*

*

Ads

Kamis, 18 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 022

Cin-an adalah sebuah kota besar yang terletak di Lembah Huang-ho di Propinsi Shantung. Daerah ini memiliki tempat-tempat peristirahatan atau tempat rekreasi yang indah-indah karena tanahnya memang subur.

Diluar kota Cin-an, di pantai Sungai Huang-ho yang airnya berlimpah-limpah, terdapat sebuah kebun yang luas. Disini selain terdapat pohon-pohon kembang yang beraneka ragam dan warna, juga terdapat gunung-gunungan dan sebuah telaga buatan yang kecil di tengah-tengah kebun dimana orang dapat berperahu, memancing ikan, berenang-renang dan sebagainya.

Setiap hari ada saja orang mengunjungi kebun ini dan terutama sekali para pembesar dan orang kaya menggunakan tempat ini untuk pelesir dan menghibur hati di atas perahu mereka, minum-minum sambil mendengarkan musik, nyanyian dan menonton terian para penyanyi dan penari yang sengaja mereka bawa untuk bersenang-senang.

Akan tetapi pada hari itu, di kebun itu agak sepi. Hanya nampak beberapa orang berjalan-jalan di sana-sini, ada pula yang sedang duduk di perahunya memancing ikan, ada pula yang berjalan-jalan di sekeliling telaga. Beberapa buah perahu kecil yang didayung oleh dua orang hilir-mudik di atas permukaan air sambil bercakap-cakap dan minum arak.

Seorang pelukis tua di atas gunung-gunungan asyik melukis telaga dengan perahu-perahunya dan seorang penyair sedang corat-coret dengan alis berkerut, menyatakan kesan dan perasaan hatinya berbentuk huruf-huruf tersusun indah. Agaknya sang penyair ini belum juga dapat menemukan rangkaian huruf yang memuaskan hatinya. Berkali-kali dia merobek lagi kertas yang ditulisnya dan akhirnya diapun bangkit berdiri, mulutnya berkemak-kemik menggulung sajak yang dikarangnya dan kakinya melangkah menaiki gunung-gunungan dimana sang pelukis tengah melukis dengan asyiknya.

Tak lama kemudian, penyair itu telah berdiri di belakang sang pelukis, tanpa mengeluarkan suara gaduh agar tidak mengganggu pekerjaan orang, dia memandang lukisan yang mulai berbentuk itu. Tiba-tiba wajahnya berseri dan seperti tanpa disadarinya dia berkata lirih sambil memandang ke arah lukisan itu.

"... gerakan air dan awan
berobah setiap saat
tanpa bekas, tanpa tujuan..."

Penyair itu bertepuk tangan dengan girang.
"Ah, benar sekali. Di dalam lukisan terkandung sajak, di dalam syair terkandung lukisan, keduanya tak dapat di-pisahkan!" Akan tetapi setelah mengeluarkan ucapan yang nadanya gembira ini, dia berbisik, "Dua orang bercaping lebar yang sedang memancing ikan, itulah mereka."

Si pelukis memandang kearah pemukaan telaga dimana terdapat dua orang setengah tua sedang sibuk memancing. Caping mereka yang lebar menyembunyikan muka mereka, dan dari bawah caping itu, mata mereka kadang-kadang ditujukan ke arah seorang pemuda yang sedang mendayung perahu seorang diri sambil minum arak! Dua orang bercaping lebar itu memiliki bentuk tubuh yang tegap, dan pandang mata mereka tajam, juga di balik jubah mereka terdapat sebatang pedang.

Kini pelukis itu membenahi barang-barangnya, menggulung lukisannya dan bersama si penyair lalu menuruni gunung-gunungan menuju ke tepi telaga. Mereka berjalan perlahan sambil bercakap-cakap dan keduanya nampak akrab sekali, mungkin karena keduanya seniman.

Usia mereka sebaya, kurang lebih lima puluh tahun dan mereka mengenakan pakaian sasterawan yang sederhana. Orang-orang takkan mencurigai dua orang laki-laki ini karena tempat itu memang biasa dikunjungi para seniman. Akan tetapi kalau orang memandang kepada dua orang kakek sederhana itu dengan penuh perhatian dan melihat ke arah tangan mereka, orang itu akan terkejut karena ada sesuatu yang tidak wajar pada tangan mereka.

Tangan seniman biasanya halus dan lembut, akan tetapi tangan kedua orang seniman tua ini, dari pergelangan sampai ke ujung jari-jari tangan, nampak kebiruan! Bagi ahli silat, hal ini menjadi tanda bahwa kakek kakek seniman ini pernah mempelajari ilmu pukulan yang ampuh!

Memang demikianlah. Dua orang kakek ini bukan orang-orang sembarangan melainkan tokoh-tokoh dari Kang-jiu-pang! Kang-jiu-pang (Perkumpulan Kepalan Baja) didirikan oleh seorang kakek gagah perkasa bernama Song Pak Lun dan perkumpulan itu berpusat di Cin-an.

Song Pak Lun adalah bekas perwira tinggi yang ikut didepak keluar karena menentang kebijaksanaan Liu-thaikam. Dia tidak mendendam karena dikeluarkan, melainkan sebagai seorang patriot yang mencinta negaranya, dia merasa prihatin melihat betapa pemerintah dikendalikan oleh pembesar lalim seperti Liu-thaikam yang dapat menguasai kaisar muda yang belum berpengalaman. Maka diapun selalu bersikap menentang.






Dalam usianya yang enam puluh tahun itu, Song Pak Lun masih penuh semangat dan dia memiliki banyak murid yang menjadi anggauta Kang-jiu-pang. Ketika dia mendengar bahwa kaisar dalam penyamaran sedang berpelesir meninggalkan istana dan diam-diam hanya dikawal oleh dua orang perwira pengawal, dia lalu mengerahkan para pembantu utamanya untuk bertindak.

Kaisar harus ditawan, diculik, demikian keputusannya. Sebagai seorang bekas perwira, tentu saja Song Pak Lun hanya dapat mempergunakan cara militer untuk berusaha menolong pemerintah. Dia hendak menawan kaisar muda itu dan memaksa kaisar, kalau perlu dengan ancaman nyawa, agar kaisar suka menghukum atau memecat Liu-thaikam! Dan kini muncul kesempatan yang amat baik baginya untuk melaksanakan maksud itu. Kebetulan kaisar muda itu melakukan perjalanan ke daerah Cin-an, menyamar sebagai seorang pemuda biasa!

Dua orang pria bercaping lebar itu memang dua orang perwira pengawal pribadi kaisar. Mereka adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi dan memperoleh kepercayaan Liu-thaikam yang diam-diam mengutus dua orang pengawal untuk melindungi keselamatan kaisar. Tentu saja Liu-thaikam amat setia kepada kaisar!

Memang, merupakan kenyataan pahit yang terpaksa harus kita telan sebagai kenyataan hidup betapa yang disebut kesetiaan sesungguhnya menyembunyikan sesuatu yang pada hakekatnya hanyalah usaha untuk mempertahankan kesenangan diri sendiri! Siapakah yang setia dan kepada siapa? Tentu yang setia itu adalah orang atau golongan yang menerima keuntungan atau kebaikan, pendeknya menerima sesuatu yang menyenangkan dan kesetiaan itu ditujukan kepada orang atau golongan yang mendatangkan kesenangan itu!

Karena sebab yang gamblang inilah maka di dunia ini seringkali terjadi kesetiaan yang kemudian berobah menjadi pengkhianatan. Kalau kesenangan itu tidak diterimanya lagi, maka kesetiaanpun akan mengalami perobahan.

Liu-thaikam setia kepada kaisar, sebetulnya dia mempertahankan kesenangan yang diperolehnya dari kaisar. Karena kalau kaisar celaka, berarti dia sendiripun celaka! Dan bentuk kesenangan yang diperoleh seseorang bukan hanya terbatas pada kesenangan lahiriah berupa harta benda, pangkat tinggi dan kedudukan, melainkan dapat saja berupa kesenangan batiniah berupa nama terhormat dan sebagainya.

Kita kembali kepada pemuda yang sedang duduk seorang diri dalam perahunya sambil minum arak, menikmati pemandangan indah dan hawa yang sejuk bersih menyegarkan di pagi hari itu. Pemuda itu berpakaian seperti seorang sastrawan, berwajah tampan akan tetapi ada bayangan sifat manja dan malas di balik ketampanannya. Pemuda berusia sembilan belas tahun ini adalah Kaisar Ceng Tek!

Semenjak diangkat menjadi kaisar dalam usia lima belas tahun, empat tahun yang lalu, kaisar muda ini tidak pernah memperlihatkan minat yang besar terhadap pemerintahan. Dia lebih senang menghibur diri dengan permainan silat, atau membaca kitab kuno, bergaul dengan para seniman, dan setelah usianya makin dewasa mulailah dia suka bergaul dengan wanita.

Liu-thaikam yang tahu akan kesukaan ini, dalam usahanya untuk menguasai hati kaisar, tentu saja menyediakan segala sesuatu yang diinginkan kaisar itu. Gadis-gadis cantik, seniman-seniman pandai, sehingga kaisar muda itu makin tenggelam ke dalam kesenangan tanpa memperdulikan urusan pemerintah. Dan satu diantara kesenangannya adalah merantau dan bertualang seperti seorang pemuda biasa, menanggalkan pakaian kebesaran dan mahkota yang berat itu, meninggalkan upacara-upacara kerajaan yang membosankan, meninggalkan urusan-urusan pemerintahan yang ruwet-ruwet, meninggalkan semua itu agar diurus oleh Liu-thaikam. Sedangkan dia sendiri bebas lepas di udara seperti burung, terbang melayang sekehendak hatinya!

Keadaan kaisar muda ini dapat terjadi demikian karena memang dia tidak mencintai pekerjaannya. Dan betapa banyaknya manusia di dunia ini yang bekerja atau mengerjakan sesuatu bukan karena mencintai pekerjaannya, melainkan karena terpaksa!

Terpaksa oleh keadaan, terpaksa oleh cita-cita, terpaksa oleh dorongan orang tua, keluarga, masyarakat dan sebagainya. Banyak orang tua mengirim anaknya ke suatu pendidikan tertentu karena terdorong cita-cita muluk dan setelah kelak si anak berhasil lulus, dia terpaksa melakukan pekerjaan sesuai dengan pendidikannya, tanpa rasa cinta kepada pekerjaan itu sehingga dia merasa tersiksa batinnya selama hidup!

Banyak pula yang melakukan suatu pekerjaan hanya karena ingin mencari uang. Uang didapat, akan tetapi di samping itu, juga siksaan didapat di waktu dia bekerja. Mengerjakan sesuatu yang tidak disukai mendatangkan rasa jemu dan kalau dilakukan setiap hari sepanjang masa, akan mendatangkan siksa. Kita hanya tinggal membuka mata untuk dapat melihat kenyataan ini, betapa manusia bekerja seperti robot tanpa gairah tanpa kegembiman karena memang pada hakekatnya dia tidak mencintai pekerjaannya, bahkan di bawah sadarnya dia membenci pekerjaannya yang membelenggu kaki tangannya selama hidup itu!

Kaisar Ceng Tek, sebagai seorang yang paling berkuasa tentu dapat melepaskan diri atau mencoba untuk melepaskan diri sewaktu-waktu dari belenggu itu. Akan tetapi apa yang dilakukannya bukanlah membebaskan diri dari belenggu melainkan hanya suatu pelarian sementara saja karena pada hakekatnya dia masih mempergunakan haknya sebagai kaisar, berarti masih ingin menikmati hasil dari kekuasaannya. Dan akibat dari pelarian ini adalah kekacauan! Roda pemerintahan dikendalikan oleh orang lain yang melakukannya demi ambisi pribadi, demi penumpukan harta benda.

Pada pagi hari itu, Kaisar Ceng Tek duduk dalam perahu kecil sambil tersenyum-senyum gembira, mengira bahwa tidak ada seorangpun yang mengetahui keadaan dirinya. Dia tidak tahu bahwa tidak jauh dari perahunya, dua orang tukang pancing setengah tua itu tak pernah melepaskannya dari pengamatan dan pengawalan. Juga dia tidak tahu bahwa ada beberapa pasang mata orang lain yang selalu memperhatikan gerak-geriknya dan bahwa pada saat itu dia menjadi pusat perhatian banyak orang dan berada dalam keadaan terancam.

Ketika itu, si penyair dan si pelukis yang sebetulnya adalah dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang lihai, yang merupakan pembantu-pembantu utama dari ketua Kang-jiu-pang dan yang bertugas memimpin usaha penculikan kaisar, telah naik sebuah perahu kecil, mendayungnya sambil minum arak dan si penyair bernyanyi-nyanyi kecil membacakan sajaknya.

Perahu mereka mendekati dua orang kakek yang sedang memancing ikan itu dan tiba-tiba perahu mereka itu menabrak perahu dua orang tukang pancing yang bercaping dan yang tidak menyangka-nyangka itu.

"Heiii...!"

Seorang diantara mereka berteriak, akan tetapi tiba-tiba saja sikap dua orang kakek seniman itu berobah. Mereka sudah meloncat dan menggunakan dayung mereka menghantami ke arah dua orang kakek bercaping.

"Heiiiittt!"

"Hyaaattt...!"

Dua orang bercaping itupun meloncat, mengelak dan mencabut pedang yang tersembunyi di balik jubahnya. Si pelukis menggunakan jangkar perahu untuk mengait perahu lawan dan kini dua perahu itu bergandeng dan mereka berempat mulai berkelahi dengan seru.

Dua orang seniman itu menggunakan dayung, dibantu tangan yang melancarkan pukulan-pukulan ampuh dengan tangan baja mereka, sedangkan dua orang tukang pancing itu menggunakan pedang. Dua buah perahu yang digandeng dengan jangkar dan talinya itu bergoyang-goyang keras dan setiap saat perahu-perahu itu dapat saja terguling.

Kaisar Ceng Tek yang perahunya berada tak jauh dari situ, terkejut mendengar suara gaduh dan makin kagetlah dia melihat empat orang laki-laki sedang saling serang dengan hebatnya. Dia adalah seorang pemuda yang suka bertualang. Karena tidak tahu persoalannya, mengira bahwa perkelahian itu tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya, sang kaisar bangkit berdiri di perahunya dan menonton dengan gembira!

Satu diantara kesukannnya adalah menyaksikan pertandingan silat dan kini dia disuguhi pertandingan yang seru dan menarik di atas dua buah perahu yang digandeng menjadi satu, antara empat orang kakek yang agaknya memiliki ilmu silat yang hebat.

"Ceppp...!"

Perahu kecil itu terguncang dan sang kaisar hampir saja terpelanting. Dia cepat duduk dan berpegang kepada tepi perahu sambil menggerakkan dayungnya mencegah agar perahunya tidak terguling. Kiranya setelah dia duduk, dia melihat betapa sebatang anak panah yang besar telah menancap di badan perahunya dan gagang anak panah itu diikat sehelai tali dan kini perahunya bergerak, ditarik oleh sebuah perahu lain di depan yang ditumpangi oleh dua orang laki-laki bertubuh tegap!

"Heiii, apa-apaan ini? Lepaskan perahuku!" Sang kaisar berteriak marah.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: