*

*

Ads

Kamis, 18 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 024

Kaisar mengerutkan alisnya. Dia tidak senang dengan bunuh-bunuhan ini, dan tadipun melihat delapan orang itu terbunuh, dia sudah merasa muak, biarpun delapan orang itu tadi berusaha untuk menculiknya. Maka tanpa mengeluarkan komentar diapun lalu menoleh kepada pemuda tampan yang pakaiannya nyentrik itu.

"Dan engkau siapa?"

Pemuda itu menjura dengan sikap hormat.
"Hamba adalah pelancong yang kebetulan lewat dan melihat paduka, yang tadinya tidak hamba sangka adalah sri baginda dan baru hamba ketahui setelah mendengarkan percekcokan mereka, terancam bahaya, hamba merasa berkewajiban untuk menyelamatkan paduka dari ancaman bahaya."

Kaisar semakin jengkel. Orang-orang ini adalah orang-orang kang-ouw yang dia tahu berwatak aneh-aneh. Orang-orang Kang-jiu-pang yang seperti pendekar-pendekar itu, ternyata malah menculiknya. Dua kakek dan nenek iblis yang kelihatan kejam ini malah menyelamatkannya, dan pemuda yang pakaiannya tidak karuan inipun agaknya enggan memperkenalkan nama. Ah, diapun tidak ingin berkenalan dengan segala macam petualang itu. Maka diapun berpaling kepada dua orang perwira pengawal,

"Mari, antar aku pulang, aku lelah sekali!"

Tanpa banyak cakap dan tanpa menoleh lagi kepada kakek dan nenek iblis, juga kepada pemuda tampan itu, kaisar lalu meninggalkan tempat itu, diiringkan oleh dua orang pengawalnya.

Setelah kaisar pergi, nenek itu terkekeh.
"Huh-huh, begitu sajakah kaisar? Tak mengenal budi! Eh, orang muda, engkau tadi sudah membantu kami, sungguh engkau merupakan sahabat yang baik!"

"Kaisar tidak minta dilindungi, kenapa engkau mengomel?" Koai-pian Hek-mo mencela nenek itu, kemudian dilanjutkan kepada si pemuda, "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan dari perguruan mana? Aku suka sekali bersahabat denganmu!"

"Jangan percaya omongannya! Paling-paling engkau akan dijadikan teman tidurnya!" Hwa-hwa Kui-bo mengejek.

"Wah, masih jauh lebih baik daripada menjadi pacar nenek seperti tua bangka ini!" Koai-pian Hek-mo membalas dan keduanya berdiri berhadapan dengan sikap beringas.

Pemuda itu tersenyum.
"Ha-ha, sungguh lucu sekali kalian ini. Kalau aku tidak salah, engkau tentulah Koai-pian Hek-mo dan engkau ini Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk muara Huang-ho yang terkenal itu, bukan?"

"Bagus engkau sudah mengenal namaku, orang muda. Engkau ikutlah aku dan menjadi muridku yang terkasih!" kata Koai-pian Hek-mo sambil menatap wajah yang tampan itu.

"Engkau menjadi muridku saja, dan apapun yang kau minta tentu terlaksana."

"Wah, bingung aku. Kalian berdua sama-sama hebat, sama-sama lihai, berat hatiku memilih yang mana. Tentu aku akan senang sekali menjadi murid kalian. Bagaimana kalau kalian berebut saja? Bertanding untuk menentukan siapa yang berhak menjadi guruku? Yang menang itulah guruku!" kata si pemuda sambil tertawa.

"Bagus!"

Hwa-hwa Kui-bo berseru dan nenek yang agaknya sudah ingin sekali segera dapat memiliki pemuda yang menggairahkan hatinya itu tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang Koai-pian Hek-mo dengan pedangnya!

Kakek itupun menjadi marah dan cepat dia menangkis dengan pecut bajanya dan balas menyerang. Dua orang kakek dan nenek ini sudah saling serang dengan hebat dan mati-matian untuk memperebutkan pemuda tampan yang menarik hati itu tanpa menyelidiki lebih dulu siapa adanya pemuda yang baru saja mereka jumpai itu.

Ada dua puluh jurus lewat mereka saling serang dan baru mereka melihat bahwa pemuda yang menjadi sebab perkelahian mereka itu ternyata sudah tidak ada lagi disitu, telah pergi dengan diam-diam tanpa mereka ketahui karena mereka hanya mencurahkan perhatian untuk mencari kemenangan!






"Celaka, kita tertipu!" bentak Koai-pian Hek-mo sambil meloncat mundur.

"Engkau tua bangka, kenapa tidak mau mengalah sampai dia pergi tanpa kuketahui siapa namanya dan dimana tempat tinggalnya?"

"Bagaimanapun juga, dia tadi telah membantu kita. Tentu dia seorang di antara sahabat dan kelak kita tentu akan bertemu lagi. Mari kita lanjutkan tugas penting kita!"

"Tapi aku belum kalah!" tantang si nenek.

"Akupun belum!"

"Mari kita lanjutkan!"

"Hushhh! Ingin kulaporkan kepada lojin bahwa engkau tidak mentaati perintah?"

"Sialan! Mulut runcing!" si nenek mengomel, akan tetapi hatinya gentar juga.

Paling ngeri kalau orang sudah menyebut lojin dan iapun tidak berani lagi banyak cakap. Mereka lalu mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke Cin-an untuk mengunjungi sarang Kang-jiu-pang.

Menjelang senja, kakek dan nenek iblis itu tiba di luar pintu gerbang sarang Kang-jiu-pang. Sebagai rumah perkumpulan persilatan, tempat itu dikelilingi tembok tebal seperti benteng dan di luar pintu gerbang yang besar itu terjaga oleh beberapa orang pemuda anggauta Kang-jiu-pang.

Ketika dua orang datuk kaum sesat itu tiba disitu, mereka tidak berani sembarangan bergerak. Keduanya sudah lama mengenal perkumpulan ini dan maklum bahwa perkumpulan itu dipimpin oleh Song Pak Lun yang lihai sekali, terutama sekali kedua "tangan baja" yang telah dilatihnya secara sempurna itu.

Juga mereka tahu bahwa perkumpulan ini memiliki murid atau anggauta yang puluhan orang jumlahnya. Maka, keduanya lalu menghampiri pintu gerbang, hendak mengambil tindakan secara terbuka karena bagaimanapun juga, mereka merasa berada di pihak pemerintah yang menghadapi pemberontak, jadi tentu saja mereka berdua merasa mendapat angin.

Ternyata bahwa kedatangan mereka itu sudah dinanti oleh tuan rumah. Buktinya, ketika mereka tiba di depan pintu gerbang, tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki tua, berusia kurang lebih enam puluh tahun, gagah perkasa dan bertubuh kokoh kuat dan sikapnya tenang dan angker.

Inilah Song Pak Lun sendiri, ketua Kang-jiu-pang yang agaknya tidak ingin menerima tamu yang sudah membunuh delapan orang anak buahnya itu di dalam rumah, melainkan hendak menerimanya di luar tembok pintu gerbang!

Di sampingnya berjalan dua orang kakek yang tadi menyamar sebagai pelukis dan penyair, yang berhasil menyelamatkan diri untuk membawa berita yang amat pahit itu, ialah bahwa bukan saja tugas anak buah Kang-jiu-pang untuk menculik kaisar itu gagal, bahkan delapan orang anak buah perkumpulan mereka tewas secara mengerikan dalam tangan dua orang datuk sesat.

Sejenak kedua pihak hanya saling pandang saja. Song Pak Lun tidak memperlihatkan kedukaan atau kemarahan berhubung dengan kematian murid-muridnya dan kegagalan usahanya.

"Sejak kapan Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi antek pembesar lalim Liu-thaikam?" demikian sambutan Song Pek Lun ketika kedua orang iblis itu nampaknya tidak sabar lagi.

Kakek dan nenek itu melirik ke depan dan kanan kiri, melihat betapa ketua Kang-jiu-pang itu diikuti oleh murid-murid kepala dan juga semua murid yang jumlahnya tidak kurang dari lima puluh orang. Semua murid atau anggauta Kangjiu-pang itu kelihatan marah dan mendendam kepada mereka berdua.

Dengan sikap tenang mengejek Koai-pian Hek-mo melolos pecut bajanya dan memutar-mutar senjata itu dengan sikap menantang sekali, lalu dia berkata,

"Dan sejak kapan Kang-jiu-pang menjadi gerombolan pemberontak?"

"Hemm, sejak kapan datuk-datuk kaum sesat bersikap sebagai patriot sejati?" Kembali Song Pak Lun bertanya.

"Orang she Song, tidak usah banyak membuka mulutmu yang busuk!" Tiba-tiba Hwa-hwa Kui-bo yang memang wataknya galak itu memaki, "Engkau memusuhi kaisar atau tidak, itu bukan urusan kami. Akan tetapi ketahuilah, kami menerima tugas dari Siangkoan-lojin untuk melindungi kaisar dan untuk membasmi Kang-jiu-pang. Nah, sekarang terserah kepadamu, hendak menyerahkan nyawa dengan baik-baik ataukah kami harus menggunakan kekerasan!" Sambil berkata demikian, nenek itu mencabut pedangnya.

Wajah Song Pak Lun menjadi pucat sebentar, lalu berobah merah sekali, sepasang matanya lebar terbelalak dan seperti mengeluarkan api. Tadi dia terkejut mendengar disebutnya narna Siang-koan-lojin. Kiranya Iblis Buta itu benar-benar telah keluar dari sarangnya untuk mengacau dunia? Dan dia marah mendengar kesombongan nenek itu.

"Kami adalah orang-orang gagah dan sampai matipun kami menjunjung kegagahan. Kalau kami mengandalkan banyak orang mengeroyok kalian, kami akan merasa malu walaupun memperoleh kernenangan. Hek-mo dan Kui-bo, majulah hadapi aku satu lawan satu, kalau aku kalah, aku akan menyerahkan nyawa dan akan membubarkan Kang-jiu-pang, akan tetapi kalau kalian kalah, kami akan menggunakan kepala kalian untuk menyembahyangi arwah delapan orang murid kami."

Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, akan tetapi Hwa-hwa Kui-bo yang lebih cerdik dan sudah tahu akan kelihaian ketua perkumpulan ini, berseru,

"Kami datang berdua sebagai utusan, mati hidup harus kami lakukan berdua. Karena itu, kami berdua akan maju bersama, dan engkau boleh memilih seorang jagoan lagi dari perkumpulan pemberontak ini untuk membantumu melawan kami berdua!"

Diam-diam Koai-pian Hek-mo meraaa girang karena kecerdikan temannya ini menempatkan mereka di atas. Diapun tahu bahwa orang paling lihai dari Kang-jiu-pang adalah ketua itu sendiri. Melawan ketua itulah yang berat. Kalau mereka berdua maju bersama, tentu terpaksa ketua itu memilih seorang muridnya untuk membantu. Dan kepandaian seorang murid tidak ada artinya bagi mereka berdua. Kalau pembantu itu sudah roboh maka berarti mereka berdua akan mengeroyok sang ketua dan tentu mereka akan dapat menang!

Song Pak Lun juga merasa tersudut dengan alasan Hwa-hwa Kui-bo yang bukan tidak masuk akal ini. Seorang di antara dua seniman tua tadi melangkah maju dan berkata,

"Pangcu, biarlah saya yang membantu pangcu menandingi mereka."

Akan tetapi Song Pak Lun menggeleng kepala. Dua orang seniman itu adalah murid-murid pertama yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi diantara murid-muridnya. Akan tetapi tingkat mereka belum ada tiga perempatnya dan diapun tahu bahwa kalau dia membiarkan seorang diantara mereka maju, hal itu hanya berarti membiarkan mereka maju mengantar nyawa saja.

Tidak, usahanya telah gagal dan dia harus menghadapi kegagalannya secara jantan. Kalau perlu dia akan mengorbankan nyawa. Tidak boleh dia membiarkan seorang murid lain terbunuh lagi sesudah ada delapan orang yang tewas.

"Aku akan maju sendiri menghadapi Hek-mo dan Kui-bo!" katanya dengan tegas.

"Tidak adil seorang melawan dua orang! Akulah yang akan membantu ketua Kang-jiu-pang!"

Tiba-tiba terdengar suara orang disusul berkelebatnya bayangan orang dan dua orang iblis itu terkejut ketika mengenal yang datang ini adalah pemuda tampan yang pernah mereka perebutkan!

Pemuda itu dengan pakaiannya yang sederhana kedodoran sehingga nampak aneh, dengan senyumnya yang ramah dan sepasang matanya yang bersinar tajam telah berdiri disitu sambil memandang kepada dua orang datuk sesat.

"Kau... ah, jangan lancang, orang muda, bukankah engkau ingin menjadi muridku?" Hwa-hwa Kui-bo yang agaknya sudah tergila-gila kepada pemuda itu membujuk dengan suara merayu. "Tunggulah, aku membasmi Kang-jiu-pang ini lebih dulu, baru engkau ikut denganku bersenang-senang!"

Pemuda itu tertawa.
"Sayang seribu sayang, Kui-bo, tapi kedokmu amat mengerikan hatiku. Bukalah dulu kedokmu agar aku dapat melihat bagaimana macamnya mukamu."

Pemuda itu agaknya sengaja mengeluarkan ucapan ini untuk menggoda dan mengejek, karena tidak ada yang lebih memanaskan hati Hwa-hwa Kui-bo daripada kalau orang bicara tentang mukanya dan kedoknya.

"Bocah keparat, kucabut lidahmu!" bentak nenek itu dengan marah.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: