyak dikenal di daerah telaga itu, maka dialah yang akan membantu cu-wi mengamati dan memata-matai lebih dahulu sehingga akan tahu keadaan pembesar itu kalau sampai di telaga."

Ketua perkumpulan pengemis itu menunjuk kepada kakek berperut gendut yang ikut hadir disitu dan kakek gendut ini mengangguk-angguk sambil terkekeh girang menerima tugas penting ini.

Ketua Hwa-i Kai-pang itu bicara lirih ketika mengatur siasatnya, sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapan itu didengarkan oleh Hui Song dan Sui Cin!

**** 038 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: