*

*

Ads

Sabtu, 20 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 026

Pemuda itu lalu menghadapi Song Pak Lun dan menjura.
"Song-pangcu, sekali lagi maafkan salah duga yang membuat aku pernah merobohkan muridmu karena aku hanya bermaksud menolong kaisar yang terancam dan ditodong oleh muridmu. Dan kuharap saja pangcu cepat-cepat bersama seluruh anggauta Kang-jiu-pang meninggalkan tempat ini. Perbuatan para anggauta Kang-jiu-pang dianggap sebagai pemberontak. Aku tidak akan merasa heran kalau sebentar lagi datang pasukan untuk menangkap atau membasmi Kang-jiu-pang."

Song Pak Lun menarik napas panjang.
"Kami mengerti dan bagaimanapun juga, terima kasih atas bantuanmu. Orang muda, engkau she Cia dan ilmu silatmu tinggi. Entah apa hubunganmu dengan Cia-taihiap, ketua Cin-ling-pai?"

Kui Song tersenyum dan mukanya menjadi merah.
"Aku tidak pernah memamerkan dan memperkenalkan orang tuaku, akan tetapi baiklah kepadamu aku berterus terang bahwa dia adalah ayahku."

"Ahh...!"

Para anggauta Kang-jiu-pang berseru kaget. Kiranya pemuda ini adalah putera ketua Cin-ling-pai! Pantas saja demikian lihai!

"Aku mengerti bahwa kami tidak akan menyebut dan menyeret namamu ke dalam urusan kami, Cia-taihiap," kata ketua Kang-jiu-pang itu.

"Terima kasih, aku yakin akan kebijaksanaan pangcu. Aku sendiri tidak takut terseret, hanya ayah tentu akan marah sekali kalau sampai Cin-ling-pai terlibat. Nah, selamat berpisah, pangcu, harap saja engkau dan semua anggautamu dapat meloloskan diri dari kejaran pasukan pemerintah!"

Cia Hui Song lalu pergi dan Song Pak Lun dengan tergesa-gesa lalu berkemas. Tak lama kemudian, pada hari itu juga, seluruh anggauta Kang-jiu-pang pergi meninggalkan Cin-an berikut keluarga mereka. Ketika pasukan pemerintah datang menyerbu, mereka hanya menemukan sarang yang kosong karena semua burungnya telah terbang pergi entah kemana.

Cia Hui Song adalah putera ketua Cin-ling-pai. Pada waktu itu, yang menjadi ketua Cin-ling-pai adalah seorang pendekar gagah perkasa bernama Cia Kong Liang yang telah berusia lima puluh tahun.

Para pembaca kisah Pendekar Sadis tentu telah mengenal nama Cia Kong Liang ini. Pendekar ini menikah dengan seorang gadis gagah perkasa putera seorang datuk sesat yang sudah mencuci tangan dan merobah jalan hidupnya di atas jalan bersih.

Ayah mertuanya adalah Tung-hai-sian Bin Mo To yang tinggal di Ceng-tao di Propinsi Shantung. Julukannya ketika masih menjadi datuk adalah Tung-hai-sian (Dewa Lautan Timur) dan dia adalah seorang Bangsa Jepang yang nama aselinya Minamoto. Tung-hai-sian hanya mempunyai seorang anak perempuan yang berjiwa gagah dan tidak suka melihat ayahnya menjadi datuk kaum sesat.

Puterinya ini yang bernama Biauw dan memakai she Bin, akhirnya menikah dengan Cia Kong Liang yang pada waktu itu adalah putera ketua Cin-ling-pai. Cia Kong Liang hidup rukun dan saling mencinta dengan Bin Biauw dan mereka mempunyai seorang anak laki-laki yang mereka beri nama Cia Hui Song ini sudah berusia dua puluh satu tahun.

Setelah ayahnya meninggal dunia, Cia Kong Liang membangun kembali Cin-ling-pai sebagai ketuanya dan semenjak itu di bawah pimpinannya dan dibantu oleh isterinya, Cin-ling-pai menjadi semakin kuat dan terkenal. Dalam mendidik dan melatih murid-murid Cin-ling-pai, Cia Kong Liang bersikap keras sehingga diantara murid-muridnya banyak yang jadi.

Tentu saja puteranya sendiri digemblengnya dengan tekun sehingga Cia Hui Siong telah mewarisi ilmu-ilmu Cin-ling-pai dari ayahnya, bahkan mewarisi juga ilmu-ilmu dari ibunya yang memiliki ciri khas.

Pemuda ini sejak kecil berada di Cin-ling-pai yang berpusat di Pegunungan Cin-ling-san, dan memiliki watak yang lincah gembira sekali, jauh berbeda dengan ayahnya yang sejak mudanya berwatak keras, pendiam dan serius, bahkan agak angkuh dan tinggi hati.

Agaknya Hui Song menuruni watak ibunya yang lincah gembira, dan memiliki jiwa petualang karena sejak kecil anak ini suka bermain-main sendiri di tempat-tempat sepi dan berbahaya sehingga seringkali mendapat teguran dan hukuman keras dari ayahnya.

Akan tetapi dia tidak pernah merasa jera, apalagi karena dilindungi ibunya sehingga akhirnya ayahnya merasa bosan sendiri dan membiarkan puteranya tumbuh menjadi seorang pemuda yang wataknya riang gembira, bengal dan juga aneh, mengenakan pakaian seenaknya saja tak pernah kelihatan rapi.






Kehadirannya di Puncak Bukit Perahu adalah untuk mewakili ayahnya dan Cin-ling-pai. Akan tetapi seperti juga para pendekar lain yang mendengar berita dari para murid Pek-ho-pai bahwa pertemuan itu dibatalkan, diapun meninggalkan tempat itu dan sebelum pulang ke Cin-ling-pai dia melancong dulu sampai ke Cin-an dimana secara kebetulan dia dapat menyelamatkan kaisar kemudian berbalik membantu Kang-jiu-pang menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis.

Setelah memberi nasihat kepada Kang-jiu-pang agar cepat-cepat meninggalkan Cin-an, Hui Song sendiri segera pergi dari kota itu. Diapun merasa khawatir kalau-kalau pihak pemerintah tahu bahwa dia adalah putera ketua Cin-ling-pai. Bantuannya terhadap Kang-jiu-pang tadi sungguh berbahaya kalau diingat dua orang iblis itu ternyata adalah kaki tangan pemerintah pula!

Dia sendiri masih merasa bingung akan segala peristiwa yang dialaminya. Kaisar akan diculik oleh kumpulan pendekar Kang-jiu-pang, sedangkan orang-orang macam Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo malah melindungi kaisar. Apakah dunia ini sudah terbalik? Apakah kini para pendekar memusuhi kaisar dan para penjahat malah membelanya?

Memang pemuda ini tidak begitu memperdulikan urusan pemerintahan, maka diapun tidak tahu akan apa yang terjadi di istana, tidak tahu bahwa para datuk sesat itu sebetulnya bukan mengabdi kepada kaisar melainkan kepada pembesar lalim yang memperoleh kesempatan menguasai pemerintahan melalui kaisar muda yang lemah.

Pada keesokan harinya, Hui Song telah pergi jauh dari Cin-an menuju ke selatan. Dia harus pulang ke Cin-ling-san untuk melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan atau pembatalan pertemuan para pendekar itu, juga tentang keanehan yang dialaminya di Cin-an.

Sebelum dia turun tangan membantu Kang-jiu-pang, dia telah melakukan penyelidikan kilat di Cin-an tentang perkumpulan itu dan mendapat kenyataan bahwa Kang-jiu-pang adalah perkumpulan pendekar yang dihormati dan dipuji oleh rakyat. Itulah mengapa dia tanpa ragu-ragu cepat pergi ke Kang-jiu-pang dan melihat perkumpulan itu didatangi oleh dua iblis, diapun segera membantu.

Siang hari itu matahari amat terik dan semalam Hui Song telah melakukan perjalanan tanpa berhenti, maka dia merasa lelah dan duduklah pemuda ini mengaso di luar sebuah hutan. Melibat adanya sebuah gubuk di tepi jalan, diapun lalu naik ke gubuk kecil itu untuk berteduh.

Di bawah naungan daun-daun pohon dan atap gubuk sederhana, yang menciptakan tempat teduh dan sejuk dengan adanya semilirnya angin, membuat mata mengantuk sekali. Hui Song segera tertidur setelah dia merebahkan diri terlentang di atas anyaman bambu di gubuk itu. Dia tertidur amat nyenyak dan nikmatnya.

Kita condong beranggapan bahwa segala kenikmatan yang dapat kita rasakan dalam kehidupan ini haruslah diadakan dan sarananya berada di luar diri kita. Kalau mau makan enak haruslah membeli masakan-masakan yang mahal harganya, kalau mau tidur nyenyak haruslah berada di dalam kamar yang lengkap dan dengan perabot serba halus dan mahal, dan sebagainya. Pendeknya syarat mutlak untuk menikmati hidup adalah adanya benda-benda berharga yang hanya bisa didapatkan dengan uang. Akan tetapi, benarkah demikian adanya?

Kita melihat petani sederhana yang sehabis bekerja keras di ladang dapat menikmati makanannya yang sederhana, dengan kenikmatan yang tidak dibuat-buat. Mengapa demikian? Karena badannya sehat dan batinnya tenteram, karena dia sehat lahir batin. Kesehatannya bekerja dengan wajar, membuat perutnya lapar setelah dia kelelahan dan ini menciptakan selera dan nafsu makan yang membuat apa saja menjadi nikmat terasa olehnya. Kita melihat petani yang sama pada waktunya akan dapat tidur nyenyak, hanya bertilamkan tikar atau bahkan rumput saja, juga hal ini dapat terjadi karena dia sehat lahir batinnya.

Sebaliknya, kitapun dapat melihat orang yang kaya raya tanpa banyak kerja menjadi malas, makan tidak terasa enak biarpun menghadapi hidangan yang mahal-mahal dan banyak macamnya. Kita melihat orang kaya yang sama gelisah di atas tempat tidurnya yang empuk dan bertilamkan sutera di dalam sebuah kamar seperti istana, sukar dapat memejamkan mata dan tidak dapat lagi menikmati rasanya tidur nyenyak.

Jelaslah bahwa sumber kenikmatan hidup berada di dalam diri kita sendiri lahir batin. Kalau lahir batin kita sehat kita akan dapat menikmati hidup. Badan sehat berarti tidak ada gangguan penyakit. Batin sehat berarti tidak ada gangguan pikiran. Namun sungguh teramat sayang. Kita lebih senang MENGOBATI gangguan lahir batin itu daripada MENJAGANYA.

Kita hidup tidak sehat, makan minum tanpa ingat akan kesehatan, setiap hari ada gangguan kesehatan badan yang kita atasi dengan pengobatan-pengobatan. Lalu kita membiarkan hati dan pikiran terganggu setiap hari, yang ingin kita atasi pula dengan hiburan-hiburan!

Biarpun hanya di dalam gubuk reyot bertilamkan anyaman bambu yang kasar, di tepi sebuah hutan yang sunyi, namun Hui Song dapat tidur dengan nyenyak, benar-benar nyenyak, tidak perlu membutuhkan waktu tidur lama. Tidur dua tiga jam saja rasanya sudah kekenyangan dan puas sekali, sudah dapat melenyapkan segala letih dan kantuk.

Tiba-tiba ada sesuatu yang jatuh menimpa dahinya. "tuk!" hanya sebuah benda kecil menimpa dahi, akan tetapi cukuplah untuk menggugah Hui Song dari tidurnya. Sebagai seorang pendekar yang terlatih, begitu terbangun diapun sudah waspada dan siap menghadapi bahaya yang mengancam. Badannya sudah peka seperti badan binatang liar yang hidup di hutan, seperti burung yang selalu waspada biarpun dalam keadaan sedang tidur. Suara tidak wajar dari belakang gubuk itu cukup membuat Hui Song sadar sepenuhnya.

"Brakkkkk...!"

Gubuk itu jebol, ambrol dan runtuh dan seperti seekor burung saja, Hui Song berhasil melesat ke luar dari dalam gubuk sebelum dia ikut terbanting dan tertindih. Ketika dia turun ke atas tanah dan membalikkan tubuhnya, dia melihat disitu telah berdiri tiga orang tua yang tertawa-tawa.

Mereka ini bukan lain adalah Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo dan seorang kakek lagi yang tubuhnya amat menyeramkan. Seorang kakek yang tinggi besar seperti raksasa, dan melihat perawakan ini, biarpun baru satu kali bertemu dengan makhluk ini, Hui Song yang sudah banyak mendengar tentang para iblis di dunia sesat, segera dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang pentolan Cap-sha-kui yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian amat mengerikan, yaitu Tho-tee-kui! Maka, diapun bersikap waspada walaupun mulutnya bergerak membuat senyum mengejek ke arah Hek-mo dan Kui-bo yang tertawa-tawa itu.

"Wah, kiranya Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo. Apakah kalian belum puas mendapat hajaran tempo hari dan sekarang datang mencariku untuk minta tambahan?"

Mendengar ejekan ini Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi marah sekali.
"Bocah sombong, kami datang menagih hutang berikut bunganya!" kata Hwa-hwa Kui-bo sambil menubruk maju dan menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hui Song.

"Plakk!" Hui Song menangkis sambil tertawa.

"Tak tahu malu! Engkau yang hutang belum bayar memutarbalikkan fakta!"

Tangkisan itu dilakukan dengan pengerahan tenaga Thian-te Sin-ciang dan akibat-nya nenek bertopeng itu terpelanting. Akan tetapi dari samping, kakek Koai-pian Hek-mo sudah menyerangnya. Kakek inipun tidak menggunakan pecut bajanya.

Agaknya mereka berdua memang sudah sepakat untuk maju mengeroyok Hui Song dan karena pemuda itu tidak bersenjata, merekapun merasa lebih leluasa untuk mengeroyok pemuda itu dengan tangan kosong agar mereka merasa lebih puas memberi hajaran kepada pemuda ini. Serangan Hek-mo dari samping cukup dahsyat, dengan pukulan keras ke arah lambung. Namun dengan mudah Hui Song dapat mengelak.

"Memang sudah lama aku tahu kalian ini tua bangka-tua bangka yang curang dan pengecut! Tapi jangan kira aku takut menghadapi pengeroyokan kalian berdua. Nah, terimalah ini untuk penyegar!"

Berkata demikian, Hui Song menggerakkan kedua lengannya dengan cepat sekali. Kedua lengan itu membuat gerakan yang berlawanan, yang kiri mengandung tenaga keras dan yang kanan mengandung tenaga lemas, kedua tangannya berbareng menyambar ke arah Hek-mo dan Kui-bo dengan jurus sakti dari Im-yang Sin-kun!

"Plakk! Plakk...! Ihhh...!"

Kakek dan nenek itu terhuyung dan hampir terpelanting ketika menangkis pukulan sakti ini dan mereka terkejut bukan main. Akan tetapi karena mereka maju berbareng, hati mereka besar. Mereka merasa penasaran sekali kalau secara maju bersama tidak mampu mengalahkan pemuda ini, maka mereka mengerahkan semua tenaga dan kepandaian mereka.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: