*

*

Ads

Sabtu, 20 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 028

Tidaklah mengherankan kalau ada ahli ilmu silat keluarga Cin-ling-pai, akan tetapi kalau yang menguasai ilmu itu seorang dara yang masih demikian muda akan tetapi sudah sedemikian mahirnya, tidak kalah oleh dia sendiri sebagai putera tunggal ketua Cin-ling-pai, maka hal itu tentu saja membuat dia penasaran dan harus dia ketahui siapa gerangan dara itu!

"Bocah bengal! Awas kalau aku bertemu lagi denganmu!"

Dia mengepal tinju dan cemberut, akan tetapi lalu dia tersenyum lebar. Kalau bertemu, apa yang akan dilakukannya? Dan mana mungkin dia marah-marah kepada dara selucu itu? Dan bagaimanapun juga, kalau tidak muncul dara itu yang membantu, bukan tidak mungkin dia celaka di tangan tiga orang iblis Cap-sha-kui tadi. Kalau bertemu lagi, apa yang akan dilakukannya terhadap dara itu?

"Aku akan mengucapkan terima kasihku!" Akhirnya dia menjawab pertanyaan dalam hatinya sendiri.

Hui Song bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya dan tiba-tiba saja, secara aneh sekali, dia merasakan suatu kelainan pada dirinya. Lain dari biasanya. Ada apa dengan hati ini, pikirnya. Dia merasa kesepian! Dunia nampak begini kosong dan sunyi sekali, tidak menggembirakan lagi. Mengapa begini? Dia mengepal tinju dan alisnya berkerut, suatu hal yang hampir tidak pernah terjadi pada dirinya yang selalu bergembira.

Hidup kita adalah urusan kita sendiri, tidak ada sangkut-pautnya dengan orang lain, dengan siapapun juga. Hidup dan mati kita adalah urusan kita, kita sendiri yang akan menanggung, kita sendiri yang berhak menikmati, kita sendiri pula yang akan menderita, kita sendiri yang membuat kehidupan kita sendiri ini menjadi sorga atau neraka!

Kita hidup ini berarti kita sendirian, walaupun secara lahiriah kita saling bergantung dan saling bersandar dengan orang-orang lain. Akan tetapi kehidupan kita adalah urusan kita sendiri. Kita harus berani menghadapi kenyataan ini, ialah bahwa kita ini sendirian! Bukan berarti kita kesepian! Sekali kita bergantung kepada orang lain secara batiniah, akan muncullah rasa kesepian itu kalau kita berpisah dari orang kepada siapa kita bergantung atau bersandar! Dan perpisahan selalu menjadi akhir daripada pertemuan.

Ketergantungan kepada orang lain ini yang menimbulkan rasa takut dan rasa kesepian, rasa sengsara. Juga ketergantungan kepada benda, kepada ajaran-ajaran, gagasan, kelompok dan sebagainya. Ketergantungan berarti suatu ikatan. Secara lahiriah, sebagai manusia yang hidup di dalam masyarakat seperti sekarang ini, tentu saja kita mempunyai hak untuk mempunyai yang dilindungi oleh hukum.

Akan tetapi, lahiriah boleh saja kita mempunyai sesuatu, mempunyal isteri, anak, keluarga, sahabat, harta benda, kedudukan dan sebagainya. Namun, sekali kita memilikinya secara batiniah, kita akan terikat. Apa yang kita miliki secara batiniah itu akan mengakar di dalam hati sehingga kalau sewaktu-waktu dicabut, hati ini akan terluka dan menderita!

Bukan berarti bahwa acuh tak acuh terhadap segala yang kita punyai termasuk anak isteri dan keluarga. Cinta kasih akan mendatangkan perhatian, rasa sayang, iba hati, namun cinta bukan berarti ikatan batin. Sebaliknya, kalau batin terikat, yang mengikat itu adalah nafsu ingin senang, nafsu ini yang ingin memiliki secara batiniah, ingin menguasai, dan dari sini timbullah benih-benih penderitaan.

Betapa kita selalu ingin memiliki ini dan itu, bahkan ingin memiliki segala-galanya yang menyenangkan hati kita! Keinginan memiliki ini tidak ada batasnya, dan nafsu keinginan memiliki inilah yang mendorong kita ke arah perbuatan-perbuatan yang kadang-kadang menjurus ke arah kejahatan. Padahal, apakah yang dapat kita miliki sesungguhnya? Apakah yang abadi di dunia ini? Bahkan tubuh kita sendiripun tidak dapat kita miliki selamanya! Semuanya akan musnah pada saatnya. Karena itu, keinginan memiliki sudah pasti menjadi sumber segala derita.

Hati Hui Song murung karena kecewa oleh ulah Sui Cin yang meninggalkannya begitu saja tanpa memberi kesempatan untuk saling berkenalan. Yang membuat hatinya semakin penasaran adalah bahwa dara itu sudah mengenalnya sebagai putera ketua Cin-ling-pai sedangkan dia sendiri, mendugapun belum dapat siapa adanya dara itu!

Dengan murung dia melanjutkan perjalanan, bermaksud untuk pulang ke Cin-ling-san dan menemui orang tuanya, bukan hanya untuk melaporkan tentang pertemuan yang gagal di Puncak Bukit Perahu, akan tetapi terutama sekali dia hendak mencari keterangan dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kang-ouw yang ada hubungannya dengan keluarga Cin-ling-pai, yang menguasai ilmu-ilmu silat Cin-ling-pai agar dia dapat menduga siapa adanya gadis manis itu.

Pada keesokan harinya, tibalah dia di kota Cin-an yang besar dan ramai. Kota ini ramai sekali terutama karena letaknya di tepi sungai Huang-ho. Dari kota ini, melalui sungai, orang dapat mengunjungi kota-kota besar, bahkan sampai di kota raja. Para saudagar dan pelancong hilir mudik mengunjungi kota Cin-an sehingga kota ini menjadi makmur dan toko-toko serba lengkap dan besar.






Tidak ada orang menaruh terlalu banyak perhatian terhadap diri Hui Song, seorang pemuda biasa yang pakaiannya bersahaja, kebesaran dan ada tambalan di sana-sini walaupun cukup bersih. Tidak ada seorangpun dapat menyangka bahwa pemuda tinggi besar yang berwajah gembira ini adalah seorang pendekar muda yang berilmu tinggi, putera tunggal ketua Cin-ling-pai, nama yang pernah menggemparkan dunia persilatan puluhan tahun yang lalu.

Hui Song adalah seorang pemuda yang berjiwa sederhana dan gembira. Biarpun dia putera ketua Cin-ling-pai dan dalam melakukan perjalanan itu dia membawa bekal uang secukupnya, namun dia selalu makan di pasar, di warung-warung kecil dan tidurnyapun kebanyakan di kuil-kuil kosong atau di hutan, dan kalau terpaksa tidur di rumah penginapan, diapun memilih rumah penginapan yang kecil sederhana dan tidak banyak tamunya.

Hari telah siang ketika dia memasuki Cin-an. Pertama-tama yang dilakukannya adalah melakukan penyelidikan tentang Kang-jiu-pang. Dia mendengar bahwa pasukan pemerintah menyerbu pusat perkumpulan itu dengan tuduhan memberontak, akan tetapi tidak ada seorangpun anggauta Kam-jiu-pang yang tertangkap karena sarang itu sudah kosong tak tampak seorangpun anggauta Kang-jiu-pang.

Mendengar ini, Hui Song tersenyum gembira. Dia bersimpati kepada perkumpulan orang-orang gagah ini yang dengan cara mereka sendiri hendak membersihkan pemerintah dari tangan pembesar korup. Sayang usaha mereka itu terlalu kasar, hendak mengganggu kaisar sehingga usaha mereka gagal dan mereka bahkan kehilangan beberapa orang anggauta yang tewas oleh amukan iblis-iblis Cap-sha-kui.

Hatinya gembira mendengar betapa orang-orang Kang-jiu-pang mentaati nasihatnya dan semua telah melarikan diri sebelum pasukan pemerintah menyerbu. Dengan langkah ringan dan hati senang diapun memasuki pasar di kota itu untuk mencari pengisi perutnya yang sudah terasa lapar.

Begitu memasuki pasar, Hui Song tertarik oleh suara ribut-ribut di lapangan terbuka di luar pasar yang ramai pula dengan orang-orang berjualan dan orang-orang yang datang berbelanja. Di luar pasar ini dijual sayur-mayur yang diletakkan di dalam keranjang-keranjang atau diletakkan di atas tikar-tikar yang dibentangkan di atas tanah begitu saja.

Keramaian yang terjadi di luar pasar ini bukan keramaian biasa karena Hui Song melihat banyak orang berpakaian jembel berlari-larian dengan wajah gembira sekali. Hatinya tertarik dan diapun melangkah mendekat ke tempat di mana para jembel itu berkerumun merubung sesuatu.

Dan diapun terheran melihat seorang pemuda remaja yang juga berpakaian tambal-tambalan berdiri di tengah-tengah rubungan para jembel itu. Pemuda ini berwajah kotor penuh debu sehingga sukar dikenali wajahnya, penuh keringat pula, akan tetapi sepasang matanya bersinar-sinar gembira. Di sebelahnya terdapat sebuah karung yang terisi logam penuh!

Dan pemuda remaja ini sedang membagi-bagikan uang kepingan itu kepada para jembel, begitu royalnya dia menyebar uang seperti orang membuang pasir saja! Tentu saja hal ini menggegerkan orang sepasar karena sungguh merupakan penglihatan luar biasa jika seorang pemuda remaja jembel membagi-bagikan uang yang sedemikian banyaknya kepada kaum jembel dengan sikap seorang hartawan besar yang sudah kebanyakan uang rupanya.

Kini bukan hanya para jembel yang antri untuk menerima bagian pemberian, bahkan mereka yang miskin dan kebetulan berada di pasar, baik untuk berjualan maupun untuk berbelanja, tidak malu-malu untuk ikut pula antri. Pemuda remaja itu kelihatan gembira sekali, membagi-bagikan uang sambil tertawa-tawa.

Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang sedang antri itu nampak ketakutan dan mereka bubaran meninggalkan tempat itu. Juga para jembel cepat-cepat meninggalkan tempat itu walaupun mereka belum memperoleh bagian. Agaknya semua orang merasa ketakutan secara tiba-tiba seperti ada bahaya yang mengancam keselamatan mereka.

Sejak tadi, Hui Song berdiri dengan mata terbelalak penuh kekaguman. Juga di dalam hatinya timbul rasa heran dan juga terharu melihat seorang pemuda jembel membagi-bagikan uang secara begitu royalnya. Sungguh penglihatan itu amat tidak lumrah dan seperti dunia sudah terbalik.

Orang-orang kaya paling sayang uang dan amat pelit mengeluarkan uangnya, sebaliknya seorang jembel malah membagi-bagikan uang seperti orang membuang pasir saja. Tentu saja hal inipun menimbulkan kecurigaan hatinya. Benarkah pemuda itu seorang jembel? Kalau benar demikian, apakah benar uang yang dibagi-bagikan itu uangnya sendiri ataukah uang curian?

Biar bagaimanapun juga, hati Hui Song tertarik sekali dan sudah timbul semacam rasa suka di hatinya terhadap pemuda jembel itu. Diapun melihat betapa semua orang bubaran dan melarikan diri dengan wajah seperti dicekam rasa takut. Lapangan depan pasar itu menjadi berkurang ramainya. Hanya mereka yang berjualan dan berbelanja saja yang masih berada di situ, akan tetapi wajah merekapun membayangkan rasa takut.

Sebaliknya, pemuda jembel yang membagi-bagikan uang itu nampak kecewa. Uangnya di dalam karung masih ada cukup banyak, masih seperempat karung dan orang-orang yang antri dan belum kebagian sudah keburu pergi bubaran. Diapun mengangkat muka memandang dan mencari-cari dengan pandang matanya. Ketika mencari-cari ini, tiba-tiba saja, tanpa disengaja, sepasang mata jembel muda itu bertemu dengan pandang mata Hui Song.

Hui Song terkejut sekali. Dia merasa seperti pernah mengenal pemuda jembel itu, akan tetapi dia sudah lupa lagi kapan dan dimana. Akan tetapi, begitu bertemu pandang, dia merasa yakin bahwa dia pernah mengenal jembel muda itu! Dia mengingat-ingat, akan tetapi sementara itu, jembel muda itu membuang muka dan memandang ke arah jalan masuk ke lapangan depan pasar itu. Hui Song juga memandang ke sana dan tahulah dia sebab daripada bubarnya semua orang tadi.

Dua orang kakek itu usianya tentu sudah ada enam puluh tahun. Pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah dua orang pengemis karena pakaian itu penuh dengan tambal-tambalan, hanya lucunya, baju penuh tambalan itu masih baru, bahkan kain kembang yang dipakai untuk menambal juga masih baru!

Keduanya memegang tongkat dan biarpun mereka itu jelas berpakaian pengemis, akan tetapi sikap mereka ketika melangkah memasuki lapangan terbuka di depan pasar itu tiada ubahnya dua orang pembesar tinggi atau dua orang perwira tinggi yang sedang berjalan. Kepala diangkat tinggi lurus, dada membusung dan langkahnya jelas dibuat-buat agar supaya nampak gagah! Tongkat itu dipegang seperti pembesar memegang tongkat komando saja.

Sungguh aneh, akan tetapi amat lucu dalam pandangan Hui Song sehingga dia tersenyum lebar menahan tawa. Baginya, dua orang itu lebih mirip dua orang badut yang sedang berlagak di atas panggung. Akan tetapi, jelaslah bahwa semua orang yang bubaran tadi adalah karena munculnya dua orang kakek pengemis ini.

Sekarangpun, mereka berjalan seperti orang-orang yang berkuasa, dan pandang mata semua orang di situ yang ditujukan kepada mereka mengandung bayangan rasa takut, seperti orang-orang yang memandang dua ekor harimau ganas yang dilepas di tempat umum.

Siapakah adanya dua orang kakek pengemis yang begitu besar pengaruhnya sehingga semua orang menyingkir ketakutan begitu mereka muncul? Mereka itu adalah dua orang tokoh perkumpulan Hwa-i Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang).

Dahulu, ketika Hwa-i Kai-pang masih dipimpin oleh orang gagah perkasa yang budiman, perkumpulan ini terkenal sebagai perkumpulan yang bersih. Dahulu perkumpulan ini hanya bertujuan untuk mendidik para pengemis, mengajarkan kepandaian tertentu agar mereka itu dapat terjun ke dalam masyarakat dengan bekerja dan meninggalkan kebiasaan mereka mengemis. Juga mereka yang memiliki ilmu silat tentu bertujuan untuk membela kepentingan kaum lemah yang tertindas. Akan tetapi akhir-akhir ini, setelah dipimpin oleh seorang lihai yang berambisi dan dipengaruhi oleh kaki tangan Liu-thaikam, berubah pulalah keadaan perkumpulan itu.

Hwa-i Kai-pang kini dipimpin oleh seorang tokoh yang berjuluk Hwa-i Lo-eng (Pendekar Tua Baju Kembang). Julukannya saja pendekar, akan tetapi sepak terjangnya sama sekali tidak depat dinamakan bijaksana atau budiman. Apalagi setelah dia dapat dibujuk oleh orang-orangnya Liu-thaikam, maka keadaan perkumpulan itu berobah sama sekali.

Liu Kim atau Liu-thaikam adalah seorang yang amat cerdik. Dia tahu bahwa dia sendiri tidak memiliki kekuatan apapun. Kalau dia dapat memiliki kekuasaan dan pengaruh, hal itu adalah karena kaisar yang muda itu amat percaya kepadanya dan memang dia seorang yang pandai melaksanakan pekerjaan.

Segala perintah pekerjaan yang diserahkan kepadanya tentu terlaksana dengan beres dan baik. Akan tetapi, diapun seorang yang suka sekali menumpuk harta sehingga untuk memuaskan nafsu yang tak kunjung padam itu dia melakukan korupsi besar-besaran. Hal ini tentu saja menimbulkan tentangan dari panyak pembesar yang setia dan jujur.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: