*

*

Ads

Selasa, 16 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 015

Sungguh merupakan serangan amat berbahaya dan dilakukan dengan mendadak selagi pemuda itu menghampirinya dan sama sekali tidak menduganya. Namun, Sui Cin dan Cia Sun kembali terkejut kagum melihat betapa mudahnya pemuda itu menghadapi serangan yang cukup berbahaya itu. Ketika golok membabat kaki, tubuhnya meloncat ke atas dan ketika golok itu menyambar ke arah perutnya, enak saja tubuhnya miring dan dari samping, tangannya bergerak ke arah pundak kanan lawan yang berada dalam keadaan terbuka.

"Krekkk!"

Golok terlepas jatuh ke dekat tubuh orang tinggi besar itu dan lengan kanannya terkulai karena tulang pundaknya patah. Si tinggi besar memandang beringas akan tetapi agaknya diapun maklum bahwa dia menghadapi lawan yang lebih kuat maka hanya menundukkan mukanya.

"Hemm, penjahat busuk dan hina! Engkau masih tidak mau mengaku bahwa engkau telah memperkosa dan membunuh wanita itu?"

"Aku... aku mengaku, tapi..."

"Hemm, tidak ada tapi lagi. Setelah engkau mengaku menjadi pemerkosa dan pembunuh, sekarang boleh kau pilih, hendak menamatkan riwayat hidupmu sendiri ataukan engkau ingin aku membantumu dan membiarkan engkau mati perlahan-lahan dengan menderita? Nah, itu golokmu masih di situ dan engkau harus berterima kasih kepadaku yang membiarkan engkau masih dapat memilih."

Pemuda itu tersenyum di bawah capingnya. Dari jauh, yang nampak oleh Cia Sun hanya senyum itu dan dia merasa tidak suka dengan senyum ini. Senyum ini membayangkan kekejaman biarpun hanya sekilat saja.

Si tinggi besar menarik napas panjang.
"Aku sudah kalah, siapa takut mati?"

Dan tangan kirinya mengambil goloknya sendiri lalu dengan gerakan yang kuat, golok itu digerakkan menyambar leher sendiri. Cia Sun dan Sui Cin terkejut, hendak mencegah namun terlambat. Darah muncrat-muncrat dan orang tinggi besar yang tadinya duduk itu kini terjengkang dengan leher terkuak lebar hampir putus.

Pemuda bercaping lebar itu masih berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar, mengangguk-angguk melihat bekas lawannya tewas. Kemudian dengan tiba-tiba dia membalik, menghadapi Sui Cin dan Cia Sun. Wajahnya yang putih halus itu berseri dan mulutnva tersenyum manis dan ramah sekali. Bahkan dia lalu menjura dengan sikap hormat kepada Sui Cin dan Cia Sun yang tentu saja segera membalasnya.

"AH, kiranya ada dua orang gagah perkasa yang ikut menyaksikan tewasnya jai-hwa-cat yang kejam. Saya dapat menduga bahwa ji-wi (anda berdua) tentu hendak menghadiri pertemuan para pendekar seperti saya juga, bukan?"

Ucapan ini makin meyakinkan hati Sui Cin bahwa pemuda tampan dan perkasa ini adalah seorang pendekar, maka iapun cepat balas menjura dan memuji,

"Caramu memaksa dia membunuh diri tadi sungguh cerdik sekali!"

"Begitukah, nona? Sesungguhnya orang macam dia layak mampus, akan tetapi aku selalu merasa tidak tega untuk membunuh orang, betapapun jahatnya. Kecuali kalau sangat terpaksa. Kalau bisa, aku lebih senang membiarkan dia membunuh diri sendiri."

"Maaf, saudara tadi mengatakan bahwa dia adalah seorang jai-hwa-cat. Apakah ada buktinya dia memperkosa wanita dan membunuh orang?" tiba-tiba Cia Sun bertanya dan matanya memandang penuh selidik.

Pemuda bercaping itu memandang kepadanya dan sejenak dua orang muda itu saling pandang dengan tajam. Akan tetapi, pemuda bercaping itu lalu tertawa, suara ketawanya bebas lepas dan nyaring, mendatangkan rasa suka di hati Sui Cin. Pemuda ini selain gagah juga jujur dan gembira, tentu lebih menyenangkan sebagai sahabat dan kawan seperjalanan daripada Cia Sun yang pendiam sekali itu.

"Ha-ha-ha, saudara berpakaian putih sederhana, pantas dijuluki Pek-i Taihiap (Pendekar Besar Baju Putih), dan pertanyaanmu tadi menunjukkan betapa engkau adalah seorang yang teliti dan bijaksana. Memang, sebelum kita bersahabat, seyogianyalah kalau kalian berdua mengenal dulu orang macam apa aku yang hendak dijadikan kenalan, bukan?"

Orang itu tersenyum dan melirik ke arah Sui Cin yang juga tersenyum karena ia menganggap bahwa orang ini pandai bicara Pandai pula membawa diri.

"Namaku Thian Bu, she Sim. Sim Thian Bu, ya, itulah nama yang mudah diingat, bukan? Aku tidak datang dari satu golongan atau partai persilatan tertentu, hidupku sendirian dan suka merantau di dunia yang luas. Karena sejak kecil aku sudah mempelajari bermacam-macam ilmu silat, maka ketika mendengar akan diadakannya pertemuan para pendekar di Puncak Bukit Perahu, aku segera bermaksud menghadirinya untuk berkenalan dengan para pendekar dan meluaskan pengalaman. Ketika melewati hutan di bawah, aku melihat mayat seorang wanita diperkosa. Aku mengejar ke atas dan melihat tiga orang pendekar mengeroyok penjahat ini. Sayang aku terlambat sehingga tiga orang pendekar itu telah roboh. Aku lalu mengejar lagi dan akhirnya berhasil menyusulnya di tempat ini."






Mendengar cerita itu, Sui Cin tersenyum dan memuji,
"Sungguh engkau dapat bergerak cepat hingga berhasil merobohkan penjahat keji itu, saudara Sim. Kamipun sedang mencari-carinya dan agaknya akan sukarlah mengetahui siapa pelaku kejahatan itu kalau dia dapat meloloskan diri."

"Nona terlalu memuji." Sim Thian Bu tersenyum dan menjura. "Setelah aku menceritakan semua tentang diriku, bolehkah aku mengenal nama ji-wi yang mulia?"

Sui Cin melihat betapa Cia Sun diam saja hanya memandang tajam kepada pemuda tampan itu, maka ia merasa tidak enak kalau tidak menjawab.

"Namaku Ceng Sui Cin dan ini adalah kakak misanku bernama Cia Sun."

Mendengar nama kedua orang muda itu, Sim Thian Bu nampak tercengang, akan tetapi hanya sebentar saja dan hanya Cia Sun yang melihatnya karena memang sejak tadi dia memperhatikan orang itu.

"Di dalam dunia persilatan terdapat dua orang locianpwe yang memiliki she Ceng dan Cia yang paling terkenal, yaitu Ceng-locianpwe yang berjuluk Pendekar Sadis dan Cia-locianpwe sebagai ketua Pek-liong-pang di Lembah Naga..."

"Mereka adalah ayah-ayah kami." Baru sekarang Cia Sun berkata, memotong ucapan pemuda she Sim itu.

"Ah, kiranya ji-wi adalah putera dan puteri dua orang locianpwe yang amat terkenal. Maafkan kalau aku bersikap kurang hormat. Maaf, aku tidak berani mengganggu lebih lama lagi. Sampai jumpa di tempat pertemuan!"

Sim Thian Bu menjura dengan sikap hormat, kemudian dia menggerakkan kedua kakinya dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, lenyap dari tempat itu, menyelinap di antara pohon-pohon. Gerakannya memang cepat sekali dan agaknya dia memang sengaja memamerkan ilmu gin-kangnya sehingga mau tidak mau, dua orang pendekar muda itupun merasa kagum.

"Dia lihai, sayang kita tidak dapat berkenalan lebih baik dan tahu siapa dia sebetulnya," kata Sui Cin.

Akan tetapi Cia Sun tidak memberi komentar dan pemuda ini segera menghampiri mayat penjahat tinggi besar tadi, memandang sejenak lalu mulal menggali tanah.

"Apa yang kau lakukan, Sun-ko?"

"Mengubur jenazah ini," jawabnya singkat.

"Wah, kita mengubur lagi?"

"Mayat-mayat yang tadipun kita kubur."

"Mereka adalah pendekar-pendekar, sedangkan yang ini adalah penjahat. Kalau kita harus mengubur setiap mayat termasuk mayat penjahat, kita bisa menjadi tukang pengubur jenazah!"

"Cin-moi, apa bedanya? Baik buruk, pandai bodoh, kaya miskin, mulia hina, kalau sudah menjadi jenazah begini, apa bedanya?"

Cia Sun bekerja terus. Sui Cin mengangkat pundak lalu membantu pekerjaan itu tanpa banyak cakap lagi. Mereka bekerja keras dan sebentar saja mereka sudah mengubur jenazah itu.

Sambil membersihkan kedua tangannya, Sui Cin mengomel kepada gundukan tanah kuburan itu,

"Hemm, jai-hwa-cat, entah kebaikan apa yang pernah kau lakukan sewaktu hidupmu sehingga ketika mati engkau mendapat kehormatan dikubur oleh kami?"

"Cin-moi, aku masih belum percaya bahwa orang inilah yang membunuh dan memperkosa gadis yang kita kubur itu. Juga belum tentu dia yang membunuh tiga orang itu."

"Hemm, kenapa kau berkata demikian, Sun-ko? Bukankah sudah jelas..."

"Sama sekali belum jelas! Cin-moi, ingatlah engkau bagaimana matinya empat orang pendekar muda itu? Mereka semua mati karena pukulan atau totokan jari tangan yang amat dahsyat. Akan tetapi, orang yang kita kubur ini, dia berkelahi mempergunakan golok. Kenapa dia tidak mempergunakan jarinya yang lihai, seperti ketika dia membunuh empat orang itu?"

Sui Cin mengerutkan alisnya, terkejut karena baru sekarang ia teringat akan hal itu dan segera otaknya yang cerdik itu bekerja.

"Memang aneh..." katanya, "akan tetapi, kita harus mengakui bahwa permainan goloknya hebat sehigga bukan tidak mungkin kalau dia menguasai pula ilmu totok yang jahat itu. Mungkin saja, karena pemuda she Sim itu memang lihai dan lebih pandai dari padanya, maka dia tidak lagi mengandalkan ilmu totoknya dan menggunakan golok."

Pemuda itu menggeleng kepala.
"Meragukan sekali. Biarpun permainan goloknya tadi memang cukup lihai, akan tetapi kurasa tingkatnya belum mencapai tingkat Si Jari Hitam. Penjahat itu, kalau benar penjahat, adalah penjahat yang kasar dan belum tinggi tingkatnya."

"Akan tetapi, Sun-ko, bukankah dia sendiri sudah mengaku bahwa dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan? Kita mendengar sendiri pengakuannya tadi sebelum dia membunuh diri."

"Itulah yang amat membingungkan hatiku, Cin-moi. Akan tetapi, biarpun dia mengaku memperkosa dan membunuh, dia tidak pernah mengatakan siapa yang diperkosanya dan dibunuhnya itu. Apakah gadis yang kita temui dan tiga orang pendekar muda itu? Ataukah orang lain yang dia maksudkan? Sayang orang she Sim itu tergesa mendesaknya membunuh diri sehingga aku tidak sempat mencegah untuk menanyainya secara teliti."

"Sekarang akupun menjadi ragu, Sun-ko. Andaikata bukan dia yang melakukan perkosaan dan pembunuhan atas diri gadis dan tiga orang pemuda itu berarti..."

"Berarti bahwa seorang pemerkosa dan pembunuh yang amat lihai masih berkeliaran dan mengancam keselamatan banyak orang, terutama kaum pendekar."

Mereka melanjutkan perjalanan mendaki lereng bukit dan Sui Cin mengomel,
"Sun-ko, kenapa engkau memperkenalkan aku sebagai puteri Pendekar Sadis?"

"Eh, apa salahnya karena memang kenyataannya begitu?"

"Aku tidak suka! Aku ingin hidup bebas, tidak mau membonceng nama besar ayahku. Kau lihat, aku suka menyamar, berarti aku hendak menyembunyikan keadaan diriku sebagai puteri Pendekar Sadis."

"Mengapa, Cin-moi? Seharusnya engkau bangga mempunyai ayah seperti paman Ceng Thian Sin."

"Hemm, ayahku Pendekar Sadis. Ibuku Lam-sin, keduanya adalah tokoh-tokoh besar yang namanya menjulang tinggi. Apakah hal itu harus kupergunakan untuk mengangkat diriku sendiri? Tidak, aku tidak suka. Kalau orang mengenalku, maka dia boleh mengenal pribadiku sendiri, bukan suka berkenalan denganku karena aku puteri ayah bundaku yang terkenal itu."

Gadis itu cemberut dan kembali Cia Sun terheran-heran dan merasa bingung, semakin tidak dapat menyelami watak gadis ini.

Mereka terpaksa berhenti pada sebuah lereng di tengah malam itu untuk beristirahat dan pada keesokan harinya, tiba-tiba Sui Cin berkata,

"Sun-ko, disini terpaksa kita harus berpisah."

Ucapan ini sungguh tak pernah disangka oleh Cia Sun yang menjadi terkejut sekali. Dan di dalam terkejutnya itu dia merasa heran mengapa hatinya menjadi begini. Apa artinya perpisahan? Setiap pertemuan harus diakhiri dengan perpisahan dan biasanya, dia bertemu dan berpisah dari orang-orang tanpa kesan. Kenapa sekarang mendengar gadis itu mengusulkan perpisahan hatinya merasa seperti disayat?

"Akan tetapi kenapa, Cin-moi? Bukankah kita berdua sama-sama hendak pergi mengunjungi pertemuan para pendekar? Tujuan perjalanan kita sama dan puncak itu sudah nampak dari sini, juga hari inilah hari pertemuan itu."

"Sun-ko, engkau adalah wakil dari Lembah Naga, wakil Pek-liong-pang, sedangkan aku hanya seorang penonton saja. Biarlah kita bertemu saja disana nanti. Selamat berpisah!"

Tanpa menanti bantahan lagi, Sui Cin sudah membedal kudanya yang segera berlari congklang ke depan, kemudian membalap mendaki lereng terakhir. Cia Sun hanya dapat memandang dan menarik napas panjang. Semangatnya seperti terbawa pergi oleh gadis itu, dan kaki kuda yang bercongklang itu seperti menginjak-injak dan menyepak-nyepak hatinya.

**** 015 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: